Anda di halaman 1dari 3

Meramalkan dan Mengelola Kebijakan A.

Secuil Potret Negeri Kita Kepala Ekonom Bank Dunia, waktu itu William Wallace, meramalkan angka kemiskinan di tahun 2009 akan turun menjadi 13,9 % jika menggunakan skenario terburuk pert umbuhan ekonomi 4,1. Lebih baik ketimbang angka kemiskinan tahun 2007 yang 16,6. (andreas, mediaindonesia.com. Desember 2008). Pada Bulan Mei 2009, ternyata kita masih mendapati bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak pada level terburuk s ebagaimana yang diprediksikan. Pertumbuhan ekonomi kita malah 4,4 % (okezone 16 mei 2009), kendatipun didominasi sector keuangan. Namun bagaimanapun, kondisi in i patut diapresiasi karena RI mampu mencegah investasi kapital tidak keluar (cap ital outflow). Bahkan sebagaimana disebutkan beberapa kalangan, posisi pertumbuh an ekonomi RI berada di urutan keempat di Asia sementara negara-negara tetangga kita negatif. Implikasi dari situasi apakah ini? Apakah akibat intensitas pembangunan sektor r iil? Ataukah kebijakan lain yang mendukung kekuatan ekonomi lokal yang diatur ol eh pengaturan yang baik (good governance)? Rasanya masih perlu didalami kembali mengingat pemerintahan kita tidak begitu good, masih terombang-ambing secara par adigmatik dan terpengaruh gempita pesta demokrasi yang baru saja usai. Realitasn ya pengangguran juga masih meningkat dan jumlah orang miskin masih berkisar pada 34,96 juta dibanding tahun 2007 yang mencapai 37,17 juta (Tim Koordinasi Penang gulangan Kemiskinan RI, 16 Februari 2009). B. Delapan Orientasi Strategis Situasi tersebut di atas tentunya juga menjadi referensi di level daerah untuk i ntrospeksi dan mereview preferensi kebijakan ke dalam. Demi menjawab kompleksita s tantangan pembangunan tersebut, maka kebijakan-kebijakan prioritas mestinya : 1. Merealisasikan kesejahteraan publik, terutama masyarakat yang masih dala m kondisi miskin, rentan dan marginal. 2. Meningkatkan kapasitas produksi sektor riil agar berdampak pada perluasa n lapangan kerja yang berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan masyarakat 3. Meningkatkan produktivitas sektor informal dan memfasilitasi legalilsasi usahanya agar turut menggerakkan pertumbuhan dan pemerataan. 4. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang diprioritaskan bagi masyarakat mis kin 5. Meningkatkan pelayanan pendidikan terutama pendidikan dasar dan menengah terutama bagi masyarakat miskin. 6. Meningkatkan pembangunan dan perawatan infrastruktur serta fasilitas umu m untuk menunjang aktivitas publik. 7. Meningkatkan kesadaran dan penegakan hukum agar memenuhi rasa keadilan m asyarakat. 8. Memberikan ruang yang cukup bagi gerakan demokrasi dan emansipasi rakyat agar turut terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang berorientasi proble m solving. Kedelapan aspek di atas adalah tujuan strategis sebuah kebijakan bagi publik yan g perlu dijabarkan kembali konkretisasinya dalam sasaran (objectives) yang teruk ur berdasarkan realitas yang telah dicapai selama ini. Untuk merespon tantangan kedepan, diperlukan terobosan kebijakan baru. Peramalan (forecasting) visioner m engenai kebijakan terobosan didasarkan pada realitas yang terjadi selama ini. Ramalan memiliki tiga kharakter utama, yaitu proyeksi, prediksi, dan perkiraan. Proyeksi adalah ramalan yang didasarkan pada ekstrapolasi atas kecenderungan mas a lalu, masa kini, maupun masa depan. Prediksi adalah ramalan yang didasarkan pa da asumsi teoritik yang tegas. Sedangkan suatu perkiraan (conjencture) adalah ra malan yang didasarkan pada penilaian yang informatif atau penilaian pakar tentan g situasi masyarakat masa depan (William Dunn, Analisis Kebijakan Publik, 2003; 291-292)

C. Prediksi Mengapa kebijakan harus diramalkan? Hal ini terkait dengan visi secara generatif . Peramalan berdasarkan pada realitas empiris (ekstrapolasi), teori, asumsi, ma upun penilaian informatif bermaksud untuk menyediakan perubahan kebijakan masa d epan dan konsekuensinya, sehingga dapat dipilih kemungkinan-kemungkinan yang dih asilkan. Peramalan memungkinkan memperbesar kontrol dan evaluasi terhadap kebija kan yang pernah berlaku di masa lalu. Mengingat masa depan ditentukan oleh masa lalu maka untuk melengkapi analisis, seharusnya masa depan tidak hanya ditentuka n oleh nilai-nilai masa kini saja melainkan oleh nilai-nilai masa lalu juga agar diperoleh prediksi yang terukur dan lebih bermakna (Irene Travis dalam Wiliam D unn, 2003; 293) Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengumpulkan fakta, informasi dan da ta secara empiris. Kemudian mengkodifikasikan seluruh informasi dan data yang di peroleh dalam data inventory. Langkah kedua adalah merumuskan kebijakan berdasar kan database yang telah dibuat sehingga persoalan yang muncul benar-benar digara p dan dicarikan solusinya berbasis data. Distribusikan mandat, wewenang dan tang gung jawab rencana kerja hingga unit terkecil. Sensitivitas untuk merespon data sangat diperlukan agar aktivitas tidak salah sasaran dan arah. D. Memperlakukan Data Amburadulnya pengambilan keputusan juga diduga akibat pengelolaan data yang tida k profesional. Sebagai contoh pendataan keluarga miskin yang hidup dengan pendap atan di bawah 2 dollar sehari harus direview ulang mengingat berbagai pengalaman menujukkan seringnya terjadi kekacauan. Terbukti program BLT sebagai salah prog ram sosial sering salah sasaran. Begitu rentannya persoalan data, hingga pemilup un berlarut-larut tersandung persoalan yang sama dari tahun ke tahun, yaitu Data Pemilih Tetap. Tak heran jika orang meninggal, anak-anak dan orang yang sudah p indah domisilipun masih tercatat. Mungkin persoalan yang dihadapi berbagai negara berkembang hampir sama, namun k ekacauan pengolahan data sangat bisa untuk diminimalkan melalui pembenahan mekan isme pengorganisasian sistem informasi manajemen (Management Information System) . Mengendalikan data populasi adalah bagian dari upaya mengendalikan kebijakan a gar lebih terfokus pada sasaran. Di level masyarakat, beberapa program pemerintah dalam rangka pemberantasan kemi skinan mulai bergerak mengkonsolidasikan data secara partisipatif. Masyarakat di sebagian besar kota/kab yang telah lelah menjadi obyek research, dewasa ini tel ah terlatih mendefinisikan persoalan kemiskinan hingga menemukan alternatif solu sinya. Tengok saja Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat di Perkotaan yang te lah berhasil mengorganisasikan masyarakat untuk mengolah data dan merumuskannya menjadi sebuah program desa untuk merespon persoalan kemiskinan. Pemerintah daerah tinggal merespon proses identifikasi yang dirumuskan secara bo ttom up tersebut dan mengintegrasikannya dengan data-data resmi yang dimiliki un tuk dikemas menjadi database. Selanjutnya Pemda tinggal mengerahkan potensi sumb erdayanya melalui dinas-dinas untuk meresponnya dengan kebijakan-kebijakan speci fic by sector melalui dinas-dinas. Praktis tugas Pemda menjadi lebih ringan. Per soalan akan muncul apabila Pemda kekurangan potensi sumberdaya sehingga harus me ngajak serta pihak swasta, akademisi dan NGO untuk turut berkiprah. Tanpa harus kehilangan fungsinya, kendali tetap di tangan Pemda. E. Menjauhi Paradigma Liberal Siapa pemimpin yang berani mengambil jarak dengan para pemilik modal, dialah yan g mengambil kendali pengaturan kesejahteraan sosial. Tentu saja bukan mengambil jarak secara fisik, namun secara paradigmatik demi strategi mengarus utamakan si lemah. Menurut penganut madzhab strukturalis, globalisasi adalah bagian dari se pak terjang pemodal internasional. Bahkan menurut majalah Time, penanggung jawab

utama krisis global adalah pemodal dan pialang tak beretika yang disebut si muk a pucat (face pale white skin) pemuja kemewahan dari western (Time, April 2009). Kondisi di level nasional dan lokal nyaris tak berbeda. Presiden maupun Kepala d aerah sering tak berkutik menghadapi pemain dan pemilik modal. Kerapkali dalam p engaturan sumberdaya, bangunan maupun penataan ruang publik, interest dan pers epsi pemodal sangat kuat mempengaruhi kebijakan penting pembangunan. Dokumen Ren cana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Umum Tata ruang Wilayah (RUT RW) seringkali tak ramah lingkungan dan tak berpihak kepada si lemah. Namun kita bisa menggalang komitmen dan kembali kepada penguatan visi institusi. Swasta sebagai peserta pembangunan mesti diatur dengan regulasi yang tegas, bole h mengambil benefit maksimal asalkan rasional dan tidak mengeruk kekayaan public dengan serakah sehingga kesenjangan dapat dicegah oleh pengaturan (governance) dan kerjasama. Jika diperlukan, reward and punishment sebagai konsekuensi regula si dapat diimplementasikan secara imperative demi kepentingan rakyat. Kapitalism epun tidak akan bertumbuh liar dan bebas tak terkontrol. F. Mereorganisasi Unit Kerja Environment yang mendukung terciptanya ketertundukan pada system yang sehat dan teratur harus tetap dipelihara konsisten berdasar visi. Komponen-komponen atau u nit-unit terkecil sebuah system diorganisasikan dan para pelaksananya disadarkan bahwa segala hal yang menjadi peran mereka memiliki urgensi besar bagi kelangsu ngan system yang lebih besar. Sistem yang utuh dibangun dari komponen-komponen k ecil yang saling berintegrasi (networking) dan bekerjasama secara simultan layak nya sayap kupu-kupu kecil yang berkepak dalam frekuensi yang intens hingga menim bulkan taufan dahsyat perubahan menuju ke arah yang lebih baik. Bagi pekerjanya, kinerja berdasarkan spesialisasi di dalam unit tidak harus meng erdilkan motivasi sehingga membuatnya merasa eksklusif dan parsial. Demi mengant isipasinya kerjasama terpadu antar unit harus diimprovisasikan iramanya hingga t erhubung dalam pola-pola acak yang dialektis. Unit-unit kecil adalah pembangun s ystem besar. Runtuh atau establishnya sebuah system besar sangat tergantung dari gerakan-gerakan kecil maupun rutin di dalam unit maupun antar unit. Mekanisme k erja unit dalam institusi pemerintahan maupun swasta adalah keniscayaan demi mem pertahankan kesinambungan. Jadi tidak perlu kerdil, kuatir dan mati gaya kendati bekerja dalam unit terkecil. (Tomy Risqi)

Anda mungkin juga menyukai