Anda di halaman 1dari 4

HOMOSEKSUAL DAN KASUSNYA

Homoseksual adalah kelainan pada orientasi seksual yang ditandai dengan timbulnya rasa suka terhadap orang lain yang mempunyai kelamin sejenis atau identitas gender yang sama. Selain itu,homoseksual merupakan suatu naluri dasar yang terbawa sejak lahir walaupun pada umumnya kesadaran akan hal itu baru dirasakan pada usia remaja atau dewasa. Homoseksual erat kaitannya dengan faktor biologis: 1. Faktor genetic, 2. Bagian hippotalamus yang pada pria homo berbeda secara structural dari pria heteroseksual 3. Lingkungan 4. Pendidikan 5. Social budaya,yg tadinya dianggap sebagai faktor penyebab primer,

Contoh kasus:
S. berusia 24 tahun, seorang mahasiswa teknik Sipil di salah satu perguruan tinggi di Bandung, mengeluh bahwa dirinya merasa kurang dapat konsentrasi dalam belajar, gairah belajar menurun, sehingga dua semester terakhir ini, ia merasa gagal dalam ujian-ujiannya. S merasa penuh dengan keraguan dan tanda tanya yang selalu mencekam dirinya, yaitu Apakah dirinya seorang homoseksual? S adalah anak ketiga dari empat bersaudara, dengan urutan kakak laki-laki (2 orang), kemudian S dan adik yang bungsu perempuan. Perbedaan umur antar empat bersaudara itu lebih kurang dua tahun. Sejak S berumur satu tahun, oleh orang tuanya S dititipkan pada kakek atau neneknya. Setelah umur 6 tahun S kembali pada orang tuanya sendiri. Kesan yang sangat mendalam pada 5 tahun pertama kehidupannya adalah seringnya kakek dan nenek berselisih paham, dan bila perselisihan paham memuncak, mereka melempar benda yang ada didekatnya atau saling menyiramkan air. Kalau keadaan sudah demikian, S bersembunyi ketakutan dan gemetar seluruh tubuhnya. Setelah pertengkaran, biasanya nenek dan kakek saling tidak tegur sapa. Dalam keadaan ini, maka nenek biasanya sangat baik terhadap S dan kemana nenek pergi, S harus ikut. Bahkan pada saat nenek memasak dan membersihkan rumah pun S harus berada dekat nenek. Untuk itu, S sering juga membantu nenek. Setelah S dewasa, S baru sadar bahwa alasan orang tua menitipkan dirinya di rumah nenek atau kakek sebetulnya untuk menurunkan frekuensi pertengkaran nenek atau kakek. Tapi seingat S, pertengkaran antar mereka tidak mereda. Pribadi nenek menurut S keras dan dominan, begitu pula dengan pribadi kakek yang juga sama-sama keras. Sekembalinya ke rumah orang tuanya pada umur 6 tahun, S merasakan pula kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya dibandingkan dengan sikap orang tua terhadap

kedua kakak laki-lakinya. Orang tua S memiliki sebuah toko emas dan keduanya sibuk dengan toko. Anak-anak lebih banyak dilepas tanpa pengawasan yang cukup dan hanya dipercayakan pada pembantu rumah tangga. Ibu bersikap lebih dominan dibanding ayah dan seringkali Ibu lebih mampu mengambil keputusan dalam urusan dagang. Menurut S, ayahnya agak lamban dalam bertindak dan sering bersikap ragu-ragu. Kedua kakak S sangat nakal dan kasar tingkah lakunya dalam bermain. Sedang S tidak suka pada tingkah laku yang kasar dan nakal, sehingga S lebih suka bermain dengan adik perempuannya. S senang main masak-masakan, main ibu-ibuan dan sering memakai rok adiknya dalam permainan itu. Pada waktu S kelas V SD, suatu hari S diajak oleh kakak laki-laki yang pertama untuk melakukan onani bersama. Dan seingat S, pernah pula S atas anjuran kakaknya tersebut mencoba melakukan relasi seks dengan adik perempuannya. Percobaan ini dilakukan satu kali dan S merasa tidak berhasil. Kemudian, pernah kakak pertama ini memaksa S melakukan oral seksual dengan S atau melakukan onani bersama. Hal ini sering terjadi, sampai akhirnya kakak S melanjutkan pelajaran di Jakarta, sedang S melanjutkan sekolah di Semarang. S tinggal di rumah bibinya yang memiliki anak laki-laki sebaya dengan S dan tinggal satu kamar dengan saudara sepupunya itu. Pada suatu saat, saudara sepupunya itu mencium S sehingga akhirnya berkembang menjadi homoseksual. Dalam relasi ini S lebih sering bersifat pasif. Setelah kira-kira 1 tahun mengadakan relasi itu, saudara sepupunya ini pindah ke kota. Namun, S segera mendapatkan teman pengganti, yaitu teman sekelasnya sendiri. Tetapi, teman ini meninggal dunia karena sakit. S merasa kesepian dan pada saat muncu!nya kebutuhan seksual S melakukan onani. Dalam onani, S kadang-kadang membayangkan wanita atau pria, tetapi menurut S lebih sering membayangkan pria daripada wanita. Setelah beberapa bulan S tidak mempunyai teman akrab, kemudian S mendapatkan teman pria yang mau mengerti keadaan S dan dapat merasakan penderitaan S. Bahkan sering menasihati S untuk menghentikan tingkah laku homoseksual tersebut dan mengatakan bahwa tingkah laku tersebut kurang baik. Setelah lulus SMA, S pindah ke Bandung dan bersekolah di Bandung. Rasa takut terhadap abnormalitas semakin meningkat karena S tidak pernah merasa tertarik terhadap wanita. Apalagi pada tahun pertama S berkenalan dengan seorang teman pria satu angkatan lebih tinggi. Dengannyalah S melakukan relasi homoseksual beberapa kali, selama kurang lebih satu tahun. Atas kesadaran partnernya ini, S dinasihati oleh partnernya untuk memutuskan hubungan mereka. S menerima keputusan ini dengan harapan S dapat terlepas dari kebiasaan yang menurut S sendiri abnormal. Pada suatu ketika, S memaksakan diri untuk mencari pacar dan kebetulan wanita ini memang tertarik pada S dan bersedia menjadi pacarnya. S merasa senang karena ini adalah kesempatan bagi S untuk melepaskan diri dari abnormalitasnya. Tetapi rupanya S tidak tahan terhadap konsekuensikonsekuensi sebagai pria yang punya pacar, yang antara lain harus apel setiap malam minggu, bersedia mengantar pacar pada saat-saat dibutuhkan dan lain-lain.

Tuntutan pacar akan apelakhirnya menjadi beban bagi dirinya, pacar S sering marah kalau S terlambat ape!. S mulai tidak suka karena S paling takut kalau melihat orang yang marah-marah dan hatinya menjadi tidak enak. Sejak kecil pun S takut kalau melihat orang bertengkar. Kecuali itu, sejak remaja S suka mencoba resep masakan dari majalah. Ibu mendorongnya untuk lebih menerampilkan diri pada bidang masak-memasak. Atas kesukaannya ini, ayah S hanya berkomentar Anak laki-laki kok senang masak, nanti kalau sudah besar mau jadi apa?! S juga merasa bahwa ia sangat mudah tersinggung, tetapi walaupun tersinggung, S tidak pernah menunjukkan kemarahannya pada orang lain melainkan memendamnya saja. S merasa bahwa tindakan pacarnya pun sering men yinggung perasaannya, sehingga rasa tidak tertarik pada pacarnya ini semakin berkembang dan dalam kenyataannya, S juga tidak pernah mengalami rangsangan erotis kalau duduk berdekatan dengan pacarnya. Sampai akhirnya, S merasa jenuh dan berat beban mentalnya dalam memenuhi tuntutantuntutan pacarnya. Akhirnya, ia pun memberanikan diri untuk memutuskan hubungan dengan pacarnya. Setelah lepas dan pacar, ia merasa ringan. Di Bandung, S tinggal bersama kakak laki-laki yang nomor dua, yang bersekolah di Fakultas kedokteran. Hubungan dengan kakak nomor dua tidak akrab, kakak ini agak mengacuhkan diri S. Pada permulaan tahun kakaknya pergi ke luar Jawa. Karena merasa kesepian, akhirnya S mengajak temannya untuk menemaninya. Kebetulan teman pria yang diajak adalah bekas partner relasi homoseksual ketika S baru lebih kurang 1 tahun di Bandung. Situasi rumah yang sepi memungkinkan S mengulangi relasi tersebut, walaupun sebetulnya selama kurang lebih 3 tahun S berhasil menahan diri dalam melakukan relasi homoseksualnya. Kalaupun kebutuhan seksualnya mendesak, S hanya melakukan onani saja. Tetapi kemudian, temannya ini menyadarkan kembali akan kesalahannya dan S pun berusahan untuk menghindari tingkah laku tersebut. Akibatnya, muncullah konflik dalam jiwanya yang lebih ekstrim yang bersumber pada keraguan identitas jenis kelaminnya (gender identity). Untuk mengatasi konflik ini, S mencoba melakukan hubungan heteroseksual dengan seorang wanita tuna susila, tetapi S tidak berhasil. Kegagalan ini menambah tingkat ekstrenuitas ketegangan mentalnya sehingga sangat mempengaruhi kemampuannya dalam konsentrasi. Ia pun menjadi kehilangan gairah belajar, karena benaknya dipenuhi oleh tanda tanya. Secara otomatis prestasi studinya menurun, hal ini mendorongnya untuk berkonsultasi pada psikolog, yang kebetulan penulis sendiri. Kelainan pada orientasi seksual yang ditandai dengan timbulnya rasa suka terhadap orang lain yang mempunyai kelamin sejenis atau identitas gender yang sama.suatu naluri dasar yang terbawa sejak lahir walaupun pada umumnya kesadaran akan hal itu baru dirasakan pada usia remaja atau dewasa.

ANALISA KASUS

Latar belakang kehidupan jiwa S ditandai oleh masa kecil yang kurang bahagia. Kejadian-kejadian yang impresif bagi S, bahkan dapat dikatakan bernilai traumatis, pertengkaran-pertengkaran kakek dan neneknya, mengakibatkan rasa takut yang luar biasa. Sehingga, sampai saat ini pun S tidak suka pada keributan-keributan, pertengkaran-pertengkaran dan S tumbuh menjadi sangat perasa serta menyukai situasi yang tenang. Nenek yang menjadi figur substitusi dan figur ibu adalah seorang yang dominan dan dalam suasana pertengkaran dengan suaminya, nenek menarik S untuk memihak pada dirinya dan menjauhkan S dari kakek. lklim relasi tersebut, memungkinkan S justru mengambil figur nenek sebagai pemegang peranan dalam proses identifikasinya. Demikian pula sekembalinya S ke rumah orang tuanya sendiri. Ketika umur 6 tahun, S menjumpai pola relasi orang tuanya yang juga tidak sehat. Ibu keras, dominan, sering menyalahkan ayah dimuka anak-anaknya. Ayah yang lamban, serta agak lemah akhirnya menciptakan sikap S terhadap ayah yang negatif (jelas terlihat pada hasil tes SSCT). Relasi dengan ayah menjadi tidak memuaskan bagi S, situasi relasi antara ayah dan ibunya ini memungkinkan tokoh identifikasi terdahulu (nenek) beralih pada ibu. Pengalaman demi pengalaman di atas membawa S pada situasi yang kurang menguntungkan bagi perkembangan gender identity-nya. Penampilan yang halus dan penurut mengundang kakak pertama S untuk mengajak S onani bersama, bahkan mengadakan hubungan oral seksual. Pengalaman ini ditambah dengan pengalaman homoseksual baik di Semarang maupun di Bandung yang menjadi faktor penguat bagi terbinanya tingkah laku homoseksual. Tetapi, S belum mencapai homoseksual adjusment yang optimal karena tampak bahwa konflik-konflik neurotis masih menyentai S. Dapat disimpulkan bahwa S mengalami gangguan dalam perkembangan gender identity, tetapi karena gangguan tersebut belum S sadari sepenuhnya, maka masih ada usaha-usaha S untuk melawan kondisi ini dengan mencoba berpacaran dengan wanita. Ia mencoba mengadakan relasi heteroseksual dengan wanita tuna susila. Kenyataan akan kegagalan datam usaha tensebut tidak membantu S untuk menerima keadaan dirinya dengan sepenuh hati, tetapi justru merupakan salah satu keadaan yang menambah ketegangan mentalnya. Keluhan-keluhan psikis, seperti ganguan konsentrasi, menurunnya gairah belajar, keraguan dan rasa tidak bahagia merupakan menifestasi dari ketegangan mentalnya. Kalau melihat derajat ekstrimitas tingkah laku homoseksualnya, S kiranya dapat dikelompokkan dalam kategori homoseksual eksklusif dengan tipe pasif. Walaupun penampilan fisik umum S tampak tinggi besar, tetapi apabila kita amati dengan cermat ciri-ciri efiminasi akan tampak.

Sumber : www.google.com

Anda mungkin juga menyukai