Anda di halaman 1dari 40

2.

TINJAUAN PUSTAKA

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah disampaikan pada bab sebelumnya dan permasalahan yang ditemukan, maka dalam bab ini akan dijelaskan mengenai landasan teori yang mendasari penelitian ini. Oleh karena itu, pada bab ini akan dibahas mengenai dewasa muda, komitmen beragama dan hubungan seks pranikah.

2. 1. Dewasa Muda 2. 1. 1. Pengertian Dewasa Muda Istilah dewasa muda, dapat juga disebut sebagai young adulthood. Adult berasal dari kata kerja latin yang berarti tumbuh menjadi kedewasaan. Kata adult pun juga berasal dari kata adultus yang memiliki arti telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna. Maka dapat disimpulkan bahwa orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya (Hurlock, 1993). Hurlock (1993), mengatakan bahwa masa dewasa muda merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Penyesuaian ini menjadikan periode ini menjadi periode khusus dan sulit dari rentang hidup seseorang. Periode ini dikatakan sulit sebab sebelum mencapai usia dewasa, anak mempunyai orang tua, guru, teman dan orang-orang yang bersedia menolong mereka untuk melakukan penyesuaian diri, namun sebagai orang dewasa mereka dituntut agar melakukan penyesuaian diri secara mandiri. Santrock (2002) mengatakan mengenai dua kriteria yang merupakan ciri-ciri dari berakhirnya masa remaja dan dimulainya masa dewasa yaitu kemandirian ekonomi dan kemandirian dalam membuat keputusan. Kemandirian ekonomi seperti halnya ketika seseorang mendapatkan pekerjaan. Sedangkan kemandirian dalam membuat keputusan adalah menentukan keputusan mengenai karir di masa depan, nilai-nilai yang dianut, keluarga, hubungan yang akan dijalani dan gaya hidup yang dianut.

10
Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

Universitas Indonesia

11

2. 1. 2. Batasan Usia Dewasa Muda Beberapa ahli mengemukakan batasan usia menurut pandangannya masingmasing dan dengan rentang usia yang berbeda-beda pula. Hurlock (1993) membagi tahapan masa dewasa menjadi tiga bagian yaitu masa dewasa dini, masa dewasa madya dan masa dewasa lanjut (usia lanjut). Masa dewasa dini dimulai pada umur 18 tahun hingga umur 40 tahun, saat itu ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis yang menyertai kurangnya kemampuan reproduktif. Masa dewasa madya dimulai pada umr 40 tahun hingga umur 60 tahun, saat itu ditandai dengan menurunnya kemampuan fisik dan psikologis yang terlihat pada setiap orang. Masa dewasa lanjut dimulai pada umur 60 tahun keatas hingga kematian, saat ini ditandai dengan kemampuan fisik dan psikologis yang cepat menurun. Erikson (dalam Miller, 1983) membagi tahapan perkembangan menjadi delapan tahap. Tahapan-tahapan tersebut yaitu basic trust versus basic mistrust yang terjadi pada usia hingga 1 tahun, selanjutnya tahap autonomy versus shame and doubt yang terjadi pada usia 2 tahun hingga 3 tahun. Tahap ketiga yaitu initiative versus guilt yang terjadi pada usia 4 tahun hingga 5 tahun, dilanjutkan tahap industry versus inferiority pada usia 6 tahun hingga masa puber. Tahapan selanjutnya yaitu identity and repudiation versus identity diffusion yang terjadi pada usia remaja. Tahap ke enam yaitu intimacy versus isolation terjadi pada usia dewasa muda, selanjutnya tahap generativity versus stagnation and self-absorption yang terjadi pada dewasa tengah. Tahapan terakhir adalah integrity versus despair yang terjadi pada dewasa akhir. Tahapan perkembangan yang akan digunakan adalah tahap intimacy versus isolation yang terjadi pada usia dewasa muda. Papalia (2002) mengatakan behwa masa dewasa muda adalah masa transisi dari tahap remaja menuju tahap dewasa. Tahap dewasa terbagi atas tiga periode, yaitu dewasa muda (young adulthood) yang berada pada usia 20 hingga 40 tahun, dewasa tengah (middle adulthood) yang berada pada usia 40 hingga 65 tahun, dan dewasa akhir (late adulthood) yang berada pada usia 65 tahun keatas. Levinson (dalam Monks, 2002) membedakan empat periode dalam kehidupan manusia yaitu masa anak dan masa remaja (0-22 tahun), masa dewasa awal (17-45

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

12

tahun), masa dewasa madya (40-65 tahun) dan masa dewasa akhir (60 tahun keatas). Terjadinya usia tumpang tindih antara usia 17 hingga 22 tahun adalah masa peralihan. Pada masa ini, seseorang meninggalkan masa pra-dewasa dan menuju ke masa dewasa awal. Berdasarkan beberapa batasan yang dikemukakan para ahli tersebut, maka peneliti menggunakan batasan usia dewasa muda menurut Papalia yaitu dimulai dari usia 20 tahun hingga 40 tahun. Peneliti memilih ini dikarenakan batasan usia menurut Papalia merupakan batasan yang tidak terlalu besar hingga lebih spesifik dibandingkan dengan Levinson.

2. 1. 3. Karakteristik Perkembangan Dewasa Muda Tugas-tugas perkembangan pada masa dewasa muda dipusatkan pada harapan-harapan masyarakat dan mencakup mendapatkan suatu pekerjaan, memilih seorang teman hidup, belajar hidup bersama dengan suami atau istri membentk suatu keluarga, membesarkan anak-anak, mengelola sebuah rumah tangga, menerima tanggung jawb sebagai warga negara dan bergabung dalam suatu kelompok sosial yang cocok (Hurlock, 1993). Hurlock (1993) menambahkan bahwa tingkat penguasaan tugas-tugas ini pada awal masa dewasa akan mempengaruhi tingkat keberhasilan ketika mencapai puncak keberhasilan pada usia setengah baya, baik itu pada bidang pekerjaan, pengakuan sosial ataupun kehidupan keluarga. Penguasaan ini juga dapat menentukan kebahagiaan yang akan didapatkan sampai dengan tahuntahun akhir kehidupan seseorang. Keberhasilan dalam menguasai tugas-tugas tersebut sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut yaitu: 1. Kemampuan Fisik Puncak kemampuan fisik biasanya dicapai pada usia pertengahan dua

puluhan dan terjadi penurunan pada usia awal empat puluhan. Karena itu pada periode ini, seseorang secara fisik dapat menghadapi dan mengatasi masalahmasalah yang sulit. 2. Kemampuan Motorik

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

13

Dikarenakan puncak kemampuan fisik yang terjadi pada usia dewasa muda, maka seseorang yang berada pada usia ini, dapat mempelajari ketrampilanketrampilan motorik yang baru dan juga seseorang yang berada pada usia ini dapat mengandalkan kemampuan motorik mereka pada situasi tertentu. Hal itu tidak dapat dilakukan pada masa remaja karena pada remaja, seseorang sedang mengalami pertumbuhan yang cepat dan tidak seimbang, yang mana menyebabkan mereka kurang luwes dan kaku. 3. Kemampuan Mental Kemampuan mental pada masa dewasa muda diperlukan untuk mempelajari dan menyesuaikan diri pada situasi-situasi baru, seperti misalnya mengingat hal-hal yang dulu pernah dipelajari, penalaran analogis dan berpikir kreatif. 4. Motivasi Seseorang yang telah mencapai usia dewasa muda akan memiliki keinginan yang kuat untuk dianggap mandiri oleh kelompok sosial mereka. Hal ini dapat menjadi motivasi bagi seseorang yang berada pada tahapan ini untuk menguasai tugas-tugas perkembangan yang diperlukan agar dapat dianggap sebagai orang yang mandiri. 5. Role Model Pada usia dewasa muda, seseorang mendapatkan motivasi untuk dapat berperilaku sesuai yang dianut oleh masyarakat. Oleh sebab itu, seseorang yang berada pada usia ini, mencontoh perilaku yang dilakukan oleh orang dewasa, dimana mereka berperilaku sesuai yang dianut oleh masyarakat, seperti layaknya orang dewasa.

Papalia (2004) membagi perkembangan pada masa dewasa muda atas tiga bagian, yaitu perkembangan fisik, perkembangan kognitif dan perkembangan psikososial. Hal ini seperti yang dijelaskan dibawah ini: 1. Perkembangan fisik Perkembangan fisik termasuk di dalamnya adalah kesehatan dan kondisi fisik. Pada dewasa muda, seseorang akan mencapai puncak kesehatan,

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

14

kekuatan, energi dan daya tahannya. Pada tahapan ini pula, seseorang berada pada puncak dalam fungsi sensori dan motoriknya. Pada pertengahan 20-an, fungsi pada tubuh berkembang dengan penuh. Ketajaman pada penglihatan pun sangat tajam pada usia 20 hingga 40 tahun. Kemampuan penciuman, pengecapan dan sensitifitas dalam merasakan sakit dan suhu akan menurun pada usia diatas 45 tahun. Pada usia dewasa muda, meskipun kesehatan dapat dijadikan akibat dari suatu perilaku seperti makanan yang biasa di konsumsi, waktu tidur yang cukup, seberapa besar keaktifan seseorang secara fisik, pemakaian rokok, minuman, dan obat-obatan. Hal tersebut juga memilki peran dalam kesehatan saat ini hingga masa depan serta kesejahteraan. 2. Perkembangan Kognitif Piaget (dalam Papalia, 2004) menjelaskan bahwa tahapan formal operasional merupakan puncak dari pencapaian kognitif pada seseorang. Namun Moshman (dalam Papalia, 2004) mengatakan bahwa tidak hanya penyebab formal saja yang penting dalam kemampuan berpikir pada orang dewasa. Karena pemikiran orang dewasa lebih kaya dan kompleks daripada manipulasi intelektual yang abstrak. Pemikiran pada orang dewasa seringkali terlihat lebih fleksibel, terbuka, adaptif, dan individualistik. Pemikiran ini dapat pula digambarkan pada intuisi dan emosi seperti logika yang yang dapat menolong seseorang untuk menyelesaikan suatu masalah. Pada pemikiran ini pula, seseorang dihadapkan pada pengalaman pada situasi yang ambigu. Hal ini dapat dilihat pada seseorang yang memilki kemampuan saat dihadapkan pada

ketidakpastian, ketidaksesuaian, kontradiksi, ketidaksempurnaan dan sesuatu yang disetujui bersama. Tahapan tertinggi pada kognisi orang dewasa inilah yang disebut dengan postformal thought. Pada tahapan postformal thought terjadi sesuatu yang relatif, yaitu suatu hal yang bukan mutlak. Seperti misalnya pemikiran seseorang yang belum dewasa cenderung hanya melihat hitam dan putih (benar versus salah,

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

15

intelektual versus perasaan, pikiran versus tubuh), sedangkan pada postformal thought, seseorang melihat bentuk abu-abu. Jan Sinnott (dalam Papalia, 2004) menyebutkan beberapa kriteria dari postformal thought, yaitu: a. Shifting Gears Kemampuan sewaktu terjadi sebuah perubahan untuk seterusnya antara penalaran abstrak dan praktikal dengan kenyataannya pada dunia yang nyata. b. Multiple Causality, Multiple Solutions Kesadaran akan adanya masalah penting yang memiki lebih dari satu penyebab dan lebih dari satu solusi. Beberapa solusi akan lebih disukai daripada soulusi lainnya. c. Pragmatism Kemampuan untuk memilih solusi yang paling tepat dari beberapa solusi yang ada dan untuk mengenal lebih dalam kriteria yang dipilih. d. Awareness of Paradox Kemampuan untuk mengenal lebih dalam suatu masalah atau solusi yang didalamnya dapat menimbulkan konflik.

Perkembangan kognitif juga dijelaskan oleh Schaie (dalam Papalia, 2004). Schaie membagi tahapan perkembangan kognitif atas tujuh tahapan yaitu Acquisitive Stage (masa kanak-kanak dan remaja), Achieving Stage (akhir remaja atau awal 20-an hingga awal 30-an), Responsible Stage (akhir 30-an hingga awal 40-an), Executive Stage (30-an atau 40-an hingga dewasa tengah), Reorganizational Stage (akhir dewasa tengah atau awal dewasa akhir), Reintegrative Stage (dewasa akhir), dan Legacy-creating Stage (lanjut usia). Dalam usia dewasa muda, tahapan yang digunakan adalah Achieving Stage. Dimana pada tahapan ini seseorang mendapatkan pengetahuan untuk mencapai suatu tujuan seperti karir dan keluarga. 3. Perkembangan Psikososial

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

16

Papalia (2004) mengemukakan beberapa pendekatan perkembangan psikososial pada orang dewasa dapat dilihat dari Normative-Stage Models, The Timing of Events Model, Trait Models dan Typological Models. Pada tahapan Normative-Stage Models menggambarkan urutan perkembangan yang dihubungkan dengan usia yang terus lanjut hingga masa kehidupan dewasa. Pada tahapan The Timing of Events Model menggambarkan pada perubahan yang tidak terlalu dihubungkan berdasarkan usia namun berdasarkan sesuatu yang diharapkan maupun tidak diharapkan terjadi dan waktu saat peristiwa penting itu terjadi. Pada Trait Models berfokus pada sifat mental, emosi, tempramen, dan tingkah laku. Penelitian mengenai sifat, mengatakan bahwa kepribadian orang dewasa berubah sangat kecil. Pada Typological Models mengidentifikasikan pada kepribadian sebagai fungsi yang dapat mempengaruhi dan merefleksikan sikap, nilai, tingkah laku, dan interaksi sosial.

Pada masa dewasa muda, perkembangan fisik akan mencapai puncaknya, namun kondisi fisik ini juga menurun pada rentang usia dewasa muda. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya perhatian terhadap kesehatan, perhatian khusus mengenai diet, berat badan, olahraga dan ketergantungan. Puncak kemampuan fisik ini terjadi pada usia dibawah 30 tahun, yaitu antara 19 tahun hingga 26 tahun (Santrock, 2002). Keating (dalam Santrock, 2002) mengatakan selain perkembangan fisik, terdapat pula aspek perkembangan lain seperti perkembangan kognitif.

Perkembangan kognitif pada masa dewasa muda ditunjukkan dengan seseorang yang dapat mulai mengatur pemikiran formal operational mereka, seperti yang dikemukakan menurut Piaget. Piaget mengatakan bahwa cara berpikir seorang remaja dan seorang dewasa itu sama, namun yang membedakan adalah apabila seorang remaja mampu merencanakan dan membuat hipotesis dari suatu masalah, sedangkan pada orang dewasa lebih mampu membuat hipotesis dan menurunkan suatu pemecahan masalah dari suatu permasalahan. Gisela Labouvie-Vief (dalam Santrock, 2002) mengemukakan bahwa pada saat dewasa seseorang akan lebih mengandalkan

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

17

analisis logis dalam memecahkan suatu masalah. William Perry (dalam Santrock, 2002) mengatakan mengenai pemikiran orang dewasa yang berubah, awalnya berpikir secara dualistik namun berganti menjadi pemikiran yang beragam. Berdasarkan penjelasan sebelumnya mengenai tahapan perkembangan menurut Erikson. Tahapan dewasa muda berada pada tahap keenam yaitu intimacy versus isolation (keintiman versus isolasi). Keintiman adalah tahap dimana individu membentuk hubungan intim dengan orang lain. Namun jika keintiman tidak berkembang pada masa dewasa awal, individu mungkin akan mengalami yang disebut dengan isolasi. Masalah yang dihadapi dewasa muda salah satunya adalah perilaku seksual pra-nikah. Hal ini dapat terjadi karena pada tahap dewasa muda terjadi proses intimacy tersebut. Hurlock (1993) mengatakan bahwa minat seorang yang berada pada tahap dewasa muda terhadap seks lebih besar dibandingkan saat mereka masih berada pada tahap remaja. Lambert dan Hallet (dalam Papalia, 2004) menjelaskan mengenai seseorang yang berada pada usia dewasa muda memandang emosi dan keintiman fisik terjadi dalam hubungan teman sebaya dan pasangannya. Hubungan ini mencakup diantaranya self-awareness, empati, kemampuan untuk berkomunikasi dengan perasaan, pengambilan keputusan terhadap seks, mengatasi konflik, kemampuan untuk menjalani suatu komitmen. Hurlock (1993) mengemukakan karakteristik lain yang terdapat pada tahap dewasa muda adalah mengenai agama. Seseorang yang telah berada pada tahap dewasa muda, orang tersebut telah dapat mengatasi keragu-raguannya terhadap agama dan kepercayaannya. Pada saat dewasa pula biasanya seseorang telah memiliki pandangan hidup yang didasarkan pada agama dan yang memberikan kepuasan bagi dirinya. Namun pada masa dewasa muda juga merupakan masa dimana masalah agama kurang diperhatikan. Menurut Peacock (dalam Hurlock, 1993), tahapan dewasa muda juga dapat disebut sebagai periode dalam kehidupan yang paling tidak religius. Laumann & Michael (dalam Papalia, 2004) mengatakan bahwa pada usia dewasa muda, aktivitas seksual terbagi atas tiga kategori, yaitu reproductive attitudes about sex, recreational view of sex, dan relational view. Kategori pertama yaitu

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

18

Reproductive Attitudes About Sex adalah seks diperbolehkan untuk tujuan reproduksi saat sudah menikah. Kategori kedua yaitu Recreational View of Sex adalah pandangan terhadap seks yang memperbolehkan seseorang melakukan seks asalkan yang melakukan merasakan bahwa seks tersebut baik dan tidak ada satupun yang disakiti. Kategori terakhir yaitu Relational View adalah seks yang selalu disertai dengan cinta atau sayang. Sarwono (2002) mengatakan bahwa dalam perkembangan psikologi sosial, terdapat didalamnya psikologi seksual. Seks merupakan salah satu faktor terpenting dalam konsep kepribadian dalam psikologi sosial, karena kepribadian seseorang sangat dipengaruhi oleh jenis kelaminnya sejak orang itu dilahirkan. Perkembangan kepribadian laki-laki dan perempuan pun sangat berbeda. Unsur seksual kepribadian dalam kepribadian inilah yang disebut psikoseksual. Freud (dalam Sarwono, 2002) menjelaskan bahwa bayi yang baru lahir sudah memiliki hasrat seksual (libido sexualis) terhadap ibu (pada laki-laki) atau ayahnya (pada anak perempuan) sendiri. Akan tetapi, norma masyarakat (yang diwakili oleh superego) dalam kepribadian anak melarangnya. Baru setelah usia remaja anak akan sampai pada perilaku hubungan seks yang sesungguhnya (sanggama), tetapi itupun baru diperkenankan oleh norma masyarakat jika kedua orang yang bersangkutan sudah terikat dalam pernikahan. Jadi ada perbedaan norma antara yang sudah menikah dan belum menikah, walaupun sudah sama-sama dewasa. Sarwono (2002) mengatakan bahwa perubahan norma yang terjadi dalam masyarakat sekarang dapat dikarenakan meningkatnya prasyarat untuk pernikahan (harus berpendidikan, harus bekerja, harus saling mengerti, dan sebaginya) sehingga tingkat usia pernikahan pun meningkat. Sementara itu sebagai remaja dan dewasa muda, dorongan seks berjalan terus dalam era teknologi yang canggih sekarang ini, dipacu pula dengan sajian-sajian yang membangkitkan gairah seksual melalui media massa. Padahal dengan ditemukannya alat kontrasepsi, kehamilan yang tidak dikehendaki dan juga penyakit kelamin dapat dicegah. Semua ini menyebabkan skema kognisi tentang hubungan seks berubah. Hubungan seks pra-nikah tidak lagi dianggap mengandung akibat-akibat yang berbahaya. Karena itu dalam praktiknya

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

19

makin banyak orang melakukan hubungan seks pra-nikah dan di luar nikah, walaupun norma-norma yang melarangnya masih berlaku. Norma ini khususnya di Indonesia, masih kuat mempengaruhi sikap terhadap hubungan seks pra-nikah (Kolopaking & Angely, dalam Sarwono, 2002). Akan tetapi, dalam praktiknya hubungan seks pranikah tetap dilaksanakan. Sitompul, Asokawati & Julprima (dalam Sarwono, 2002) menjelaskan bahwa hal ini paling mungkin diterangkan dengan teori kognitif. Dalam penelitian ini, inilah yang disebut dengan disonansi koginitif yang akan dibahas pada bagian selanjutnya. Kesimpulan yang dapat penulis ambil dalam karakteristik perkembangan dewasa muda adalah bahwa tugas perkembangan dewasa muda yaitu perkembangan fisik, perkembangan kognitif dan perkembangan psikososial. Tugas perkembangan disertai pula dengan kemampuan seorang dewasa muda secara kognitif (contohnya pemikiran seseorang yang lebih terbuka, adaptif dan individualistik), emosi (contohnya logika yang dipergunakan seseorang dalam menyelesaikan suatu masalah) dan moral (contohnya seseorang yang melakukan sesuatu sesuai dengan norma yang berlaku). Salah satu tugas perkembangan dewasa muda adalah mempersiapkan diri untuk membangun rumah tangga (membina interpersonal relationship menuju komitmen) dalam hubungan serius menuju pernikahan dan membangun rumah tangga, seorang dewasa muda melewati tahapan kogitif, emosi dan moral sehubungan dengan kondisi biologisnya, dewasa muda aktif secara seksual dalam rangka mengekspresikan seksualitasnya yang dilakukan secara normatif atau tidak. Misalnya standar yang terdapat dalam komitmen beragama.

2. 1. 4. Perkembangan Agama Pada Masa Dewasa Muda Salah satu tugas perkembangan dewasa muda adalah perkembangan psikososial. Dalam perkembangan psikososial terdapat didalamnya perkembangan moral. Kohlberg (dalam Papalia, 2004) mengatakan bahwa peningkatan pada tingkat ketiga dari perkembangan moral pada usia dewasa muda berada pada tingkat post conventional (pasca konvensional). Perkembangan moral adalah tahapan yang biasanya dialami seseorang saat berusia dua puluhan. Biasanya seorang remaja yang

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

20

telah berada pada tahap tertinggi prinsip moral berkembang, namun seseorang biasanya tidak akan menjalankan sebuah prinsip hingga usia dewasa. Pengalaman juga mendorong seseorang untuk mengevaluasi kembali hal-hal apa saja yang dianggapnya benar atau wajar. Beberapa orang dewasa secara spontan menjadikan pengalaman yang telah mereka alami sebagai jawaban atas dilema moral yang mereka hadapi (Bielbu & Papalia, dalam Papalia, 2004). Manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri baik secara fisik ataupun psikis. Manusia disebut sebagai makhluk potensial, karena pada diri manusia tersimpan sejumlah kemampuan bawaan yang dapat dikembangkan. Manusia juga dapat disebut sebagai makhluk yang memiliki prinsip tanpa daya, hal ini berarti untuk tumbuh dan berkembang secara normal, manusia membutuhkan bantuan dari luar dirinya. Bantuan tersebut dapat berupa bimbingan dan pengarahan dari

lingkungannya. Bimbingan dan pengarahan yang diberikan sebaiknya searah dengan apa yang dibutuhkan oleh manusia itu sendiri. Karena apabila bimbingan dan pengarahan yang tidak searah dengan kebutuhan manusia akan berdampak negatif bagi perkembangan manusia. Perkembangan negatif tersebut dapat dilihat dalam sikap dan tingkah laku yang dilakukan seseorang. Tingkah laku ini sangat erat kaitannya dengan kegagalan manusia dalam memenuhi kebutuhannya, baik yang bersifat fisik maupun psikis (Jalaluddin, 2005). Salah satu kebutuhan psikis manusia adalah kebutuhan terhadap agama. Manusia disebut sebagai makhluk yang beragama (homo religious). Robert Nuttin (dalam Jalaluddin, 2005) mengatakan bahwa dorongan beragama merupakan salah satu dorongan yang bekerja dalam diri manusia sebagaimana dorongan lainnya (seperti makan, minum, pengetahuan, dsb). Karena itulah dorongan beragama dituntut agar terpenuhi, sehingga seseorang mendapatkan kepuasan dan ketenangan. Selain itu dorongan beragama juga merupakan kebutuhan insaniah yang merupakan gabungan dari rasa keagamaan. Menurut agama Islam, kebutuhan terhadap agama disebabkan manusia sebagai makhluk Tuhan dibekali dengan potensi (fitrah) yang dibawa sejak lahir.

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

21

Salah satu fitrah itu adalah kecendrungan terhadap agama. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Hasan Langgulung, yaitu:

Salah satu ciri fitrah adalah bahwa manusia menerima Allah sebagai Tuhan, dengan kata lain, manusia itu adalah dari asal mempunyai kecendrungan beragama, sebab agama itu sebagian dari fitrah-Nya.

Pengertian fitrah dapat dilihat pula dalam Al-Quran yaitu:

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah). Tetapkanlah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya.

(QS. Ar-Rum: 30)

Muzayyin Arifin (dalam Jalaluddin, 2005) mengemukakan istilah fitrah yang disimpulkannya sebagai salah satu dasar berkembang manusia yang dianugerahkan Allah kepadanya. Karena adanya fitrah ini, manusia selalu membutuhkan pegangan hidup yang disebut dengan agama. Paloutzian (1996) menjelaskan bahwa pada masa dewasa muda, seseorang sudah dapat menentukan keyakinannya apakah dia akan menjadi seseorang yang religius atau tidak religius, hal itu didasari oleh kesesuaian kehidupan spiritual yang dijalaninya. Charlotte Buchler (dalam Jalaluddin, 2005) mengatakan bahwa masa perkembangan terbagi atas tiga, yaitu periode prapubertas, periode pubertas dan periode adolesen. Labilnya kehidupan jiwa anak-anak ketika menjelang usia remaja berbeda dengan saat menginjak usia dewasa, karena pada masa ini terdapat adanya kemantapan jiwa dan pada usia dewasa, seseorang sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup. Carl Witherington (dalam Jalaluddin, 2005) mengemukakan bahwa pada masa dewasa, pemilihan yang jelas terhadap kehidupan manjadi satu perhatian penting dan pada masa ini pula, seseorang mulai berpikir tentang tanggung jawab sosial moral, ekonomis dan keagamaan. Jalaluddin (2005) menjabarkan bahwa kemantapan jiwa pada usia dewasa dapat memberikan gambaran tentang bagaimana sikap keberagamaan pada orang

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

22

dewasa. Pada masa ini, mereka sudah memiliki tanggung jawab terhadap sistem nilai yang dipilihnya, baik yang bersumber dari ajaran agama maupun yang berasal dari norma-norma lainnya. Maka jika orang dewasa memilih nilai yang bersumber dari nilai-nilai non-agama, hal itu akan dipertahankannya sebagai pandangan hidup. Bahkan dapat menjadi peluang munculnya kecendrungan sikap anti agama, dan juga dapat membuat kelemahan-kelemahan tertentu dalam ajaran agama yang dianutnya. Sikap ini dapat pula berkembang menjadi sikap menolak ajaran suatu agama dan memusuhi agama yang menurutnya mengikat dan bersifat dogmatis. Demikian pula sebaliknya, jika nilai-nilai agama yang dipilih dijadikan pandangan hidup, maka sikap keberagamaan akan terlihat dalam kehidupan mereka. Sikap tersebut dapat dijadikan identitas dan kepribadian mereka. Bahkan sikap keberagamaan ini dapat menimbulkan ketaatan yang berlebihan yang menjurus kepada fanatisme. Sikap keberagamaan pada orang dewasa memiliki perspektif yang luas terhadap nilai-nilai yang dianutnya. Sikap keberagamaan ini dilandasi oleh dalamnya pengertian dan pemahaman mengenai ajaran agama yang dianutnya (Jalaluddin, 2005). Karena itu sesuai dengan perkembangan tingkat usia pada orang dewasa, maka Jalaluddin (2005) menjelaskan sikap keberagamaan pada orang dewasa memiliki ciriciri sebagai berikut: 1. Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan. 2. Cenderung bersifat realistis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku. 3. Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan. 4. Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup. 5. Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas. 6. Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

23

7. Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya. 8. Adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.

Terdapat pula faktor-faktor yang dapat mempengaruhi minat seseorang dalam hal keagamaan. Hurlock (1993) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi minat keagamaan pada dewasa muda antara lain sebagai berikut: 1.Jenis kelamin Wanita cenderung lebih berminat terhadap agama dibandingkan dengan pria dan juga lebih terlibat aktif dalam ibadah serta kegiatan kelompok agama. 2. Kelas sosial Golongan sosial kelas menengah lebih tertarik pada agama dibandingkan dengan golongan kelas yang lebih tinggi atau yang lebih rendah. 3. Lokasi tempat tinggal Orang dewasa yang tinggal di pedesaan lebih memiliki minat terhadap agama dibandingkan dengan yang tinggal di kota besar. 4. Latar belakang keluarga Seorang yang berasal dari keluarga taat beragama akan cenderung untuk tertarik kepada agama dibandingkan dengan seorang yang dibesarkan dalam keluarga yang kurang peduli pada agama. 5. Minat religius teman-teman Pada masa dewasa muda, teman dapat mempengaruhi apakah seseorang akan memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan agama atau tidak, karena apabila seseorang bergaul dengan orang-orang yang aktif dalam kegiatan agama maka ia akan memiliki kecendrungan untuk mengikutinya dan demikian pula sebaliknya. 6. Pasangan beda agama

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

24

Memiliki pasangan yang berbeda agama akan berpengaruh terhadap kurang pedulinya pasangan dengan kegiatan keagamaan yang dianut seseorang. 7. Kecemasan akan kematian Orang pada masa dewasa muda akan cenderung lebih cemas pada kematian atau dapat pula, seseorang yang sangat memikirkan kematian akan lebih memperhatikan agama. 8. Pola kepribadian Kepribadian yang otoriter akan semakin membuat meningkatnya perhatian terhadap agamanya dan kaku memandang agama lainnya, sedangkan seseorang yang memiliki kepribadian yang lebih seimbang akan lebih fleksibel terhadap agama lainnya dan biasanya lebih aktif dalam kegiatan keagamaan.

2. 2. Disonansi Kognitif 2. 2. 1. Pengertian Disonansi Kognitif Festinger (dalam Wortman, 1999) mengemukakan bahwa disonansi kognitif adalah suatu keadaan yang tidak menyenangkan dimana terdapat ketegangan yang dihasilkan dari kesadaran akan adanya dua pemikiran yang tidak cocok atau sesuai. Ditambahkan pula menurut Festinger (Sarwono, 2002) mengatakan bahwa disonansi kognitif juga dilakukan untuk menghilangkan konflik antar elemen kognisi hingga tercapai kembali keadaan konsonansi kognitif. Festinger (dalam Maaruf, 1998) mengemukakan bahwa kognisi merupakan segala sesuatu yang diketahui, dipercayai dan dirasakan oleh seseorang mengenai dirinya sendiri ataupun lingkungannya. Maka itu Festinger mengasumsikan bahwa seseorang akan berusaha mencapai keadaan internal yang seimbang dan konsisten dalam hubungan atara elemen-elemen kognisi yang terdapat pada dirinya. Festinger (dalam Aronson, 1997) mengatakan bahwa teori disonansi adalah semacam teori mengenai kesesuaian. Teori ini berguna untuk sesuatu agar dapat lebih masuk akal seperti bagaimana seseorang mencoba untuk membuat apa yang menjadi kepercayaannya masuk akal, lingkungannya, dan tingkah lakunya. Hal ini dapat

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

25

membuat kepastian, bijaksana dan bermakna dalam kehidupan mereka (setidaknya dalam pikiran mereka). Penelitian mengenai teori disonansi ini merupakan suatu pengambilan keputusan seperti pada orang dewasa yang bersosialisasi dengan anakanak, ketertarikan akan kelaparan dan kehausan, pemilihan warna untuk penggalian informasi secara selektif, menarik masuk seorang yang fanatik terhadap agamanya untuk memenangkan perjudian pada balapan, mulai dari membujuk seseorang agar menghemat air hingga membujuk seseorang umtuk berlatih bagaimana melakukan seks yang aman.

2. 2. 2. Penyebab Disonansi Kognitif Terdapat beberapa hal yang menyebabkan disonansi kognitif. Shaw & Constanzo (dalam Maaruf, 1998) membagi hal-hal yang dapat menyebabkan disonansi kognitif yaitu: 1. Logical Inconsistensy (inkonsistensi logis) Pengingkaran sustu kognisi yang dapat disimpulkan dari kognisi lain atas dasar logika. Contohnya: Seseorang mengetahui bahwa hubungan seks pra-nikah merupakan sesuatu yang dilarang agama, namun orang tersebut tetap melakukannya. 2. Cultural Mores (nilai-nilai budaya) Adat istiadat yang berlaku dalam suatu lingkungan kebudayaan tertentu berbeda dengan lingkungan kebudayaan lain. Sehingga yang dianggap wajar oleh satu kebudayaan, belum tentu dianggap wajar pula oleh kebudayaan lain. Maka akan terlihat seperti disonansi pada kebudayaan lain. Contohnya: Di kalangan masyarakat Jawa Tengah, tamu tidak boleh menghabiskan makanan dan minuman yang disajikan oleh tuan rumah (harus ditinggalkan sedikit) karena dianggap tidak sopan (rakus). Sebaliknya di barat, tamu yang menyisakan suguhannya dianggap tidak menghargai tuan rumah, jadi kalau bertamu di barat, semua yang disajikan oleh tuan rumah harus dihabiskan agar tuan rumah merasa puas karena tamunya menyukai sajiannya (Sarwono, 2002)

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

26

3. Opinion Generality (pendapat umum) Perbedaan pendapat pribadi dengan pendapat umum yang akan menimbulkan disonansi. Contohnya: Seseorang yang melakukan seks pra-nikah berpendapat seks pranikah adalah gerakan untuk menyalurkan hasrat seksual seseorang, maka bagi masyarakat yang melihatnya, orang tersebut mengalami disonansi. 4. Past Experience (pengalaman masa lalu) Kognisi tidak konsisten dengan hal-hal yang sudah diketahui selama ini juga akan menimbulkan perasaan disonansi. Contoh: Bila tidak belajar saat akan ujian nilai akan bagus. Hal ini akan menimbulkan disonansi karena berdasarkan pengalamannya apabila tidak belajar saat akan ujian akan mendapat nilai jelek.

2. 2. 3. Usaha-Usaha Untuk Mengurangi Disonansi Kognitif Festinger (dalam Aronson, 1997) memulai penelitian berdasarkan

permasalahan yang sangat sederhana. Apabila seseorang dipengaruhi oleh dua kognisi dimana terjadi inkonsistensi secara psikologis, maka dapat disebut ia mengalami disonansi. Karena pengalaman seseorang yang mengalami disonansi tidaklah menyenangkan, maka seseorang akan mencoba mengurangi disonansi tersebut dengan berusaha mencari cara untuk merubah satu ataupun kedua kognisi agar kognisi mereka tersebut sesuai antara satu dan yang lainnya. Festinger (dalam Draycott, 1998) mengatakan bahwa seseorang yang berada pada kognisi yang inkonsisten atau yang dapat disebut juga disonansi memiliki dorongan berupa motivasi untuk merubah kognisi mereka dengan mengurangi pengalaman disonansi mereka. Contoh menurut Festinger seperti orang-orang yang selamat saat gempa bumi, mereka mengharapkan bahwa gempa bumi tidak terjadi meskipun bukti-bukti mengatakan sebaliknya. Para orang yang selamat tersebut masih merasa ketakutan yang mana itu merupakan suatu hal yang inkonsisten karena mereka tidak memilki alasan untuk merasa takut. Mereka (orang yang selamat) memprediksi akan adanya gempa susulan (alasan yang mereka berikan saat merasa

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

27

takut) untuk menjadikan kognisi mereka konsisten antara kepercayaan dan perasaan mereka. Baron (2000) menambahkan bahwa berdasarkan teori disonansi yang diawali dari ketidaksenangan seseorang yang berada pada keadaan dimana inkonsisten dan ketidaknyamanan terjadi. Ketika seseorang memberikan perhatian terhadap inkonsisten antara sikap dan tingkah laku, orang tersebut akan termotivasi untuk melakukan sesuatu terhadap situasi tersebut. Greenberg Simon dan Brehm (dalam Draycott. 1998) yang dikutip dari Festinger (1957) mengatakan bahwa besarnya disonansi dapat menentukan keadaan kognisi secara keseluruhan. Inilah fungsi dari elemen-elemen disonansi, jumlah elemen konsonan, dan pentingnya suatu elemen. Disonansi dapat dikurangi dengan tiga cara yaitu: 1. Mengubah tingkah laku Merubah disonan yang berarti disini adalah merubah sikap dan tingkah laku agar lebih konsisten satu sama lain. Perubahan sikap atau tingkah laku agar sesuai dengan salah satu kepercayaan, argumen atau pendapat yang diyakininya, baik itu yang sesuai maupun yang bertentangan dengan yang ia pilih sebelumnya. Misalnya: seseorang yang sedang berdiet diberikan godaan untuk memesan makanan yang sangat banyak dan dilengkapi makanan penutup yang beragam. Orang tersebut akan mengurangi disonansi yang terjadi pada dirinya berdasarkan pengalamannya sebagai hasil dari tidak konsistennya dirinya yang sikapnya mengenai diet (dalam Baron, 2000) 2. Meningkatkan proporsi elemen konsonan Menambahkan atau mengurangi kognisi konsonan yang tidak konsisten. Dengan menambahkan informasi baru yang dapat mendukung sikap dan tingkah laku sehingga seseorang menjadi bertambah yakin terhadap apa yang dipercayainya. Misalnya: seseorang yang merokok, dapat mencari bukti-bukti yang dapat membahayakan kebiasaan merokoknya tersebut, hal tersebut dilakukan agar ia dapat mengurangi kebiasaan merokoknya atau bahkan sebaliknya. Hal itu khususnya bagi seseorang yang perokok berat (Baron, 2000)

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

28

3. Menggunakan elemen Pada metode ini informasi yang bertentangan dengan apa yang ia percayai tidak ia anggap sebagai suatu yang benar ataupun tidak signifikan terhadap kepercayaannya. Hal ini dapat dikaitkan dengan proses trivialization. Trivialization adalah teknik untuk mengurangi disonansi dengan

meminimalisasi secara mental pentingnya perilaku ataupun sikap yang tidak konsisten satu sama lain (Baron, 2000).

Ditambahkan pula menurut Festinger (dalam Maaruf, 1998) konsekuensikonsekuensi terhadap disonansi terdiri dari dua macam yaitu: 1. Pengurangan Disonansi Dalam pengurangan disonansi, dapat terjadi tiga kemungkinan yaitu mengubah elemen tingkah laku, mengubah elemen kognitif lingkungan dan menambah elemen kognitif baru. Hal ini akan dijelaskan sebagai berikut: a. Mengubah elemen tingkah laku Misalnya: Seseorang yang merencanakan pergi di hari minggu, namun ternyata keesokan harinya orang tersebut ujian, maka ia membatalkan rencananya untuk pergi dan memutuskan untuk tetap belajar di rumah. b. Mengubah elemen lingkungan Misalnya: Seorang anak perempuan yang dilarang oleh orangtuanya untuk pergi di malam hari, dapat meyakinkan orangtuanya bahwa ia akan menjaga dirinya baik-baik agar tidak terjadi hal-hal yang di khawatirkan oleh orangtuanya. c. Menambah elemen kognitif baru Misalnya: Seseorang saat memutuskan untuk membeli suatu barang, meminta temannya untuk mendukung keputusannya itu bagus dan tepat. 2. Penghindaran Disonansi Munculnya suatu disonansi pada seseorang selalu menimbulkan keinginan pada orang tersebut untuk menghindari disonansi tersebut. Dalam hal ini

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

29

adalah dengan menambah informasi-informasi baru yang diharapkan dapat menambah dukungan terhadap pendapat orang tersebut atau dapat pula dengan menambah elemen kognitif dalam diri orang tersebut. Apabila elemen baru ditambahkan pada seseorang haruslah dengan cara yang selektif yaitu dengan hanya mencarinya pada orang yang diperkirakan dapat memberikan dukungan dan untuk menghindari orang yang memiliki pandangan yang berbeda. Hal ini dilakukan agar disonansi dapat dihindari.

Kesimpulan yang didapatkan berdasarkan penjelasan diatas mengenai disonansi kognitif adalah penyebab terjadinya disonansi kognitif yaitu inkonsistensi logis (contohnya seorang yang mengetahui seks pra-nikah adalah sesuatu yang dilarang agama, namun orang tersebut tetap melakukannya), nilai budaya (contohnya sesuatu yang dianggap wajar pada budaya tertentu, namun dapat dianggap tidak wajar pada kebudayaan lain), pendapat umum (contohnya seorang yang memiliki pendapat yang tidak sesuai dengan pendapat orang kebanyakan), dan pengalaman masa lalu (contohnya seseorang yang sudah memilki pengalaman sebelumnya terhadap suatu hal akan memberikan dampak untuk perilaku yang sama di masa yang akan datang). Selain itu usaha untuk mengurang disonansi kognitif yaitu merubah sikap dan tingkah laku, menambahkan informasi baru dan menolak segala informasi yang bertentangan dengan apa yang dipercayai sebelumnya.

2. 3. Komitmen Beragama 2. 3. 1. Pengertian Agama Agama menyangkut masalah yang berhubungan dengan kehidupan batin manusia. Agama sebagai bentuk keyakinan memang sulit diukur secara tepat dan rinci. Karena itu banyak ahli yang memberikan beberapa definisi agama yang berbeda antara satu dan yang lain. Harun Nasution (dalam Jalaluddin, 2005) menjelaskan pengertian agama yang berasal dari kata Al-Din, religi (relegere, religare) dan agama. Al-Din (Semit) berarti undang-undang atau hukum, sedangkan dalam bahasa Arab kata ini berarti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan.

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

30

Kata religi (latin) atau relegere memiliki arti mengumpulkan dan membaca. Lalu religare berarti mengikat. Karena itu disimpulkannya agama mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia, ikatan tersebut berasal dari sesuatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia sebagai satu kekuatan gaib yang tak dapat ditangkap dengan panca indera, namun mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Harun Nasution pun menjelaskan 8 definisi agama lainnya yaitu, agama adalah: 1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi. 2. Pengakuan terhadap kekuatan gaib yang menguasai manusia. 3. Mengikat diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia. 4. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu. 5. Suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari sesuatu kekuatan gaib. 6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib. 7. Pemujaan terhadap suatu kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia. 8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.

Definisi lain dikemukakan oleh Robert H.Thouless (dalam Jalaluddin, 2005) bahwa agama adalah sikap (cara penyesuaian diri) terhadap dunia yang mencakup acuan yang menunjukkan lingkungan lebih luas daripada lingkungan dunia fisik yang terikat ruang dan waktu. Paloutzian (1996) mengatakan bahwa agama berasal dari kata latin legare yang memiliki arti terikat atau tersambungkan. Dalam bahasa Inggris

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

31

agama berasal dari kata religion. Religion merupakan suatu proses dari terikat dan tersambungkan. Namun belum dapat dijelaskan terikat dan tersambungkan terhadap hal apa. Hal ini dapat berupa ikatan dengan Tuhan, alam, kesadaran, daya kosmik dan komunitas manusia. Wulff (dalam Paloutzian, 1996) menjelaskan bahwa agama berasal dari bentuk kata religio yang dapat diartikan kekuatan yang besar atau perasaan seseorang atau tingkah laku yang ditampilkan seseorang yang merupakan respon dari kekuatan tersebut. Selain itu menurut etimologi, agama membutuhkan perjuangan manusia untuk mencapai suatu kelengkapan yang mana untuk mencapainya dibutuhkan suatu komitmen. Kenneth Pargament (dalam Paloutzian, 1996) mengemukakan pula mengenai agama yang diartikannya sebagai dimensi yang dapat ditemui pada seseorang dan kehidupan sosialnya sebagai perasaan, pemikiran, tindakan dan hubungan terhadap sesuatu yang dianggap suci. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993), agama adalah sistem. Prinsip kepercayaan kepada tuhan (dewa dsb) dengan ajaran kebaktian dan kewajibankewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. William James (dalam Paloutzian, 1996) menjelaskan bahwa apabila berbicara mengenai agama maka akan dikaitkan dengan kata hati, kesunyian, ketidakberdayaan dan ketidaklengkapan. Elizabeth K. Nottingham (dalam Jalaluddin, 2005) menjabarkan agama sebagai usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaan diri sendiri dan keberadaan alam semesta. Selain itu agama dapat pula meningkatkan kebahagiaan batin yang paling sempurna serata perasaan takut dan ngeri. Meskipun agama menuju ke suatu dunia yang tak dapat dilihat (akhirat), namun agama terlibat dalam masalahmasalah dalam kehidupan sehari-hari. Emile Durkheim (dalam Paloutzian, 1996) memandang agama sebagai lembaga sosial yang positif yang dapat menolong manusia dan dapat menstabilkan masyarakat. Fungsi agama dalam kehidupan dijelaskan oleh Milton Yinger (dalam Paloutzian, 1996) bahwa agama dalam kehidupan dapat memperhatikan seseorang saat menanggulangi masalah seperti kematian yang tidak dapat dielakkan, makna hidup, kepastian vs moral, dan pencarian untuk mengatasi akan adanya kesendirian.

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

32

Dengan cara yang hampir sama, Paul Tillich (dalam Paloutzian, 1996) mengatakan bahwa dalam agama mencakup hubungan seseorang terhadap sesuatu yang dianggap penting. Hasan (2006) mengatakan bahwa agama adalah kebenaran mutlak dari kehidupan yang memilki manifestasi fisik atas segala dunia. Agama merupakan serangkaian praktik perlaku tertentu yang dihubungkan dengan kepercayaan yang dinyatakan oleh institusi tertentu dan dianut oleh anggota-anggotanya. Agama juga merupakan kesaksian iman, komunitas dan kode etik. Berdasarkan beberapa pengertian agama diatas, maka kita akan menemukan banyak pengertian tentang agama. Berbagai pengertian agama biasanya hanya akan memberikan kepuasan bagi pembuat pengertian tersebut (Yinger dalam Paloutzian, 1996). Spilka, Hood dan Gorsuch (dalam Paloutzian, 1996) mengatakan bahwa untuk suatu tujuan penelitian psikologi, jangan hanya terpaku pada satu definisi agama karena kita tidak akan mendapat banyak manfaat bila hanya melihat dari satu definisi saja. Agama merupakan variabel yang multidimensi karena didalamnya mencakup kepercayaan, perasaan, tindakan, pengetahuan, dan bagaimana seseorang berespon sesuai dengan kepercayaannya. Berdasarkan pengertian-pengertian agama yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa agama adalah suatu kepercayaan yang mengikat kehidupan batin seseorang yang dapat menyambungkan seseorang dengan Tuhan dan ditampilkan dalam bentuk tingkah laku sehari-hari yang merupakan respon dari kepercayaannya tersebut.

2. 3. 2. Pengertian Komitmen Beragama Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993), komitmen memiliki arti perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu. Djumhana (1993) mengatakan komitmen dapat diartikan keyakinan yang mengikat demikian kukuhnya

membelenggu hati nurani dan kemudian menggerakkan perilaku menuju arah tertentu yang diyakini. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, beragama memiliki arti menganut (memeluk) agama dan juga beribadat; taat kepada agama; baik hidupnya (menurut agama). Maka bila dapat disimpulkan bahwa komitmen

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

33

beragama adalah keyakinan yang kukuh dalam menganut agamanya dan dapat menggerakkan perilaku sesuai dengan ajaran agamanya. Berdasarkan penjelasan sebelumnya dalam pengertian agama, agama merupakan suatu variabel multimensi karena didalamnya tercakup beberapa hal antara lain kepercayaan, perasaan, tindakan, pengetahuan, dan bagaimana seseorang berespon sesuai dengan kepercayaannya. Oleh karena itu Glock (dalam Paloutzian, 1996) menyimpulkan komitmen beragama sebagai perbedaan apa yang dipercayai seseorang sebagai kebenaran beragama, apa yang dilakukan seseorang sebagai bagian dari kepercayaan, bagaimana emosi atau pengalaman yang disadari seseorang tercakup dalam agamanya, apa yang diketahui seseorang mengenai agamanya, dan bagaimana seseorang hidup dan terpengaruh berdasarkan agama yang dianutnya. Hal inilah yang menjadikan dimensi-dimensi tersebut menjadi sesuatu yang disebut dengan dimensi komitmen beragama.

2. 3. 3. Dimensi Komitmen Beragama Sebagai variabel yang mulitimensi, komitmen beragama dapat menjelaskan mengenai tingkah laku yang ditampilkan seseorang setelah mendapatkan pengetahuan mengenai agamanya. Seperti apabila seseorang mempercayai pengetahuannya akan agama yang dianutnya dalam persoalan yang berkaitan dengan moral (masalah seksual atau tingkah laku ekonomi). Namun, meskipun demikian orang tersebut bertingkah laku tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Dalam komitmen beragama, seseorang yang sangat kuat kepercayaannya terhadap agama, padahal orang tersebut hanya memiliki sedikit pengetahuan mengenai agamanya. Maka agama tersebut dapat menjadi seperti kepercayaan buta (blind faith). Maka contoh diatas dapat mengilustrasikan bagaimana agama yang terbentuk dari beberapa segi, yang disebut dimensi komitmen beragama (Glock & Stark, dalam Paloutzian, 1996). Glock membagi komitmen beragama menjadi lima dimensi yaitu keyakinan (dimensi ideologi), praktikal (dimensi ritual), perasaan (dimensi eksperiensial), pengetahuan (dimensi intelektual) dan pengaruh (dimensi konsekuensial). Kombinasi-kombinasi dari beberapa dimensi ini dapat mempermudah

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

34

untuk melihat hubungan antara variabel kognitif (religious belief), variabel emosi (religious feelings) dan variabel tingkah laku (religious practical and effects). Beberapa dimensi komitmen beragama ini tidak sepenuhnya berdiri sendiri satu sama lain, melainkan berhubungan antar satu dan yang lain. Seseorang yang memiliki keyakinan yang kuat dapat juga memiliki perasaan keagamaan dan menunjukkan perilaku yang beragama. Berdasarkan hal ini, maka dapat disimpulkan bahwa dimensi-dimensi komitmen beragama saling berhubungan. Berikut ini akan dijelaskan dimensi-dimensi komitmen beragama menurut Glock & Stark (dalam Paloutzian, 1996), yaitu: a. Dimensi Ideologis (religious belief) Dimensi ideologis atau dimensi keyakinan adalah mempercayai apa yang diyakini sebagai bagian dari agama. Dalam dimensi ini dijabarkan mengenai kekuatan seseorang terhadap apa yang diyakininya sebagai dasar dari pengetahuannya dan pentingnya sebuah keyakinan dalam kehidupan orang tersebut. Dimensi ini yang berisi mengenai keberadaan sebuah keyakinan dapat juga disebut sebagai doktrin. Pada dimensi ini pula terdapat hal dasar yang dapat membedakan suatu agama dengan agama yang lain. Dimensi keyakinan ini dibagi atas tiga kategori, yaitu keyakinan yang menyangkut mengenai eksistensi agama, keyakinan yang merujuk pada tujuan seseorang dalam beragama, keyakinan yang dapat menunjukkan bagaimana seseorang mencapai tujuannya. Kategori pertama yaitu keyakinan yang menyangkut mengenai eksistensi agama dapat disumsikan sebagai dasar seseorang dalam menganut dan mempercayai sebuah agama. Keyakinan ini merupakan dasar dari agama. Kategori kedua yaitu keyakinan yang merujuk pada tujuan seseorang dalam beragama yang dapat diartikan sebagai keyakinan yang merupakan tujuan manusia dalam beragama. Hal ini dapat dilihat dari orientasi agama dalam aktivitas keagamaan yang dilakukan manusia yang merupakan tujuan menciptakan manusia. Kategori ketiga adalah keyakinan yang dapat

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

35

menunjukkan bagaimana seseorang mencapai tujuannya. Kategori ini menjelaskan bagaimana seseorang melakukan sesuatu sesuai dengan tujuan beragama. Melalui dimensi ideologis ini, dapat dijelaskan bahwa keyakinan seseorang dalam menganut agamanya memperlihatkan besarnya komitmen beragama seseorang. b. Dimensi Ritual (religious practice) Dimensi ritual menitikberatkan pada perilaku individu yang meyakini ajaran agamanya. Perilaku yang ditekankan pada dimensi ini bukanlah perilaku sehari-hari melainkan macam-macam ritual agama. Dalam Islam dapat berupa, shalat lima waktu, puasa, zakat, dan naik haji. Scobie (dalam Paloutzian, 1996) mengatakan bahwa kadar ketaatan seseorang dapat diukur dengan frekuensinya melakukan ritual keagamaan. Komitmen tinggi seseorang dapat terlihat bila orang tersebut memiliki frekuensi yang tinggi dalam melaksanakan ibadah yang merupakan ritual agamanya. Demikian pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki frekuensi yang jarang dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya, maka ia dapat digolongkan sebagai seseorang yang berkomitmen rendah. c. Dimensi Eksperiensial (religious feelings) Dimensi ekperiensial atau dimensi perasaan (feelings) menekankan pada kondisi mental dan emosional individu yang dialami secara subjektif. Ekspriensial yang dimaksudkan disini dapat pula disebut sebagai pengalaman keagamaan. Dimensi perasaan ini tercakup didalamnya yaitu seperti keinginan untuk meyakini beberapa agama, ketakutan apabila menjadi seseorang yang tidak beragama, dapat merasakan fisik, psikologis dan spriritual well-being yang didapatkan dari agama yang dianutnya dan pengalaman emosional. Keadaan perasaan seseorang dapat menjalankan fungsi dari kehidupan beragama. Salah satu fungsinya adalah motivasional. Ketiadaan akan perasaan dapat menjadi pendorong agar seseorang dapat lebih dekat terhadap agama. Seperti misalnya seseorang yang kurang memiliki makna dalam hidupnya,

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

36

akan menjadi lebih dekat pada agama, hal ini terjadi karena orang tersebut memiliki harapan bahwa dengan dekat terhadap agama, maka ia akan memilki makna dalam hidupnya. Perubahan yang dramatis pada perasaan seseorang dapat menjadikan inti dalam perubahan besar dalam kehidupan beragama seseorang. Hal ini dapat dilihat pada seseorang yang berpindah agama. Perasaan terkadang digunakan pula untuk mengukur kebenaran akan suatu kepercayaan. Seperti misalnya seseorang yang dekat dengan Tuhan dapat disimpulkan bahwa kepercayaannya benar. Perasaan juga dapat digunakan sebagai indikasi ada atau tidaknya perasaan berketuhanan seseorang. Contohnya seseorang yang penuh dengan ketakutan dan kecemasan, maka dapat disimpulkan bahwa orang tersebut jauh dari Tuhan atau mereka telah berbuat dosa yang membuat Tuhan meninggalkan mereka. d. Dimensi Intelektual (religious knowledge) Dimensi intelektual ini menjelaskan mengenai sejauh mana

pengetahuan individu mengenai ajaran agamanya yang meliputi perintah agama dan larangan dalam agama. Dalam dimensi ini juga termasuk didalamnya sikap seseorang, apakah terbuka atau tertutup terhadap pandangan yang bertentangan dengan ajaran agamanya. Seseorang yang fanatik terhadap suatu agama mungkin tidak akan terbuka terhadap kritik mengenai kepercayaannya. Pengetahuan terhadap agama memilki tingkat yang berbeda-beda berdasarkan kepentingannya. Hal ini dapat dilihat apabila seseorang berkomitmen terhadap suatu keyakinan, maka tinggi pada dimensi keyakinan, sedangkan seseorang yang memilki sedikit pengetahuan, maka rendah pada dimensi intelektual e. Dimensi Konsekuensial (religious effects) Dimensi konsekuensional atau dimensi pengaruh merupakan tingkah laku individu sehari-hari yang menekankan apakah perilaku individu tersebut dalam kehidupan sehari-hari mencerminkan ajaran agamanya. Seseorang yang

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

37

bertingkah laku bermoral didukung oleh keyakinannya pada suatu agama, meskipun tingkah laku yang ditampilkannya bukan merupakan aspek dari perilaku keagamaan. Efek dari agama dapat positif dan dapat pula negatif, semua itu tergantung pada pribadi masing-masing orang dan tingkat sosial mereka. Albert Ellis (dalam Paloutzian, 1996) mengatakan bahwa agama merupakan gabungan dari dosa dan kesalahan yang dapat membuat seseorang lebih terpuruk dalam hidup tanpa hal tersebut. Berdasarkan penjelasan diatas dapat dilihat bahwa dengan

mengelompokkan agama menjadi lima dimensi, dapat menghilangkan pandangan mengenai agama adalah sesuatu yang dimiliki dan tidak dimilki oleh seseorang. Hal itu disebabkan karena agama sebagai variabel yang multidimensional. Oleh sebab itu dapat diasumsikan bahwa kelima dimensi ini berhubungan antara satu dan lainnya (dalam Paloutzian, 1996). Hal ini seperti yang terdapat dalam dimensi ideologis yang memandang kekuatan seseorang terhadap apa yang diyakininya. Dalam dimensi ini termasuk didalamnya eksistensi seseorang sebagai dasar mempercayai sebuah agama, tujuan seseorang dalam beragama yang dapat dilihat dari aktivitas keagamaan seperti yang dijelaskan pula pada dimensi ritual, dan bagaimana seseorang mencapai tujuan agamanya. Lalu dalam dimensi eksperensial, dimana menekankan mengenai kondisi mental dan emosional seseorang yang berhubungan erat dengan spiritual well-being. Selanjutnya dalam dimensi intelekstual, menekankan oada sejauh mana seseorang mengetahui ajaran agamanya dan hal itu diterapkan dengan tingkah laku sehari-hari. Tingkah laku sehari-hari tersebut merupakan dimensi konsekuensial yang melihat pengaruh tingkah laku seseorang yang mencerminkan ajaran agamanya.

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

38

Tabel 2. 3. 3. Dimensi Komitmen Beragama No 1. Dimensi Komitmen Beragama Dimensi Ideologis Penjelasan Kekuatan seseorang terhadap apa yang diyakininya sebagai dasar dari pengetahuannya dan pentingnya

sebuah keyakinan dalam kehidupan orang tersebut 2. Dimensi Ritual Menitikberatkan individu agamanya 3. Dimensi Eksperiensial Menekankan pada kondisi mental dan emosional individu yang yang pada meyakini perilaku ajaran

dialami secara subjektif 4. Dimensi Intelektual Menjelaskan mengenai sejauh mana pengetahuan individu mengenai

ajaran agamanya yang meliputi perintah agama dan larangan dalam agama 5. Dimensi Konsekuensial Tingkah laku individu sehari-hari yang menekankan apakah perilaku individu tersebut dalam kehidupan sehari-hari mencerminkan ajaran agamanya

Maka dapat disimpulkan bahwa komitmen beragama adalah tingkah laku yang bermoral yang merupakan cerminan dari ajaran agamanya berdasar pada keyakinannya terhadap sesuatu yang diyakininya. Dalam penelitian ini, penulis melihat adanya disonansi kognitif pada seseorang yang melakukan seks pra-nikah, sedangkan mereka tetap meyakini ajaran agamanya serta melakukan ritual keagamaan.

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

39

2. 4. Hubungan Seks Pra-Nikah 2. 4. 1. Pengertian Seks Seks memiliki pengertian yang sempit dan pengertian secara luas. Seks dalam arti sempit berarti jenis kelamin, hal yang membedakan antara laki-laki dan perempuan. Seks dalam pengertian secara luas adalah perasaan erotis, pengalaman atau hasrat seperti fantasi seksual dan pikiran seksual, keinginan seksual, perasaan tertarik secara seksual pada orang lain (dalam Rathus, 1993). Pengertian sex dalam bahasa latin (to cut atau to divide) yang berarti untuk memotong atau untuk membagi. Hal ini dapat menandakan pembagian atas laki-laki dan perempuan. Kata sex (atau sexual) juga digunakan untuk menyebut struktur anatomi, yang disebut dengan organ sex (atau sexual), yang berperan dalam hal reproduksi atau kesenangan seksual. Sex juga dapat diartikan secara biologis sebagai aktivitas seksual yang mencakup organ seks untuk tujuan reproduksi atau kesenangan seperti masturbasi, memeluk, mencium, coitus (sexual intercourse), dan lainnya. Seksualitas manusia adalah saat dimana seseorang mengalami dan mengekspresikan dirinya sebagai makhluk seksual (dalam Rathus & Rathus, 1993). Pengertian mengenai seks banyak dikemukakan oleh para ahli. Pendapat tersebut berbeda antara satu dan yang lain. Abu Saud (dalam Athar, 1995) mengatakan bahwa seks adalah proses menjalani kehidupan bersama sebagai suami istri. Seks tanpa perkawinan adalah tidak sah dan sangat merugikan individu dan masyarakat. Pendapat lain mengenai seks dikemukakan pula merupakan proses hubungan intim antara dua orang yang berlainan jenis kelamin atau yang memiliki jenis kelamin yang sama (homoseksual), bermula dari kondisi berduaan, melakukan pendahuluan (foreplay) dan melakukan hubungan seks (Athar, 1995). Athar (1995) menjelaskan bahwa dalam Islam, seks lebih dari sekedar sarana pemenuhan syahwat. Seks memiliki peranan yang sangat spesifik dalam konteks perkawinan, dimana seks merupakan keutuhan menuju proses membahagiakan pasangan hidup kita dan menciptakan cinta dan hubungan kasih sayang. Kallen (dalam Sakti, 2006) mengatakan bahwa perilaku seksual adalah salah satu perilaku sosial yang diatur melalui norma-norma dan dipelajari melalui proses

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

40

sosialisasi. Masland (2006) menjelaskan bahwa aktivitas seksual adalah tindakan fisik atau mental yang menstimulasi, merangsang dan memuaskan secara jasmaniah. Tindakan itu dilakukan sebagai cara yang penting bagi seseorang untuk mengekspresikan perasaan dan daya tarik kepada orang lain. Selain itu Masland (2006) juga mengemukakan mengenai hubungan intim yang menurutnya bersatunya dua orang secara seksual, yang dilakukan setelah pasangan pria dan wanita menikah. Rathus & Rathus (1993) menjelaskan bahwa perasaan terhadap pasangan dan kualitas dari suatu hubungan dapat menimbulkan gairah seksual dan respon daripada teknik yang digunakan. Pasangan lebih menyukai interaksi seksual yang saling menguntungkan agar dapat dinikmati saat mereka sensitif pada kebutuhan seksual satu sama lain dan menggabungkan teknik-teknik seks yang dianggap menyenangkan. Hal ini dapat dianggap sebagai aspek saat menjalin suatu hubungan karena komunikasi adalah hal yang sangat penting dalam teknik seksual. Beberapa teknik seksual yang biasa digunakan mencakup berciuman, meraba, berhubungan oralgenital, vaginal intercourse, dan anal intercourse. Tindakan seperti berciuman, petting dan berhubungan oral-genital dapat digunakan saat foreplay. Foreplay merupakan interaksi fisik yang secara seksual merangsang dan membentuk suatu tahap untuk intercourse. Berciuman adalah salah satu bentuk dari foreplay dan juga dapat dijadikan simbol dalam mengekspresikan sayang dan perhatian. Berciuman terdiri dari mengisap bibir pasangan dan lidah serta memasukkan air liur dari satu mulut ke mulut lainnya. Meraba adalah mengusap bagian tubuh yang berespon secara seksual dengan tangan atau bagian lain dari tubuh yang dapat meningkatkan rangsangan. Meraba juga merupakan salah satu bentuk dari foreplay. Selain itu terdapat pula rangsangan pada dada. Rangsangan ini digunakan oleh pria untuk merangsang wanita pada bagian yang sensitif. Rangsangan oral-genital dibagi dua yaitu fellatio (untuk pria) dan cunnilingus (untuk wanita). Rangsangan ini adalah bentuk dari menghisap bagian genital pasangan. Bentuk yang terakhir adalah sexual intercourse. Sexual intercourse adalah kegiatan seksual dimana penis dimasukkan kedalam vagina (Rathus & Rathus, 1993).

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

41

Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa seks dapat dibedakan dalam pengertian secara sempit dan luas. Seks dapat pula digolongkan untuk memenuhi kebutuhan biologis dan kebutuhan sosial manusia.

2. 4. 2. Pengertian Seks Pra-Nikah Cinta dapat berdiri secara bebas tanpa adanya daya tarik seksual di dalamnya. Namun, perasaan jatuh cinta dan tindakan seksual sering terjadi secara bersamaan. Saat ini pula banyak orang-orang yang dapat menikmati seks tanpa didasari cinta. Karena itulah, dapat dilihat bahwa masing-masing orang memilki nilai tersendiri yang dapat mempengaruhi mereka untuk mengambil keputusan untuk dirinya sendiri khususnya dalam hal kehidupan seksual (Crooks, 1983). Crooks (1983) mengatakan bahwa ekspresi seksual memiliki banyak pengertian yang berbeda seperti misalnya hubungan seks dapat dinilai sebagai kedalaman keintiman seseorang dalam menjalin suatu hubungan. Seseorang juga dapat memilih hubungan seks sebagai bagian dari hubungan atau dapat pula sebagai cara untuk mengenal seseorang lebih dekat. Hubungan seks dapat mengurangi perasaan gelisah pada seseorang dan dapat pula membuktikan kejantanan baik bagi wanita maupun pria untuk meyakinkan pasangannya, bahwa mereka peduli terhadap pasangannya. Bell (1966) mengungkapkan bahwa seks pra-nikah adalah suatu pengalaman seksual yang merupakan tanda kemaskulinan yang dapat diterima oleh wanita dan juga pria. Karena apabila seorang wanita menerima perilaku tersebut dalam kehidupannya, maka ia juga akan memiliki keyakinan terhadap kepuasan seksual yang akan didapatkan saat menikah. Pengalaman seksualnya sebelum menikah ini, dianggapnya sebagai kontribusi positif ke arah pencapaian kepuasan seksual saat menikah. Freud (dalam Rathus & Rathus, 1993) mengatakan bahwa setiap manusia yang dilahirkan secara biologis memilki dorongan seks. Dorongan ini dihubungkan hingga diterima oleh masyarakat dalam kehidupan sosial tanpa terjadi konflik. merupakan

Menurutnya, konflik yang terjadi antara seksualitas dan masyarakat

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

42

bentuk inti dari dua bagian yang berkebalikan dalam kepribadian seseorang. Freud pun menjelaskan istilah yang disebut dengan erogenous zone yaitu beberapa bagian pada tubuh, tidak hanya genital, yang dapat berespon terhadap rangsangan seksual. Dalam perkembangan psikoseksual, Freud membagi tahapan atas oral, anal, phallic, latency dan genital. Pada usia dewasa muda, berdasarkan tahapan perkembangan psikoseksual Freud, masuk kedalam tahapan genital. Dalam tahap ini, seseorang tertarik pada saat mencapai kepuasan seksual hingga intercourse dengan orang dewasa yang berlainan jenis. Hubungan antara cinta dan seks dirasa lebih membingungkan bagi wanita. Karena pada wanita biasanya meyakini keinginan seksual yang tinggi sebagai bagian dari cinta. Oleh karena itu, jika seorang wanita memiliki keinginan seksual, maka dapat dikatakan bahwa perasaan yang dimilikinya itu sebagai cinta. Sedangkan pada pria, apabila melakukan hubungan seks pra-nikah memiliki resiko yang lebih sedikit. Hubungan cinta seorang pria sedang dalam tahap renggang, maka seorang pria akan memutuskan untuk melakukan hubungan seksual terhadap pasangannya dengan harapan hal itu dapat dijadikan hubungan yang didalamnya terdapat jalinan emosional yang sangat dekat. Pada wanita, resiko yang dialami lebih besar dibandingkan dengan pria. Kontrol sosial terhadap hubungan seks pra-nikah pada wanita menetapkan perlakuan yang kurang menyenangkan apabila wanita melanggarnya. Ketakutan pun dirasakan lebih banyak pada wanita yang melakukan hubungan seks pra-nikah seperti misalnya ketakutan akan kehamilan yang tidak diinginkan. Kesimpulan yang dapat penulis ambil berdasarkan penjelasan diatas adalah yang membedakan hubungan seks secara normatif adalah institusi pernikahan yang mencakup didalamnya agama dan hukum. Karena itulah terdapat istilah yang disebut pre-marital sex dan extra-marital sex.

2. 4. 3. Faktor Penyebab Seks Pra-Nikah Coles & Stokes, Miller & Bingham (dalam Rathus & Rathus, 1993) mengatakan bahwa seseorang yang memilih untuk tidak melakukan hubungan seks pra-nikah itu dikarenakan faktor religius dan alasan moral. Alasan lainnya yaitu

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

43

mencakup takut diketahui oleh orang lain, kehamilan dan penyakit. Brooks-Gun & Furstenberg (dalam Rathus, 1993) menjelaskan bahwa seorang remaja yang berpendidikan tinggi dan berprestasi di sekolah biasanya tidak menyukai kegiatan seks pra-nikah dibandingkan yang berpendidikan rendah. Dijelaskan pula remaja yang memilai berpacaran lebih dini akan cenderung untuk meningkatkan hubungannya ke tahapan petting ataupun intercourse. Sebuah penelitian di Amerika Serikat yang dilakukan pada tahun 1991 menunjukkan terjadinya penurunan angka kehamilan pada remaja yang cukup signifikan. Hal ini dilakukan untuk menghindari tingginya kehamilan dini dan tingginya penularan penyakit menular seksual. Banyak perdebatan dilakukan untuk menanggulangi resiko tingkah laku seksual aktif ini. Salah satu pihak menekankan pada pendidikan seks, namun pendidikan seks ini justru dapat membuat anak muda mengerti mengenai kontraspsi dan kondom. Hal itu dapat membuatnya aktif secara seksual. Sedangkan pihak lainnya memilih untuk mendukung program abstinence sampai saat menikah. Program ini dipercaya dapat memberikan dampak positif terhadap kesehatan. Program ini juga merupakan salah satu cara untuk mengurangi resiko kehamilan tidak diinginkan dan menularnya penyakit seksual (http://www. usatoday.com/news/washington/2006-10-30-abstinence-message-x.htm). Coles & Stokes (dalam Rathus & Rathus, 1993) mengemukakan mengenai hubungan antara kedekatan dalam keluarga dengan hubungan seks pra-nikah. Seorang yang memiliki orangtua yang berpisah atau bercerai cenderung melakukan hubungan seks pra-nikah dibandingkan dengan yang memilki keluarga yang utuh. Prof. Dr. I.B. Tjitarsa (dalam Anggraeni, 1996) menjelaskan bahwa perilaku seks pra-nikah dapat didorong oleh beberapa hal, yaitu: 1. Penundaan usia penikahan dan semakin dininya usia mendapat haid pertama. Pemerintah menganjurkan agar pernikahan dilakukan setelah seseorang berusia 20 tahun. Semakin dininya seseorang mendapatkan haid pertama kali dapat menyebabkan masa-masa rawan saat mendapatkan haid hingga anjuran pernikahan oleh pemerintah menyebabkan banyak orang yang merasa tidak

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

44

mampu membendung keinginan seksualnya, walaupun norma agama tetap diberlakukan. 2. Kontak dan interaksi atau pergaulan manusia semakin intensif. Hal ini dapat dilihat dengan semakin maraknya kontak fisik, gambar, tulisan maupun suara. Kontak ini dapat menyebabkan cepatnya kematangan seks seseorang dan hal itu dapat menyebabkan seseorang memilki keinginan untuk melakukan hubungan seks pra-nikah. 3. Penyebaran informasi mengenai seks melalui media massa, baik cetak ataupun elektronik. Media massa saat ini berkembang dengan sangat canggih dan pesat hingga tidak dapat dibendung lagi. Media tersebut juga lebih berani menampilkan gambar-gambar maupun tulisan yang mengandung erotisme. 4. Semakin besarnya kesempatan untuk melakukan hubungan seks pra-nikah. Tersedianya tempat-tempat seperti hotel, losmen, kost-kostan ataupun kondisi rumah yang kosong karena penghuninya sedang meninggalkan rumah dapat menjadi salah satu penyebab munculnya keinginan untuk melakukan seks pranikah.

Sakti & Kusuma (2006) menjelaskan faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya perubahan pandangan dan perilaku seksual, antara lain: 1. Pengawasan dan perhatian orangtua dan keluarga yang kurang akibat kesibukan. 2. Pola pergaulan yang semakin bebas dan lepas, sementara orangtua mengijinkan. 3. Lingkungan yan semakin permisif. 4. Semakin banyak hal yang memberikan rangsangan seksual dan sangat mudah dijumpai. 5. Fasilitas pendukung yang seringkali diberikan keluarga sendiri tanpa disadari.

Athar (1995) mengatakan bahwa sebab yang paling umum dari seseorang melakukan hubungan seks pra-nikah adalah pengaruh teman sebaya. Salah satu sebab lain adalah keinginan untuk dapat dianggap kompeten secara seksual. Sebab umum

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

45

lainnya adalah rendahnya kepercayaan diri seseorang. Alasan lainnya dapat berupa krisis cinta dan kasih sayang yang seharusnya didapatkan di rumah. Berdasarkan penjelasan mengenai faktor penyebab seks pra-nikah, maka dapat disimpulkan bahwa seks pra-nikah disebabkan oleh faktor keluarga, semakin tingginya usia pernikahan, interaksi dalam pergaulan yang semakin intensif, mudahnya mendapatkan informasi mengenai seks melalui media massa, semakin meningkatnya kesempatan untuk melakukan hubungan seks pra-nikah dan pengaruh teman sebaya.

2. 4. 4. Seks Pra-Nikah Menurut Agama Islam Islam mengakui dorongan dan keinginan seksual yang kuat untuk reproduksi. Karenanya, Islam mendorong perkawinan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan seksual yang halal dan sebagai perisai kesucian diri. Naluri seksual merupakan suatu anugrah yang diberikan oleh Allah SWT. Hal tersebut bukanlah suatu kesalahan apabila kita merasakannya, bahkan terobsesi sekalipun. Namun Islam mewajibkan penyaluran kepuasan ini dengan cara yang halal. Hal ini seperti dalam Al-Quran berikut ini:

Janganlah kalian mendekati perzinahan! Sesungguhnya perzinahan merupakan perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk.

(QS Al Israa: 32)

Katakanlah! Sesungguhnya Tuhanku mengaharamkan perbuatan-perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan (Tuhanku juga mengharamkan) perbuatan dosa serta melarang melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar.

(QS Al-Araf: 33)

Hendaklah orang-orang yang tidak mampu melangsungkan perkawinan untuk tetap menjaga kesucian diri mereka hingga Allah memampukan mereka dengan karunianya.

(QS An-Nuur: 33)

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

46

Dalil-dalil diatas yang semuanya terdapat dalam Al-Quran, memerintahkan kepada umat Islam agar selalu menjauhi perbuatan seks sebelum menikah atau yang biasa disebut dengan zina. Karena Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa perzinahan merupakan salah satu diantara tiga dosa besar. Dalam Islam, zina termasuk dosa besar. Hal ini dapat dilihat dari urutan penyebutannya setelah dosa musyrik dan membunuh tanpa alasan. Seperti dapat dilihat dari firman Allah SWT berikut ini:

Dan, orang-orang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak berzina.

(QS Al-Furqan: 68)

Pada ayat lain Allah SWT menyebutkan larangan berzina diantara larangan membunuh anak dan membunuh jiwa, seperti yang terdapat dalam ayat berikut:

Dan, janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak diantaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahaminya.

(QS Al-AnAm: 151)

Peletakan larangan berzina diantara keduanya menunjukkan bahwa zina adalah suatu kejahatan besar yang setara dengan membunuh anak dan membunuh jiwa. Karena dalam berzina terdapat unsur membunuh. Berzina berarti membunuh proses awal kehidupan, karena dengan zina dapat memancarkan unsur kehidupan secara tidak benar (Ilahi, 2005). Menurut Islam, zina memiliki dampak yang negatif. Ketika seseorang melakukan perbuatan zina, di hatinya tidak ada iman dan doanya pun tak dikabulkan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW berikut:

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

47

Seorang hamba tidak akan berzina pada saat ia beriman, tidak akan mencuri pada saat ia beriman, dan tak akan minum arak pada saat ia beriman.

(HR Ibnu Abbas)

Barangsiapa berzina atau meminum khamer, maka Allah SWT akan mencabut keimanan dari dirinya, sebagimana seseorang melepaskan baju dari kepalanya.

(HR Al-Hakim)

Berdasarkan beberapa hadist diatas, apabila seseorang melakukan perbuatan zina atau yang dapat disebut juga hubungan seks pra-nikah, maka sesungguhnya orang tersebut tidaklah memiliki iman. Hal inilah yang dapat dijadikan dasar komitmen beragama seseorang yang melakukan hubungan seks pra-nikah. Jadi komitmen beragama adalah salah satu cara mengukur derajat keimanan seseorang terhadap agamanya yang dianutnya.

2. 5. Kaitan Komitmen Beragama dan Disonansi Kognitif Banyaknya kasus-kasus seks pra-nikah, baik yang dilakukan oleh remaja dan para dewasa muda yang terjadi di Indonesia seperti yang dapat dilihat pada bab latar belakang menyebabkan peneliti ingin mengetahui sejauh mana komitmen beragama berpengaruh terhadap hubungan seks pra-nikah yang dilakukan oleh wanita dewasa muda. Pada wanita dewasa muda, salah satu perkembangan yang terdapat pada masa itu adalah mencari pasangan. Pada masa ini pula seseorang mulai memiliki hubungan intim terhadap pasangannya (Erikson dalam Papalia, 2002). Glock & Stark (dalam Paloutzian, 1996) menjelaskan mengenai komitmen beragama yang terbagi atas lima dimensi menekankan pada seseorang tidak menjalankan ajaran agamanya sebagaimana diajarkan. Seperti misalnya orang yang mempercayai ajaran agamanya tetapi mereka justru berperilaku sebaliknya dari ajaran agama tersebut. Dapat dilihat pula seseorang yang memiliki kepercayaan yang kuat akan ajaran agamanya, namun mereka hanya memiliki sedikit pengetahuan mengenai dasar kepercayaannya tersebut. Begitu pun sebaliknya, seseorang yang memiliki

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

48

banyak pengetahuan mengenai agamanya, tetapi berperilaku tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Prof. Dr. I.B. Tjitarsa (dalam Anggraeni, 1996) mengatakan bahwa hubungan seks pra-nikah yang dilakukan para wanita dewasa muda ini dapat disebabkan karena penundaan usia penikahan yang diterapkan oleh pemerintah. Pemerintah

menganjurkan agar pernikahan dilakukan setelah seseorang berusia 20 tahun. Namun semakin dininya usia seseorang yang mengalami haid untuk pertama kali menyebabkan masa-masa rawan yang semakin panjang setelah seseorang mendapatkan haid pertama kali hingga pernikahan diperbolehkan. Karena itulah banyak para wanita dewasa muda yang tidak dapat menahan keinginannya untuk melakukan seks pra-nikah walaupun norma agama tetap diberlakukan. Fisbein & Ajzen (dalam Sarwono, 2002) menjelaskan mengenai perilaku yang dilakukan oleh seseorang yang disebabkan faktor intensi seseorang akan suatu hal. Intensi itu sendiri dipengaruhi oleh sikap dan norma subjektif. Sikap dipengaruhi oleh konsekuensi suatu perilaku dan penilaian seseorang terhadap kepercayaan. Sedangkan norma subjektif dapat berasal dari tokoh panutan dan motivasi untuk mengikuti tokoh panutan tersebut. Sikap yang ditunjukkan seseorang bukanlah sikap umum seseorang melainkan sikap yang ingin diteliti, dalam penelitian ini sikap beragama seorang wanita dewasa muda dan seberapa jauh hubungannya dengan dunia nyata. Seperti misalnya intensi (niat) yang terkandung dalam tingkah laku seseorang. Niat dan perilaku memilki hubungan yang paling dekat karena setiap perlaku yang bebas ditentukan oleh kemauan seseorang yang didahului oleh niat (intensi). Niat untuk berperilaku ditentukan oleh dua hal yaitu sikap (attitude) tentang perilaku itu sendiri dan norma subjektif (subjective norms) tentang perilaku itu. Sikap terhadap perilaku ditentukan pula oleh dua hal yaitu kepercayaan atau keyakinan (belief) tentang konsekuensi-konsekuensi dari perilaku dan evaluasi terhadap konsekuensikonsekuensi tersebut untuk diri seseorang itu sendiri. Diantara faktor-faktor tersebut yang berhubungan erat dengan kognisi seseorang adalah kepercayaan. Kepercayaan dalam hal ini dapat dimaksud dengan agama yang dimiliki seseorang. Oleh karena itulah agama cukup besar mempengaruhi seseorang dalam bertingkah laku tertentu.

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

49

Myers (dalam Sarwono, 2000) menjelaskan bahwa terdapat tiga pendekatan untuk menjelaskan pengaruh perilaku terhadap sikap, yaitu: 1. Teori pernyataan diri (self presentation theory) Kecenderungan seseorang untuk menyenangkan orang lain demi

mempertahankan citra diri daripada mengungkapkan diri secara apa adanya. 2. Disonansi Kognitif Terdapatnya dua elemen kognitif (pikiran dan keyakinan) yang saling bertentangan yang akan menyebabkan seseorang merasa tegang (disonan). Untuk menghilangkan disonansi itu, salah satu caranya adalah menyesuaikan salah satu elemen kognitif agar sama dengan elemen kognitif yang lainnya. 3. Persepsi Diri Apabila seseorang tidak dapat menjelaskan perilaku kita dengan atribusi eksternal, seseorang cenderung menjelaskannya dari apa yang dilihat, atau didengar mengenai perilaku itu sendiri.

Dalam penelitian ini, yang ingin ditekankan adalah pendekatan berdasarkan disonansi kognitif. Disonansi kognitif yaitu suatu keadaan yang tidak menyenangkan dimana terdapat ketegangan yang dihasilkan dari kesadaran akan adanya dua pemikiran yang tidak cocok/sesuai dalam kognisi adalah yang biasa disebut dengan disonansi kognitif. Disonansi kognitif juga dilakukan untuk menghilangkan konflik antar elemen kognisi hingga tercapai kembali keadaan konsonansi kognitif. Keadaan internal yang seimbang dan konsisten dalam hubungan atara elemen-elemen kognisi yang terdapat pada diri seseorang inilah yang ingin dicapai dalam kognisi seseorang. Disonansi kognitif dalam penelitian ini adalah dimana seorang wanita dewasa muda yang melakukan hubungan seks pra-nikah padahal ia tahu bahwa hubungan itu dilarang oleh agama yang dianutnya. Oleh karena itu peran komitmen beragama adalah sebagai apa yang dipercayai seseorang, apa yang dilakukan seseorang, pengalaman yang dialami seseorang, apa yang diketahui seseorang mengenai ajaran agamanya dan bagaimana seseorang terpengaruh oleh ajaran agama yang dianutnya. Inilah yang dapat disebut sebagai dimensi komitmen beragama.

Universitas Indonesia

Disonansi Kognitif..., Melisa Mesra, F.Psi UI, 2007

Anda mungkin juga menyukai