Anda di halaman 1dari 2

Malam itu, setelah kita menyelesaikan urusan ranjang kita, Kau mengajakku duduk di ujung tempat tidur.

Engkau merangkul pundakku sambil sesekali membelai rambutku. Romantisme yang biasa kita lakukan sejak dulu. Namun saat itu kamu mengajakku berbicara tentang masa depan. Apa? Masa depan? Aku asing dengan kata-kata itu saat sedang bersamamu. Yang saat ini ada di pikiranku hanyalah bersamamu, menjalani hari-hari sambil saling menyimpul senyum kita. Kau menyimpul senyumku, aku balik menyimpul senyum di wajahmu, ditambah ekstra lesung pipit itu. Masa depan berarti aku akan kehilangan senyum itu. Jikalau aku harus membuka kamus diriku, masa depan tertulis sebagai suatu keadaan dimana kita tidak lagi bersama. Tapi kau tegas memilih masa depan malam itu, yang membuat kita harus menyudahi hubungan ini. Rela membiarkanmu dalam pelukan orang lain. Dalam pelukan yang seharusnya. Ah, sial! Kau memaksaku turut memikirkan masa depan. Tapi, bagaimana bisa jika seluruh cintaku masih ada di genggamanmu, kalau rasa sayangku masih ada di lesung pipitmu itu, kalau seluruh hawa nafsuku juga masih ada di selimut kita ini. Aku tidak bisa. Pasti. Tapi seperti biasa, kau selalu meyakinkanku. Membiusku dengan kata-katamu yang selalu kuakhiri dengan anggukan kepala tanda iya. Kita berjanji untuk bertemu kembali setahun lagi di kafe tempat kita pertama kali bertemu, Sambil membawa pasangan masing-masing. Pasangan untuk masa depan. *** Akhirnya, inilah hari itu, hari yang kita janjikan. Tanggal 20 September 2011, di kafe ini. Aku melihat kau datang dari kejauhan. Masih dengan lesung pipit di pipimu itu. Lesung pipit dan senyum yang tidak lagi milikku. Ah, sial! Hai, Bagas!, kau menyapaku seperti biasa, seolah tidak pernah ada apa-apa antara kita. Kau memperkenalkan diriku pada dirinya, kau bilang aku adalah teman baik yang sudah bagaikan saudara. What the f*ck! Syukurlah, pemilik senyum barumu itu minta izin ke toilet, sehingga aku bisa sejenak memperhatikan senyum di pipimu itu seutuhnya tanpa harus mencuri-curi. Aku bilang, aku merindukanmu. Kau tidak membalas hal serupa, kau sibuk mengalihkan bertanya pada keluarga, karir, bahkan kau lebih peduli menanyakan anjingku daripada perasaaanku ini. Saat pemilik senyum barumu sudah terlihat keluar dari toilet, kau buru-buru menanyakan padaku, Mana pasanganmu? Bukankah kita berjanji membawa pasangan masa depan kita hari ini? kamu selalu berpikir semudah itu, tahukan kamu aku kangen dengan kamu setiap hari. Aku berusaha keras mencoba mencintai perempuan, tapi nggak bisa! Selalu ada kamu di pikiranku. Aku..., ah, sudahlah! Aku beranjak pergi meninggalkan meja itu, melepasmu dengan masa depanmu. Melepaskanmu yang sudah bisa mencintai perempuan. Lho, Bima sayang, temen kamu si Bagas tadi kemana? *** Malam ini, aku kembali sendiri di tempat tidur ini. Sendiri ditemani selimut. Aku menyelesaikan urusan ranjang pribadiku.

Dengan tangan kanan, body lotion, dan gambar dirimu. Ah. Sial!

Anda mungkin juga menyukai