Anda di halaman 1dari 16

Makalah Study Islam IV Filsafat Islam ( Pemikiran Ali Syariati )

Diajukan : Sebagai Tugas Ujian Akhir Semester (UAS)

Disusun Oleh : Aep Permana 082151110178

Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Ibn Khaldun Bogor 2011

A. Biografi Ali Syariati Ali Syariati lahir 23 Nopember 1933 di desa Mazinan, pinggiran kota Masyhad dan Sabzavar, propinsi Khorasan Iran dengan nama kecil Muhammad Ali Mazinani. Ayahnya, Muhammad Taqi Syariati adalah seorang ulama yang mempunyai silsilah panjang keluarga ulama dari Masyhad, kota tempat pemakaman Ali Al-Ridha. Kehidupan Syariati atau Ali Mazinani berakar di pedesaan dan di sanalah pandangannya pertama kali dibentuk. Guru pertama kalinya adalah ayahnya sendiri yang memutuskan mengajar di kota Masyhad. Pada awal 1940-an, ayah Ali Mazinani mendirikan usaha penerbitan bernama Pusat Penyebaran Kebenaran Islam (The Center for Propagation of Islamic Truth) yang bertujuan untuk kebangkitan Islam sebagai agama yang sarat dengan kewajiban dan komitmen sosial. Pada dekade ini, ayah Syariati membentuk cabang organisasi Nehzat-I Khodaparastan-I Sosiyalist (The Movement of God-worshiping Socialist, Gerakan Penyembah Tuhan Sosialis. Ia membahas gagasan pemikir modern, khususnya para pemikir Sosialisme Arab dan sejarahwan Khazrawi, tokoh yang dibenci para Mullah Iran. Karenanya ia dicap sebagai sunni, wahabi, bahkan baabisme oleh beberapa ulama (h. 13). Dari ayahnya inilah semangat non-konvensional dan oposisi Ali Mazinani terbentuk. Sementara dari pihak ibu, kakeknya, Akhun Hakim adalah sosok ulama yang kisah hidupnya turut menginspirasi Ali Mazinani. Pamannya adalah murid dari ulama terkemuka Adib Nishapuri, yang setelah belajar filsafat, fiqh, dan sastra, mengikuti jejak leluhurnya memilih kembali ke Mazinan. Ali Syariati merupakan anak yang dibesarkan dengan tradisi keislaman yang kuat, sang ayah Muhammad Taqi Syariati berasal dari keluarga ulama sejak beberapa generasi walaupun pada akhirnya lebih memilih untuk bergerak dalam bidang akademik dengan menjadi tenaga pendidik bagi generasi-generasi muda Iran pada waktu itu. Muhammad Taqi Syariati merupakan ayah sekaligus guru bagi Ali Syariati yang mengajarkan banyak hal dan mendasar bagi perkembangan Ali Syariati. Ia mengajarkan bahwa moralitas dan etikalah yang mengangkat status dan kehormatan sosial seseorang dan bukanlah uang. Ketika teman-temannya yang lain giat untuk pergi kesekolah, Ali lebih suka menghabiskan waktunya dengan membaca buku-buku diperpustakaan ayahnya. Ia pun banyak mempelajari buku-buku yang berkaitan dengan masalah-masalah filsafat, mistik, dan sufisme (karya sufi-sufi besar, seperti al-Hallaj, al-Junayd, Qadi Abu Yusuf, Syabastari, Qusyairi, Abu Said Abu al-Khayr, Abu Yazid al-Bustami, Ayn al-Qudat al-Hamadani, dan

Maulana Jalaluddin Rumi). Syariati juga telah banyak membaca buku-buku tafsir Alquran, sastra, puisi, sejarah Islam, dan tentu saja buku-buku politik. Ali Syariati lahir ditengah kondisi dimana degradasi peran agamawan (ulama) yang hanya menjadikan agama sebagai ritual batin antara hamba dan sang pencipta tanpa peduli terhadap keterpurukan masyarakatnya. ulama tidak memainkan perannya sebagai pemimpin yang tercerahkan yang akan memandu masyarakat menggapai kebahagiaan spiritual dan material. kekeritisannya dalam praktek2 islam yang seperti itu (islam shiah) banyak didasari dari ide-ide Ahmad Kasravi seorang ulama tradisional yang awalnya reformer syiah namun berubah menjadi anti syiah. Gagasan-gagasannya dalam memajukan kebebasan rakyat Iran bertujuan untuk menangkal segala macam bentuk penindasan dan mengajak kepada kebaikan harus berbenturan dengan dogma-dogma penguasa dan ulama bahkan kabarnya hal inilah yang diduga menjadi penyebab kematiannya yang misterius, sayangnya didalam buku ini tidak dibahas lebih lanjut mengenai hal tersebut. Ali Syariati adalah sebuah nama yang tak asing lagi bagi kebanyakan kalangan umat Islam, termasuk di Indonesia. Kemashurannya bisa disandingkan dengan tokoh-tokoh Republik Islam Iran lainnya, seperti Imam Khomeini, Murtadha Muthahhari, dan Allamah Thabathabai. Nama-nama mereka cukup familier di telinga umat Islam Indonesia. Seperti tokoh-tokoh Iran lainnya, ketokohan dan intelektualitas Syariati semakin populer bagi masyarakat Muslim Indonesia setelah Revolusi Iran meletus pada 1979. Apalagi setelah buku-bukunya, misalnya Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat-Pikir Barat Lainnya, Islam Agama Protes, dan Haji diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Kini, sosok, latar belakang, aktivitas, dan pemikiran Syariati bisa dibaca dan ditelaah lebih dalam melalui buku karya Ali Rahnema, Ali Syariati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner. Melalui buku itu Syariati semakin mudah dipahami masyarakat Indonesia. Dalam buku itu Rahnema memaparkan sisi-sisi kehidupan Ali Syariti, mulai dari masa kecil, pendidikan, politik, hingga kematiannya dalam pengasingan pada umur 44 tahun, usia yang relatif muda. Rahnema memotret perjalanan kehidupan dan aktivitas politik Syariati sebagai seorang pemikir religius dan aktivis revolusioner. Inilah satu-satunya buku biografi Ali Syariati yang kini diterbitkan dalam edisi Indonesia dan ditulis dengan data lengkap, mendalam, dan mendetail. Rahnema tidak hanya menjelaskan liku-liku dramatis dan tragis perjalanan kehidupan Syariati, tetapi juga memaparkan kondisi budaya, sosial, ekonomi, dan politik yang mengitarinya. Dengan

objektivitas akademisnya, tapi tetap simpati dan hormat, guru besar dalam bidang ilmu ekonomi pada American University, Paris, ini berhasil merekam dan menawarkan pemahaman baru tentang sosok dan figur Syariati yang posisinya di dalam Revolusi Iran cukup penting dan diperhitungkan. Buku biografi Ali Syariati ini melanjutkan dan memperkukuh tradisi penulisan riwayat hidup seseorang yang telah berlangsung selama 15 abad lebih. Tradisi penulisan biografi ini bisa dilacak pada masa-masa awal Islam yang biasa disebut sirah. Penulis biografi Nabi Muhammad saw paling awal adalah Aban ibn Utsman ibn Affan (w. 105/723)putra Khalifah Utsman ibn Affan yang lahir 10 tahun setelah Nabi wafat. Penulis pertama yang menggunakan istilah sirah atau biografi ialah Muhammad ibn Muslim ibn Syihab al-Zuhri yang merekonstruksi sirah Nabi dengan struktur yang baku, dan menggariskan kerangka dalam bentuk yang jelas. Biografi adalah sirah, sekaligus tuntunan, anutan, sejarah, dan masa lalu yang sangat layak dipelajari dan dikaji untuk kehidupan masa depan. Karena itu, sebuah buku biografi, termasuk buku biografi Ali Syariti ini bisa menjadi uswah hasanah bagi perilaku teladan kehidupan dan pemikiran seseorang dan masyarakat luas umumnya. Dengan demikian, biografi Syariati ini layak dijadikan sebagai sumber referensi untuk merumuskan masa depan pemikiran dan aktivitas politik umat Islam, termasuk pula bagi masyarakat Indonesia. Biografi Syariati karya Rahnema ini tampaknya mengikuti gaya dan model penulisan biografi klasik yang biasanya menggunakan pendekatan kronologisditulis secara berurutan dan terinci sesuai dengan masa-masa terjadinya suatu kisah atau peristiwa kehidupan. Biografi semacam ini sering disebut sejarah kronologis atau sejarah urut kacang, dan banyak digunakan para penulis biografi. Inilah cara penulisan biografi yang paling sederhana, akurat, dan tidak terlalu rumit untuk menjelaskan dan memaparkan rincian-rincian dasar perikehidupan seseorang. Karena kronologis, penulisan biografi klasik biasanya dimulai dengan penggambaran kehidupan seseorang dari prakelahiran, kelahiran, masa kanak-kanak, keluarga, perkawinan, pendidikan, aktivitas, pemikiran, pemberontakan, pemenjaraan, hingga masa-masa akhir hidupnya, seperti tampak jelas pada biografi Syariati yang ditulis Rahnema ini.

Buku yang terdiri atas 23 bab ini dimulai dengan pemaparan Rahnema tentang kondisi politik dan religius yang melatarbelakangi prakelahiran Syariati dan keluarganya, yang ditulisnya hingga tiga bab. Dalam bab empat, Rahnema baru memaparkan tentang masa kecil dan masa dewasa yang dilalui Syariati. Seperti disebutkan Rahnema, pikiran dan ide-ide Syariati dibentuk oleh bacaan yang diperolehnya selama masa pendidikan (h. 69-73). Bacaan-bacaan Syariati cukup beragam, dan memengaruhi pola pikir dan ide. Daftar bacaannya berjalan melalui sebuah transformasi radikal pada saat dia mulai masuk ke sekolah dasar sampai ke sekolah menengah. Di sekolah dasar, Syariati telah membaca berbagai jenis buku seperti karya Victor Hugo Les Miserables, Que sais-je, History of Cinema, dan buku populer yang best seller seperti Zan-e- Mast. Di tingkat sekolah menengah, Syariati mulai mempelajari buku-buku yang berkaitan dengan masalah-masalah filsafat, mistik, dan sufisme. Dalam bidang filsafat, ia melahap karya-karya filosof Jerman, seperti Arthur Schopenhauer, Franz Kafka, dan penyair besar Jerman Anatole France. Ia memiliki kenangan pertama terhadap karya-karya Maurice Maeterlink. Ia mengacu kepada penulis dan penyair simbolik dari Belgia ini sebagai pemandu dalam merefleksikan dan memeditasikan kebenaran yang ada di balik realitas. Adapun literatur sufi yang dibaca Syariati adalah karya sufi besar seperti al-Hallaj, al-Junayd, Qadi Abu Yusuf, Syabastari, Qusyairi, Abu Said Abu al-Khayr, Abu Yazid alBustami, Ayn al-Qudat al-Hamadani, dan Maulana Jalaluddin Rumi. Dalam masa-masa tersebut, seperti dijelaskan Rahnema, Syariati juga telah membaca buku-buku tafsir AlQuran, sastra, puisi, sejarah Islam, dan tentu saja buku-buku politik. Dalam bab-bab berikutnya, khususnya bab lima, Rahnema memaparkan keterlibatan Syariati dalam aktivitas politik. Syariati, jelas Rahnema, secara efektif memulai aktivitas politiknya ketika menjadi mahasiswa pada institut keguruan. Baru pada 1950, Syariati menjadi anggota aktif dalam sebuah partai politik. Namun, dasar-dasar kesadaran sosial politiknya telah ia tanam pada Pusat Penyebaran Kebenaran Islam ketika ia masih berusia 15 tahun. Dalam perkembangan berikutnya, Syariati dapat digolongkan sebagai seorang agitator dan pemimpin politik, dan tentu saja tidak mengesampingkan tulis-menulis sebagai kegiatan utamanya. Antara periode 1951-1955, Syariati secara produktif menulis artikel-artikel tentang sosial politik.

Dalam artikel-artikelnya, papar Rahnema, Syariati menyerukan penerapan konsep Islam tentang al-amr bi al-maruf wa al-nahy an al-munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari perbuatan mungkar) ke wilayah sosial politik. Konsep Islam ini merupakan sebuah tanggung jawab sosial yang diwajibkan atas semua orang. Di tangan para agamawan tradisional, konsep Islam ini hanya dipahami dalam batas-batas ibadah. Konsep ini sebenarnya bisa diimplikasikan dan dimanifestasikan ke dalam kehidupan kontemporer, yaitu untuk mencegah kemungkaran sosial politik. Misalnya, berjuang menentang imperialisme internasional, zionisme, kolonialisme dan neo-kolonialisme, kediktatoran, pertentangan kelas, rasisme, imperialisme kebudayaan, dan westernisme. Namun demikian, memahami Iran sekarang hanya melihat Ayatullah Humaini tidaklah lengkap kalau tidak dibarengi membedah jejak sosok misterius yang meninggal di London. Bagi penulis, ia adalah salah seorang tokoh yang membantu perjuangan Imam Khomeini dalam menjatuhkan rezim Syah Iran yang lalim, untuk menegakkan kebenaran dan keadilan menurut ajaran Islam. Doktor sastra lulusan Universitas Sorbonne Perancis ini berjuang tak kenal lelah dan takut. Selama hidupnya ia mengabdikan dirinya untuk membangunkan masyarakat Islam Iran dari belenggu kezaliman. Syariati, anak pertama Muhammad Taqi dan Zahra, lahir pada 24 November 1933. Bertepatan dengan periode ketika ayahnya menyelesaikan studi keagamaan dasarnya dan mulai mengajar di sebuah sekolah dasar, Syerafat. ia lahir dalam keluarga

terhormat. Dalam keluarga ini ritual dan ritus keagamaan ditunaikan dengan seksama. Pada masa kanak-kanak ketika teman-temannya asyik bermain, Syariati asyik membaca buku-buku sastra seperti Les Miserable karya Victor Hugo. Kegemaran ini terus berlanjut hingga masa remajanya. Sejak tahun pertamannya di sekolah menengah atas, ia asyik membaca buku-buku filsafat, sastra, syair, ilmu sosial dan studi keagamaan di perpustakaan ayahnya yang berjumlah 2000 buku. Kegemarannya inilah yang membuat ia jarang bermain dengan temanteman sebayanya. Pada 1955, Syariati masuk Fakultas Sastra Universitas Masyhad yang baru saja diresmikan. Selama di universitas, sekalipun menghadapi persoalan administratif akibat pekerjaan resminya sebagai guru full-time, Syariati paling tinggi rangkingnya di kelas. Bakat, pengetahuan dan kesukaannya kepada sastra menjadikannya popular di kalangan mahasiswa. Karena prestasi akademisnya di Universitas ini, dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan

studi keluar negeri. Pada April 1959, Syariati pergi ke Paris sendirian. Istri dan putranya yang baru lahir, bernama Ehsan bergabung dengannya setahun kemudian. Selama di Paris, Syariati berkenakan dengan karya-karya dan gagasan-gagasan baru yang mencerahkan, yang mempengaruhi pandangan hidup dan wawasannya mengenai dunia. Dia mengikuti kuliah-kuliah para akademisi, filosof, penyair, militan, dan membaca karyakarya mereka, terkadang bertukar pikiran dengan mereka, serta mengamati karya-karya seniman dan pemahat. Dari masing-masing mereka ia mendapat sesuatu, dan kemudian mengaku berutang budi kepada mereka. Di sinilah Syariati berkenalan dengan banyak tokoh intelektual barat antara lain Louis Massignon yang begitu dihormatinya, Frantz Fanon, Jacques Berque dan lain-lain. Walaupun berada di Paris, namun pribadi Syariati yang penuh dengan semangat perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan, ia tetap berjuang menentang rezim Iran. Antara 1962 dan 1963, waktu Syariati tampaknya habis tersita untuk aktivitas politik dan jurnalistiknya. Pemikiran-pemikirannya yang cemerlang dan gerakan politiknya yang menggugah semangat kaum muda menjadikan dia sebagai figur oposan yang sangat spektakuler dalam merubah tatanan politik atas yang dihegemoni Syah Pahlevi. Karena wataknya yang kritis, sekembalinya di Iran dengan gelar doktoral tahun 1963, ia menjadi sosok yang kharismatis yang kuliah-kuliahnya di universitas Masyhad sangat memukau dan memikat audiens, karena isi kuliahnya yang membangkitkan orang untuk berpikir. Karena begitu kharismatis, akhirnya pemerintahan Syah Pahlevi berang. Karena merasa terancam, pada 16 Mei 1977, Syariati meninggalkan Iran. Tentara Syah, SAVAK akhirnya mengetahui kepergian Ali Syariati mereka mengontak agen mereka di luar negeri. Di London Inggeris, pada 19 Juni 1977 jenasah Ali Syariati terbujur di lantai tempat ia menginap. Kematian yang tragis seorang pejuang Islam yang teguh memperjuangkan keyakinannya. Ia syahid dalam memperjuangkan apa yang dianggapnya benar. Ali Syariati telah mengkuti jejak sahabat Nabi dan Imam Ali yang begitu dikagumi dan dijadikan simbol perjuangannya, Abu Dzar Al-Ghifari.

B. Rausanfikr Sebagai Agen Revolusi Islam Ali Syariati mempunyai pandangan yang berbeda dengan Imam Khomeini tentang konsep kunci kepemimpinan. Jika Imam Khomeini menempatkan kaum ulama sebagai otoritas tertinggi dalam bidang politik maupun agama, maka Syariati menolak dominasi politik kaum ulama, dan sebaliknya menempatkan kaum intelektual yang tercerahkan (rausanfikr), sebagai pemegang otoritas kekuasaan politik. Dalam pandangan Imam Khomeini, selama ghaibnya Imam Mahdi kemepimpinan dalam pemerintahan Islam menjadi hak para faqh (fuqh). Sekali seorang faqh berhasil membangun sebuah pemerintahan Islam, maka rakyat dan para faqh lain wajib mengikutinya, karena dia akan memiliki kekuasaan dan otoritas pemerintahan yang sama sebagaimana yang dimiliki nabi dan para imam terdahulu. Walau demikian, menurut Imam Khomeini, tidak semua faqh qualified sebagai pemimpin. Sekurang-kurangnya beberapa persyaratan yang harus dipenuhi seorang faqh untuk bisa memimpin pemerintahan Islam. Konsep Wilyah al-Faqh memang didasarkan pada prinsip immah yang menjadi salah satu keimanan Syiah Immiyah. Bisa juga dikatakan bahwa Wilyah al-

Faqh dimaksudkan untuk mengisi kekosongan politik selama masa ghaibnya Imam kedua belas (Al-Mahdi). Pada masa keghaiban itu,Faqh yang memenuhi syarat berperan selaku wakil imam, guna membimbing umat, baik dalam masalah-masalah keagamaan maupun sosial politik. Oleh sebab itu, berdasarkan konsep Wilyah al-Faqh, keberadaan sebuah pemerintahan Islam merupakan suatu keharusan spiritual maupun historis. Para ulama Syiah menjunjung tinggi aspek asasiyah doktrin immah. Karena imam itu maksum dan menafsir otoritas wahyu Islami, maka dia adalah satu-satunya otoritas absah yang dapat menegakkan negara dan pemerintah Islam. Namun, di bawah pengaruh kuat keadaan historis, immahmenjadi terbagi ke dalam temporal dan spiritual. Otoritas temporal imam dipandang sebagai telah dijarah oleh dinasti yang berkuasa, namun otoritas spiritual tetap dimiliki oleh imam yang dipandang sebagai hujjah Tuhan mengenai kemahakuasaanNya, yang diberi kuasa untuk memandu kehidupan spiritual para pengikutnya sebagai imam sejati Dengan berfusinya nasionalisme Iran dan Islam Syiah, orang-orang Iran, termasuk para ulama Syiahnya, tidak pernah merasakan adanya konflik antara Islam dan nasionalisme

Iran. Namun, sebagian ulama Syiah menolak segala bentuk kolaborasi antara raja dan ulama, termasuk dalam arti raja dalam posisi superior dan ulama inferior. Imam Khomeini termasuk berada dalam deretan ulama yang menetang keras kekuasaan raja. Walaupun dalamKasyf al-Asyrr, ia masih bisa menerima keberadaan lembaga monarki konstitusional, namun dalam Hukmah Islamiyah, Khomeini secara tegas menolak sistem monarki. Baginya, hanya ada satu sitem kenegaraan yang sesuai dengan Islam, yaitu pemerintahan Islam yang dipimpin oleh seorang fqih atau dewan fuqah. Berbeda denagn Imam Khomeini, Ali Syariati tidak setuju dengan peranan yang terlalu besar dari para mujtahd (ulama). Bagi Syariati, mereka yang bukan ulama bisa jadi dapat memahami ajaran Islam dengan lebih baik; berfikir dan hidup dengan cara Islami yang lebih murni, dibanding ahli hukum atau filosof. Syariati bahkan menyalahkan ulama dengan adanya keberhasilan yang diperoleh oleh para imperialis, karena akibat kekeras kepalaan para ulamalah yang menggiring para pemuda Iran mencari perlindungan dalam kebudayaan Barat. Tidak mengherankan jika hanya sedikit karya Syariati yang sesuai dengan paham para ulama. Sebaliknya tidak jarang Syariati dituduh oleh sementara ulama sebagai agen Sunni, Wahabiyah, dan bahkan Komunisme. Menurut Syariati, kaum intelektual merupakan para eksponen real dari Islam yang rasional dan dinamis, dan bahwa tugas utama mereka adalah untuk memperkenalkan suatu pencerahan dan revormasi Islam. Oleh sebab itu, betapa pentingnya kaum intelektual Muslim menghubungkan dirinya dengan massa, menentang kaum reaksioner dan membangkitkan Islam sebagai agama jihad yang menentang penindasan dan menegakkan keadilan. Syariati berkeyakinan bahwa pemeritahan kaum intelektual merupakan satusatunya pilihan yang bisa diterima dan diperlukan setelah revolusi. Dengan kata lain, Syariati mendukung suatu pemerintahan atau lebih dari itu, kediktatoran kaum intelektual. Syariati tegas-tegas menolak jika immah diartikan sebagai pemberian kekuasaan yang bersar kepada kaum ulama. Baginya, kaum ulama tidak berhak memonopoli kebenaran di bidang agama, karena para ulama sama sekali tidak bisa lepas tangan dari terciptanya kemunduran di dunia Islam. Manurut Syariati, selama ini kaum ulama telah menafsirkan ajaran-ajaran agama yang justru hanya menguntungkan kalangan istana. Sebaliknya, mereka yang non-ulama, khususnya kaum intelektual yang tercerahkan (rausanfikr), adalah yang paling berhak mengendalikan kekuasaan selama masa ghaibnya Imam Mahdi.

Secara khusus Syariati mengidentifikasi kelompok orang-orang yang tercerahkan berasal dari golongan orang yang sadar akan keadaan kemanusiaan (human condition) di masanya. Kesadaran semacam itu dengan sendirinya kan memberikan rasa tanggungjawab sosial. Pada prinsipnya, kata Syariati, tanggungjawab dan peranan orang-orang masa kini yang tercerahkan di dunia ini sama dengan tanggungjawab dan pranan para nabi dan pendiri agama-agama besar yaitu para pemimpin yang mendorong terwujudnya perubahanperubahan struktural yang mendasar di masa lampau. Mereka itu, lanjut Syariati, tidak harus seseorang yang mewarisi dan melanjutkan karya-karya Galileo, Copernicus, Socrates, Aristoteles, dan Ibn Sina. Akan tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah kepekaan sosial dan politik dalam melihat persoalan-persoalan masyarakat. Di saat masyarakat, dalam konteks ini adalah masyarakat Iran, sebagaimana juga masyarakat lainnya di Dunia Ketiga, sedang mengalami keterpurukan identitas nasional dan disparitas (kesenjangan) sosial ekonomi yang sangat lebar, ia memerlukan dua bentuk revolusi yung saling berkaitan.Pertama, revolusi nasional, yang bertujuan bukan hanya untuk mengakhiri seluruh bentuk dominasi Barat, tetapi juga untuk merevitalisasi kebudayaan dan identiras nasional negara Dunia Ketiga bersangkutan. Kedua, revolusi sosial untuk menghapuskan semua bentuk eksploitasi dan kemiskinan guna menciptakan masyarakat yang adil, dinamis dan tanpa kelas (classes). Lantas siapa yang akan menjadi agen revolusi ini? Peran rausanfikr dalam perubahan masyarakat dalam pemikiran Ali Syariati, sebangun dengan apa yang pernah dibayangkan oleh Antonio Gramsci tentang intelektual organik. Gramsci memetakan potensi intelektual menjadi dua kategori, yaitu itelektual tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional berkutat pada persoalan yang bersifat otonom dan digerakkan oleh proses produksi, sebaliknya intelektual organik adalah mereka yang memiliki kemampuan sebagai organisator politik yang menyadari identitas dari yang diwakili dan mewakili. Intelektual organik itu, menurut Gramsci, tidak harus mereka yang fasih berbicara dan berpenampilan seorang intelektual, tetapi lebih dari itu, yaitu mereka yang aktif berpartisipasi dalam kehidupan praktis, sebagai pembangun, organisator, penasehat tetap, namun juga unggul dalam semangat matematis yang abstrak. Bagi Syariati, rausanfikr adalah kunci pemikirannya karena tidak ada harapan untuk perubahan tanpa peran dari mereka. Mereka adalah agen perubahan sosial yang nyata, karena pilihan jalan mereka adalah meninggalkan menara gading intelektualisme dan turun untuk terlibat dalam problem-problem real masyarakat. Mereka adalah katalis yang meradikalisasi

massa yang sedang tidur panjang menuju revolusi melawan penindas. Masyarakat dapat mencapai lompatan kreatifitas yang tinggi menuju perubahan fundamental struktur sosialpolitik akibat peran katalis rausanfikr. Dari seluruh bangunan pemikiran Ali Syariati tentang Islam dan revolusi di atas, sumbangan terbesar Syariati sebenarnya bukan dalam kekuatannya sebagai seorang teoritikus Islam di bidang ilmu-ilmu sosial, seperti Ibnu Khaldun dengan Muqaddimahnya. Atau barangkali, seperti Erward Said yang dengan Orientalism-nya telah membongkar dan meruntuhkan bangunan ilmu-ilmu sosial Barat yang selama ini dibangun di atas power/knowledge dalam era kolonialisme. Sumbangan dia yang paling monumental adalah tesisnya yang menyatakan bahwa kesadaran kolektif yang menjadi basis kekuatan revolusioner tidak selalu berangkat dari kesadaran kelas, tetapi juga bisa dari kesadaran agama. Agama dalam konteks ini tentu saja bukan agama dalam pemahaman umum, tetapi agama yang telah mengalami ideologisasi sehingga mampu memberi kekuatan revolusioner. Oleh karena itu, tidak heran jika setelah revolusi Iran terjadi, maka kerangka teoritik yang biasanya dijadikan konseptualisasi social movement menjadi berantakan, karean sering meremehkan faktor budaya sebagai kekuatan symbolic resistance. Dengan teori politiknya yang menyatakan bahwa dunia ketiga, seperti Iran, membutuhkan double movement atau gerakan ganda revolusi, yaitupertama, revolusi nasional yang bertujuan disamping untuk memperoleh kemerdekaan dari imperialisme Barat, tetapi juga untuk merevitalisasi warisan kebudayaan dan identitas nasional (to vitalize the countrys culture, heritage, and national identity). Kedua, revolusi sosial yang dimaksudkan untuk mengahapus kesenjangan kelas, kemiskinan, dan segala bentuk eksploitasi. Dua macam revolusi itu dapat dilaksanakan dengan baik jika para intelektual yang tercerahkan (rausanfikr) dapat menjadi agen atau artikulator. Mereka para rausanfikr itu dapat menjadi agen yang baik jika dalam kesadaran jiwanya tertanam teologi Islam pembebasan.

C. Ali Syariati, Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern Salah satu pernyataan Syariati adalah Manusia menjadi ideal dengan mencari serta memperjuangkan umat manusia, dan dengan demikian, ia menemukan Tuhan. Sedangkan ciri pemikiran Syariati menurut Shahrough Akhlavi adalah Agama harus ditransformasikan dari ajaran etika pribadi ke program revolusioner untuk mengubah dunia(h.119) Manusia sebagai khalifah digambarkan oleh Syariati sebagai manusia individu yang dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan sebegai individu. Karenanya, manusia adalah individu yang otonom, mempunyai kesadaran, mempunyai daya kreatifitas, dan mempunyai kebebasan kehendak. Pemikiran Syariati ini dipengaruhi oleh Eksistensialisme yang menekankan kebebasan dan otonomi individual. Meski menekankan tindakan etis perorangan, Syariati menyatakan bahwa setiap individu mempunyai tanggungjawab untuk perubahan masyarakatnya. Sayriati percaya bahwa revolusi digerakkan pertama-tama dengan menggerakkan masing-masing individu. Gerakan individual itu akan mengarah pada gerakan massa. Hal ini terlihat secara konkrit dalam ibadah haji. Syariati memberikan tafsiran haji pada penekanan pentingnya kualitas individual, tapi pada akhirnya harus melebur dengan gerakan massa. Sayriati memandang revolusi dapat digerakkan saat individu mampu menjalankan kewajibannya masing-masing, yang kemudian melebur dengan gerakan mass itu. 1. Syariati dan Eksistensialisme Ciri-ciri umum eksistensialisme barat sangat terasa dalam beberapa pandangan Syariati. Pandangan Syariati secara khas membicarakan persoalan eksistensi yang berpusat perhatian kepada manusia. Bereksistensi adalah dinamis, menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, merencanakan dan selalu berubah kurang atau lebih dari keadaan sebelumnya. Manusia dipandang terbuka, realitas yang belum selesai. Jika Sartree membatasi manusia pada becoming sebagai proses untuk membentuk esensinya, Syariati lebih jauh lagi, yaitu potensi manusia menjadi lebih tinggi. Inti pemikirannya bermula pada pandangan dunia Tauhid, dengan Tuhan sebagai sentralnya. Sebagaimana pemikiran eksistensialis lainnya, baginya manusia dapat dilihat sebagai being dan becoming. Untuk itu ia menafsirkan kosa kata bahasa arab bashar sebagai being dan insan untuk becoming.

Untuk berakhlak dengan akhlak Tuhan, manusia harus senantiasa melakukan proses evolusi (becoming) menuju Tuhan itu. Karena hanya dalam modus berada dalam bentuk Insan sajalah manusia memperoleh kebebasan dan mendapat amanat menjadi khalifah (wakil) Tuhan. Syariati menyatakan bahwa Insan mengandung nilai-nilai etis, sementara basyar mengandung nilai-nilai hewani. Hanya dengan menjadi insan sajalah manusia bisa memaksimalkan atribut ketuhanannya, yaitu kesadaran-diri, kehendak bebas dan kreatifitas. Hanya manusia saja yang bisa bertindak seperti Tuhan, tetapi manusia tidak bisa menjadi Tuhan. Syariati menyatakan bahwa manusia harus menjadi manusia yang sebenarnya. Manusia harus menjadi insan, tidak sekedar basyar (mahluk fisiologis). Basyar adalah mahluk yang sekedar berada (being), sedangkan insan adalah mahluk yang menjadi (becoming). Dalam konteks ini Syariati menafsirkan ayat Inna lillahi wainnailaihi rojiun (dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya) menyatakan bahwa perjalanan kembali kepada-Nya bukanlah berarti di dalam-Nya atau pada-Nya. Artinya, Tuhan bukanlah titik beku atau suatu arah yang pasti, yang segala sesuatu menuju kepadanya. Manusia yang menjadi ini memiliki tiga sifat yang saling berkaitan dan dapat menyesuaikian diri dengan sifat-sifat ketuhanan. Ketiga sifat itu adalah kesadaran-diri (selftawareness), kehendak bebas (free-will), dan kreativitas (creativiness). 2. Syariati dan Marxisme Ada hubungan cinta-benci antara Syariati dan Marxisme. Ia menerima analisa Marx tentang kesadaran pertentangan kelas antara kaum penindas dan tertindas, misalnya antara kaum Habil dan kaum Qabil, tetapi terutama bukan antara buruh melawan Kapitalis, tetapi antara dunia ketiga melawan Imperialisme Barat. Sayriati juga banyak menggunakan paradigma, kerangka dan analisis Marxis untuk menjelaskan perkembangan masyarakat. Ia berpendapat bahwa Marx hanyalah seorang matrerialis tulen yang memandang manusia sebagai makhluk yang tertarik kepada hal-hal yang bersifat materi belaka. Namun Syariati menyanjung Marx yang jauh lebih tidak materialistik ketimbang mereka yang mengklaim idealis atau beriman dan religius. Prespektif lain, Syariati mengecam Marxisme yang mengejawantah dalam partai Sosial dan Komunis.

Syariati berusaha menyelesaikan kontradiksi pandangannya itu dengan membagi kehidupan Marx dalam tiga fase. Pertama Marx muda sebagai filosof ateistik yang mengembangkan materialisme dealektis. Kedua, Marx dewasa, seorang ilmuwan sosial yang mengungkapkan bagaimana penguasa mengeksploitasi mereka yang dikuasai. Ketiga Marx tua yang merupakan politisi. Dari tiga fase itu, Syariati menerima banyak gagasan dari Marx fase kedua, dan menolak fase pertama dan ketiga. Syariati juga secara terang-terangan mengkritik ulama konvensional yang disebutnya sebagai Borjuasi kecil dan Depotisme Spiritual. Di satu pihak, penguasa telah menindas keimanan atas nama Islam Syiah, tetapi dipihak lain para ulama tradisional juga harus dikritik karena apatis terhadap kezaliman. Sebagian dari mereka bersikap oportunistik, sebagian lagi bersifat pasif karena mengharapkan Imam yang tersembunyi, Imam Mahdi. D. Tauhid Yang Humanist Opini- Untuk menjadikan Islam sebagai ideologi yang mampu dipraksiskan dalam kehidupan dan memberi implikasi yang positif bagi manusia. Ali Syariati menyajikan secara detail tahapan-tahapan ideologi. Pada tahap pertama, Ali Syariati berangkat dari satu pertanyaan mendasar mengenai kedudukan manusia dalam berhubungan dengan Tuhan dan alam semesta.Untuk menjelaskan hal tersebut, terlebih dahulu Syariati meletakkan pandangan dunia Tauhid sebagai pandangan dunia yang mendasar. Menurut Syariati, pandangan dunia Tauhid mengindikasikan secara langsung bahwa kehidupan adalah suatu bentuk yang tunggal. Hal ini tentu saja berbeda secara fundamental dengan pandangan dunia yang membagi realitas dunia ke dalam dua kategori yang dikotomistik-binerian; materi-non materi, jasmani-ruhani, khalq-makhluk, alam fisik-alam gaib, serta individu-masyarakat. Dengan kata lain pandangan dunia Tauhid adalah pandangan dunia yang melihat kenyataan sebagai realitas yang holistik, universal, integral dan monistik. Semua makhluk dan objek di alam semesta yang merupakan refleksi atas kebesaran Tuhan. Pandangan dunia Tauhid merupakan pandangan dunia yang integral. Pandangan dunia Tauhid memberikan kelonggaran bagi manusia untuk mengembangkan kebebasannya, sehiingga manusia bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukannya. Pandangan dunia Tauhid juga memandang bahwa manusia sebagai insan yang memiliki kemerdekaan dan martabat yang sangat tinggi. Berbeda dengan pandangan kaum eksistensialisme ateistik, seperti Jean Paul Sartre yang menyatakan dengan tegas bahwa manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.

Sartre, menafikan Tuhan dalam kaitannya dengan kebebasan manusia dalam eksistensinya. Meenurut Sartre, ada tidaknya Tuhan tidak akan mengubah penghayatan manusia tentang dirinya sebagai eksistensi. Penafian Tuhan dalam gerak mengada manusia juga dilontarkan oleh filosof materialis Jerman, Ludwig Van Feurbach, yang menyatakan bahwa Tuhan tak lebih hanyalah proyeksi akal pikiran manusia semata. Realitas tuhan yang sejati tak lain hanyalah diri manusia itu sendiri yang dilemparkan oleh manusia menjadi satu sosok di luar dirinya dan berkuasa atas dirinya. Kedua filosof tersebut menganggap manusia benar-benar menjadi sentrum eksistensi dari alam semesta ini. Pendapat kedua tokoh tersebut, termasuk juga para pemikir materialisme ateistik yang lain, dapat digambarkan secara puitis, sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad Zuhri, Ketahuilah, bahwa bermilyar tahun alam semesta tidak sadar akan dirinya, dan ketika ia sadar akan dirinya, manusialah wujudnya. Dalam pandangan dunia Tauhid, Tuhan adalah tujuan yang kepadaNyalah seluruh eksistensi dan makhluk bergerak secara simultan, dan Dia jualah yang menentukan tujuan dari alam semesta ini. Penyembahan terhadap kekuatan Absolut (Allah Yang Esa) yang merupakan seruan terbesar dari ajaran Ibrahim as, terdiri atas seruan kepada semua manusia untuk menyembah Penguasa tunggal di jagad raya ini. Penyembahan tersebut dimaksudkan untuk mengarahkan perhatian manusia kepada satu tujuan penciptaan dan untuk mempercayai satu kekuatan yang paling efektif dari seluruh eksistensi dan sebagai tempat berlindung dan bergantung manusia sepanjang hayat dan sejarah. Sebagaimana dikatakan oleh seorang sufi besar, Farid al-Din al-Athar, bila kau ingin sempurna, carilah kesemestaan, pilihlah kesemestaan, dan jadilah kesemestaan. Dalam pandangan dunia Tauhid, hakekat kesejatian manusia adalah potensi Ruh Allah yang telah ditupkan dalam diri manusia. Ruh Allah tersebut adalah kesemestaan sebagaimaana yang dimaksud oleh al-Athar. Ruh Allah adalah realitas paling sublim dan ultim dalam diri manusia yang menjadi modus bagi eksistensi manusia dalam kehidupannya. Tauhid sebagai modus eksistensi manusia, digambarkan oleh Syariati dalam pembahasannya yang sangat romantik, reflektif, dan revolusioner tentang ibadah haji. Beliau mengatakan, ibadah haji menggambarkan kepulangan manusia kepada Allah yang Mutlak dan Tidak Terbatas, serta tidak ada yang menyerupaiNya. Perjalanan pulang kembali kepada Allah menunjukkan suatu gerakan yang pasti menuju kesempurnaan, kebaikan, kebenaran, keindahan, pengetahuan, kekuatan, nilai-nilai, dan fakta-fakta. Tauhid sebagai modus eksistensi bermakna, bahwa Allah adalah tempat asal dan tempat kembali manusia. dariNyalah seluruh atribut Ilahiyah yang dimiliki oleh manusia berasal. Berbeda dengan filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre, yang menganggap Tuhan

sebagai sosok yang menghalangi kebebasan manusia. Ali Syariati memandang, bahwa Tuhan adalah sosok pembebas bagi manusia, dengan melakukan upaya pendekatan diri kepadaNya, maka manusia akan terbebas dari nilai-nilai lumpur busuk yang kotor dan melambangkan keadaan manusia yang dehumanis menuju Ruh Allah yang suci sebagai sumber seluruh nilai-nilai humanisme yang universal.

Anda mungkin juga menyukai