Anda di halaman 1dari 1

AHLI HUKUM PIDANA TOLAK PEMBERIAN REMISI Ahli hukum pidana dari Universitas Padjadjaran, Romli Atmasasmita, menyatakan

tak sependapat dengan kebijakan penghapusan remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana perkara korupsi serta terorisme yang diterapkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Menurut dia, efek jera seharusnya diberikan pada saat penjatuhan hukuman di pengadilan. "Bukan setelah hukuman diberikan lalu dirampas lagi kemerdekaan mereka," katanya ketika dihubungi kemarin. Kalau remisi dan pembebasan bersyarat dicabut, menurut Romli, terpidana dihukum dua kali. Mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ini menjelaskan, mestinya hukuman bagi koruptor dan teroris diperberat, misalnya vonis penjara di atas 5 tahun atau hukuman mati, bukan dengan mengambil lagi hak terpidana. Apalagi remisi dan pembebasan bersyarat adalah hak dasar terpidana merujuk pada aturan hukum internasional Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Indonesia telah meratifikasi konvensi itu, sehingga harus melaksanakannya. Kebijakan Kementerian Hukum itu tertuang dalam surat edaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tertanggal 31 Oktober 2011. Akibatnya, sejumlah politikus terpidana perkara suap cek pelawat gagal bebas. Medio pekan lalu, 26 politikus dari tujuh fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan hak interpelasi (bertanya kepada presiden) mengenai kebijakan itu. Tujuh fraksi itu adalah Partai Golkar, PDI Perjuangan, PPP, PKS, Partai Hanura, Partai Gerindra, dan PAN. Adapun Fraksi Partai Demokrat dan PKB menolak. "Pengetatan remisi harus diberikan untuk memberi efek jera mengingat jenis kejahatannya yang luar biasa," kata Sekretaris Fraksi Demokrat Saan Mustopa kemarin.

Anda mungkin juga menyukai