Anda di halaman 1dari 6

BAB II ANALISIS PASAR DAN PERILAKU PEMBELI TERHADAP GABAH 3.1.

Analisis Harga Gabah di Tingkat Produsen Secara umum, sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Simatupang et. al (2005a, 2005b), dari berbagai data sekunder yang ada di tingkat nasional dan propinsi, HPP untuk Gabah Kering Panen (GKP) cukup efektif dalam mengamankan harga gabah di tingkat petani. Seperti terlihat pada gambar di bawah ini, untuk kurun waktu 1998-2005, harga gabah petani umumnya berada di atas HPP yang ditetapkan pemerintah. Untuk Sumatera Barat dalam dua tahun terakhir harga GKP di tingkat petani selalu di atas HPP yang ditetapkan pemerintah. Analisis reggresi sederhana antara harga GKP dan HPP memperlihatkan fenomena yang sama antara data di tingkat nasional dan daerah pengamatan (Sumbar, Jabar, D.I. Yogyakarta dan Sulsel). Semua intersepnya bernilai positif dan nilai koefisien variasinya tidak lebih dari 5%, ini berarti harga produsen stabil di atas HPP dalam kurun waktu tersebut di atas. Namun kalau kita lihat dari data riil di tingkat petani gambarannya tidaklah sebaik dari uraian di atas, masih banyak ditemui petani yang menerima harga pembelian gabah di bawah Rp.1,730,-, dan ini terkait dengan berbagai faktor yang akan diterangkan pada bagian berikutnya. 3.2. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitasi harga gabah di tingkat produsen. Secara umum rata-rata harga gabah di tingkat petani, terutama GKP, selama musim kemarau lebih tinggi dari pada musim hujan. Sementara itu dari sisi wilayah, harga GKP di Sumatera Barat lebih tinggi dari daerah lainnya. Banyak faktor yang menyebabkan hal di atas diantaranya terkait dengan pola perdagangan gabah dan beras serta alternatif pasar yang tersedia, sistem panen, pola tanam dan kondisi spesifik wilayah. Perdagangan gabah dan beras, sebagaimana perdagangan komoditi pertanian lainnya, berjenjang dari pedagang tingkat desa sampai pengecer di wilayah konsumen. Satu hal yang mulai agak ada perubahan terutama untuk pedagang besar di Jawa Barat dan D. I. Yogyakarta, adalah peran pedagang besar 1

yang mulai tersaingi oleh pedagang menengah dalam pemasaran beras antar wilayah/propinsi. Bila pada waktu yang lalu pemasaran beras antar wilayah, terutama untuk tujuan Jakarta dan sekitarnya di monopoli oleh beberapa pedagang besar, maka sekarang jumlah pedagang yang memasarkan berasnya ke wilayah Jakarta dan sekitarnya relatif lebih banyak. Dalam hal lainnya tidak ada perubahan yang berarti selama 10 tahun terakhir. Fluktuasi harga gabah antar musim, merupakan fenomena yang sudah biasa kita temui, dan ini banyak terkait dengan masalah penawaran dan permintaan gabah/beras. Panen raya di Jawa Barat dan DIY umumnya terjadi pada saat musim hujan, dan ini menyulitkan petani dalam mengelola gabah yang dihasilkannya, sementara harga penjualan gabah pada musim hujan ini adalah rendah. Dari sisi pedagang, pada saat musim hujan mereka umumnya lebih menyukai membeli gabah dalam bentuk Gabah Kering Giling (GKG) karena secara rata-rata di seluruh wilayah yang diamati, margin keuntungan yang diperoleh pedagang lebih besar untuk GKG dibandingkan GKP. Bagi pedagang di tingkat desa, umumnya memiliki usaha penggilingan padi, pada saat musim hujan biaya yang dikeluarkan untuk pengelolaan GKP sampai menjadi beras untuk setiap kilogram gabah yang mereka beli, lebih besar dari GKG. Selisih biaya ini, kecuali untuk Sumatera Barat, relatif besar antara GKP dan GKG. Pada saat musim kemarau, biaya yang dikeluarkan relatif sama perbedaannya hanya untuk biaya jemur dan itu jumlahnya relatif kecil (Tabel 4). Keadaan ini membawa konsekwensi besar bagi margin keuntungan yang diperoleh pedagang, pada saat musim hujan rata-rata margin keuntungan dari GKG sekitar 30% sampai tiga kali lipat dari keuntungan GKP. Inilah juga yang menyebabkan kenapa harga jual GKP semakin terpuruk pada saat musim hujan, selain jumlah produksi melimpah, pedagang kurang mempunyai insentif untuk membeli dalam bentuk GKP. Keadaan sebaliknya pada saat musim kemarau, pedagang mempunyai insentif untuk membeli dalam bentuk GKP, karena selain perbedaan biaya yang dikeluarkan dengan

pembelian GKG relatif kecil, pedagang mendapatkan nilai tambah yang menarik dari rendemen GKP-GKG. Sehingga secara rata-rata tingkat keuntungan yang diperoleh pedagang pada saat musi kemarau lebih besar pada pembelian dalam bentuk GKP. Inilah yang mendorong ketatnya persaingan antar pedagang tingkat desa, terutama di 2

Jawa Barat, dalam mendapatkan GKP di saat musim kemarau. Beberapa pedagang di sekitar kota Sukabumi harus bersaing dengan pedagang dari Karawang, Subang dan indramayu untuk mendapatkan GKP di wilayah kecamatan Surade, Sukabumi selatan dan fenomena ini hanya terjadi pada saat musim kemarau. Uraian di atas mempertegas betapa makin lemahnya posisi petani padi, terutama pada saat musim hujan. 3.3. Analisis penyebab disparitas harga gabah dan beras serta proses transmisi harga pada berbagai tingkatan pedagang dan petani. Fenomena lain yang perlu dicermati akhir-akhir ini adalah semakin tingginya disparitas harga gabah dan beras pada setiap awal tahun. Pengamatan yang dilakukan Bustanul Arifin (Kompas, 13 Februari 2006) menunjukkan disparitas harga gabah dan harga beras yang semakin melebar sejak kejatuhan Presiden Soeharto menjadi persoalan tersendiri bagi ekonomi perberasan. Mengutip laporan Badan Pusat Statistik pada tanggal 1 Februari 2006 terlihat bahwa, harga rata-rata gabah kering panen di tingkat petani bulan Januari 2006 tercatat Rp 1.990 per kg, sementara harga rata-rata beras kualitas medium di seluruh Indonesia Rp 3.615 per kg, dengan variasi yang cukup tajam, antara Rp 3.500 per kg dan Rp 4.200 per kg, atau bahkan lebih tinggi lagi di daerah pedalaman dan yang terisolasi. Fenomena ini menunjukkan bahwa struktur pasar beras sangat tidak simetris karena perbedaan informasi yang dimiliki para pelaku ekonomi perdagangan beras. Para pedagang beras apalagi yang merangkap menguasai penggilingan padi sangat mungkin mampu mengelola cadangan beras di gudangnya. Salah satu cara untuk melihat keterkaitan atau transmisi harga antara berbagai tingkatan pasar, konsumen dan produsen adalah dengan melihat integrasi pasar antar berbagai tingkatan tersebut.

Rp /Kg

5,000 4,500 4,000 3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 Jan Mar Mei Jul Sep No v Jan Mar Mei Jul Sep No v Jan Mar Mei Jul Sep No v Jan Mar Mei Jul Sep No v Jan Mar Mei Jul Sep GKP Eceran Marjin

2002

2003

2004

2005

2006 Tahun

Gambar 2. Perkembangan Harga Gabah Kering Panen (GKP) dan Harga Eceran Beras Medium di Indonesia, 2002-2006

3.4. Saran penetapan HPP gabah/beras wilayah. Pada tahun 1988 BULOG pernah menetapkan harga pembelian beras dan gabah yang berbeda antar daerah. Tujuan pembedaan adalah untk mencapai jumlah pengadaan yang besar, guna menutupi pengurangan persediaan akibat kemarau panjang tahun 1987. Harga yang lebih tinggi didaerah defisit akan merangsang peningkatan produksi beras didaerah tersebut (Amang dan Sawit, 2001) dan akan merangsang adanya aliran beras dari daerah surplus ke daerah defisit. Tim belum berhasil menemukan hasil studi tentang efektivitas dari penetapan di atas, sehingga tidak bisa banyak membahasnya di sini. Dari hasil pengamatan selama penelitian ini, yang dilakukan di wilayah surplus beras, terlihat bahwa break even point untuk usahatani padi berkisar pada harga Rp. 1.025,6 1.338,7 dan margin keuntungan yang didapat petani dengan memperhitungkan biaya lahan dan tenaga kerja keluarga berkisar 18,33- 34,58% dari total produksi, dimana margin tertinggi pada petani di Sumatera Barat. Hasil serupa dapat dilihat pada Rachman et al (2004), dimana untuk Jawa Barat (Indramayu) berkisar 16,8-25,2%, Agam (Sumbar) berkisar 17,7-32,3% dan Sidrap (11,0-32,3).Dari gambaran di atas terlihat bahwa secara alamiah memang terdapat perbedaan dalam struktur ongkos usahatani antar wilayah. Persoalannya sekarang, dengan HPP yang seragam, sementara harga GKP,GKG dan beras di beberapa wilayah jauh lebih tinggi dari HPP, BULOG sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam hal pengadaan gabah/beras untuk menjamin stok, kesulitan menjalankan perannya. Dalam kasus ini, nampaknya

penetapan GKP dan GKG pada angka tertentu bukan suatu pilihan yang baik, 4

pemerintah perlu menetapkan harga GKP dan GKG dalam bentuk persentase dari harga beras, yang dapat secara dinamis diikuti oleh semua pelaku pemasaran gabah dan beras, seperti yang dilakukan Pemda Bantul yang menetapkan HPP lokal 50% dari harga beras medium. Dalam jangka panjang sudah saatnya pemerintah memikirkan kemungkinan mendelegasikan masalah penetapan HPP dan sejenisnya pada pemerintah daerah, dalam hal ini kabupaten. Pemerintah pusat hanya perlu membuat rambu-rambu dan pedoman dalam menetapkan HPP misalnya, sementara itu Kabupaten berdasarkan kondisi spesifik yang ada bisa membuat kebijakan yang sesuai didaerahnya. Selain itu untuk menjamin stabilisasi harga di tingkat petani, berbagai inisiatif lokal yang ada (pokja pasca panen Bantul dan Kemitraan Sidrap) ternyata lebih efektif ketimbang lembaga bentukan dari pusat (LUEP). Dalam jangka panjang, sejalan dengan semangat otonomi daerah, maka kemampuan pemerintah daerah dalam menjamin stabilisasi harga produk pertanian di wilayahnya, serta kecukupan pangan bagi masyaraktanya merupakan salah satu kriteria utama yang dijadikan acuan dalam menilai kinerja pemerintah daerah. 3.5. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan pemerintah dalam penetapan HDPP gabah/beras. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian secara berkala setiap tahunnya melakukan penelitian tentang evektivitas dari HDPP dan memberikan masukan terhadap penetapan Inpres kebijakan perberasan. Dua kajian yang dilakukan Simatupang et. al (2005a, 2005b) menunjukkan bahwa HDPP untuk Gabah Kering Panen (GKP) pada tahun 2004 relatif lebih efektif dibandingkan untuk GKG dan beras. Secara umum penetapan HDPP yang dilakukan PSE selama ini didasarkan pada keragaan input-output usahatani dan perkiraan laju inflasi. Perhitungan HDPP tahun 2006 yang di rekomendasikan sebesar Rp.1,480 per kilogram, didasarkan pada RC rasio 1,48 dan perkiraan inflasi 12,75% serta pajak impor sebesar Rp. 450,- per kilogram. Dengan penetapan pajak impor tersebut, diperkirakan harga beras impor akan tetap lebih tinggi dari harga beras domestik, sehingga tidak menarik bagi pedagang untuk melakukan impor. Untuk melihat faktor-faktor yang perlu diperhtungkan dalam penetapan HPP ke depan, tim merumuskan sebuah persamaan simultan sebagaimana terlihat pada bagian awal 5

makalah ini. Berdasarkan hasil sementara pendugaan model pasar beras/gabah di Indonesia cukup baik dilihat dari kriteria ekonomi,statistikdan ekonometrik. Satu hal yang menarik dari pendugaan model pasar gabah/beras ini adalah tidak nyatanya pengaruh harga GKP terhadap luas areal panen dan produktivitas di tigkat petani. Ini menunjukkan dalam jangka pendek kebijakan harga tidak berpengaruh terhadap performa usahatani. Sehingga berbagai argumen yang menyatakan bahwa peningkatan harga GKP akan merangsang peningkatan luas areal panen dan produktivitas nampaknya perlu dilihat lebih cermat lagi. Demikian juga harga beras impor dalam jangka pendek tidak berpengaruh terhadap harga beras grosir, karena pasar beras didalam negeri telah diproteksi dengan penetapan tarif dan batasan impor,sehingga transmisi harga dari pasar dunia tidak secara langsung mempengaruhi harga beras dalam negeri. Sementara jumlah impor berpengaruh secara nyata terhadap harga di tingkat grosir. Ini membuktikan bahwa pengaruh psikologis dari impor jauh lebih besar dibandingkan variabel lainnya dalam pembentukan harga beras di dalam negeri. Sehingga komponen impor dapat dipergunakan dalam mengontrol tingkat harga beras dan gabah yang ada, karena harga GKP dipengaruhi secara nyata oleh harga beras grosir. Stok bulog tidak berpengaruh terhadap harga beras di tingkat grosir, hal ini nampaknya terkait dengan makin melemahnya peran BULOG akhir-akhir ini.

Anda mungkin juga menyukai