Anda di halaman 1dari 12

IMPETIGO: TERAPI DAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK TOPIKAL BERDASARKAN EVIDENCE BASED MEDICINE

Posted on May 18, 2009 by diyoyen. Categories: Kulit Kelamin.

LAPORAN KASUS SMF PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN I.IDENTITAS PENDERITA Nama: An R. M. R Jenis Kelamin: Laki-laki Umur: 16 bulan Suku: Jawa Agama: Islam Pekerjaan: Alamat:S, Jember II.HETEROANAMNESIS Heteroanamnesis dilakukan pada Mbah pasien yang mengantarkan pasien berobat ke RSUD dr. SOEBANDI Jember
1. Keluhan Utama

Luka garukan di regio lumbal posterior dekstra


1. Riwayat Penyakit Sekarang

Menurut Mbah pasien mulai 10 hari yang lalu pasien mengeluhkan gatal pada regio lumbal posterior dekstra, tanpa adanya keluhan gatal di daerah lain. Awalnya muncul vesikel, karena gatal, lalu digaruk oleh pasien kemudian vesikel pecah dan menimbulkan kerak. Vesikel-vesikel semakin lama semakin bertambah banyak dan menyebar. Pasien sudah dibawa berobat ke dokter, diberi salep dan tablet namun keluhan tidak berkurang. Akhirnya pasien berobat ke RSUD dr. SOEBANDI Jember.
1. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya.


1. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga yang tinggal bersama pasien saat ini tidak ada yang menderita penyakit seperti ini.
1. Riwayat Pengobatan

Pernah berobat ke dokter umum, lalu diberi salep dan tablet, namun keluhan tidak berkurang.
1. Riwayat Alergi

Pasien tidak punya riwayat alergi obat maupun makanan, dan pasien tidak pernah melakukan pemeriksaan alergi sebelumnya. III.PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis

Kesadaran: komposmentis Keadaan Umum: baik

Kepala/Leher: dalam batas normal Thorak Cor: S1S2 tunggal, lain-lain dalam batas normal Pulmo: Vesikuler, Rh-/-, Wh -/-, lain-lain dalam batas normal Abdomen: Soepel, bising usus (+), lain-lain dalam batas normal Ekstremitas: dalam batas normal Genitalia: dalam batas normal
1. Status Lokalis

Lokasi : regio lumbal dekstra bagian posterior Efloresensi : Pada pemeriksaan didapatkan lesi kulit berupa papula berisi cairan keruh, tidak dikelilingi daerah eritematus, selain itu juga ditemukan bekas bula yang pecah berupa kulit yang eritematus dengan krusta tipis kecoklatan pada bagian tepi. IV.RESUME Seorang anak laki-laki 16 bulan, dating dengan keluhan utama adanya luka garukan di regio lumbal dekstra bagian posterior. Awalnya muncul vesikel, karena gatal, lalu digaruk oleh pasien kemudian vesikel pecah dan menimbulkan kerak. Vesikel-vesikel semakin lama semakin bertambah banyak dan menyebar. Pasien sudah dibawa berobat ke dokter, diberi salep dan tablet namun keluhan tidak berkurang. Akhirnya pasien berobat ke RSUD dr. SOEBANDI Jember. Pada pemeriksaan fisik status lokalis di region lumbal dekstra bagian posterior, didapatkan lesi kulit berupa papula berisi cairan keruh, tidak dikelilingi daerah eritematus, selain itu juga ditemukan bekas bula yang pecah berupa kulit yang eritematus dengan krusta tipis kecoklatan pada bagian tepi. V.DIAGNOSIS BANDING
1. Dermatitis kontak 2. Varicella 3. Karbunkel 4. Furunkel

VI.DIAGNOSIS KERJA Impetigo Bulosa VII.USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG Bila diperlukan dapat melakukan pemeriksaan isi vesikel dengan pengecatan gram, lalu bias dilakukan uji katalase. VIII.PENATALAKSANAAN
1. Nonmedikamentosa

Menjaga kebersihan, yaitu dengan : -. Mandi teratur dengan sabun mandi -. Pakaian, handuk, sprei, sering diganti dan dicuci air panas -. Pakaian, handuk, sebaiknya hanya digunakan oleh satu orang (tidak untuk digunakan beramai-ramai) -. Kontrol setelah 5-7 hari

1. Medikamentosa

Sistemik : Eritromisin sirup 250 mg, 3 DD I ct Topikal : Asam Fusidat IX.PROGNOSIS Pada umumnya baik, pada pasien ini 5-7 hari kemudian tidak kontrol mungkin saja sudah tejadi perbaikan sehingga menurut keluarga pasien tidak perlu kontrol.

REFLEKSI KASUS IMPETIGO: TERAPI DAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK TOPIKAL BERDASARKAN EVIDENCE BASED MEDICINE

I.DEFINISI Impetigo adalah salah satu contoh pioderma, yang menyerang lapisan epidermis kulit (Djuanda, 56:2005). Impetigo biasanya juga mengikuti trauma superficial dengan robekan kulit dan paling sering merupakan penyakit penyerta (secondary infection) dari Pediculosis, Skabies, Infeksi jamur, dan pada insect bites (Beheshti, 2:2007). II.SINONIM Impetigo krustosa juga dikenal sebagai impetigo kontangiosa, impetigo vulgaris, atau impetigo Tillbury Fox. Impetigo bulosa juga dikenal sebagai impetigo vesikulo-bulosa atau cacar monyet (Djuanda, 56-57:2005). III.ETIOLOGI Impetigo disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau Group A Beta HemolitikStreptococcus (Streptococcus pyogenes). Staphylococcus merupakan pathogen primer pada impetigo bulosa dan ecthyma (Beheshti, 2:2007). Staphylococcus merupakan bakteri sel gram positif dengan ukuran 1 m, berbentuk bulat, biasanya tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur, kokus tunggal, berpasangan, tetrad, dan berbentuk rantai juga bisa didapatkan.Staphylococcus dapat menyebabkan penyakit berkat kemampuannya mengadakan pembelahan dan menyebar luas ke dalam jaringan dan melalui produksi beberapa bahan ekstraseluler. Beberapa dari bahan tersebut adalah enzim dan yang lain berupa toksin meskipun fungsinya adalah sebagai enzim. Staphylococcus dapat menghasilkan katalase, koagulase, hyaluronidase, eksotoksin, lekosidin, toksin eksfoliatif, toksik sindrom syok toksik, dan enterotoksin. (Brooks, 317:2005). Streptococcus merupakan bakteri gram positif berbentuk bulat, yang mempunyai karakteristik dapat berbentuk pasangan atau rantai selama pertumbuhannya. Lebih dari 20 produk ekstraseluler yang antigenic termasuk dalam grup A, (Streptococcus pyogenes) diantaranya adalah Streptokinase, streptodornase, hyaluronidase, eksotoksin pirogenik, disphosphopyridine nucleotidase, dan hemolisin (Brooks, 332:2005). IV.EPIDEMIOLOGI Impetigo terjadi di seluruh Negara di dunia dan angka kejadiannya selalu meningkat dari tahun ke tahun. Di Amerika Serikat Impetigo merupakan 10% dari masalah kulit yang dijumpai pada klinik anak dan terbanyak pada daerah yang jauh lebih hangat, yaitu pada daerah tenggara

Amerika (Provider synergies, 2:2007). Di Inggris kejadian impetigo pada anak sampai usia 4 tahun sebanyak 2,8% pertahun dan 1,6% pada anak usia 5-15 tahun. Sekitar 70% merupakan impetigo krustosa (Cole, 1:2007). Pasien dapat lebih jauh menginfeksi dirinya sendiri atau orang lain setelah menggaruk lesi. Infeksi seringkali menyebar dengan cepat pada sekolah atau tempat penitipan anak atau juga pada tempat dengan hygiene buruk atau tempat tinggal yang padat penduduk (Cole, 1:2007). V.FAKTOR PREDISPOSISI
o o o o o

Kontak langsung dengan pasien impetigo Kontak tidak langsung melalui handuk, selimut, atau pakaian pasien impetigo Cuaca panas maupun kondisi lingkungan yang lembab Kegiatan/olahraga dengan kontak langsung antar kulit seperti gulat Pasien dengan dermatitis, terutama dermatitis atopik

(Sumber Beheshta, 2:2007). VI.MANIFESTASI KLINIK 1)Impetigo Krustosa Tempat predileksi tersering pada impetigo krustosa adalah di wajah, terutama sekitar lubang hidung dan mulut, karena dianggap sumber infeksi dari daerah tersebut. Tempat lain yang mungkin terkena, yaitu anggota gerak (kecuali telapak tangan dan kaki), dan badan, tetapi umumnya terbatas, walaupun penyebaran luas dapat terjadi (Boediardja, 2005; Djuanda, 2005). Biasanya mengenai anak yang belum sekolah. Gatal dan rasa tidak nyaman dapat terjadi, tetapi tidak disertai gejala konstitusi. Pembesaran kelenjar limfe regional lebih sering disebabkan oleh Streptococcus. Kelainan kulit didahului oleh makula eritematus kecil, sekitar 1-2 mm. Kemudian segera terbentuk vesikel atau pustule yang mudah pecah dan meninggalkan erosi. Cairan serosa dan purulen akan membentuk krusta tebal berwarna kekuningan yang memberi gambaran karakteristik seperti madu (honey colour). Lesi akan melebar sampai 1-2 cm, disertai lesi satelit disekitarnya. Lesi tersebut akan bergabung membentuk daerah krustasi yang lebar. Eksudat dengan mudah menyebar secara autoinokulasi (Boediardja, 2005). 2). Impetigo Bulosa Tempat predileksi tersering pada impetigo bulosa adalah di ketiak, dada, punggung. Sering bersama-sama dengan miliaria. Terdapat pada anak dan dewasa. Kelainan kulit berupa vesikel (gelembung berisi cairan dengan diameter 0,5cm) kurang dari 1 cm pada kulit yang utuh, dengan kulit sekitar normal atau kemerahan. Pada awalnya vesikel berisi cairan yang jernih yang berubah menjadi berwarna keruh. Atap dari bulla pecah dan meninggalkan gambaran collarette pada pinggirnya. Krusta varnishlike terbentuk pada bagian tengah yang jika disingkirkan memperlihatkan dasar yang merah dan basah. Bulla yang utuh jarang ditemukan karena sangat rapuh (Yayasan Orang Tua Peduli, 1:2008). Bila impetigo menyertai kelainan kulit lainnya maka, kelainan itu dapat menyertai dermatitis atopi, varisela, gigitan binatang dan lain-lain. Lesi dapat lokal atau tersebar, seringkali di wajah atau tempat lain, seperti tempat yang lembab, lipatan kulit, ketiak atau lipatan leher.

Tidak ada pembengkakan kelenjar getah bening di dekat lesi. (Yayasan Orang Tua Peduli, 1:2008). Pada bayi, lesi yang luas dapat disertai dengan gejala demam, lemah, diare. Jarang sekali disetai dengan radang paru, infeksi sendi atau tulang. (Yayasan Orang Tua Peduli, 1:2008). VII.PEMERIKSAAN PENUNJANG Bila diperlukan dapat memeriksa isi vesikel dengan pengecatan gram untuk menyingkirkan diagnosis banding dengan gangguan infeksi gram negative. Bisa dilanjutkan dengan tes katalase dan koagulase untuk membedakan antaraStaphylococcus dan Streptococcus (Brooks, 332:2005). VIII.DIAGNOSIS BANDING
1. Dermatitis atopi: keluhan gatal yang berulang atau berlangsung lama (kronik) dan kulit kering; penebalan pada lipatan kulit terutama pada dewasa (likenifikasi); pada anak seringkali melibatkan daerah wajah atau tangan bagian dalam. 2. Candidiasis (infeksi jamur candida): papul merah, basah; umumnya di daerah selaput lender atau daerah lipatan. 3. Dermatitis kontak: gatal pada daerah sensitive yang kontak dengan zat-zat yang mengiritasi. 4. Diskoid lupus eritematus: lesi datar(plak), batas tegas yang mengenai sampai folikel rambut. 5. Ektima: lesi berkrusta yang menutupi daerah ulkus (luka dengan dasar dan dinding) dapat menetap selama beberapa minggu dan sembuh dengan jaringan parut bila infeksi sampai jaringan kulit dalam (dermis). 6. Herpes simpleks: vesikel berkelompok dengan dasar kemerahan yang pecah menjadi lecet tertutupi oleh krusta, biasanya pada bibir dan kulit. 7. Gigitan serangga: Terdapat papul pada daerah gigitan, dapat nyeri. 8. Skabies: Papula yang kecil dan menyebar, terdapat terowongan pada selasela jari, gatal pada malam hari. 9. Varisela: Vesikel pada dasar kemerahan bermula di badan dan menyebar ke tangan, kaki, dan wajah; vesikel pecah dan membentuk krusta; lesi terdapat pada beberapa tahap (vesikel, krusta) pada saat yang sama (Cole, 3:2007).

IX.KOMPLIKASI Impetigo biasanya sembuh tanpa penyulit dalam 2 minggu walaupun tidak diobati. Komplikasi berupa radang ginjal pasca infeksi Streptococcus terjadi pada 1-5% pasien terutama usia 2-6 tahun dan hal ini tidak dipengaruhi oleh pengobatan antibiotic. Gejala berupa bengkak dan kenaikan tekanan darah, pada sepertiga terdapat urine seperti warna the. Keadaan ini umumnya sembuh secara spontan walaupun gejala-gejala tadi muncul (Yayasan Orang Tua Peduli, 4:2008). Komplikasi lainnya yang jarang terjadi adalah infeksi tulang (osteomielitis), radang paruparu (pneumonia), selulitis, psoriasis, Staphylococcal scalded skin syndrome, radang pembuluh limfe atau kelenjar getah bening (Yayasan Orang Tua Peduli, 4:2008).

X.PENATALAKSANAAN 1.Terapi nonmedikamentosa oMenghilangkan krusta dengan cara mandikan anak selama 20-30 menit, disertai mengelupaskan krusta dengan handuk basah oMencegah anak untuk menggaruk daerah lecet. Dapat dengan menutup daerah yang lecet dengan perban tahan air dan memotong kuku anak oLanjutkan pengobatan sampai semua luka lecet sembuh oLakukan drainase pada bula dan pustule secara aseptic dengan jarum suntik untuk mencegah penyebaran local oDapat dilakukan kompres dengan menggunakan larutan NaCl 0,9% pada impetigo krustosa. oLakukan pencegahan seperti yang disebutkan pada point XI di bawah. 2.Terapi medikamentosa a.Terapi topikal Pengobatan topikal sebelum memberikan salep antibiotik sebaiknya krusta sedikit dilepaskan baru kemudian diberi salep antibiotik. Pada pengobatan topikal impetigo bulosa bisa dilakukan dengan pemberian antiseptik atau salap antibiotik (Djuanda, 57:2005). 1). Antiseptik Antiseptik yang dapat dijadikan pertimbangan dalam pengobatan impetigo terutama yang telah dilakukan penelitian di Indonesia khususnya Jember dengan menggunakan Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah triklosan 2%. Pada hasil penelitian didapatkan jumlah koloni yang dapat tumbuh setelah kontak dengan triklosan 2% selama 30, 60, 90, dan 120 adalah sebanyak 0 koloni (Suswati, 6:2003). Sehingga dapat dikatakan bahwa triklosan 2%mampu untuk mengendalikan penyebaran penyakit akibat infeksi Staphylococcus aureus (Suswati, 6:2003). 2). Antibiotik Topikal oMupirocin Mupirocin topikal merupakan salah satu antibiotik yang sudah mulai digunakan sejak tahun 1980an. Mupirocin ini bekerja dengan menghambat sintesis RNA dan protein dari bakteri. Pada salah satu penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan mupirocin topikal yang dibandingkan dengan pemberian eritromisin oral pada pasien impetigo yang dilakukan di Ohio didapatkan hasil sebagai berikut: Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa penggunaan mupirocin topikal jauh lebih unggul dalam mempercepat penyembuhan pasien impetigo, meskipun pada awal kunjungan diketahui lebih baik penggunaan eritromisin oral, namun pada akhir terapi dan pada evaluasi diketahui jauh lebih baik mupirocin topikal dibandingkan dengan eritromisin oral dan penggunaan mupirocin topikal memiliki sedikit failure (Goldfarb, 1-3). Untuk penggunaan mupirocin topikal dapat dilihat pada tabel berikut: oFusidic Acid

Tahun 2002 telah dilakukan penelitian terhadap fusidic acid yang dibandingkan dengan plasebo pada praktek dokter umum yang diberikan pada pasien impetigo dan didapatkan hasil sebagai berikut: Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa penggunaan plasebo jauh lebih baik dibandingkan dengan menggunakan fassidic acid. oRatapamulin Pada tanggal 17 April 2007 ratapamulin telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk digunakan sebagai pengobatan impetigo. Namun bukan untuk yang disebabkan oleh metisilin resisten ataupun vankomisin resisten. Ratapamulin berikatan dengan subunit 50S ribosom pada protein L3 dekat dengan peptidil transferase yang pada akhirnya akan menghambat protein sintesis dari bakteri (Buck, 1:2007). Pada salah satu penelitian yang telah dilakukan pada 210 pasien impetigo yang berusia diantara 9 sampai 73 tahun dengan luas lesi tidak lebih dari 100 cm2 atau >2% luas dari total luas badan. Kultur yang telah dilakukan pada pasien tersebut didapatkan 82% dengan infeksi Staphylococcus aureus. Pada pasien-pasien tersebut diberi ratapamulin sebanyak 2 kali sehari selama 5 hari terapi. Evaluasi dilakukan mulai hari ke dua setelah hari terakhir terapi, dan didapatkan luas lesi berkurang, lesi telah mengering, dan lesi benar-benar telah membaik tanpa penggunaan terapi tambahan. Pada 85,6% pasien dengan menggunakan ratapamulin didapatkan perbaikan klinis dan hanya hanya 52,1% pasien mengalami perbaikan klinis yang menggunakan plasebo (Buck, 1:2007). oDicloxacillin Penggunaan dicloxacillin merupaka First line untuk pengobatan impetigo, namun akhir-akhir ini penggunaan dicloxacillin mulai tergeser oleh penggunaan ratapamulin topikal karena diketahui ratapamulin memiliki lebih sedikit efek samping bila dibandingkan dengan dicloxacillin. Penggunaan dicloxacillin sebagai terapi topical pada impetigo sebagai berikut: (Sumber: Primary Clinical Care Manual 2007) b.Terapi sistemik 1)Penisilin dan semisintetiknya (pilih salah satu) a.Penicillin G procaine injeksi Dosis: 0,6-1,2 juta IU im 1-2 x sehari Anak: 25.000-50.000 IU im 1-2 x sehari b.Ampicillin Dosis: 250-500 mg per dosis 4 x sehari Anak: 7,5-25 mg/Kg/dosis4x sehari ac c.Amoksicillin Dosis: 250-500 mg / dosis 3 x sehari Anak: 7,5-25 mg/Kg/dosis 3 x sehari ac d.Cloxacillin (untuk Staphylococcus yang kebal penicillin)

Dosis: 250-500 mg/ dosis, 4 x sehari ac Anak: 10-25 mg/Kg/dosis 4 x sehari ac e.Phenoxymethyl penicillin (penicillin V) Dosis: 250-500 mg/dosis, 4 x sehari ac Anak: 7,5-12,5 mg/Kg/dosis, 4 x sehari ac 2)Eritromisin (bila alergi penisilin) Dosis: 250-500 mg/dosis, 4 x sehari pc Anak: 12,5-50 mg/Kg/dosis, 4 x sehari pc 3)Clindamisin (alergi penisilin dan menderita saluran cerna) Dosis: 150-300 mg/dosis, 3-4 x sehari Anak > 1 bulan 8-20 mg/Kg/hari, 3-4 x sehari 4)Penggunaan terapi antibiotik sistemik lainnya Pada penggunaan sistemik antibiotik lainnya yang dapat dipertimbangkan adalah, sebagai berikut: XI.PENCEGAHAN Tindakan yang bisa dilakukan guna pencegahan impetigo diantaranya
1. Cuci tangan segera dengan menggunakan air mengalir bila habis kontak dengan pasien, terutama apabila terkena luka. 2. Jangan menggunakan pakaian yang sama dengan penderita 3. Bersihkan dan lakukan desinfektan pada mainan yang mungkin bisa menularkan pada orang lain, setelah digunakan pasien 4. Mandi teratur dengan sabun dan air (sabun antiseptik dapat digunakan, namun dapat mengiritasi pada sebagian kulit orang yang kulit sensitif) 5. Higiene yang baik, mencakup cuci tangan teratur, menjaga kuku jari tetap pendek dan bersih 6. Jauhkan diri dari orang dengan impetigo 7. Cuci pakaian, handuk dan sprei dari anak dengan impetigo terpisah dari yang lainnya. Cuci dengan air panas dan keringkan di bawah sinar matahari atau pengering yang panas. Mainan yang dipakai dapat dicuci dengan disinfektan. 8. Gunakan sarung tangan saat mengoleskan antibiotik topikal di tempat yang terinfeksi dan cuci tangan setelah itu

(Sumber: Northern Kentucky Health Department, 1:2005). XII.PROGNOSIS Pada umumnya baik. DAFTAR PUSTAKA Beheshti, 2007, Impetigo, a brief review, Fasa-Iran: Fasa Medical School. Buck, 2007, Ratapamulin: A New Option of Impetigo, Virginia USA: University of Virginia Childrens Hospital. Cole, 2007, Diagnosis and Treatment of Impetigo, Virginia:University of Virginia School of Medicine.

Djuanda, 2005, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Goldfarb,Randomized Clinical Trial of Topical Mupirocin Versus Oral Eyitromycin for Impetigo, Ohio: University School of Medicine. NN, 2007, Primary Clinical Care Manual 2007, Northern Kentucky Health Department, 2005, Impetigo, Kentucky: Epidemiology Services, Northern Kentucky Health Department. Provider synergies, 2007, Impetigo Agents, Topical Review, Ohio: Intellectual Property Department Provider Synergies LLC. Suswati. E, 2003, Efek Hambatan Triklosan 2% Terhadap Pertumbuhan Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA), Jember: Fakultas Kedokteran Universitas Jember. Yayasan Peduli Orang Tua, 2007, Impetigo, Jakarta Selatan: Yayasan Peduli Orang Tua.

patogenesis

Staphylococcus dapat menginfeksi melalui kulit yang terdapat lesi seperti pada luka gigitan serangga, luka bakar, luka lecet, luka bekas operasi atau pada kulit yang mengalami kelainan seperti pada dermatitis atopi, dermatitis kontak dan lain-lain. Staphylococcus dapat menyebabkan penyakit melalui 2 cara yaitu menginvasi jaringan atau dengan memproduksi toxin. Pada invasi ke jaringan, organisme ini dapat menyebar melalui tangan ke bagian tubuh yang mungkin dapat terinfeksi (dapat melalui tindakan yang melukai permukaan kulit misanya pada kateterisasi vaskular atau insisi; serta jika terjadi penurunan fungsi barier kulit seperti pada ekzema). Tanda dari infeksi Staphylococcus di jaringan adalah abses, yang mana terdapat dinding fibril yang dikelilingi oleh jaringan yang inflamasi. Terdapat pus pada inti abses tersebut yang mengandung organisme dan leukosit. Dari fokus infeksi ini, organisme dapat menyebar secara hematogen walaupun dari abses yang kecil. Hal ini difasilitasi dengan adanya kemampuan Staphylococcus untuk menguraikan enzim proteolitik. Hal ini dapat juga terjadi pada pneumonia, infeksi tulang dan sendi dan infeksi pada katup jantung. Staphylococcus juga menghasilkan toxin yang dapat menyebabkan terjadinya lepuhan seperti pada impetigo bulosa. Toxin yang paling sering adalah toxin exfoliatif A (ETA) yang di produksi oleh Staphylococcus aureus. Pada tahun 2006, toxin exfoliatif D (ETD) diidentifikasi pada 10% hasil isolasi S. aureus.5 Pada impetigo bulosa, toxin menyebabkan lepuhan lokal pada tempat yang terinfeksi saja. Pada deretan asam amino ETA mengindikasi bahwa toxin ini termasuk dalam famili serine protease. Salah satu protein target dari ETA adalah desmoglein 1 (dsg1), molekul ini berfungsi mempertahankan adhesi pada epidermis. ETA menyebabkan dsg1 kehilangan fungsinya sehingga menyebabkan munculnya lepuhan pada mencit. Hal ini terjadi karena adanya kehilangan daya adhesi sel pada superficial epidermis. Walaupun demikian tidak ada substrat yang telah teridentifikasi, pecahan protein tidak pernah ditemukan dan hanya sedikit terlihat pada daerah superficial epidermis, tapi tidak terdapat jaringan lain termasuk membrane mukosa. Pertahanan primer melawan infeksi S. aureus adalah imunitas yang disediakan oleh neutrofil. Komponen utama dari respon imunitas tersebut adalah antimicrobial peptida. Peptide tersebut dapat ditemukan pada beberapa tempat. Yang termasuk dalam peptide tersebut adalah dermicidin, LL-37, protegrin, ?-defensins & ?-defensins, laktoferricin

dan cascocidin. Selain itu, S. aureus juga mempunyai kemampuan untuk menggagalkan sistem imun dalam beberapa cara. Salah satu dari virulensi utama dari S. aureus adalah memproduksi adhesin yang memfasilitasi perikatan dengan permukaan epitel sel pada host.
Komplikasi

Impetigo biasanya sembuh tanpa penyulit dalam 2 minggu walaupun tidak diobati. Komplikasi berupa radang ginjal pasca infeksi Streptococcus terjadi pada 1-5% pasien terutama usia 2-6 tahun dan hal ini tidak dipengaruhi oleh pengobatan antibiotic. Gejala berupa bengkak dan kenaikan tekanan darah, pada sepertiga terdapat urine seperti warna the. Keadaan ini umumnya sembuh secara spontan walaupun gejala-gejala tadi muncul (Yayasan Orang Tua Peduli, 4:2008). Komplikasi lainnya yang jarang terjadi adalah infeksi tulang (osteomielitis), radang paruparu (pneumonia), selulitis, psoriasis, Staphylococcal scalded skin syndrome, radang pembuluh limfe atau kelenjar getah bening (Yayasan Orang Tua Peduli, 4:2008).
Infeksi dari penyakit ini dapt tersebar keseluruh tubuh utamanya pada anak-anak. Jika tidak di obati secara teratur, maka penyakit ini dapat berlanjut menjadi glomerulonefritis (2-5%) akut yang biasanya terjadi 10 hari setelah lesi impetigo pertama muncul, namun bias juga terjadi setelah 1-5 minggu kemudian.

Lesi impetigo bulosa agak berbatas tegas dan kebanyakan kulit terlihat normal. Perjalanan penyakit berjalan cepat mengalami deskuamasi, kulit berwarna merah terang dan keluhan sistemik jarang ditemukan. Pengobatan
DD:

DIAGNOSIS BANDING Dermatofitosis Terdapat koleret dan eritema yang sebelumnya tidak diawali dengan bula atau vesikel. Pemfigus

Bula berdinding tebal, dikelilingi daerah yang eritematosa serta keadaan umum yang buruk. Impetigenisasi Menunjukkan adanya gejala gejala penyakit primer dengan gejala konstitusi berupa demam dan malaise. Tinea sirsinata Bila bula atau vesikel pecah, bagian tepi masih menunjukkan adanya lepuh, tetapi bagian tengah telah menyembuh.

Anda mungkin juga menyukai