SE KALIMANTAN SELATAN;
Sebuah Usaha Menegakkan Pilar Masyarakat Sipil
Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang telah berfungsi
sebagai salah satu benteng pertahanan umat Islam, pusat dakwah dan pusat pengembangan
masyarakat muslim di Indonesia. Kata “Pesantren” atau “santri” berasal dari bahasa Tamil
yang berarti “guru mengaji”. Sumber lain menyebutkan bahwa kata itu berasal dari bahasa
India Shastri dari akar kata Shastra yang berarti “buku-buku suci”, “buku-buku agama”, atau
“buku-buku tentang ilmu pengetahuan”. Di Luar pulau Jawa, lembaga pendidikan ini disebut
dengan nama lain, seperti surau (Sumatera Barat), dayah (Aceh), Pondok (daerah lain).
Selain memiliki ciri khas kelembagaan jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan
umum lainnya, yakni elemen-elemen dasar sebuah lembaga pendidikan Islam baru dapat
disebut Pondok Pesantren yang terdiri dari Pondok/Asrama, Mesjid, Pengajaran Kitab-Kitab
klasik/kuning, Santri dan Kyai, Pondok Pesantren juga memiliki ciri khas kultural, yakni
kentalnya nuansa spiritualitas dan moralitas agama.
Kehadiran Pondok Pesantren di Kalimantan Selatan, pada dasarnya, sangat terkait
dengan usaha peningkatan pengetahuan keagamaan Islam setelah masuknya Islam ke daerah
ini, yang diduga, jauh sebelum berdirinya Kerajaan Islam Banjar. Walaupun masa berdirinya
kerajaan Banjar sering diasosiasikan oleh para ahli sebagai momentum intensitas penyebaran
Islam di daerah ini, namun perlu diakui bahwa proses peningkatan pengetahuan keislamannya
sendiri baru terjadi ketika Syekh Muhammad Arsyad al-Banjârî kembali dari Mekkah pada
tahun 1772 (dalam usia 64 tahun) atau masa pemerintahan Sultan Tamjidillâh I, setelah 30
tahun lamanya belajar di sana.
Konon, komplek pengajian yang dibangun oleh Syekh Arsyad yang dikenal dengan
sebutan “Dalam Pagar” itulah nantinya yang dianggap banyak pakar sebagai cikal-bakal
lembaga pendidikan formal Islam berbentuk Pondok Pesantren di daerah ini. Hal ini lantaran
sebelumnya, pengajaran keagamaan lebih banyak dilaksanakan di rumah, musholla, atau
istana. Berbeda dengan model pendidikan sebelumnya, lembaga pendidikan Islam formal
yang disebut "Dalam Pagar" ini telah memenuhi kriteria sebagai sebuah Pondok Pesantren
yang terdiri dari Kyai, Asrama, Santri, Musholla dan Kitab Kuning yang terhimpun dalam
sebuah kompleks tertutup. Dari situlah, Syekh Arsyad mencetak murid-muridnya yang
datang dari berbagai penjuru Kalimantan bahkan Nusantara untuk menjadi ulama di
daerahnya masing-masing.
Seiring dengan tersebarnya ulama di berbagai penjuru wilayah Kalimantan Selatan
dan berbagai pengaruh dari luar atas pola pendidikan agama di daerah ini, maka abad 19 di
kalimantan Selatan bisa dikatakan sebagai abad yang paling intensif bagi pertumbuhan
lembaga-lembaga pendidikan Islam berbentuk Pondok Pesantren. Di antara lembaga
pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang dalam rentang waktu abad tersebut, antara
lain: Pondok Pesantren Darussalam di Martapura yang didirikan pada tahun 1914 antara lain
oleh KH. Jamaluddin, Arabische School (yang belakangan ini dikenal dengan Pondok
Pesantren Rasyidiyah-Khalidiyah) di Amuntai yang didirikan pada tahun 1924 oleh Tuan Guru
KH. Abdul Rasyid. Dua Pondok Pesantren ini menjadi pendahulu bagi sekitar 70 Pondok
Pesantren yang kemudian tumbuh di berbagai daerah di Kalimantan Selatan, seperti Pondok
Pesantren Ibnu al-Amin di Barabai, Pondok Pesantren Asy-Syafi’iyyah di Alabio, Pondok
Pesantren al-Falah di Banjarbaru dan lain-lain.
Pertumbuhan berbagai Pondok Pesantren di Kalimantan Selatan ini sesungguhnya
bisa dinilai sebagai aset bagi daerah ini. Hal ini lantaran Pondok Pesantren merupakan center of
excellence bagi transformasi masyarakat sipil di daerah ini. Namun sayangnya, potensi besar ini
kurang memiliki pengaruh yang nyata lantaran rendahnya efektivitas respon Pondok
Pesantren terhadap perkembangan masyarakat di luar lingkup kelembagaannya. Oleh karena
itulah, tidak aneh, jika peran-peran yang selama ini dimainkan oleh umumnya Pondok
Pesantren di Kalimantan Selatan menjadi terbatas pada lingkup lingkungan dimana Pondok
Pesantren itu berdiri dan terbatas dalam bidang pengajaran keagamaan anak-didik yang
terlibat di dalam lembaga tersebut. Harapan bahwa Pondok Pesantren bisa menjadi kekuatan
transformatif bagi masyarakat sipil di Kalimatan Selatan belumlah bisa diwujudkan secara
konkret. Kekuatan transformatif ini bisa diwujudkan jika sekiranya Pondok-Pondok
Pesantren yang ada di daerah ini memiliki ikatan kebersamaan melalui suatu Jaringan yang
solid.
Selama ini, memang, telah ada usaha-usaha dalam pembentukan Jaringan Pondok
Pesantren di daerah ini. Namun sayangnya, kurangnya issue yang bisa dikembangkan dalam
memberi substansi bagi usaha-usaha ini menjadikan keberadaan jaringan tersebut tidak
pernah ada secara riil di Kalimantan Selatan. Berdasarkan pada kenyataan tersebut, maka
Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK-3) Banjarmasin yang secara
kelembagaan mengkhususkan dirinya pada penguatan masyarakat sipil merasa
berkepentingan untuk memfasilitasi terbentuknya Jaringan Pondok Pesantren se Kalimantan
Selatan. Agar keberadaan Jaringan ini dirasakan secara riil bagi kehidupan internal Pondok
Pesantren sendiri dan kehidupan eksternal masyarakat di luarnya, maka pembentukan
Jaringan ini diinisiasikan berdasarkan basis issue sosial kemasyarakatan yang terjadi di daerah
ini. Oleh karena itulah, LK-3 yang dibantu oleh The Asia Foundation (TAF) selama tahun
2003-2004 menggelar "Program Penyadaran HAM Berbasis Jaringan Pondok Pesantren se
Kalsel" di beberapa Pondok Pesantren yang tersebar di daerah ini.
Mengapa issue HAM yang dijadikan basis dalam usaha pembentukan Jaringan
Pondok Pesantren ? Ada apa dengan HAM itu sendiri ? Mengapa wacana HAM harus
dimasukkan ke dunia Pondok Pesantren yang dikenal dengan nilai-nilai religius
keislamannya ? Masih banyak sekali deretan pertanyaan yang menyertai perjalanan dari
digelarnya program ini di beberapa Pondok Pesantren di daerah Kalimantan Selatan.
Deretan pertanyaan itulah yang kemudian menjadi dasar digelarnya Seminar “Nilai-
Nilai HAM dalam Islam”. Dalam seminar tersebut, panitia berhasil menghadirkan beberapa
narasumber, yaitu Ifdhal Kasim, SH (Elsam Jakarta), KH. Solahuddin Wahid (PBNU), Abdul
Moqsith Ghazali MA (PTIQ Jakarta), dan Wardani M.Ag (IAIN Antasari), dengan peserta
yang seluruhnya mewakili Pondok Pesantren se Kalsel. Selain menjadi pintu masuk bagi
kegiatan "Program Penyadaran HAM Berbasis Jaringan Pondok Pesantren se Kalsel" yang
akan dilaksanakan dalam bentuk workshop/halaqah di beberapa Pondok Pesantren yang
tersebar di daerah ini, seminar ini juga bertujuan menyelesaian miskonsepsi dan kecurigaan
atas wacana yang dianggap dari Barat dan bertentangan dengan Islam ini.
Terungkap dalam seminar itu bahwa Hak Asasi Manusia, pada dasarnya, adalah hak
yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau
kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Hak-hak ini dimiliki manusia tanpa perbedaan
bangsa, ras, agama atau kelamin. Oleh karenanya, hak-hak ini bersifat asasi dan universal.
Dengan demikian, arti penting HAM secara filosofis pertama-tama harus dipahami sebagai
sebuah kebutuhan eksistensial manusia pada umumnya. Dengan pendasaran pemahaman pada
kebutuhan yang bersifat eksistensial, maka penegakan HAM pada dasarnya juga merupakan
kebutuhan bagi kelangsungan sebuah peradaban umat manusia. Dengan asumsi ini, penegakan HAM
pada dasarnya merupakan kebutuhan setiap masyarakat. Bukan saja kebutuhan masyarakat
dalam konteks antar bangsa, tapi juga kebutuhan masyarakat dalam konteks di dalam suatu
bangsa itu sendiri.
Dengan asumsi ini, wacana Hak Asasi Manusia (HAM) yang dalam bahasa Arab
diterjemahkan dengan huqûq al-insân pada dasarnya bersifat compatible dengan nilai-nilai Islam
itu sendiri. Walaupun secara konseptual HAM lahir dalam tradisi Barat, namun harus diakui
bahwa nilai-nilai penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) itu sendiri telah menjadi ajaran yang
paling fundamental dalam Islam. Hal ini bisa ditelisik dari praktek-praktek penegakan HAM
yang telah lama dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW jauh sebelum terbitnya Deklarasi
Hak Asasi Manusia Universal (Universal Declaration of Human Right) pada tanggal 10 Desember
1948 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Jika memang wacana HAM sedemikian substansialnya bagi kelangsungan peradaban
manusia, maka apa perlunya Pondok Pesantren turut dilibatkan ke dalam wacana ini ?
Jawabannya bisa dikembalikan pada kebutuhan masyarakat dalam konteks di dalam suatu
bangsa. Sebagai suatu kebutuhan dalam suatu bangsa, penegakan HAM memiliki arti penting
bagi upaya reposisi Negara dalam masyarakat secara lebih seimbang. Hakikat Negara, dalam
konteks penegakan HAM, tidak bisa lagi menjadi kekuatan determinan yang mengontrol
masyarakat secara hegemonik.
Jika dicermati lebih jauh lagi, trend masyarakat dunia dalam penegakan dan
perlindungan HAM pada dasarnya dapat dibagi kepada empat tahapan perkembangan. Jika
pada tahapan pertama isu penegakan HAM terfokus pada Hukum dan Politik sebagai akibat
situasi perang dunia II, maka pada tahapan kedua isu penegakan HAM bergerak kepada
wilayah sosial, ekonomi, dan budaya. Sementara pada tahapan ketiga, isu penegakan HAM
bergerak pada upaya untuk menselaraskan secara lebih seimbang apa yang menjadi fokus
penegakan HAM di taahapan pertama dan kedua. Adapun penegakan HAM pada tahapan
keempat secara substansial bergerak di wilayah pemberdayaan masyarakat sipil seiring dengan
menguatnya isu proses demokratisasi di negara-negara yang berusaha keluar dari belenggu
otoritarianisme negara.
Pada level diskursus yang terakhir inilah, HAM menjadi sesuatu yang memiliki arti
penting yang konkret bagi masyarakat. Posisinya segaris lurus dengan kebutuhan akan
pembentukan dan pemberdayaan masyarakat sipil di hadapan negara yang sedang berkuasa.
HAM adalah jembatan yang bisa diharapkan bagi usaha untuk melakukan reposisi hubungan
negara dan masyarakat secara seimbang. Tentunya, dalam usaha membangun posisi
penyeimbang ini, Pesantren sebagai bagian dari masyarakat sipil mendapatkan posisi penting
dalam masalah ini. Hal ini karena Pesantren merupakan center of excellence umat Islam yang
merupakan mayoritas penduduk Kalimantan Selatan dalam bidang pendidikan daan
pembinaan umat.
Namun demikian, upaya untuk menuju ke arah tersebut terhambat oleh beberapa
faktor yang ada di tingkat lokal-kedaerahan. Faktor-faktor tersebut antara lain: (1) rendahnya
tingkat kesadaran dan partisipasi politik masyarakat akibat ketiadaan akses bagi wacana publik
lokal; (2) Posisi pesantren yang cenderung tersubordinasi ke dalam berbagai kepentingan
politik dan ekonomi negara dan pemilik modal; (3) Lemahnya posisi tawar (bargaining position)
Pesantren akibat pola hubungan masyarakat-negara yang tidak seimbang; (4) Kecenderungan
pola keberagamaan yang ditawarkan Pesantren yang bersifat ritualistik bukannya praksis-
transformatif. Keempat faktor ini sering kali mendorong rendahnya daya sensitifitas dan
respon Pondok Pesantren terhadap fenomena sosial yang terjadi di masyarakat dimana
Pondok Pesantren itu berkembang.
Padahal beberapa kebutuhan dasar yang bersifat sosial-ekonomi dari masyarakat yang
sangat terkait dengan penegakan HAM yang perlu untuk segera direspon oleh Pondok
Pesantren adalah maraknya tindak korupsi di lembaga-lembaga publik yang mengakibatkan
lumpuhnya hak untuk memperoleh public service yang layak bagi masyarakat, di samping
maraknya kerusakan lingkungan hidup akibat eksploitasi alam yang berlebihan seperti
penambangan dan penebangan liar. Faktor terakhir ini tentunya mengakibatkan hilanganya
hak untuk memperoleh hidup yang layak akibat rusaknya kualitas lingkungan yang baik.
Untuk lebih memperdalam wawasan dan kesadaran HAM secara lebih kontekstual
dengan kondisi wilayah dimana Pondok Pesantre tersebut berada, maka LK-3 menggelar
serangkaian kegiatan workshop/halaqah di beberapa Pondok Pesantren di Kalimantan
Selatan sebagai tindak lanjut dari kegiatan Seminar yang telah dilaksanakan. Untuk mencapai
target yang ditetapkan, kegiatan workshop/halaqah yang dilaksanakan di berbagai Pondok
Pesantren yang berjumlah 41 buah ini, maka kegiatan workshop/halaqah tersebut digelar
sebanyak dua putaran. Adapun daftar Pondok Pesantren se Kalimantan Selatan yang terlibat
dalam kegiatan di atas sebagai berikut:
Kegiatan yang dirancang untuk tahun pertama ini bertujuan mensosialisasikan wacana
HAM sekaligus membangun kesadaran bersama tentang arti penting peran Pondok
Pesantren dalam perbaikan kehidupan masyarakat yang lebih luas. Karena alasan begitu
luasnya wilayah kerja program Jaringan Pondok Pesantren se Kalsel ini, maka pelaksanaan
kegiatan tersebut kemudian dibagi kepada empat region lingkup-kerja kegiatan. Adapun
pembagian region tersebut sebagai berikut
Koordinator Wilayah
KH. M. Zarkasi Hasby
Anggota:
- Ust. Abdurrahman
- Mariatul Asiah
Mantiqah/Region I Mantiqah/Region II
Banjarmasin Binuang
Banjarbaru Rantau
Martapura Kandangan
Marabahan Nagara
Tanah Laut