THE IMPLEMENTATION OF DEFECT SYSTEM AND CUP TASTE OF COFFEE: The Effort to improve quality of coffee in Province Lampung
Ringkasan
Kopi mempunyai citarasa yang khas sehingga perdagangan kopi akan sangat tergantung pada mutu, yang secara langsung mempengaruhi citarasa kopi yang dihasilkan. Kopi yang berkualitas akan tergantung pada teknologi budidaya, pengolahan pascapanen, dan pemasaran. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh dari penerapan sistem nilai cacat dan uji citarasa kopi terhadap pendapatan petani kopi dan mengevaluasi kinerja dan prospek kopi Lampung. Hasil yang diperoleh adalah bahwa penerapan sistem nilai cacat dan uji citarasa dapat meningkatkan produksi kopi sebesar 30-50 persen, melalui pembinaan terhadap aspek budidaya dan pengolahan kopi. Dengan demikian kopi dari Propinsi Lampung sebagai daerah penghasil kopi terbesar ke dua di Indonesia akan menjadi lebih baik dan akan selalu mampu mengikuti aturan main dalam perdagangan kopi. Kata kunci: citarasa, kualitas, nilai cacat, kopi
Abstract Coffee has a specific taste, so coffee trading depends on quality that impact to cup taste of coffee. Quality of coffee depends on agronomi aspect, processing, and marketing system. This research aims to evaluate the impacts of implementation of deffect system to farmers income and performance and prospects Coffee in Province Lampung. This research yields that implementation of deffect system and cup taste test can increase product of coffee. According to this, coffee bean of Province Lampung as a second large producers in Indonesia is going to be better and fulfill the role in coffee trading. Key words: coffee, cup taste, deffect, quality
Berturut-turut adalah Staf peneliti (Ajun madya) dan staf pada P2SE Hutbun-Bogor
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia termasuk sebagai negara produsen kopi terbesar ketiga setelah Brazil dan Kolumbia, tapi bila dilihat dari jenis/varitasnya termasuk negara penghasil utama jenis kopi robusta. Namun demikian dari jenis kopi robusta tersebut bila dilihat dari segi mutunya, hanya termasuk dalam kategori mutu sedang sampai rendah sehingga kalah bersaing dalam menentukan harga jual antar sesama negara produsen. Kondisi tersebut dimana saat ini negara penghasil kopi dunia lainnya sedang panen besar, maka konsumen dengan mudah dapat menekan harga dan mutu serta berdampak terhadap menurunnya harga kopi. Kopi Indonesia sebagian besar dihasilkan oleh daerah segitiga emas kopi yaitu Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung. Untuk Propinsi Lampung, komoditas kopi menduduki peringkat pertama dalam perolehan devisa dengan menyumbang sebesar $188,622 juta dari produk kopi Robusta dan sebesar $1,755 juta dari produk kopi jenis Arabika pada tahun 1999. Kemudian diikuti oleh komoditas udang beku sebesar $ 88,3 juta dan nenas kaleng sebesar $ 71,04 juta. Berdasar data dari Kanwil perdagangan dan perindustrian Propinsi Lampung, negara tujuan ekspor utama kopi berturut-turut adalah Jerman, Polandia, Jepang, Philipina dan Italia (Anonim, 1983). Sehubungan dengan mutu, ekspor kopi hasil produksi Propinsi Lampung sebagian terbesar juga hanya menempati grade ke IV atau mutu sedang sebesar 51,58 % kemudian diikuti grade VI sebesar 24,84 %, mutu III (12,51%), mutu V (6,5 %), mutu II (1,74 %) dan mutu I sebesar 0,54 % dari total ekspor. Sehubungan dengan mutu ini pula, telah terjadi pergeseran-pergeseran permintaan dari konsumen kopi terhadap mutu dan citarasa kopi yang lebih baik (Koerniawan, 1998).
Selain berkaitan dengan masalah pergeseran mutu, masalah lain yang dihadapi oleh perkopian Indonesia adalah semakin menurunnya harga kopi di pasar dunia, seperti dapat dilihat pada Gambar 1 berikut:
(US$/Ton)
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 H a rg a B e rla ku H a rg a R iil
Penurunan harga ini mengakibatkan penurunan pendapatan petani yang semakin rendah. Lain halnya apabila mutu kopi yang dihasilkan lebih baik, maka penerimaan yang diperoleh akan menjadi lebih baik. Inilah yang menjadi tantangan sekaligus peluang untuk mengupayakan peningkatan mutu sekaligus menyajikan citarasa (cup taste) yang diminati oleh konsumen. Mampukah Propinsi Lampung menjawab tantangan tersebut untuk meraih peluang melalui beberapa paket teknologi yang telah tersedia mulai dari teknologi budidaya, panen, pasca panen, paket pengendalian mutu dan penggalangan mitra kerja agar ikut untuk berperan aktif dan peduli terhadap perbaikan mutu serta citarasa kopi? Berdasarkan keadaan tersebut di atas, sejak 1 Oktober 1983 telah dikeluarkan peraturan baru mengenai standar mutu kopi sistim nilai cacat (DEFECT SYSTEM) dengan beberapa revisinya sampai sekarang untuk menggantikan sistim nilai kotor (TRIAGE) pada tahuntahun sebelumnya ditambah dengan sistim citarasa (CUP
TASTE) untuk memenuhi selera konsumen. Upaya tersebut sedang dan sudah digalakkan di daerah sentra produksi kopi di Lampung dengan menggandeng pihak ke tiga seperti Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) dan P.T. Nestle Beverages sebagai mitra kerja untuk tujuan tersebut.
B. Tujuan Berdasarkan latar belakang yang diungkapkan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi (1) pengaruh dari penerapan sistem nilai cacat dan citarasa dan (2) kinerja dan prospek usaha kopi di Lampung.
METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Analisis Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan studi pustaka dari literatur terkait.
B. Data dan Sumber Data Untuk mendapatkan gambaran yang aktual tentang situasi kopi di Lampung, maka data dan informasi yang digunakan dalam analisis berbentuk data primer yang dikumpulkan langsung dari petani, pedagang, eksportir, dan industri pengolahan. Lokasi penelitian adalah di Desa Tekad (Kecamatan Pulau Panggung) dan Desa Ngarip (Kecamatan Ulu Belu). Selain data primer dikumpulkan juga data sekunder yang berasal dari instansi terkait, seperti Dinas Perkebunan, Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), Kanwil Perdagangan dan Perindustrian, serta sumber-sumber lain.
A. Upaya Peningkatan Mutu Rendahnya mutu kopi Indonesia disebabkan oleh faktor teknis dan non teknis. Faktor teknis meliputi teknologi budidaya, pengolahan, penyimpanan dan pengapalan. Sedang faktor non teknis berkaitan langsung dengan rangsangan ekonomi bagi produsen dan pelaku perdagangan, misalnya perbedaan harga yang signifikan terhadap setiap mutu kopi. 1. Teknologi Budidaya Lebih dari 95 % tanaman kopi di Lampung merupakan tanaman rakyat dengan pola usaha seadanya, ditanam pada tanah antara tidak sesuai sampai dengan sangat sesuai dan lokasi yang terpencar, tidak dilaksanakan pemupukan serta bibit yang digunakan seadanya. Maka baik buruknya produksi dan mutu hanya diserahkan kepada alam. Perkembangan selanjutnya karena kopi merupakan komoditas ekspor yang mendatangkan devisa negara yang cukup besar, maka institusi terkait seperti Dinas Perkebunan, Kanwil Perdagangan dan Industri, Lembaga Penelitian dan pengusaha terkait yang berkepentingan terhadap komoditas kopi berkewajiban untuk membina teknologi budidaya kopi sampai dengan teknologi pasca panen termasuk perilaku petaninya. Dinas Perkebunan di daerah terutama terkait langsung dengan komoditas binaan dan petaninya untuk berusaha meningkatkan produksinya, produktivitasnya dan mutu melalui beberapa tahapan proyek antara lain: Proyek Rehabilitasi dan Peremajaan Tanaman Ekspor (PRPTE) , Proyek Diversifikasi dengan tanaman lainnya dan pelatihan-pelatihan terhadap petaninya dalam budidaya kopi misalnya cara melaksanakan penyambungan tanaman agar diperoleh produksi yang tinggi dan besaran butir kopi yang seragam dengan menggunakan entres (batang atas) diperoleh dari kebun
milik petani yang dianggap unggul lokal. Sehingga kemudian muncul klon klon baru lokal dengan nama orang/daerah setempat misalnya klon Kasiyo, Darto, Rubiyem, Tugusari dan lain-lain. Diversifikasi kopi dengan tanaman pisang ternyata juga
diperoleh tambahan pendapatan yang cukup besar yaitu dari rata-rata sebesar Rp 319 375,- menjadi Rp 436 541,- per ha. Untuk memenuhi kebutuhan sarana produksi juga telah dilaksanakan penggalangan kerjasama dengan Koperasi Unit Desa setempat sebagai penyalur pupuk dan obat-obatan. Dari upaya di bidang teknologi budidaya tersebut diharapkan petani mampu mengelola usahatani kopinya agar diperoleh peningkatan produksi sekaligus produktivitas, buahnya seragam dan besar-besar serta terbebas dari serangan hama dan penyakit. Pihak ketiga terkait seperti AEKI Cabang Propinsi Lampung dan PT Nestle Beverages wilayah Lampung di Panjang juga peduli terhadap masalah perkopian ini karena berkepentingan terhadap bisnis kopi. AEKI telah mengadakan pembinaan dan bantuan sarana produksi di daerah Kabupaten Liwa dengan pilot proyeknya di desa Sumber Jaya., sedang PT Nestle juga telah mengadakan pembinaan, penyuluhan dan bantuan sarana pasca panen sejak tahun 1995 di Kabupaten Tanggamus dengan pilot proyeknya di desa Ngarip Kecamatan Ulu Belu (Koerniawan, P., 1998). 2. Aspek Pengolahan Aspek pengolahan (pasca panen) merupakan kegiatan terpenting di dalam menentukan mutu kopi. Kesalahan dalam pengolahan akan terkait langsung dengan mutu kopi dan citarasanya, hasil pengolahan dapat berupa kopi banyak yang pecah, berwarna hitam/coklat, berbau apek, berjamur dan lain-lain. Dari hasil pengolahan yang salah banyak terkandung unsur-unsur yang banyak mempengaruhi dalam penentuan sistim nilai cacat dan cita rasa. Oleh karenanya kopi hasil panen dari kebun harus segera diolah. Terlambat sedikit pengolahan menyebabkan citarasa yang khas yang
dikandung oleh kopi berupa aroma dan rasa akan hilang. Ini yang disebut sebagai cacat citarasa. Cacat citarasa dapat meliputi : - earthy - mouldy : berbau tanah, paling banyak di jumpai pada kopi asalan dari petani. : berbau jamur akibat penanganan yang kurang baik , kandungan kadar air masih tinggi menyebabkan jamur masuk. - fermented : berbau busuk, sebagai akibat jelek dari pengolahan secara basah yang tidak sempurna. - musty : berbau lumut.
Disinilah letak kunci pokok dalam agribisnis kopi dalam era pergeseran selera konsumen dimana setiap kopi yang akan diekspor, selain dilaksanakan uji mutu melalui defect system, juga harus diikuti dengan uji cita rasa (cup taste test). 3. Penyimpanan dan Pengiriman Salah satu faktor penentu dalam penyimpanan adalah kadar air. Kopi yang berkadar air tinggi bila disimpan akan ditumbuhi jamur dan berakibat terhadap warna terutama cita rasa serta berdampak terhadap mutu. Kopi yang berjamur, umumnya berbau apek dan kurang sedap. Sejenis jamur yang akrab dengan kopi adalah Okhratoxin dan ini yang sering diklaim oleh negara kosumen. Penyimpanan kopi milik petani yang baik adalah dalam bentuk kopi gelondong, bukan dalam bentuk kopi beras (green coffe) dengan kadar air berkisar 14 16 %. Dengan kadar tersebut, kopi gelondong tahan disimpan selama 2 3 tahun. Apabila saat panen harga kopi rendah, petani dapat menyimpannya sampai harga membaik. Penyimpanan sebaiknya menggunakan karung plastik dan ditumpuk diatas parapara. Penyimpanan biji kopi (green coffe) untuk tujuan ekspor oleh eksportir, di simpan digudang dan selama penyimpanan terlebih dahulu dilakukan fumigasi oleh surveyor yang ditunjuk. Begitu pula pada saat kopi dinaikkan ke atas kapal, palka
kapal sebaiknya juga dilakukan fumigasi agar selama perjalanan tidak terkontaminasi dengan jamur. Pernah terjadi klaim dari negara konsumen terhadap salah satu komoditas ekspor yang terkontaminasi jamur. Penyelidikan dilakukan dari tingkat petani (produsen) sampai dengan tingkat eksportir, tidak ditemui jamur tersebut. Ternyata setelah komoditas naik ke kapal baru terkontaminasi dengan jamur setelah komoditas tersebut berada di atas kapal. B. Sistem Nilai Cacat dan Aspek Ekonomi 1. Perkembangan Standar Mutu Kopi Penerapan standar mutu terhadap komoditas kopi telah ada sejak jaman Belanda. Pada waktu itu dikenal dengan nama standar mutu OVEIP (Organisatie Verenigde Eksporteurs Van Indonesiche Producten) atau OEHI (Organisasi Eksportir Hasil Bumi Indonesia). Oveip/Oehi menetapkan mutu terhadap 18 macam hasil bumi antara lain kopi, karet, kopra, kelapa sawit, lada dan lain-lainnya (Yahmadi, M., 1998). Karena perkembangan teknologi dan permintaan, OVEIP diubah menjadi Sistem nilai kotor (TRIAGE). Nilai kotor yang dimaksud adalah biji kopi warna hitam, warna coklat dan feksel (biji pecah/hancur). Sistem triage ini umumnya dipakai pada wilayah-wilayah pemasaran kopi tradisional seperti Eropa Barat dan Amerika. Adanya perkembangan selera dan permintaan konsumen terutama di daerah pemasaran kopi non tradisional (Jepang, Eropa Timur dan lain-lain) yang kemudian juga diikuti pula oleh daerah pemasaran tradisional, perkembangan mutu kopi harus bergerak sejalan dengan perkembangan selera dan permintaan. Sesuai dengan perkembangan tersebut, maka pada tanggal 1 Oktober 1983, ditetapkan standar mutu kopi dengan nama Sistem Nilai Cacat (defect system). Dari mutu kopi dengan system nilai cacat tersebut dikenal kopi mutu 1 sampai dengan mutu 6 (Departemen
Perdagangan, 1983). Pembaharuan standar mutu dengan system nilai cacat juga dimaksudkan untuk menyesuaikan standar mutu kopi kita dengan sistem yang banyak dipakai di berbagai negara produsen kopi, juga agar lebih mudah dipahami oleh pembeli dari negara konsumen. Sistem nilai cacat ini sampai sekarang masih tetap dipakai hanya dengan beberapa revisi saja, misalnya pada tahun 1990 diadakan revisi yaitu pada mutu IV dibagi menjadi dua yaitu IVA dengan nilai defect sebesar maksimal 60 dan mutu IVB dengan nilai cacat sebesar maksimal 80. Secara rinci standar mutu kopi Indonesia berdasarkan nilai cacat seperti Tabel 1 dan Tabel 2 berikut dan referensi mengenai nilai cacat seperti pada Tabel 3. Tabel 1. Standar Mutu Kopi Indonesia Berdasarkan Sistem Nilai Cacat Table 1. Quality Standard of Coffee According to Deffect System MUTU SYARAT MUTU I Jumlah nilai cacat maksimum 11 II Jumlah nilai cacat antara 12 sampai dengan 25 III Jumlah nilai cacat antara 26 sampai dengan 44 IV a Jumlah nilai cacat antara 45 sampai dengan 60 IV b Jumlah nilai cacat antara 61 sampai dengan 80 V Jumlah nilai cacat antara 81 sampai dengan 151 VI Jumlah nilai cacat antara 151 sampai dengan 225
Sumber: Departemen Perdagangan R.I., 1998
Dalam menghitung nilai cacat adalah dengan menggunakan sampel kopi sebesar 300 gram yang diambil secara acak. Dari 300 gram biji kopi tersebut
kemudian dipisah-pisah menjadi 20 kelompok (item) sesuai dengan ketentuan dalam Tabel 2. Misalkan hasil pemisahan tersebut adalah sebagai berikut: terdapat 14 biji hitam dan nilai cacatnya setara dengan 14 x 1 = 14; terdapat 10 biji hitam setara dengan 10x 0.5 = 5 nilai cacat; ada 8 biji hitam pecah yang setara dengan 8 x 0.5 = 4 nilai cacat; dan seterusnya. Setelah dihitung nilai cacatnya kemudian dijumlahkan. Kemudian jumlah tersebut dibandingkan terhadap Tabel 1. Sebagai contoh, apabila jumlah nilai cacat sebesar 50,4 maka biji kopi tersebut termasuk ke dalam standar mutu IV dan sebagai contoh lain apabila nilai cacatnya tersebut adalah sebesar 97.9 maka masuk ke dalam standar mutu V.
Tabel 2. Nilai Cacat Berdasarkan Jenis Cacat Table 2. Deffect Value According to Type of Deffect
No . 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. Jenis Cacat Satu Satu Satu Satu Satu Satu Satu Satu Satu Satu Satu Satu Satu Satu Satu Satu Satu Satu Satu Satu Biji hitam Biji hitam sebagian Biji hitam pecah Kopi gelondong Biji cokelat Kulit kopi (husk) ukuran besar Kulit kopi (husk) ukuran sedang Kulit kopi (husk) ukuran kecil Biji berkulit tanduk Kulit tanduk ukuran besar Kulit tanduk ukuran sedang Kulit tanduk ukuran kecil Biji pecah Biji muda Biji berlubang satu Biji berlubang lebih dari satu Biji bertutul-tutul (untuk proses basah) Ranting, tanah, atau batu berukuran besar Ranting, tanah, atau batu berukuran sedang Ranting, tanah, atau batu berukuran kecil JUMLAH Nilai Cacat 1 1 1 1/5 1/5 1/10 1/5 1/5 1/10 1/5 1/10 5 2 1 Jumlah Item 14 10 8 6 10 2 1 5 4 2 0 0 5 2 0 5 10 0 1 7 Nilai Cacat 14 5 4 6 2.5 2 0.5 1 2 1 0 0 1 0.4 0 1 1 0 2 7 50.4
Catatan: Jumlah nilai cacat dihitung dari 300 gram kopi biji
Sumber: Departemen Perdagangan R.I., 1998
2. Aspek Ekonomi Aspek ekonomi dalam perkopian nasional menyangkut aspek teknis dan non teknis dihubungkan dengan perbedaan perilaku dan produk hasil yang dipakai secara finansial. Telah disebutkan bahwa mutu kopi dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti aspek budidaya, pengolahan, penyimpanan dan perbedaan harga dalam kualitas. Keberhasilan teknologi budidaya melalui sistem sambung yang dibina oleh Dinas Perkebunan terkait, bekerja sama dengan P.T. Nestle yang berkepentingan terhadap hasil produk kopi telah berhasil meningkatkan produktivitas hasil kopi di desa Ngarip, Kecamatan Ulu Belu dari 650 800 kg per hektar menjadi 1000 1200 kg per hektar atau meningkat 30 50%. Sedangkan dampaknya terhadap desa disekitarnya telah dapat meningkatkan produktivitas per satuan luas sekitar 20 30 %. Dengan asumsi harga yang terjadi saat ini sekitar Rp. 4.200,-/kg kopi asalan dapat
10
meningkatkan pendapatan petani sekitar Rp 1.500.000,- per hektar untuk daerah binaan dan sebesar Rp 690 000,- per hektar untuk desa disekitar daerah binaan yang turut mengadopsi. Tabel 3. Referensi Nilai Cacat Biji Kopi Table 3. The Refference of Deffect System of Green Coffee
No Jenis cacat Deskripsi Biji berlubang satu atau lebih (d=0.3-1.5mm) Permukaan berkerut, dinding sel dan struktur internal belum berkembang Penyebab Roasting Cup propfile Biji terserang Hypothenemus hampei - biji dipetik muda - kekeringan - pemupukan - hama dan penyakit 3. Biji hitam Biji dengan sebagian atau - hama dan penyakit lebih permukaan berwarna - defisiensi karbohidrat hitam sampai ke bagian - kekurangan air pada saat dalam dan sisanya berukuran pematangan buah lebih kecil - pengeringan dengan suhu terlalu tinggi - buah terlalu matang yang diambil dari atas tanah 4. Biji cokelat Biji berwarna cokelat - pengeringan terlalu lama - buah terlalu masak - tanaman mati pucuk Biji yang masih mempunyai Proses pengelupasan kulit 5. Biji gelondong kulit luar yang kurang tepat 6. Biji pecah Potongan biji dengan ukuran Biasanya terjadi pada proses lebih atau kurang dari pengelupasan kulit setengahnya Biji berwarna putih - perubahan warna oleh 7. Biji putih bakteri pada saat penyimpanan - tanaman kopi tua 8. Biji Biji terserang jamur - kandungan air biji kopi berjamur pada saat penyimpanan - kondisi temperatur dan kelembaban pada saat penyimpanan 9. Kulit Kulit bagian dalam yang Prose pengelupasan kulit Tanduk menyelimuti biji kopi yang kurang tepat 10. Kulit kopi Potongan dari kulit bagian Terbawa pada saat proses luar biji kopi pengelupasan kulit 1. Biji berlubang 2. Biji muda Warna lebih gelap <biiterness woody Proses lambat Bitterness Sedang-tinngi greenish/ grssy Chemical Proses lambat dan <boduy terjadi woody pengurangan berat rubbery harsh Tinggi Pengaruh Negatif Sedang
Risiko terbakar < body pada saat roasting harsh < body < body
Tinggi
Sedang
Risiko terbakar Greenish pada saat roasting Risiko terbakar < body pada saat roasting chemical
Adanya pembinaan dan penyuluhan terhadap mutu atau perbedaan kualitas telah menurunkan prosentase penyimpangan harga kopi asalan petani terhadap harga basis. Dari informasi yang diperoleh berturut-turut dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2000 beda harga asalan dengan basis sebagai berikut : Tahun 1994 (60%); 1996 (70%); 1997 (80-85%) dan tahun 2000 sebesar 90 %. Dengan harga basis sebesar Rp. 4.950,- per kilogram kopi yang diturunkan dari harga terminal London sebesar US $ 802 per ton pada bulan September 2000, maka akan diperoleh harga asalan kopi di
11
tingkat petani pada waktu yang sama sebesar Rp. 4.455,- per kilogram. Dengan harga basis yang sama maka pada tahun 1994 harga kopi asalan ditingkat petani hanya sebesar Rp. 2.970,- per kilogram karena perbedaan mutu dan penyimpangan terhadap harga basis tersebut. Dengan keberadaan P.T. Nestle yang telah membuat Kelompok Usaha Bersama (KUB) di daerah pembinaan telah dapat memotong rantai pemasaran kopi yang panjang atau minimal dapat memotong satu rantai pemasaran. Dengan pembinaan P.T. Nestle, petani kopi di desa Ngarip sudah dapat menentukan mutu kopi hasil produksinya sendiri berada pada tingkatan mutu ke berapa dengan nilai defect berapa dan kadar air berapa. Sehingga apabila petani ingin menjual hasilnya ke pedagang tidak tertipu lagi oleh pedagang di tingkat manapun. Terlebih sekarang telah dikenal dan terkenal kopi asalan Nestle, dimana sebetulnya yang disebut dengan kopi asalan Nestle tersebut sebetulnya adalah kopi yang sudah berstandar mutu IV/A atau IV/B.
Mutu kopi yang dihasilkan oleh petani Lampung masih rendah. Penerapan sistim nilai cacat terhadap mutu kopi di Propinsi Lampung pada awalnya menjadi suatu beban petani, tapi akhirnya menjadi kenikmatan karena dapat meningkatkan pendapatan petani di Propinsi Lampung. Adanya bimbingan dan pembinaan dari instansi terkait terhadap petani kopi di daerah binaan dan sekitarnya telah membuat petani menjadi tahu akan mutu kopinya dengan tepat dan tidak dapat ditipu lagi oleh pedagang pada saat transaksi. Disamping mutu, masalah cita rasa juga menjadi syarat utama bagi negara konsumen yang telah mengalami pergeseran selera.
12
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Perdagangan R.I, 1983. Penerapan Mutu Kopi Dengan Sistem Nilai cacat. Ditjenbun. 1996. Statistik Perkebunan Indonesia 1995-1997. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta. Isamayadi, Cahya. 1998. Mikotoksigenik. Pencegahan Cacat Citarasa dan Kontaminasi Jamur
Kanwil Perdagangan dan Perindustrian Propinsi Lampung. 2000. Lampung, Potensi dan Kinerja Ekspor. Kurniawan, Poejoeh. 1998. Pengalaman Pembinaan Petani Kopi di Propinsi Lampung. P.T. Nestle Beverage Indonesia-Panjang. Bandar Lampung. (Tidak dipublikasikan) Yahmadi, Mudriq. 1998. Beberapa Catatan tentang Pengembangan Mutu Kopi Ekspor Indonesia 1983-1998. Simposium Kopi. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao.