Kontroversi seputar poligami yang mencuat di jagat republik ini telah berlalu di lembar-
lembar media kita. Dipicu oleh perkawinan kedua ustadz kondang Aa Gym dengan seorang janda
cantik, kontroversi poligami pun selama berminggu-minggu merebak di mana-mana. Tidak
tanggung-tanggung, kontroversi itu sempat mengusik perhatian seorang Presiden Susiolo
Bambang Yudhoyono.
Keterusikan sang Presiden itu diwujudkan dengan rencana revisi UU No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan untuk memperkuat dan memperluas PP. No. 45 Tahun 1990 tentang
Poligami. Melalui revisi tersebut, pemerintah berkeinginan untuk memperluas cakupan aturan
berpoligami bagi PNS hingga pejabat publik. Tanggapan pro-kontra pun mencuat tak
terhindarkan, hingga akhirnya sang Presiden pun segera mengurungkan niat baiknya itu. Sang
Presiden dituduh telah mencampuri urusan privat warganya.
Walaupun pro-kontra seputar pengaturan poligami telah berakhir di penghujung tahun
lalu, bukan berarti pro-kontra itu tidak meninggalkan sisa masalah. Benarkah negara tidak berhak
mengatur wilayah privat seseorang, seperti masalah berpoligami ?. Tulisan ini tidaklah bertujuan
untuk membuka perdebatan, namun penulis ingin mengurai penjelasan dimana sesungguhnya
wewenang negara dalam mengatur ruang privat masyarakat, seperti masalah berpoligami