Anda di halaman 1dari 6

POLIGAMI; Antara Ruang Privat Dan Negara

Oleh: Irfan Noor, M.Hum


Dosen IAIN Antasari Banjarmasin

Kontroversi seputar poligami yang mencuat di jagat republik ini telah berlalu di lembar-
lembar media kita. Dipicu oleh perkawinan kedua ustadz kondang Aa Gym dengan seorang janda
cantik, kontroversi poligami pun selama berminggu-minggu merebak di mana-mana. Tidak
tanggung-tanggung, kontroversi itu sempat mengusik perhatian seorang Presiden Susiolo
Bambang Yudhoyono.
Keterusikan sang Presiden itu diwujudkan dengan rencana revisi UU No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan untuk memperkuat dan memperluas PP. No. 45 Tahun 1990 tentang
Poligami. Melalui revisi tersebut, pemerintah berkeinginan untuk memperluas cakupan aturan
berpoligami bagi PNS hingga pejabat publik. Tanggapan pro-kontra pun mencuat tak
terhindarkan, hingga akhirnya sang Presiden pun segera mengurungkan niat baiknya itu. Sang
Presiden dituduh telah mencampuri urusan privat warganya.
Walaupun pro-kontra seputar pengaturan poligami telah berakhir di penghujung tahun
lalu, bukan berarti pro-kontra itu tidak meninggalkan sisa masalah. Benarkah negara tidak berhak
mengatur wilayah privat seseorang, seperti masalah berpoligami ?. Tulisan ini tidaklah bertujuan
untuk membuka perdebatan, namun penulis ingin mengurai penjelasan dimana sesungguhnya
wewenang negara dalam mengatur ruang privat masyarakat, seperti masalah berpoligami

Islam dan Poligami


Berbicara poligami dalam Islam mau tidak mau pasti merujuk pada Al-Qur’an surat An-
Nisa ayat 3. Pada ayat ini secara tegas disebutkan tentang kebolehan seorang laki-laki untuk
berpoligami, dengan bunyi ayat: “… fankihû mâ thâba lakum minan nisâ’i matsnâ wa tsulâtsa wa rubâ’a,
fain khiftum allâ ta’dilû fawâhidah …” (maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua
tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka kawinilah seorang saja).
Dengan berpatokan pada ayat ini sesungguhnya poligami memang merupakan sesuatu yang
dibolehkan dalam Islam.
Namun demikian, kebolehan atas perkara poligami ini, menurut beberapa pakar Islam,
bukan berarti pula Islam sangat menganjurkan seorang laki-laki muslim berpoligami. Hal ini
mengingat, secara historis, Nabi Muhammad SAW sendiri selama 28 tahun dari lebih dari 30
tahun berumah tangga setia dengan praktek monogami. Oleh karena itu, hanya sebentar saja dari
hidup berumah tangganya, Nabi mempraktekkan poligami.
Bahkan, menurut riwayat, Nabi pernah marah besar ketika mendengar putri beliau,
Fatimah, akan dipoligami oleh Ali bin Abi Thalib. Nabi pun bersabda”Innî lâ ‘âdzan tsumma lâ
‘âdzan tsumma lâ ‘âdzan illâ an ahabba ‘ibn Abî Thâlib an yuthalliq ‘ibnatî (saya tidak akan izinkan, sama
sekali, tidak akan saya ijinkan, sama sekali, tidak akan saya ijinkan, kecuali bila Ali ibn Abi Thalib
menceraikan anakku terlebih dahulu). Kemudian Nabi bersabda lagi: “Fâthimah bidh’atun minnî,
yurîbunî mâ ‘arâbahâ wa yu’dzînî mâ ‘adzâhâ” (Fatimah adalah bagian dari diriku; apa yang
meresahkan dia, akan meresahkan diriku, dan apa yang menyakiti hatinya akan menyakiti hatiku
juga).
Oleh karena itu, yang harus ditekankan dalam hal kebolehan berpoligami bagi laki-laki
muslim ini adalah kebolehan yang sifatnya bersyarat, bukannya kebolehan yang begitu saja (taken
for granted). Dengan adanya persyaratan ini dalam poligami, maka sudah tentu secara eksplisit
poligami memiliki aturan yang harus dijalankan di dalam prakteknya. Karena memang
sebagaimana yang ditunjukkan dalam bunyi ayat 3 pada surah An-Nisa: “fain khiftum allâ ta’dilû
fawâhidah” (maka jika kamu takut untuk tidak akan berlaku adil, maka kawinilah seorang saja),
maka sesungguhnya tindakan berpoligami memang ada aturan.

Perlukah Poligami diatur Negara


Jika kemudian poligami secara eksplisit memiliki aturan yang harus dijalankan di dalam
prakteknya, lalu siapakah yang berhak menjadi penjaga aturannya ? Apakah aturan ini cukup
diserahkan pada urusan moral individual semata ? Ataukah aturan ini harus dilembagakan ke
dalam sebuah institusi yang diakui di masyarakat ?
Secara prinsipil, al-Qur’an menggariskan prinsip keadilan sebagai dasar tindakan seorang
laki-laki muslim untuk berpoligami. Namun kemudian yang menjadi persoalan adalah cukupkah
perkara keadilan bagi seseorang dalam berpoligami ini hanya merupakan urusan moral seseorang
semata ?
Jika kita kemudian merujuk lagi pada ayat 129 surah An-Nisa: “walan tashtatî’û an ta’dilû
bainan nisâ’ walaw harashtum” (Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-
istri[mu] walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian), maka sesungguhnya perkara keadilan
sangatlah bersifat abstrak. Keadilan tidak bisa diukur hanya semata-mata dengan distribusi
material semata. Tetapi keadilan juga menyangkut urusan yang bersifat psikologis dan sosial.
Hal ini karena ketika kita berbicara tentang keadilan sebagai sebuah prinsip moral, maka
mau tidak mau kita juga harus mengkaitkannya dengan apa yang menjadi pandangan hidup dalam
suatu masyarakat. Keterkaitan antara keadilan sebagai prinsip moral dengan pandangan hidup
masyarakat inilah yang menjadikan nilai keadilan itu tidak berdiri sendiri tapi menjadi sesuatu
yang bersifat kontekstual. Hal ini karena pandangan hidup itu selalu merefleksikan apa yang
menjadi sistem sosial dari masyarakat tersebut.
Oleh karenannya, ketika sistem sosial yang menjadi basis dari masyarakat tersebut adalah
sistem patriarkhi, maka pandangan hidup yang berkembang di masyarakat pun biasanya cenderung
menempatkan perempuan sebagai objek yang bersifat subordinatif. Ketika pandangan hidup ini
menjadi kerangka dasar seseorang dalam melihat prinsip moral tentang keadilan, maka ia pun
cenderung menempatkan laki-laki sebagai suatu ukuran nilai. Oleh karena itu, apa yang menjadi
representasi moral dalam sistem sosial yang demikian adalah bentuk-bentuk imperatif atas
subordinasi terhadap perempuan. Tentunya, dalam posisi seperti ini, akan menjadi sia-sia
berbicara tentang moral keadilan bagi suatu hubungan laki-laki dan perempuan sebagai urusan
individual laki-laki ketika kesetaraan bukan menjadi sistem sosial di masyarakat. Di Indonesia
sendiri, sebagaimana yang diyakini oleh para pakar, sistem sosial yang berlaku secara kultural
adalah sistem sosial patriakhi, sehingga sangat rentan untuk menafsirkan keadilan berpoligami
secara bias gender.
Inilah titik perkara persoalan yang menjadi kontroversi mengapa negara merasa perlu ikut
campur dalam urusan poligami masyarakatnya. Perkaranya adalah masyarakat kita secara kultural
bersifat patriarkhi, sehingga tidak kondusif menyerahkan urusan adil dalam berpoligami semata-
mata hanya pada urusan moral individual laki-laki. Bagaimanapun dengan konstruksi moral
sebagaimana yang dijelaskan di atas, maka keadilan yang akan dijalankan dalam praktek
berpoligami akan dikhawatirkan merepresentasikan sistem sosial patriakhal yang cenderung
mensubordinasi perempuan. Muaranya, perempuan akan menjadi objek yang sangat rentan
dengan kekerasaan.
Dengan demikian, bila kita sepakat dengan keadilan sebagai landasan poligami, maka mau
tidak mau keadilan yang menjadi prinsipnya haruslah ditransformasikan menjadi sesuatu yang
lebih objektif. Keadilan objektif inilah yang sesungguhnya menjadi logika atas turut campurnya
negara dalam urusan poligami warganya. Negara, dalam hal ini, punya hak melindungi dan
berpihak pada usaha melepaskan ketidakadilan dan kekerasan yang akan menimpa kaum
perempuan. Mengapa demikian ? Karena perempuan juga adalah warga negara yang absah di
negeri ini.
.
Negara dan Ruang Privat Masyarakat
Bila kita berbicara tentang wilayah privat selalu saja kita cenderung mengasosiasikannya
dengan sesuatu yang steril dari campur tangan negara. Pada hal kenyataannya, sampai batas-batas
tertentu, wilayah privat juga memerlukan campur tangan tertentu dari negara. Hal ini karena total
begitu saja menolak campur tangan negara atas masyarakat sipil sama artinya dengan membiarkan
berkembangnya liberalisme individual. Demokrasi yang hanya terfokus pada pengurangan total
intervensi negara hanya akan menjadi arena politik yang menguntungkan para pemilik modal dan
elite yang berkuasa. Dan ketika sistem demokrasi model ini diterapkan dalam konteks sistem sosial
yang bersifat patriakhal, maka yang biasa pertama kali menjadi korban adalah kaum perempuan.
Di sini, perempuan akan mengalami proses pemarjinalan dalam kontestasi sosialnya karena
posisinya yang tidak setara dan subordinatif dari laki-laki sehingga tidak memiliki posisi tawar yang
cukup menguntungkan dalam melakukan berbagai kontestasi.
Jika memang demikian, bagaimana kemudian kita bisa menilai campur tangannya negara
atas wilayah privat masyarakat sebagai sebuah bentuk intervensi dengan bentuk kepedulian dan
keberpihakan negara atas perjuangan misi keadilan yang dijalankan di masyarakat ?
Secara konseptual roh negara adalah regulator. Melalui berbagai aturan yang dibuatnya,
negara bisa melakukan campur tangan negara dalam mengatur berbagai bidang kehidupan
masyarakat. Secara teoritis, ada dua macam bentuk campur tangan negara tersebut. Pertama,
campur tangan negara dalam bentuk kebijakan mengeluarkan berbagai regulasi yang membatasi
hak-hak sipil warganya untuk menjaga keseimbangan dan kesetaraan interaksi sosial satu sama
lainnya. Kedua, campur tangan negara dalam bentuk kebijakan menjalankan kewajibannya untuk
menyediakan lapangan kerja dan kehidupan yang layak bagi warganya. Kewajiban ini biasanya
ditempatkan di bawah kategori hak-hak sosial-ekonomi warga.
Menyangkut persoalan poligami, misalnya, negara bisa dikatakan melakukan intervensi
bahkan represi ketika ia melarang sama sekali praktek poligami yang secara prinsipil diyakini oleh
umat Islam sebagai praktek yang boleh. Pelarangan menjadi sesuatu yang melanggar hak asasi
seseorang untuk meyakini sebuah keyakinan tertentu. Namun ketika negara, dalam urusan
poligami ini, hanya melakukan regulasi semata demi tegaknya keadilan yang lebih objektif, maka
turut campur dalam hal ini merupakan kewajiban negara itu sendiri.
Mengapa menjadi kewajiban negara melakukan regulasi atas poligami ini ? Jawabnya tidak
lain, untuk menjaga keseimbangan dan kesetaraan interaksi sosial yang terjadi di dalam
masyarakatnya. Hal ini perlu sekali dilakukan oleh negara karena masyarakat Indonesia yang
umumnya masih menganut sistem sosial patriarkhi, menurut para pakar, berpotensi menjadikan
poligami sebagai arena kontestasi kekerasan terhadap perempuan. Di sinilah negara sekali lagi
wajib melindungi dan berpihak kaum perempuan yang rentan atas kekerasaan. Karena perempuan
juga adalah warga negara yang absah di negeri ini. Bahkan, menurut penulis, perlindungan ini juga
harus diperluas pada perempuan-perempuan yang menjadi objek dari praktek-praktek pernikahan
tidak resmi.
Apalagi kalau kita perhatikan bahwa keinginan pemerintah untuk melakukan revisi UU
tersebut bukan dalam rangka pelarangan tapi lebih bersifat regulatif. Dan fokusnya pun bukan
seluruh elemen masyarakat, tapi PNS dan para public figure. Kenapa public figure perlu
diregulasi ? Jawabannya, tentu, bukan karena Aa Gym telah berpoligami. Jawabannya adalah
karena umumnya masyarakat Indonesia secara kultural masih bersifat paternalistik, maka public
figure seharusnya dapat memberikan contoh-contoh yang terbaik bagi masyarakatnya. Apalagi
public figure yang dimaksud adalah public figure dalam kategori pejabat negara yang menerima
penghasilan dari negara. Sungguh ironis jika seandainya pejabat negara memiliki banyak istri
sehingga cenderung membenarkan pejabat negara itu memang banyak duitnya. Rasanya memang
tidak etis jika pejabat negara dalam kondisi negara yang lagi terpuruk ini pamer kemampuan dalam
memiliki istri lebih dari satu.
Dengan demikian, kita seharusnya lebih berhati-hati dalam bereaksi untuk menolak setiap
bentuk campur tangan negara. Jangan-jangan reaksi penolakan kita tersebut justru menjebak kita
pada kepentingan kelompok elite tertentu, bukannya kepentingan Islam itu sendiri. Wallahu a’lam
bishawab. []

Anda mungkin juga menyukai