Anda di halaman 1dari 4

HAJI DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL

Oleh: A. Khudori Soleh, M.Ag

Mulai minggu-minggu ini, para calon jamaah haji mulai


diberangkatkan ke tanah suci. Mereka akan menunaikan ibadah
kelima dalam rukun Islam sekaligus sebagai “penyerpuna”
keislaman kita. Semoga mereka dapat menunaikan ibadah haji
dengan baik dan tulus sehingga akhirnya mendapatkan haji yang
mabrur. Dikatakan dalam sebuah hadis, “Tidak ada balasan bagi
haii mabrur kecuali surga”.
Pernyataan “dengan baik dan tulus” ini sangat penting.
Pertama, harus dilakukan “dengan baik”, karena haji
membutuhkan biaya yang tidak sedikit di samping tenaga yang
tidak ringan. Mulai wuquf di Arafah, melempar jumrah, thawaf
dan seterusnya membutuhkan tenaga ekstra. Sungguh sangat
rugi jika pengorbanan yang tidak ringan ini kemudian harus sia-
sia karena hajinya tidak dilaksanakan dengan baik. Kedua, harus
dengan “tulus” karena haji benar-benar harus dilakukan atas
dasar dan semata-mata untuk Allah. Al-Qur’an menyatakan, “wa
lillâbi hijjul baiti man istathâ’a ilahi sabîlâ” (hanya atas dasar dan
semata untuk Allah-lah diwajibkan haji di Baitullah bagi orang
yang mampu”. Tidak ada perintah ibadah dalam al-Qur’an yang
dimulai dengan kata “wa lillâhi” kecuali haji. Itu bisa berarti
menunjukkan keunggulan dan keistimewaan haji sekaligus juga
“peringatan” Tuhan terhadap kelurusan niat. Sebab, haji sangat
mudah di “selewengkan”. Misalnya, untuk menaikkan status
social, untuk prestis, gengsi, sekedar hiburan dan rekreasi, dan
seterusnya.

Haji Berkali-Kali.
Karena itulah, mungkin, tidak sedikit orang yang kemudian
melakukan ibadah haji tidak cukup hanya satu atau dua kali.
Mereka melakukan haji sampai beberapa kali. Jika tidak haji,
mereka melakukan umrah sampai beberapa kali dalam satu
tahun.
Lepas dari semua motivasi yang melatarbelakangi,
kecenderungan dan pelaksanaan haji yang lebih dari 1-2 kali ini
patut direnungkan. Benar bahwa secara fiqhiyah, tidak ada
larangan melakukan haji lebih dari satu kali, bahkan merupakan
kesunahan. Akan tetapi, secara sosial, apakah haji sampai
beberapa kali seperti itu tepat dan “baik”? Tidakkah itu hanya
berarti menuruti egoism pribadi belaka?
Dari aspek keagamaan, munculnya fenomena haji yang
sampai berkali-kali ini agaknya berawal dari pemahaman
2
masyarakat tentang konsep kebaikan. Selama ini, apa yang
dianggap baik lebih banyak dipahami pada masalah-masalah
ritual, seperti shalat, zakat, puasa, haji, membaca al-Qur'an,
istighasah dan sebangsanya, sedang masalah-masalah sosial
seperti demokrasi, wawasan lingkungan, politik, pengentasan
kemiskinan dan lain-lain dianggap tidak berhubungan dengan
agama, atau paling tidak di bawah rangking ritual. Padahal, al-
Qur'an menyatakan bahwa apa yang disebut kebaikan atau amal
shaleh bukan hanya shalat, haji, puasa dan sejenisnya, tetapi
meliputi segala yang “ada”, ritual dan sosial.
Ada lima bentuk kebaikan yang disebutkan al-Qur'an (QS.
al-Baqarah, 177). Antara lain, pertama, iman kepada Tuhan, hari
pembalasan, kitab suci, para nabi dan malaikat, yang dikenal
sebagai rukun iman. Ini jelas. Manusia dan semesta adalah nisbi,
yaitu bahwa eksistensinya tidak muncul karena dirinya sendiri
tetapi karena Sang Maha Wujud, Maha Pencipta. Karena itu,
ketika manusia ingkar akan Tuhan dan menyombongkan
kekuatannya, maka ia berarti telah menjatuhkan dirinya sendiri
ke dalam jurang kehinaan dan kesesatan. Ia berarti telah
melepaskan diri dari Yang Maha Wujud, Maha Hakiki. Apalah
artinya manusia yang nisbi jika lupa dan lepas dari Yang Maha
Wujud?.
Kedua, memberikan nafkah kepada keluarga, anak yatim,
fakir miskin dan pengemis, atau yang dikenal sebagai program
pengentasan kemiskinan. Ketiga, mendirikan shalat,
mengeluarkan zakat dan seterusnya atau yang disebut
melaksanakan rukun Islam. Dalam herarkis ayat ini, masalah
pengentasan kemiskinan atau sosial kemasyarakatan
ditempatkan pada rangking awal, setelah keimanan, disusul
kemudian soal shalat, zakat, dan amal-amal lain.
Urutan ayat di atas tentu bukan tanpa alasan. Secara tidak
langsung, urutan tersebut dapat dimaknai betapa Islam
sebenarnya sangat memperhatikan soal sosial kemasyarakatan.
Dengan menempatkan masalah pemberian nafkah fakir miskin
dan pengemis di atas soal shalat berarti menunjukkan bahwa
masalah sosial, terutama ekonomi dan pengentasan kemiskinan
adalah lebih --minimal sangat-- penting dibanding dengan
ibadah-ibadah ritual yang lain. Rasul sendiri menunjukkan betapa
pentingnya soal ekonomi atau pengentasan kemiskinan ini.
Dalam soal kemajuan umat misalnya, secara tegas dikatakan
bahwa faktor utamanya adalah ekonomi di samping ilmu
pengetahuan. Yaitu, jika umat Islam mampu mengusai
perekonomian dan ilmu pengetahuan. Di sana, Rasul tidak
menyebut dengan yang lain, misalnya kalau rajin wiridan,
3
berkali-kali naik haji, rajin puasa, tahlil atau rajin shalat, meski
dikatakan bahwa shalat adalah tiang agama.
Masalah ekonomi dan kemiskinan adalah persoalan yang
sangat penting dan rumit dalam kehidupan manusia. Kenyataan
banyak menunjukkan betapa banyak orang yang karena faktor
ekonomi, karena miskin, kemudian rela menjual diri, keluarga,
kehormatan, negara dan bahkan menjual aqidah. Penulis sendiri
pernah terjun ke sebuah lokalisasi di Malang. Dari sekian banyak
wanita penghuninya, ternyata tidak sedikit dari mereka yang
mengerti agama, bahkan alumni sebuah pesantren, atau anak-
anaknya di pesantren dan mereka tidak tahu bahwa ibunya
bekerja di lumpur dosa. Mengapa bisa demikian? Jawabnya,
karena faktor ekonomi.
Menghadapi masalah-masalah sosial seperti itu jelas tidak
cukup dengan pidato dari atas mimbar atau di televisi bahwa
lokalisasi itu haram, zina adalah dosa dan lain-lain. Harus dilihat
dan diatasi akar permasalahannya. Mereka harus dientas dan
dibantu tekanan ekonominya. Tanpa itu, ceramah-ceramah atau
pidato-pidato keagamaan hanya akan dianggap sebagai selingan
dan sedikit hiburan --karena ceramah agama banyak
guyonannya-- ditengah-tengah kerasnya persaingan hidup.
Rasul sendiri melakukan tindakan nyata dalam mengatasi
masalah-masalah ekonomi dan kemiskinan seperti ini. Misalnya,
sebagaimana diriwayatkan, suatu saat hari raya dijumpai ada
anak kecil yang tidak ikut gembira bersama anak-anak yang lain.
Berpakaian kumal dan menangis. Ditanya oleh Rasul, mengapa?
Jawab si bocah, karena ayahnya telah meninggal dan ibunya
yang miskin tidak mempunyai uang untuk membelikan baju baru.
Melihat kenyataan itu, Rasul tidak lantas mengatakan bahwa itu
merupakan cobaan dan menyuruh si kecil bersabar. Sebaliknya,
Rasul langsung mengajak pulang si bocah, memberinya pakaian
dan mengambilnya sebagai anak, bersaudarakan Hasan dan
Husain, atau yang sekarang dikenal dengan istilah “orang tua
asuh”.

Seimbang Ritual-Sosial.
Belajar dari ayat di atas, harus ada keseimbangan antara
dimensi ritual dan sosial. Sangat tidak pada tempatnya kita
lakukan banyak ibadah ritual tetapi menepikan kepekaan
terhadap masalah sosial, terutama jika tidak memperhatikan
kondisi dan nasib orang-orang di bawah yang banyak
memerlukan bantuan dan uluran tangan. Al-Qur'an bahkan
mengancam dan menuduhnya sebagai orang yang mendustakan
agama. “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah
mereka yang mentelantarkan anak yatim dan yang tidak mau
4
peduli akan soal kemiskinan” (QS. al-Ma`un, 1-3). Sebaliknya,
tidak juga merupakan kebaikan orang yang berjasa pada
lingkungan dan masyarakatnya tetapi tidak baik masalah
ritualnya.
Karena itu, dalam masalah haji ini, perlu direnungkan
mengapa harus berkali-kali? Berkali-kali melakukan haji berarti
hanya menumpuk amal untuk diri sendiri. Itu adalah egois.
Tidakkah lebih baik jika melakukan haji cukup sekali dua kali,
demi menunaikan kewajiban dan kesunnahan, sedang biaya haji
atau umrah untuk berikutnya disalurkan kepada jalur-jalur sosial,
sehingga masalah sosial ikut terselesaikan. Masih terlalu banyak
masyarakat miskin yang memerlukan bantuan. Masih terlalu
banyak kegiatan sosial yang macet karena kekurangan dana.
Masih banyak anak-anak putus sekolah dan terpaksa harus
mengemis karena tidak punya uang SPP. Juga masih terlalu
banyak lembaga pendidikan dan keagamaan yang mangkrak
karena tidak ada dana. “Tidak sempurna iman seseorang yang
makan kenyang --dan haji berkali-kali-- sementara tetangganya,
masyarakatnya dan generasi mudanya menderita, kelaparan,
dan hidupanya terabaikan” (al-Hadits).

Dalam Buletin Jum`ah, PP. Gading Pesantren, ed. 13 Februari 04.

Anda mungkin juga menyukai