Anda di halaman 1dari 6

SUNBURN Sunburn disebut juga sebagai eritema ultraviolet.

Sunburn merupakan reaksi fotosensitif kutan yang dapat terjadi pada setiap individu, terutama ras yang memiliki sedikit pigmen kulit. Eritema akibat sunburn merupakan contoh peradangan kulit dan dapat dipacu oleh ketiga spektrum radiasi ultraviolet, yaitu UV-A, UV-B, dan UV-C, UV-B dan UV-C akan diabsorpsi epidermis, sedangkan UV-A memenetrasi epidermis (50%). Dosis cahaya yang diperlukan untuk memacu terjadinya eritema minimal dikulit berbeda untuk ketiga jenis spektrum. Dosis eritema minimal (DEM) dikulit untuk ketiga jenis spektrum : Daerah UV A B C DEM(m.V/cm2) 101-105 101-102 101-101

Eritema akibat sunburn adalah hasil pajanan kulit dengan sinar UV sehingga terjadi dilatasi pembuluh darah di dermis, tepat dibawah kulit yang terpajan sinar. Dari jumlah percobaan diketahui bahwa pleksus papilervenosa superfisialis dan arteriol kutan yang letaknya dalam dapat dipengaruhi oleh penyinaran. Berikut ini akan diuraikan eritema akibat paparan UV-A, UV-B, dan UV-C. Ertiema Akibat Pajanan UV-B UV-B biasanya disebut sebagai sinar sunburn. Berlainan dengan UV-C, sinar UV-B dapat mencapai permukaan bumi dan memacu terjadinya eritema dikulit. Pacuan tersebut akan dipengaruhi antara lain oleh lingkungan, musim, waktu dan lamanya pajanan. Sifat eritema akibat pajanan UV-B ialah berbatas tegas antara daerah terpajan dan daerah tidak terpajan.

Terdapat periode laten yang berkisar antara 8-16 jam sebelum tampak eritema secara klinis, sehingga teori direct hit yang mendasari terjadinya eritema tidak dapat diterapkan. Teori lain ialah adanya mediator vasoaktif yang dalam masa laten akan berdifusi ke pembuluh darah dermis dan menyebabkan vasodilatasi. Banyak protein di dalam epidermis yang dapat mengabsorpsi sinar UV-B, misalnya asam nukleat. Eritema akibat pajanan UV-B akan tampak dalam waktu 2-6 jam setelah radiasi mencapai maksimum dalam 24-36 jam, dam menghilang dalam 72-120 jam disertai jelas pigmentatik, sebagai akibat meningkatnya sintesis melanin. Akibat adanya pigmentasi tersebut akan terjadi gangguan kosmetik terutama pada individu berkulit putih. Peningkatan melanogenesis tersebut akan memberi perlindungan terhadap kerusakan kulit selanjutnya karena melanin merupakan zat yang dapat mengabsorpsi UV-B secara efektif. Reaksi pigemntasi tersebut merupakan contoh reaksi adapatasi biologis yang berguna, sebab sinar matahari merupakan sumber kuat sinar UV-B. UV-B merupakan penyebab kelainan kronik pajanan terhadap sinar matahari, misalnya keratosis aktinik dan keganasan pada kulit. Eritema Akibat Pajanan UV-C Akibat adanya lapisan ozon yang akan mengabsorpsi gelombang pendek ini, maka pancaran UV-C tidak akan mencapai bumi, sehingga eritema jenis ini hanya akan terjadi apabila kulit terpajan dengan sinar UV-C artifisisal, misalnya dengan lampu merkuri. Eritema akibat pajanan UV-C akan terjadi 4-6 jam setelah pajanan dan akan menghilang secara cepat dalam waktu 12-36 jam. Sebagian besar UV-C diabsorpsi di stratum korneum atau sel-sel epidermis bagian atas

(99%), meskipun demikian yang 1% sisanya akan mampu memacu eritema pada kulit akibat absorpsi oleh pembuluh darah di dermis setelah berpenetrasi melewati epidermis. Eritema dan deskuamasi akibat pajanan sinar UV-C biasanya tidak meninggalkan jejas pigmentatik. Penatalaksanaan terbaik pada sunburn akut ialah mencegah terjadinya hal tersebut dengan penggunaan berbagai jenis tabir surya ( sunscreen atau sunblock). Pada sunburn berat dapat diberikan kompres dingin atau kortikosteroid topikal disamping pemberian oral asam asetil salisilat atau indometazin. Apabila keadaan sangan berat sampai terbentuk bula, maka dapat diberikan kortikosteroid dosis tinggi secara oral kemudian secara cepat diturunkan dalam waktu singkat dan sesuai dengan respon klinisnya. FITOFOTODERMATITIS Fitofotodermatitis merupakan reaksi fototoksik yang berhubungan dengan pajanan terhadap sinar dan tumbuh-tumbuhan. Zat yang bersifat fototoksik dalam tumbuh-tumbuhan dikenal sebagai furokumarin. Zat fototoksik tersebut bersifat larut dalam lemak dan dapat dengan mudah berpenetrasi ke dalam epidermis. Untuk dapat memacu terjadinya fitodermatitis terdapat 2 tahap reaksi : 1. Berkontak dengan furokumarin yang berkemampuaan bersensitisasi 2. Pajanan sinar UV dengan panjang gelombang lebih dari 3200 A atau sinar matahari Gesekan, keringat, panas serta kelembaban akan mempengaruhi absorpsi zat-zat tersebut ke dalam kulit sehingga mempengaruhi terjadinya reaksi fototoksik tersebut.

Pada keadaan akut manifestasi klinis berupa eritema dan bula, sedangkan hiperpigmentasi merupakan manifestasi kronik fitofotodermatitis. Lokalisasi kelainan akan mencerminkan pola kontaknya. DERMATITIS BERLOQUE Pertama kali digambarkan oleh FREUND pada tahun 1916 berupa eritema dan pigmentasi menyerupai bentuk kalung (berlock atau berloque) pada individu yang mengoleskan minyak wangi sebelum terpajan sinar matahari. Kemudian diketahui bahwa fotodermatitis tersebut disebabkan oleh minya bergamot yang dihasilkan oleh sejenis buah jeruk yang banyak digunakan sebagai aroma pada minnyak wangi. OPPENHEIM pada tahun 1932 menggambarkan bentuk dermatitis tertentu yang ditemukan pada individu yang berjemur dikebun. Dermatitis tersebut dinamakan sebagai dermatitis bullosa striata pertantis dengan kelainan klinis bula tersusun linier pada daerah terpajan sinar disertai rasa gatal yang sangat hebat. Sebab kelainan tersebut adalah kandungan psoralen pada rumput yang bersifat sebagai photosensitizer.

II. REAKSI FOTOALERGIK Pendahuluan Reaksi fotoalergik merupakan kelainan yang jarang ditemui, kemungkinan karena mekanisme yang mendasarinya belum diketahui jelas dan kelainan tersebut hanya terjadi pada individu tertentu. Pajanan pertama dengan fotoalergen tidak akan segera menimbulkan reaksi karena dibutuhkan fase induksi yang berkisar antar 1-2 minggu. Reaksi baru akan terlihat pada pajanan berikutnya atau setelah

fase induksi terlampaui. Berbeda dengan reaksi fototoksik, fotoalergik tidak memerlukan dosis tinggi, baik dalam fotoalergen maupun energi yang dibutuhkan untuk memacu reaksi Definisi Reaksi fotoalergik ialah perubahan reaktivitas kulit untuk bereaksi dengan energi sinar saja atau dengan adanya photosensitizer, dalam hal ini disebut fotoalergen, melalui mekanisme respon imun humoral atau respon imun seluler. Patogenesis Meskipun sebagian besar reaksi terhadap photosensitizer eksogen adalah reaksi fototoksik, tetapi terdapat juga reaksi fotoalergik dengan dasar hipersensitivitas tipe lambat. Photosensitizer eksogen dapat mengenai tubuh mealui olesan secara topikal pada kulit atau masuk ke tubuh secara sistemik. Mekanisme reaksi fotoalergik meliputi absorpsi sinar oleh photosensitizer, kemudian terjadi perubahan sehingga terbentuk hapten yang akan bergabung dengan protein karier dan memacu terjadinya respon imun. Ditinjau dari segi pembentukan hapten terdapat beberapa teori ialah : a. Terbentuk hapten yang stabil akibat pajanan bahan kimia dengan sinar radiasi yang sesuai, pajanaan ulang dengan hapten pada individu tersentisisasi akan mengakibatkan reaksi alergi. Misalnya reaksi fototoksik terhadap salisilanit dan metoksalen. b. Terbentuk hapten yang tidak stabil, yang terjadi dalam waktu singkat dan harus terletak berdekatan dengan protein kariernya pada saat pajanan sinar radiasi. Hal terseebut dapat menerangkan terjadinya hasil negatif pada uji tempel atau tes intradermal.

c. Perubahan pada protein karier sehingga dapat bergabung baik dengan bahan kimia yang telah berubah maupun yang belum untuk membentuk antigen. Gambaran Klinis Umum Secara umum gambaran klinis berkisar antara urtikaria akut sampai lesi papular atau eksematosa. Kelainan dapat terjadi lebih luas daripada daerah terpajan dan apabila terjadi eksaserbasi dapat berlokasi jauh dari daerah pajanan. Kelainan klinis dapat bersifat poliforfi terutama eksematosa disertai rasa gatal. Pada stadium akut terlihat vesikel disertai skuama, krusta, dan eksoriasi sedangkan pada stadium kronik dijumpai kelainan berupa likenifikasi, meskipun dapat juga ditemukan bentuk lain, misalnya urtikaria, dan papul. Hiperpigmentasi lebih jarang ditemukan dibandingkan dengan pada reaksi fototoksik. Klasifikasi Reaksi fotoalergik ada 2 macam : I. Yang dipacu oleh photosensitizer eksogen : a. Photosensitizer kontak b. Photosensitizer sistemik II. Yang tidak berhubungan dengan photosensitizer a. Tipe cepat: urtikaria solaris b. Tipe lambat: polymorphous light eruption I . Reaksi fotoalergik yang dipacu oleh photosensitizer eksogen Meskipun reaksi terhadap photosensitizer eksogen umumnya berupa reaksi fototoksik, tetapi terdapat pula reaksi fotoalergik dengan dasar hipersentivitas tipe lambat. Photosensitizer dapat dioleskan ke kulit atau masuk ke dalam tubuh secara sistemik.

Anda mungkin juga menyukai