Anda di halaman 1dari 30

Memudarnya Nasionalisme dan Kecintaan Pada Bangsa dan Tanah Air Sebagai produk dari faktor politik, ekonomi,

sosial dan intelektual pada suatu tahapan sejarah, nasionalisme adalah "suatu kondisi pikiran, perasaan atau keyakinan sekelompok manusia pada suatu wilayah geografis tertentu, yang berbicara dalam bahasa yang sama, memiliki kesusasteraan yang mencerminkan aspirasi bangsanya, terlekat pada adat dan tradisi bersama, memuja pahlawan mereka sendiri dan dalam kasus-kasus tertentu menganut agama yang sama" Nasionalisme adalah produk langsung dari konsep bangsa. Ia merujuk kepada perasaan "kasih sayang" pada satu sama lain yang dimiliki oleh anggota bangsa itu dan rasa kebanggaan yang dimiliki oleh bangsa itu sendiri. Dia adalah semangat kebersamaan yang bertujuan memelihara kesamaan pandangan, kesamaan masyarakat dan kesamaan bangsa dalam suatu kelompok orang-orang tertentu. Dia adalah suatu idelogi abstrak yang mengakui kebutuhan akan suatu pengalaman bersama, kebudayaan bersama, dasar sejarah, bahasa bersama dan lingkungan politik yang homogen. Nasionalisme dapat diungkapkan dengan berbagai cara, misalnya keinginan untuk mencapai taraf kehidupan yang tinggi, keinginan untuk memenangkan medali emas lebih banyak dari negara lain dalam Olympiade, atau bahkan menundukkan wilayah lain yang berbatasan. Akhir-akhir ini ditengarai bahwa semangat nasionalisme dan patriotisme, khususnya di kalangan generasi muda Indonesia telah memudar. Beberapa indikasi antara lain adalah munculnya semangat kedaerahan seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah; ketidakpedulian terhadap bendera dan lagu kebangsaan; kurangnya apresiasi terhadap kebudayaan dan kesenian daerah; konflik antar etnis yang mengakibatkan pertumpahan darah. Ketidak mampuan pemerintah pasca Orde Baru untuk mengatasi krisis multidimensional sering dijadikan "kambing hitam" penyebab memudarnya nasionalisme. Banyak orang yang tidak merasa bangga menjadi orang Indonesia akibat citra buruk di dunia internasional sebagai "sarang koruptor" dan "sarang teroris". Banyak orang yang enggan membela negara dengan alasan "saya dapat dari negara?" Presiden John F. Kennedy dari Amerika Serikat pernah mengatakan, "don't ask what your country can do for you, ask what can you do for your country!" (jangan tanyakan apa yang dapat dilakukan oleh negaramu

untukmu, tapi tanyakan apa yang dapat kamu lakukan untuk negaramu!) Semangat seperti itu seharusnya juga berlaku bagi semua warga negara Indonesia. Ada semacam kekeliruan pandangan bahwa negara identik dengan pemerintah. Setiap warga negara boleh saja tidak setuju dengan kebijakan pemerintah, tapi dia tetap berhak dan wajib membela negaranya. Memudarnya nasionalisme dan patriotisme mungkin juga disebabkan oleh tiadanya penghayatan atas arti perjuangan para pahlawan kemerdekaan. Perayaan hari Kemerdekaan setiap tanggal 17 Agustus selama berpuluh tahun terkesan hanya sebagai ritual upacara bendera yang membosankan. Tradisi "hura-hura" lomba makan krupuk dan panjat pinang, panggung hiburan yang dari tahun ke tahun hanya diisi oleh vocal group remaja setempat di setiap RT di seluruh tanah air dan gapura yang mencantumkan slogan-slogan kosong di setiap ujung gang. Yang lebih memprihatinkan, di tengah krisis ekonomi yang berlarut-larut ini, hari Kemerdekaan dirayakan dengan kembang api. Betapa tidak nasionalis dan tidak patriotisnya, membakar uang puluhan juta rupiah sementara sebagian besar rakyat tengah menderita. Sedikit sekali kelompok masyarakat yang merayakan hari Kemerdekaan dengan acara syukuran dan do'a bersama mengingat jasa para pahlawan yang telah mengorbankan nyawa mereka untuk mencapai kemerdekaan ini. Demikian pula Sumpah Pemuda, yang sebenarnya adalah modal awal persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia jauh sebelum kemerdekaan, kini seolah hanya merupakan pelajaran sejarah yang tidak pernah dihayati dan diamalkan. Munculnya gerakan separatisme dan konflik antar etnis membuktikan tidak adanya kesadaran bahwa kita adalah satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Harus diakui bahwa ada faktor-faktor politis, ekonomi dan psikologis yang menyebabkan gerakan-gerakan separatis maupun konflik antar etnis itu, misalnya masalah ketidak adilan sosial dan ekonomi, persaingan antar kelompok dan sebagainya. Kurang tanggapnya pemerintah baik di pusat maupun daerah untuk mengantisipasi atau segera menangani berbagai permasalahan itu menyebabkan tereskalasinya suatu masalah kecil menjadi konflik yang berkepanjangan. Bela Negara Sebagai Hak dan Kewajiban Warga Negara Konsep Bela Negara

Pasal 30 UUD 1945 menyebutkan bahwa "tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara". Konsep Bela Negara dapat diuraikan yaitu secara fisik maupun non-fisik. Secara fisik yaitu dengan cara "memanggul bedil" menghadapi serangan atau agresi musuh. Bela Negara secara fisik dilakukan untuk menghadapi ancaman dari luar. Sedangkan Bela Negara secara non-fisik dapat didefinisikan sebagai "segala upaya untuk mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia dengan cara meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara, menanamkan kecintaan terhadap tanah air serta berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara". Bela Negara Secara Fisik Keterlibatan warga negara sipil dalam upaya pertahanan negara merupakan hak dan kewajiban konstitusional setiap warga negara Republik Indonesia. Tapi, seperti diatur dalam UU no 3 tahun 2002 dan sesuai dengan doktrin Sistem Pertahanan Semesta, maka pelaksanaannya dilakukan oleh Rakyat Terlatih (Ratih) yang terdiri dari berbagai unsur misalnya Resimen Mahasiswa, Perlawanan Rakyat, Pertahanan Sipil, Mitra Babinsa, OKP yang telah mengikuti Pendidikan Dasar Militer dan lainnya. Rakyat Terlatih mempunyai empat fungsi yaitu Ketertiban Umum, Perlindungan Masyarakat, Keamanan Rakyat dan Perlawanan Rakyat. Tiga fungsi yang disebut pertama umumnya dilakukan pada masa damai atau pada saat terjadinya bencana alam atau darurat sipil, di mana unsur-unsur Rakyat Terlatih membantu pemerintah daerah dalam menangani Keamanan dan Ketertiban Masyarakat, sementara fungsi Perlawanan Rakyat dilakukan dalam keadaan darurat perang di mana Rakyat Terlatih merupakan unsur bantuan tempur bagi pasukan reguler TNI dan terlibat langsung di medan perang. Apabila keadaan ekonomi nasional telah pulih dan keuangan negara

memungkinkan, maka dapat pula dipertimbangkan kemungkinan untuk mengadakan Wajib Militer bagi warga negara yang memenuhi syarat seperti yang dilakukan di banyak negara maju di Barat. Mereka yang telah mengikuti pendidikan dasar militer akan dijadikan Cadangan Tentara Nasional Indonesia selama waktu tertentu, dengan masa dinas misalnya sebulan dalam setahun untuk mengikuti latihan atau kursus-kursus penyegaran. Dalam keadaan darurat perang, mereka dapat dimobilisasi dalam waktu singkat untuk tugas-tugas tempur maupun tugas-tugas teritorial. Rekrutmen dilakukan secara selektif, teratur dan berkesinambungan.

Penempatan tugas dapat disesuaikan dengan latar belakang pendidikan atau profesi mereka dalam kehidupan sipil misalnya dokter ditempatkan di Rumah Sakit Tentara, pengacara di Dinas Hukum, akuntan di Bagian Keuangan, penerbang di Skwadron Angkutan, dan sebagainya. Gagasan ini bukanlah dimaksudkan sebagai upaya militerisasi masyarakat sipil, tapi memperkenalkan "dwi-fungsi sipil". Maksudnya sebagai upaya sosialisasi "konsep bela negara" di mana tugas pertahanan keamanan negara bukanlah semata-mata tanggung jawab TNI, tapi adalah hak dan kewajiban seluruh warga negara Republik Indonesia. Bela Negara Secara Non-Fisik Di masa transisi menuju masyarakat madani sesuai tuntutan reformasi saat ini, justru kesadaran bela negara ini perlu ditanamkan guna menangkal berbagai potensi ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan baik dari luar maupun dari dalam seperti yang telah diuraikan di atas. Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, bela negara tidak selalu harus berarti "memanggul bedil menghadapi musuh". Keterlibatan warga negara sipil dalam bela negara secara non-fisik dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, sepanjang masa dan dalam segala situasi, misalnya dengan cara: a. meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara, termasuk menghayati arti demokrasi dengan menghargai perbedaan pendapat dan tidak memaksakan kehendak b. menanamkan kecintaan terhadap tanah air, melalui pengabdian yang tulus kepada masyarakat c. berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara dengan berkarya nyata (bukan retorika) d. meningkatkan kesadaran dan kepatuhan terhadap hukum/undang-undang dan menjunjung tinggi Hak Azasi Manusia e. pembekalan mental spiritual di kalangan masyarakat agar dapat menangkal pengaruhpengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan bangsa Indonesia dengan lebih bertaqwa kepada Allah swt melalui ibadah sesuai agama/kepercayaan masing- masing Apabila seluruh komponen bangsa berpartisipasi aktif dalam melakukan bela negara secara non-fisik ini, maka berbagai potensi konflik yang pada gilirannya merupakan ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan bagi keamanan negara dan bangsa kiranya akan dapat

dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali. Kegiatan bela negara secara non-fisik sebagai upaya peningkatan Ketahanan Nasional juga sangat penting untuk menangkal pengaruh budaya asing di era globalisasi abad ke 21 di mana arus informasi (atau disinformasi) dan propaganda dari luar akan sulit dibendung akibat semakin canggihnya teknologi komunikasi. PENUTUP Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, jelaslah potensi ancaman terhadap keamanan negara bisa datang dari luar maupun dalam negeri. Namun potensi ancaman yang lebih besar adalah yang dari dalam negeri, terutama di masa transisi menuju masyarakat madani sesuai dengan tuntutan reformasi. Lebih jauh lagi, pengalaman menunjukkan bahwa instabilitas dalam negeri seringkali mengundang campur tangan asing baik secara langsung maupun tidak langsung. Mengingat kesadaran bela negara yang masih rendah di kalanganmasyarakat kita, terutama di kalangan elite (politik dan ekonomi) serta kaum intelektual/akademisi, dapat dikatakan bahwa Pendidikan Pendahuluan Bela Negara untuk menanamkam kesadaran bela negara masih sangat relevan dan masih sangat dibutuhkan di era reformasi saat ini dan di masa mendatang. Namun perlu dicarikan format yang lebih efektif, lebih sesuai dengan kondisi masyarakat dan lebih bersifat konkrit dan realistis agar tidak terkesan sebagai suatu kegiatan indoktrinasi teori yang bersifat abstrak dan membosankan. Pendidikan Pendahuluan Bela Negara untuk masyarakat umum akan sangat bermanfaat, khususnya dalam upaya menanamkan kesadaran akan hak dan kewajiban konstistusional sebagai warga negara untuk mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia. Materi yang diajarkan dapat ditingkatkan kualitasnya, namun mengingat latar belakang pendidikan formal peserta yang cukup beragam mungkin perlu dilakukan penyesuaian atau modifikasi. Selain itu, perlu dipertimbangkan untuk melibatkan lebih banyak peserta dari kalangan elite (politik dan ekonomi) yang tampaknya kurang memiliki kesadaran bela negara akibat terlalu sibuk membela kepentingan pribadi/golongannya. Pendidikan kewiraan di tingkat perguruan tinggi, yang juga merupakan salah satu bentuk dari Pendidikan Pendahuluan Bela Negara, kiranya juga masih relevan dan diperlukan meskipun materinya tentu saja perlu disesuaikan seiring dengan perubahan situasi politik yang sedang terjadi dewasa ini.

MENINGKATKAN WAWASAN MELALUI PENDIDIKAN BELA NEGARA OLEH : LETKOL INF. AGUS SUBIYAKTO Dandim 0714/Salatiga Dam IV/Dip

KEBANGSAAN

Kemerdekaan bukanlah berarti kebebasan tanpa batas yang lebih mengutamakan adanya kebebasan individu. Tetapi kemerdekaan Indonesia adalah hasil jerih payah perjuangan seluruh bangsa Indonesia yang patriotik, sehingga disini kita lihat bahwa kebersamaan selalu merupakan titik sentral yang menjadi arah setiap individu sebagai warga negara. Pelestarian nilai kebangsaan mengakibatkan adanya dorongan (motivasi) untuk berbuat dan bertindak dalam menegakkan serta mengisi kemerdekaan dengan pembangunan. Sejarah perjuangan bangsa juga memberi bukti yang nyata bahwa hanya dengan semangat persatuan dan kesatuan, rasa cinta tanah air, kesadaran bela negara serta wawasan sebagai satu bangsalah yang memungkinkan kita mampu menjaga dan menegakkan kemerdekaan NKRI sampai sekarang. Untuk itu, seluruh warga negara harus mempunyai semangat pembelaan yang tangguh terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Dimana hal ini lazim disebut sebagai semangat bela negara. Maka semangat bela negara harus ditanamkan kepada seluruh warga negara secara dini, terpadu dan teruji disemua strata kehidupan dari bangsa Indonesia . Hal ini akan lebih optimal apabila ditanamkan secara dini dalam artian dimana warga negara itu sudah mulai nalar daya pikirnya dan ini berarti sasaran atau obyeknya adalah generasi muda. Dan fenomena yang tampak saat ini justru generasi muda yang tidak mengalami langsung periode merebut kemerdekaan, tampak seperti kehilangan kepribadian sebagai anak bangsa. Oleh karena itu proses ini dilaksanakan secara terpadu baik secara formal (di lingkungan pendidikan) maupun secara non formal (di lingkungan keluarga dan pemukiman). Fenomena Lunturnya Nasionalisme Kondisi ini terlihat luntur dengan cerminan dari persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini. Misalnya banyak orang yang memberikan opini atau pendapat tentang

penyelesaian Aceh dengan pola pikir masing-masing serta relatif menyudutkan TNI, namun tidak ada satu orangpun yang bersedia menjadi sukarelawan untuk membantu menumpas pemberontakan GAM tersebut. Manakala rakyat Irak diserang oleh Amerika Serikat dan sekutunya, banyak orang menangis dan mengumpulkan dana serta menjadi sukarelawan untuk membantu rakyat Irak. Tetapi ketika rakyat Aceh atau rakyat Papua disakiti, disiksa, diperas dan dibunuh oleh GAM maupun OPM tidak terlihat adanya kelompok yang menangis dan berusaha untuk menjadi sukarelawan dalam membantu penyelesaian masalah Aceh atau masalah Papua. Semua ini merupakan cerminan betapa lunturnya rasa kebangsaan yang dimiliki bangsa ini. Sebagai perbandingan, dahulu kala ketika presiden Soekarno mencanangkan Trikora untuk membebaskan Irian Barat dari tangan penjajah Belanda, orang berbondong-bondong mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan dalam mengusir Belanda dari Irian Barat. Hal ini sangat ironis sekali dengan kondisi saat ini. Haruskah bangsa Indonesia dijajah kembali supaya rasa kebangsaannya menjadi tumbuh dan berkembang serta bersatu untuk dapat meraih kehormatan dan kemerdekaannya kembali ? Tentunya hal ini tidak kita ingini bersama, karena dijajah adalah penderitaan dan penistaan. Hal ini ironis dengan fenomena yang ada di negara kita dimana ada anak bangsa yang meminta adanya campur tangan pasukan dari negara asing untuk mengatasi masalah dalam negeri baik di Poso maupun di Maluku. Peristiwa tersebut menunjukkan betapa rendahnya rasa nasionalisme atau semangat kebangsaan anak bangsa tersebut. Padahal kita masih mampu dan dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam negeri. Baik masalah Poso, masalah Aceh, masalah Ambon , masalah Papua dan masalah lainnya di Indonesia ini. Begitu juga masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya terlihat betapa lunturnya nilai-nilai luhur bangsa ini yang tercermin baik dalam orasinya, spanduk/poster yang dibentangkan maupun tingkah laku yang tidak santun. Pernah terjadi pada suatu peristiwa demonstrasi, mereka menginjak injak dan membakar gambar/foto presiden yang nota bene sebagai lambang negara dan harus dihormati oleh seluruh anak bangsa. Perilaku lain yang sangat mengkuatirkan generasi tua atau para orang tua adalah adanya kebiasaan atau budaya yang banyak melanggar norma-norma agama dan sosial pada generasi muda.

Pergaulan bebas, seks pranikah, penggunaan narkoba adalah sebagian contoh ayng dapat dilihat dari lingkungan generasi muda kita saat ini dimana waktu-waktu yang lalu tidak pernah terjadi, minimal tidak terlihat vulgar atau terbuka seperti saat ini. Tetapi kini perbuatan yang tak senonoh tersebut dilakukan seperti tanpa ada etika. Bisa kita simpulkan bahwa terhadap budaya bangsa yang demikian luhur dan sederhana saja banyak generasi muda yang melupakannya atau tidak memperdulikannya. Cara pandang seperti itu bisa dikatakan sudah luntur dan hampir berada pada titik terendah pada sikap diri masyarakat. Upaya yang Dilakukan Bahwa perlu suatu upaya yang sistematis dalam penanaman wawasan kebangsaan yang optimal sehingga didapatkan nasionalisme yang optimal, berisi ketangguhan bangsa khususnya generasi muda dalam upaya pembelaan negara dari semua ancaman yang dapat mengancam kelangsungan hidup negara. Upaya yang dilakukan adalah dengan

memanfaatkan kekuatan dan peluang yang ada dalam mengatasi kelemahan serta kendalanya. Kebijakan. Dalam upaya meningkatkan wawasan kebangsaan masyarakat melalui Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN), maka kebijakan yang ditetapkan adalah : Peningkatan kesadaran warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, diarahkan untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis dari seluruh masyarakat Indonesia dalam wadah NKRI yang berdaulat, aman, sentosa yang mempunyai tingkat wawasan kebangsaan yang tinggi. Kesadaran masyarakat bernegara dan berbangsa yang tinggi, tercermin pada perilaku warga negara Indonesia yang rela berkorban dan cinta kepada tanah airnya yang diperoleh melalui Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN), sehingga masyarakat Indonesia dapat hidup damai dan sejahtera dalam suasana demokrasi dan tegak hukum, pemimpin bangsa yang mengutamakan kepentingan negara dan bangsa diatas kepentingan pribadi dan golongan, serta pemerintah dan pemimpin nasional yang mencintai rakyat dan mendapat kepercayaan penuh serta dicintai rakyatnya. Strategi / Tujuan

Lingkungan Pemukiman dan Pekerjaan. Meningkatkan kemampuan dan pengusaan materi PPBN para penatar dalam melaksanakan penyuluhan wawasan kebangsaan serta membentuk organisasi penyelenggara PPBN yang terpadu. Lingkungan Pendidikan. Membentuk dan meningkatkan kemampuan dalam PPBN para guru/pengajar/dosen di lingkungan pendidikan. Mewujudkan kegiatan kesiswaan dan kepramukaan yang dapat menumbuhkan dan meningkatkan wawasan kebangsaan. Mewujudkan media massa yang kondusif untuk membantu upaya PPBN. Menghimbau pemerintah untuk membuat program PPBN yang konsisten dan terpadu serta membuat peraturan yang dapat menjaga sikap mental generasi muda. Sasaran. Lingkungan Pemukiman. Keluarga. Terbentuknya motivasi juang dan semangat kebangsaan di lingkungan keluarga. Aparat Terkait. Terwujudnya organisasi pembina serta kegiatan yang terprogram dan terpadu dengan melibatkan semua pihak. Tokoh Agama. Terwujudnya kepedulian tokoh agama dalam menanamkan semangat kebangsaan melalui jalur agama. Lingkungan Pendidikan. Dukungan dunia pendidikan. Terwujudnya guru/pengajar/dosen yang punya tanggung jawab moral dalam menanamkan semangat kebangsaan serta pemahaman materi PPBN yang optimal. Kegiatan Ekstra Kurikuler. Terselenggaranya kegiatan ekstra kurikuler yang dapat disisipi PPBN dan menumbuhkan wawasan kebangsaan.

Kegiatan Kepramukaan. Terselenggaranya kegiatan kepramukaan yang dapat menumbuh kan sikap hidup mandiri, ulet dan pantang menyerah sebagai modal dasar dalam menanamkan semangat bela negara. Media Massa . Terwujudnya media massa yang dapat membantu membentuk opini masyarakat dalam rangka menanamkan jiwa atau semangat bela negara. Komitmen Pemerintah. Adanya program - program pemerintah yang diterapkan oleh instansi yang berwenang secara konsisten dan bertanggung jawab serta adanya peraturan yang dapat mengeliminir pemanfaatan generasi muda secara sempit. Lingkungan Pekerjaan. Terciptanya kondisi di lingkungan pekerjaan yang dapat menumbuhkan semangat wawasan kebangsaan. Metode yang digunakan didalam melaksanakan upaya-upaya meningkatkan wawasan kebangsaan melalui PPBN, antara lain : Sosialisasi : Yaitu semua langkah-langkah yang bertujuan untuk memasyarakatkan paradigma nasional, peraturan-peraturan serta hukum yang berlaku bagi setiap warga Indonesia untuk ditaati dalam kehidupan sehari-hari. Dialog : Yaitu diskusi dari pihak-pihak yang terkait guna mencari solusi secara damai, penuh kebudayaan, saling memahami dan penuh rasa kekeluargaan. Tatap Muka : Yaitu pertemuan langsung secara berhadapan untuk saling memberi informasi atau menjelaskan sesuatu masalah berkaitan dengan peningkatan kesadaran masyarakat berbangsa dan bernegara. Ceramah : Yaitu pertemuan dalam rangka menjelaskan sesuatu topik yang ingin didalami terutama yang erat kaitannya dengan peningkatan kesadaran masyarakat berbangsa dan bernegara. Persuasif : Yaitu langkah-langkah yang mengutamakan pendekatan manusiawi dalam menggugah kesadaran warga negara agar secara tulus ikhlas melakukan yang terbaik bagi kepentingan bangsa dan negara. Peran Lingkungan Pemukiman.

Keluarga, tokoh agama dan aparat terkait. Peran keluarga dalam menanamkan wawasan kebangsaan yang berisikan ketangguhan dalam upaya pembelaan negara sangat penting dan vital sekali khususnya bagi generasi muda. Oleh karena itu para orang tua harus terlebih dahulu diberikan pembekalan dan pemahanan bela negara. Tokoh agama diberdayakan untuk dapat membekali norma agama dan ikut menjaga moralitas generasi muda. Bahwa generasi muda relatif labil jiwanya dalam mencari jati dirinya, tidak dapat dipungkiri. Oleh karena itu keterpengaruhan generasi muda karena arus globalisasi yang melanda dunia saat ini harus mendapatkan resep penangkalan untuk tidak memperparah dekadensi moral yang terjadi dengan melihat fenomena pergaulan bebas, penggunaan narkoba dan lainlainnya. Aparat terkait yang ada di daerah harus melaksanakan kegiatan yang terpadu untuk upaya pembekalan baik kepada orang tua maupun generasi muda itu sendiri. Keterpaduan ini harus dilakukan mulai dari tahap perencanaan sampai dengan tahap evaluasi untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang bisa dipertanggung jawabkan. Peran Dunia Pendidikan. Peran dunia pendidikan untuk membekali semangat bela negara cukup penting. Pengajar atau guru secara formal harus mendidik anak didiknya dan berperan langsung serta terukur dalam pembekalan materi PPKN/Pendidikan Kewarganegaraan baik di sekolah dasar, sekolah lanjutan maupun di perguruan tinggi. Mereka harus betul-betul mampu dan menguasai materi yang diberikan kepada anak didiknya. Para pendidik/pengajar seyogyanya mendapatkan semacam penataran PPBN sehingga materi yang diberikan bisa dipertanggung jawabkan. Kegiatan Ekstra Kurikuler yang dilakukan diluar jam pelajaran dapat juga dimanfaatkan untuk upaya penanaman semangat pembelaan negara. Kegiatan OSIS atau SENAT dapat dijadikan untuk memupuk rasa tanggung jawab dan kebersamaan serta belajar untuk dapat mengesamping kan atau meninggalkan berbagai macam kepentingan pribadi dan dapat mengedepankan kepentingan bersama yang diwadahi oleh satu organisasi dalam mencapai tujuan yang disepakati bersama. Kegiatan lain yang dapat memupuk rasa sportifitas dan percaya diri yang tinggi adalah dengan kegiatan pecinta alam, latihan bela diri, serta latihan Menwa yang diselenggarakan atau dikendalikan oleh pihak sekolah dan perguruan tinggi. Peran Media Massa .

Media massa mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam membentuk opini yang berkembang dimasyarakat, baik yang positif maupun negatif. Dalam kaitan ini media massa dapat diajak ikut serta membantu membentuk opini masyarakat dalam rangka menanamkan jiwa atau semangat bela negara. Yang termasuk media cetak diantaranya adalah koran, majalah, tabloid, bulletin, dll. Yang dimaksud lain-lain ini adalah semua jenis bacaan yang beredar secara umum. Karena dapat dibaca dan akan membentuk opini masyarakat. Media cetak harus membuat redaksional sedemikian rupa yang dapat membangkitkan minat pembaca supaya mempunyai semangat bela negara. Komitmen Pemerintah. Pemerintah harus mempunyai keinginan yang kuat dan konsisten dalam upaya penanaman semangat pembelaan terhadap negara ini. Sebetulnya materi-materi yang ada dalam upaya bela negara cukup jelas dan simpel atau sederhana. Namun sesederhana apapun bila tidak ditangani secara serius akan membuahkan hasil yang tidak optimal. Pemerintah harus berupaya sedemikian rupa dengan program rutin maupun yang bersifat non program, sebagai upaya terobosan bila program rutin yang sudah berjalan baik melalui peran (jalur) pendidikan atau melalui peran kantor Kesbanglinmas dirasa kurang optimal. Barangkali patut dicoba langkah-langkah yang sudah dibahas diatas sehingga generasi muda dan instansi terkait tidak terjebak dalam kejenuhan akibat rutinitas kegiatan. Yang penting harus ada kemauan yang kuat dari pemerintah dan diwujudkan dengan kepedulian aparat yang berwenang dan bertanggung jawab terhadap upaya menanamkan semangat pembelaan terhadap negara dan wawasan atau nasionalisme yang tinggi. Selain itu ada hal lain yang harus dilakukan pemerintah terkait dengan rumor yang nyata terlihat kebenarannya dan tidak ada maksud untuk menuduh atau mencari kambing hitam bahwa ada oknum anak bangsa yang memanfaatkan jiwa patriotisme dan kelabilan jiwa generasi muda untuk kepentingan politiknya. Pemerintah harus membuat peraturan atau undang-undang yang bisa mengatasi oknum anak bangsa yang selalu mengatasnamakan untuk kepentingan rakyat kecil dengan melaksanakan manouver politik termasuk unjuk rasa yang menggunakan massa generasi muda. Demikian

juga diplomat yang bertanggung jawab terhadap eksistensi bangsa ini harus berkemampuan dan punya kiat supaya bangsa ini bisa eksis dan tidak dengan mudah diobok-obok oleh kekuatan/negara asing. Keberhasilan para pendahulu dalam mencapai kemerdekaan Indonesia bukanlah akhir dari sebuah perjuangan. Oleh karenanya harus ditindak lanjut oleh seluruh generasi penerus, dan komponen bangsa, serta segenap lapisan masyarakat lainnya secara bersama-sama bekerja keras untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia. Hal itu dikemukakan Menteri Pertahanan (Menhan) RI H. Matori Abdul Djalil pada amanatnya yang dibacakan Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan Marsdya TNI Suprihadi, S.IP selaku Irup pada Upacara Ulang Tahun ke-58 Kemerdekaan RI, Minggu, (17/8) di Lapangan Apel Dephan RI Jl. Merdeka Barat 13-14, Jakarta. Upacara berlangsung sederhana namun khidmat, diikuti para pejabat teras TNI maupun Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Departemen Pertahanan, ditandai dengan pengibaran Bendera Sang Merah Putih, Pembacaan Teks Proklamasi, pembacaan Pembukaan UndangUndang Dasar 1945 dan Amanat Menteri Pertahanan RI.. Menhan RI H. Matori Abdul Djalil mengatakan, dalam suasana bahagia ini marilah kita menundukkan kepala untuk menghormati dan mengenang jasa para pahlawan bangsa, yang telah berjuang dan rela mengorbankan jiwa raganya dalam merebut, menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia seraya mendoakan semoga arwah para pahlawan mendapat tempat yang sebaik-baiknya di sisi Tuhan Yang Esa sesuai dengan amal bhaktinya. Menurut Menhan RI, dalam memperingati Ulang Tahun ke-58 Proklamasi Kemerdekaan, hendaknya kita tidak enggan untuk menengok ke belakang. Selama 58 tahun sebagai bangsa yang merdeka, kita telah mengalami berbagai peristiwa, yang kesemuanya merupakan catatan penting yang harus selalu kita camkan dan kita pedomani. Pengalaman sejarah tersebut hendaknya kita jadikan sebagai pelajaran dan bahan introspeksi bagi kita, sehingga tugas dalam menapak masa depan bagi bangsa dan negara akan lebih berhasil guna dan berdaya guna dimasa mendatang.

Menhan RI mengemukakan, di tengah berlangsungnya proses globalisasi dan perkembangan konteks strategis serta upaya untuk mengatasi secara tuntas krisis multi dimensi, saat ini bangsa Indonesia masih harus berjuang menghadapi sejumlah isu keamanan yang berimpilkasi terhadap kehidupan nasional. Peristiwa tersebut antara lain adalah pelanggaran wilayah yurisdiksi nasional oleh beberapa pesawat asing bersama kapal induknya serta teror bom di beberapa tempat seperti di Gedung DPR/MPR dan terakhir di Hotel JW. Marriott. Untuk itu khusus untuk menangkal dan memberantas aksi Terorisme Pasca Bom J.W. Marriott, Pemerintah telah menetapkan Tiga Langkah Khusus yang melibatkan semua jajaran Pemerintah, masyarakat luas dan elemen tertentu yaitu: Penguatan dan peningkatan system keamanan local, Peningkatan partisipasi masyarakat secacra kongkrit, serta Peningkatan pendeteksian dini. Dengan pelajaran seperti itu dan kebutuhan riil untuk berbuat yang terbaik bagi pengelolaan, pengawasan dan perlindungan seluruh wilayah baik di darat, di laut maupun di udara; sudah saatnya kita untuk bersikap tegas dan jelas dalam membangun kekuatan minimal angkatan perang di darat, di laut maupun di udara Ujarnya. Pada bagian lain Menhan RI menjelaskan, beberapa waktu yang lalu kita telah menjadi saksi bahwa Sidang MPR 2003 dengan segala dinamikanya telah dapat berlangsung dengan aman dan sukses. Keberhasilan tersebut dimungkinkan karena seluruh pelaksana, aparat terkait serta kita semua telah mampu mempertahankan moment yang kondusif, serta selalu berupaya untuk menjaga kelancaran pelaksanannya demi tercapainya sasaran yang telah ditetapkan. Menhan RI H. Matori Abdul Djalil mengingatkan, tidak lama lagi yaitu bulan April 2004, Bangsa Indonesia akan kembali melaksanakan salah satu agenda nasional lima tahunan Pemilu 2004, yang diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD serta memilih Presiden dan Wakil Presiden. Begitu penting dan strategisnya agenda nasional lima tahunan tersebut, maka kita semua berkewajiban untuk berperan serta secara aktif dalam mengamankan dan menyukseskannya, serta menjadikan keberhasilan Pemilu 2004 sebagai pendorong bagi perkembangan kehidupan Bangsa Indonesia yang lebih demokratis , Tegasnya.. H. Matori Abdul Djalil mengingatkan, dengan semakin dekatnya masa kampanye dan pelaksanaan Pemilu 2004, situasi dan kondisi politik diperkirakan akan semakin dinamis dan

menghangat. Untuk itu kepada seluruh masyarakat dan komponen bangsa agar tidak mudah terprofokasi oleh hasutan yang tidak bertanggung jawab, serta terjebak oleh upaya tarik menarik oleh golongan tertentu yang hanya mengutamakan kepentingan sesaat dan kepentimngan kelompok.

PERTAHANAN

NEGARA

YANG

KUAT

SEBAGAI HARGA DIRI BANGSA DAN NEGARA Oleh : Sadono, SH., Puslitbang Strahan Balitbang Dephan

PENDAHULUAN. Setiap negara berkeinginan untuk selalu dapat meningkatkan kemampuan militernya. Dengan kemampuan militer yang semakin canggih maka negara tersebut mempunyai kemampuan diri yang dapat diandalkan untuk menghadapi berbagai ancaman, baik yang datang dari dalam maupun dari luar negeri. Isu keamanan pada dekade terakhir ini semakin kompleks dengan meningkatnya aktivitas terorisme, perampokan dan pembajakan, penyelundupan, imigran gelap, penangkapan ikan illegal dan kejahatan lintas negara lainnya. Bentuk-bentuk ancaman tersebut semakin kompleks karena dikendalikan oleh aktor-aktor dengan jaringan lintas negara yang sangat rapi, serta memiliki kemampuan teknologi dan dukungan finansial.

Masalah pertahanan negara merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. Tanpa mampu mempertahankan diri dari ancaman baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri, suatu negara tidak akan dapat mempertahankan keberadaannya. Selain itu juga pertahanan negara berkaitan dengan harga diri bangsa dan negara, karena dengan adanya kekuatan pertahanan negara yang memadai (Postur Pertahanan Yang Kuat) akan membuat negara lain menjadi tidak memandang remeh terhadap Indonesia. Melihat kondisi tersebut diatas diperlukan anggaran pertahanan yang cukup besar mengingat tingkat ancaman relatif besar dan wilayah juga lebih luas dibanding Negaranegara tetangga. Selain itu juga belum optimalnya pendayagunaan potensi masyarakat dalam bela negara, sehingga belum mampu mendukung kekuatan komponen utama (TNI).

PERMASALAHAN-PERMASALAHAN YANG DIHADAPI. TNI sebagai komponen utama pertahanan negara, mempunyai tugas

mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Permasalahanpermasalahan yang dihadapi TNI dalam menjalankan tugasnya adalah sebagai berikut : a. Alutsista 1) Alutsista TNI AD masih jauh dari kondisi ketercukupan. Kemampuan pertahanan TNI AD antara lain bertumpu pada kendaraan tempur (Ranpur) berbagai jenis dengan kondisi siap hanya sekitar 60 persen dan pesawat terbang dengan kondisi siap hanya sekitar 50 persen. Kebutuhan alat komunikasi yang merupakan pendukung utama kemampuan pertahanan TNI AD juga belum dapat terpenuhi dan masih menggunakan teknologi yang rawan penyadapan 1. 2) Pertahanan matra laut, NKRI memiliki garis pantai sepanjang + 81.000 kilometer dan luas laut + 5,8 juta Km2. Kondisi tersebut tidak sesuai dengan kemampuan TNI AL yang hanya memiliki 124 unit kapal dari berbagai jenis dengan kemampuan siap maksimal 40 persen mengingat kapal rata-rata berusia diatas 20 tahun. Jumlah dan kondisi Alutsista TNI AL tidak jauh berbeda dengan TNI AD dan AU, saat ini Marinir masih menggunakan kendaraan tempur produksi tahun 1960-an yang secara teknis sudah sangat menurun efek penggetar dan pemukulnya. 3) Sementara itu, jumlah Alutsista TNI AU juga relatif terbatas dan dengan kondisi kesiapan yang relatif kurang. TNI AU hanya mempunyai empat pesawat F-16 yang bisa terbang dari sepuluh pesawat, secara keseluruhan dari 200 pesawat TNI AU sekitar 30 persen yang bisa mengudara. Selain itu ruang udara Indonesia yang belum dapat terpantau oleh radar (blank spot) juga lebih luas. Sebagian ruang udara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur seringkali menjadi perlintasan penerbangan gelap karena ruang udara tersebut tidak dapat terpantau oleh radar meskipun telah dibantu oleh radar sipil. b. Sumber Daya Manusia. Sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu sumber daya yang penting dalam organisasi TNI. Tanpa SDM, peralatan yang dimiliki maupun pelatihan untuk pengembangan kemampuan militer tidak mungkin terwujud.

Dari sisi jumlah personil sebenarnya Indonesia memiliki jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan Thailand, Malaysia, Singapura, Philipina bahkan dengan Australia. Kekuatan personil TNI saat ini berjumlah sekitar 346.000 prajurit, atau sekitar 0,15% dari populasi penduduk Indonesia sebesar 220 juta jiwa. Dari jumlah tersebut terdiri dari sekitar 265 prajurit TNI angkatan darat, sekitar 57.000 prajurit TNI angkatan laut dan sekitar 24.000 angkatan udara 2. Namun jumlah tersebut belum memenuhi jumlah kebutuhan berdasarkan Tabel Organisasi dan Personil (TOP) serta Daftar Susunan Personil dan Peralatan (DSPP). Disamping itu luas wilayah NKRI yang terdiri dari banyak pulau, jumlah prajurit yang ada masih belum mencukupi. Peningkatan SDM yaitu dengan pendidikan dan pelatihan (Diklat), yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan TNI. Namun dengan keterbatasan sumber dana (anggaran) pelaksanaan Diklat tidak dapat dilaksanakan dengan optimal sehingga mempengaruhi kemampuan personil TNI dalam menjalankan tugasnya. Untuk bela negara (komponen cadangan pertahanan negara) belum optimal pendayagunaan potensi masyarakat karena disebabkan oleh belum selesainya UU komponen cadangan dan komponen pendukung, sehingga keterlibatan masyarakat dalam bela negara belum terwadahi sesuai dengan aturan yang jelas dan tegas. c. Anggaran. Kebijakan pembangunan Indonesia selama ini lebih berorientasi pada bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan, sedangkan bidang pertahanan belum mendapat prioritas hal ini tercermin pada rendahnya alokasi anggaran di bidang pertahanan yaitu masih di bawah 1% dari PDB. Kecilnya anggaran pertahanan yang ada selama ini di Indonesia karena anggaran militer bukan dilihat sebagai public goods yang normal 3. Ia selalu dihadapkan dengan anggaran ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lainnya yang dianggap langsung menyentuh kebutuhan publik. Padahal masalah pertahanan merupakan persoalan penting dan seharusnya dimasukan dalam kategori public goods.Keterbatasan anggaran tersebut akan dapat berpengaruh terhadap kekuatan TNI karena menyangkut masalah Alutsista, material serta kekuatan personil khususnya tingkat kesejahteraan. Sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi TNI dalam menjalankan tugasnya dilapangan. UPAYA MENUJU PERTAHANAN NEGARA YANG KUAT.

Perkembangan dan kecenderungan dalam konteks strategis memberi indikasi bahwa ancaman tradisional berupa agresi atau invasi suatu negara terhadap negara lain sangat kecil kemungkinannya 4. Namun, TNI sebagai komponen utama pertahanan negara, tetap harus didasari oleh strategi pertahanan untuk membina kekuatan pertahanan yang tangguh sebagai penangkal ancaman militer eksternal. Dalam rangka menuju pertahanan negara yang kuat adalah sebagai berikut : a. Perumusan strategi pertahanan. Strategi pertahanan hendaknya dirumuskan dengan mencermati dinamika yang terjadi pada lingkungan strategis yang terjadi dengan karakteristik perang dan kecenderungan penggunaan persenjataan lainnya, baik pada lingkungan internasional, regional dan nasional. Dinamika lingkungan strategis tersebut digunakan untuk menganalisa ancaman, yang berdasarkan sumberdaya dapat berupa ancaman eksternal, internal dan azimuthal (tidak dapat dipisahkan apakah eksternal atau internal).

Strategi pertahanan Indoensia hendaknya dapat mengkaitkan dan mengintegrasikan karakteristik kekuatan masing-masing matra pertahanan, baik darat, laut dan udara tanpa adanya salah satu matra yang mendominasi. Perumusan strategi pertahanan ditujukan untuk menciptakan kekuatan pertahanan yang terpadu (integrated armed force) 5. Kekuatan terpadu Indonesia adalah adanya kekuatan darat yang terintegrasi ke dalam strategi maritim dan ditopang oleh kekuatan udara. Kekuatan darat tersebut hendaknya didasari oleh strategi maritim dan negara kepulauan yang berdekatan dengan kekuatan-kekuatan kontinental membutuhkan kekuatan udara yang tangguh dalam penyelenggaraan pertahanan negara. b. Pemenuhan Alutsista. Alutsista merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari TNI, apalagi saat melakukan opersi dilapangan baik operasi militer maupun non militer. Alutsista yang kuat dapat dijadikan sebagai indikator nyata kondisi pertahanan suatu negara. Angkatan bersenjata (militer) yang kuat tentunya diimbangi juga dengan Alutsista yang kuat pula. Walaupun embargo sudah dicabut oleh Amerika Serikat namun tidak menutup kemungkinan ada embargo lagi bila secara politik merugikan AS. Kondisi tersebut mungkin dapat disikapi dengan cara-cara sebagai berikut :

1) Dalam pemenuhan Alutsista dapat dilakukan kerjasama dengan negara lain dengan prinsip saling menguntungkan kedua belah pihak.

2) Pemanfaatan potensi-potensi dalam negeri untuk pemenuhan Alutsista TNI, industriindustri strategis dalam negeri yaitu, untuk Angkatan Darat PT. PINDAD yang bergerak dibidang persenjataan nasional, Angkatan Laut PT. PAL yang bergerak dibidang industri kelautan dan perkapalan dan Angkatan Udara PT. DI yang bergerak dibidang dirgantara.

c. Peningkatan SDM. Untuk menuju pertahanan negara yang kuat maka perlu peningkatan SDM, karena betapapun canggihnya Alutsista tanpa didukung oleh SDM yang professional maka pertahanan negara tidak akan tercapai dengan optimal. Adapun dalam rangka peningkatan SDM dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1) Peningkatan Kualitas SDM, dapat dilakukan dengan cara-cara yaitu: a) Pembinaan personil melalui penyedian personil, pendidikan, perawatan dan pemisahan. b) Pembinaan personil melalui peningkatan kesejahteraan. 2) Peningkatan Kuantitas SDM, dapat dilakukan dengan rekrutmen personil TNI secara bertahap sesuai dengan kebutuhan, sehingga dapat mencapai jumlah sekitar 1 pesen dari jumlah penduduk Indonesia 3) Masalah pertahanan negara adalah masalah seluruh komponen bangsa, oleh sebab itu perlu adanya dukungan untuk memperbesar kekuatan komponen utama (TNI) dalam mempertahankan keutuhan NKRI, dimana keterlibatannya diatur dalam suatu UU komponen cadangan dan komponen pendukung pertahanan negara. Maka perlu segera disahkan UU tersebut agar keterlibatan masyarakat dalam bela negara dapat terwadahi sesuai dengan aturan yang jelas dan tegas. d. Pemenuhan Anggaran. Anggaran pertahanan suatu negara menduduki posisi yang sangat strategis dalam pembangunan suatu negara. Strategis artinya apabila hal ini dikaitkan dengan pertimbangan bahwa, kalau anggaran pertahanan tidak mencukupi maka negara tersebut akan kesulitan mengatasi ancaman yang terjadi. Dalam batas-batas tertentu hal ini akan dapat mengganggu pembangunan yang dilakukan oleh negara tersebut.

Proyeksi anggaran dua sampai tiga tahun ke depan diharapkan dapat mencapai 2 persen

dari PDB, dan meningkat secara bertahap dalam kurun waktu sepuluh sampai lima belas tahun kedepan anggaran pertahanan yang rasional diproyeksilkan sebesar 3,86% dari PDB 4. Proyeksi tersebut mengingat kondisi politik dalam negeri yang belum stabil dengan maraknya berbagai demontrasi baik dipusat maupun di daerah sehingga memerlukan konsentrasi pengamanan. Disamping itu politik luar negeri negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia mengalami pasang surut suatu contoh kasus Sipadan Ligitan dan Ambalat serta belum tuntasnya garis perbatasan Indonesia dengan negara lain. PENUTUP Bahwa dalam rangka meningkatkan kekuatan pertahanan negara, agar lebih mampu melindungi seluruh bangsa dan negara maka dibutuhkan suatu dukungan secara menyeluruh, karena pertahanan negara bukan milik TNI saja tetapi milik seluruh komponen bangsa. Pertahanan negara yang kuat/handal merupakan harga diri sebuah bangsa karena negara lain menjadi tidak memandang remeh terhadap Indonesia. Oleh sebab itu untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan NKRI dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara dibutuhkan : 1. Alutsista yang handal dan mampu melindungi serta menahan kemungkinan berbagai ancaman baik dari dalam maupun dari luar negeri. 2. Sumber daya manusia yang memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi dan mampu mengatasi berbagai permasalahan akibat perkembangan globalisasi baik tehnologi maupun informasi. 3. Serta dukungan dana yang sesuai dengan kebutuhan peningkatan baik untuk pengembangan Alutsista maupun untuk peningkatan kesejahteraan. Catatan kaki : 1 2 3 Kompas Dokumen Pramodhawardani SDR Jaleswari, 5 Tahun, 2005. Oktober 2002 www. Antikorupsi 2005 2004 .org

4 Buku Putih Dephan Mem- pertahankan Tanah Air Memasuki Abad 21 5 Suara Pembaruan, 5 Oktober 2005

6 Media Indonesia, 29 September 2005

Menata Kembali Kehidupan Bernegara Berdasarkan Pancasila Oleh: Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono *) Mengapa kita harus bicara kembali tentang Pancasila? Ini pertanyaan fundamental yang mesti kita jawab bersama. Kita merasakan, delapan tahun terakhir ini, terkadang kita kurang berani, kita menahan diri, untuk mengucapkan kata-kata semacam Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Wawasan Kebangsaan, Stabilitas, Pembangunan, Kemajemukan dan lain-lain. Kita kuatir dianggap tidak reformis, tidak sejalan dengan gerak reformasi dan demokratisasi. Padahal reformasi itu hakikatnya adalah perubahan dan kesinambungan. Hal-hal yang masih baik, relevan, dan justru merupakan nilai, jati diri, dan konsensus dasar, harus terus kita lanjutkan. Sementara sesuatu yang tidak sesuai dan tidak tepat lagi pada jamannya mesti bersama kita lakukan perubahan. Transisi Kebangsaan Sejak 1998, kita hidup dalam transisi, yang menimbulkan berbagai fenomena, kecenderungan dan realitas baru. Kita rasakan, di sana-sini, dalam penggal waktu tertentu, muncul semacam disorientasi, penolakan, konflik, kegamangan, pesimisme, apatisme, demoralisasi, kekosongan, kemarahan, dan bahkan kebencian. Nilai dan tatanan lama kita tinggalkan, sementara nilai dan tatanan baru belum terwujud. Sebagian sudah dapat kita lewati. Sebagian masih kita rasakan sisanya. Sebagian masih terasa mencekam dalam kehidupan kita dewasa ini. Orang sering berbicara lantang, kita mesti membangun Indonesia baru, remaking Indonesia, rebirth of a nation! Transisi yang kita lakukan ini, justru berada dalam lingkungan global yang juga terus berubah. Dunia yang menghadirkan gerak globalisasi dan universalisasi yang luar biasa dampaknya bagi semua bangsa di dunia, termasuk negara kita. Terjadi gelombang de-ordebaru-sasi atas nama reformasi. Tak terhindari dibuka kembali wacana ideologis prakemerdekaan: debat tentang ideologi dan bangun negara. Fenomena lain, runtuhnya tatanan politik otoritarian menjadi tatanan yang demokratis-egalitarian. Yang sentralistik, kita bongkar menjadi desentralistik. Yang konsentrik, kita geser menjadi dekonsentrik. Begitu besar gerak perubahan itu. Tidak disadari, baik atau tidak baik, langsung atau tidak langsung, kekuasaan Pusat melemah. Kekuasaan Negara ikut pula melemah. Terjadi ketidakseimbangan, yang akhirnya memunculkan kondisi sosial dan politik yang labil, rawan, dan tidak stabil. Sementara dalam upaya menata, mengawal dan mengamankan proses penting ini, upaya Negara dan Pemerintah tidak mudah dilakukan dan sering disalahartikan. Sebagai contoh,

menegakkan tatanan dan aturan main, termasuk rule of law, dianggap kembali ke rezim otoritarian. Mengingatkan konsensus dasar yang telah kita sepakati, Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, bisa dianggap berlawanan dengan hak politik dan semangat kebebasan yang kita usung bersama. Kepolisian Negara menegakkan aturan hukum, agar masyarakat tidak main hakim sendiri, termasuk unjuk rasa yang merusak dan anarkis, bisa dianggap represif dan melanggar HAM. Menata kembali implementasi desentralisasi dan otonomi daerah, dalam rangka memantapkan sistem pemerintahan, bisa dianggap kembali kepada sentralisme kekuasaan. Pengkritisan, penggugatan, pembongkaran sejalan dengan reformasi dan demokratisasi, memang menjadi agenda kita. Tetapi ketika tak berkaitan dengan itu, maka kita perlu melakukan refleksi kritis dan penataan kembali, untuk mengamankan kerangka kehidupan bernegara yang baik. Hiruk pikuk dan kegaduhan politik selama ini, kalau kita jujur, berakar dan berangkat dari hal-hal yang bersifat fundamental itu. Karena itu, marilah kita semua, para penyelenggara negara, segenap komponen bangsa, melihat permasalahan ini secara jernih, meletakkannya dalam konteks yang benar, dan menatanya kembali dalam kerangka kehidupan negara yang sehat. Negara dan bangsa ini adalah negara dan bangsa kita sendiri. Kita semua yang mengkonstruksikan masa depan kita bersama, dengan dialog dan pembangunan konsensus. Tentu saja apa yang kita tata dan bangun kembali ini tetap bertumpu dan merujuk serta mengacu pada nilai, jati diri, dan konsensus dasar kebangsaan, yaitu Pancasila, yang diletakkan oleh para pendiri Republik. Pancasila adalah falsafah, dasar negara dan ideologi terbuka, dan bukan dogma yang statis dan menakutkan. Pancasila kita letakkan sebagai sumber pencerahan, menjadi sumber inspirasi, dan sekaligus sumber solusi atas masalahmasalah yang hendak kita pecahkan. Jangan dilupakan, pada tahun 1998, pada awal reformasi, Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia telah mengeluarkan TAP MPR RI nomor 18/MPR/1998 yang mencabut TAP MPR nomor 2/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Secara eksplisit ditetapkan pula, Pancasila sebagai dasar negara. Dengan demikian, marilah kita sudahi perdebatan anak bangsa tentang Pancasila sebagai dasar negara. Refleksi Pancasila Saya mengikuti jalan pikiran Bung Karno pada 1 Juni 1945. Dikatakan, kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia, negara nasional, nation state. Suatu kebangsaan Indonesia yang bulat, bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Kalimantan, bukan kebangsaan Sulawesi dan lain-lain. Dalam alam reformasi ini, untuk kepentingan yang benar, kita melakukan desentralisasi dan otonomi daerah. Tapi pahami betul, proses yang penting itu tidak boleh menggoyahkan sendisendi NKRI, sendi-sendi kebangsaan, karena bisa mengoyakkan kerangka bernegara kita.

Nasionalisme kita bukan Chauvinisme dan bukan kebangsaan yang menyendiri. Kata Bung Karno, "Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berpijak dalam buminya nasionalisme, tidak berakar, dalam dunia nasionalisme. Sebaliknya, nasionalisme tidak akan hidup subur, jika tidak berada dalam taman sarinya internasionalisme. Ada pertanyaan kritis, bagaimana hubungan antara ikatan-ikatan global dengan ikatan yang serba nasional? Ada ikatan ke-Islam-an dunia, ada ikatan ke-Kristen-an dunia, ikatan keTionghoa-an Indonesia, tetapi tetap ada ikatan kebangsaan Indonesia. Dalam perkembangan hak asasi manusia dan demokrasi global, ada ikatan komponen bangsa kita dengan komunitas internasional, tetapi tetaplah ada ikatan kebangsaan Indonesia. Kita bertanya, tidakkah absurd, tidakkah ketinggalan, kalau kita bicara nasionalisme dalam dunia yang berubah ini? Tidak! Nasionalisme yang positif, bukan narrow nationalism, tetap perlu. Andaikan masyarakat global ini sebuah perkampungan dunia, tetap kita memerlukan rumah, rumah kita sendiri. Rumah itulah nasionalisme kita. Tentang mufakat atau demokrasi dengan kesejahteraan sosial: mari kita ingat kembali, semboyan kita: semua untuk satu, satu untuk semua, artinya, semua untuk semua. Karena itu, kapitalisme, terlebih fundamentalisme kapitalisme yang tidak berwajah dan bernafaskan keadilan sosial, tidak akan menghadirkan keadilan yang sejati. Itu bukan pilihan bagi bangsa kita. Kita bercita-cita tidak ada kemiskinan dalam Indonesia merdeka. Karena itu, kalau kita ingin mengaktualisasikan, merevitalisasikan nilai nasionalisme, ada definisi yang mudah: nasionalisme masa kini adalah membebaskan Indonesia dari kemiskinan dan keterbelakangan. Demokrasi harus bergandengan dan mesti hidup bersama dengan peningkatan kesejahteraan rakyat dan peningkatan keadilan social Yang sangat penting adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Indonesia yang berketuhanan, agama dijalankan dengan cara yang berkeadaban. Hubungan antarumat beragama, kegiatan beribadahnya, toleransinya, mesti kita kembalikan pada prinsip dasar itu. Tantangan Pancasila Pancasila sering dilihat sebagai berhadapan dengan ideologi global, seperti kapitalisme dan liberalisme. Pancasila sangat jelas, yang kita bangun adalah kesejahteraan bersama dan keadilan sosial. Tetapi kita hidup dalam globalisasi yang sarat dengan hukum dan kaidah kapitalisme, pasar bebas dan terbuka. Kita harus tetap kokoh dan kuat pada pendirian, bahwa semuanya itu tetap kita abdikan untuk kesejahteraan bersama, untuk keadilan sosial. Bangsa yang cerdas dalam era globalisasi, bukan bangsa yang terus mengeluh, menyerah, dan marah, tetapi bangsa yang mampu mengalirkan sumber-sumber kesejahteraan yang tersedia di arena global itu. Teknologi, modal, atau informasi, semua kita gunakan dengan baik guna meningkatkan kesejahteraan dan kepentingan kita. Jangan mau jadi orang yang kalah. Mari kita menjadi pemenang dalam globalisasi ini.

Mengenai liberalisme, tidak ada kebebasan mutlak menurut paham Pancasila. Itu ada dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, dalam UUD 1945, dalam sila "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab". Kebebasan dibatasi apabila bertentangan dengan kebebasan yang lain, nilainilai moral, kesusilaan, keamanan, ketertiban, dan lain-lain. Begitu bunyi UUD 1945 pasal 28 J. Agar kehidupan kita ini sehat, damai, rukun, maka dalam mengekspresikan kebebasan, sandingkanlah dengan kepatuhan pada toleransi dan aturan hukum. Mari kita bangun dialog, mari kita bangun konsensus bersama, semua untuk semua. Tidak ada yang boleh memonopoli kebenaran. Konsensus bersama itu tetaplah dijiwai oleh semangat dan kesepakatan para pendiri Republik, ketika dulu mendirikan negara. Kita tidak tahu kapan akhir dari reformasi besar ini. Adakah sepuluh tahun lagi usai? Apakah ini uninished agenda? Yang penting kita kelola dengan sebaik-baiknya. Dalam masa transisi ada kerawanan, ada tantangan, ada ancaman. Karena itu, mari kita semua, utamanya Negara, mengawal dan menciptakan kondisi yang kondusif untuk upaya besar itu. Negara dengan kewenangannya harus kembali menegakkan konstitusi, undang-undang, dan aturan main yang berlaku. Proses besar reformasi, demokratisasi, dan rekonstruksi tetap harus berjalan secara damai, tanpa kekerasan, secara tertib dan stabil. Hanya dengan demikianlah, kita akan mampu menata kembali kerangka kehidupan bernegara kita yang kita cita-citakan bersama.

B AB IIIA K A R K O N F L I K D A N D I L E M A P A P U A A . A ka r K o nf l i k P a p u a 1. S ej a r a h P o l i t i k P a p u a Konflik Papua memiliki satu hal unik, yang membedakannyadengan konflik-konflik lokal lain di Indonesia. Keunikan ini adalahadanya nasionalisme Papua yang telah tertanam di dalam diri rakyatPapua selama puluhan tahun. Rasa nasionalisme tersebutlah yangmendorong rakyat Papua membenci adanya penjajahan terhadapmereka, baik yang dilakukan Belanda maupun Indonesia. NasionalismePapua yang mulai ditanamkan oleh Belanda ketika didirikan sekolahpamong praja di Holandia, tertanam serta tersosialisasikan darigenerasi ke generasi.Nasionalisme ini sesungguhnya juga dapat dipertautkan dengansistem kepercayaan cargo cult . Ketika Belanda dan Indonesia bukanlahpihak yang diharapkan, rakyat Papua melihat keduanya sebagai bangsayang hendak menguasai Papua. Pemikiran ini yang menyebabkangerakan anti-Indonesia sangat kuat dan mudah meluas di Papua.Kebijakan represif pada mas Orde Baru tidak mampu memadamkannasionalisme ini, namun justru memperkuatnya. Pada awalnya, OPMyang menjadi wujud nasionalisme Papua, tetapi kini hadir PDP sebagaigerakan nasionalisme baru yang mengusung upaya kemerdekaan melaluijalur politik.Kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang tidak jugamemperlihatkan

manfaat bagi rakyat Papua, mendorong timbulnyaketidakpuasan di kalangan rakyat Papua yang memiliki ras Melanesia.Kegagalan pemerintah memberdayakan dan memberi kemajuankesejahteraan bagi masyarakat Papua, serta adanya kebijakan yang meruntuhkan nilai-nilai adat dan budaya yang dijunjung tinggi masyarakat Papua, merupakan bagian awal dari timbulnya akar konflikdi Papua.Wujud nasionalisme sempit pada era orde baru terlihat dariadanya penilaian di kalangan maasyarakat papua bahwa tidak adanyaprinsip meritokrasi di dalam jajaran Pemerintah Provinsi Papua, dimanaposisi strategis dalam struktur pemerintahan daerah cenderungandidominasi oleh etnis Papua tertentu saja. Masalah nasionalisme sempitini melebar, bila dikaitkan dengan sikap kecurigaan masyarakat Papuaterhadap etnis-etnis pendatang non-Papua. Kondisi ini, ditambahdengan adanya interaksi yang terkadang tidak harmonis dengan etnisPapua sehingga makin memperlebar kesenjangan yang terjadi di Papua.Kegagalan pemberdayaan masyarakat Papua, khususnyakegagalan pemerintah dalam menjamin bahwa daerah yang kaya akanmenghasilkan masyarakat yang sejahtera, telah menumbuhkankesadaran kolektif atas identitas primordial masyarakat Papua.Masyarakat Papua melihat bahwa pemerintah hanya memerlukansumber daya alam Papua belaka. Kondisi ini membuat terjadinyapenguatan dalam memori kolektif masyarakat Papua atas Melanesian Brotherhood yang secara alamiah sudah ada. Hal demikian padaakhirnya memperkuat hasrat untuk memisahkan diri dari NKRI. 2. K e s e n j a n ga n / K et i mp a n ga n E k o n o m i Sejak masa kolonial Belanda, Papua tidak menikmati kemajuanekonomi. Hal ini kembali terjadi setelah berintegrasi dengan Indonesia.Kekayaan Papua yang berlimpah ruah tidak pernah dirasakanmanfaatnya oleh masyarakatnya sendiri. Kekayaan alam Papuadieksploitasi dan diserap ke pemerintah pusat tanpa dikembalikan kePapua dalam jumlah yang seharusnya. Kebijakan ekonomi pemerintahpusat sangat tidak berpihak pada masyarakat asli Papua.Kebijakan transmigrasi pada masa Orde Baru menambah kekecewaan ekonomi masyarakat Papua. Hal ini karena kebijakan yang diterapkan hanya dirasakan oleh para pendatang di Papua. Penduduk lokal Papua tetap dalam kondisi yang memprihatinkan dan buta huruf.Hal ini menyebabkan penduduk asli merasa terasing di wilayahnnyasendiri. Kebijakan pemanfaatan hutan dalam bentuk Hak PengelolaanHutan (HPH) juga tidak berbeda dengan kebijakan transmigrasi, dimanapenduduk Papua kembali merasakan keterasingan. 1 Kebijakan lain terkait dengan keberadaan PT Freeport Indonesia,yang dinilai mengeksploitasi sumber daya alam Papua dengan dukungankekuasaan. Praktek kolusi antara pemerintah baik di tingkat pusat,daerah propinsi maupun kabupaten, termasuk aparat keamanan denganperusahaan-perusahaan raksasa, semakin memancing sentimen negatif dan kekecewaan masyarakat Papua. Yang lebih mendalam, eksploitasiyang dilakukan dinilai telah melanggar nilai-nilai adat, hak-hakmasyarakat atas tanahnya. 2

Selain itu, gelombang urbanisasi dan datangnya pendatang dariberbagai daerah akibat kehadiran Freeport menyebabkan tingkatheterogenitas masyarakat meningkat. Hal ini mendorong tingginyabenturan kebudayaan antara budaya industri modern PT FreeportIndonesia dengan budaya tradisional penduduk asli Papua yangmenyebabkan terjadinya culture gap . Belum lagi kerusakanlingkungan yang terjadi akibat aktifitas penambangan yang tidak hanyamenimbulkan kerugian material, tetapi juga mental.Kehadiran PT. Preeport dalam peta konfik di Papua merupakanbagian tersendiri yang tidak dapat dilepaskan begitu saja. Kekecewaanterhadap perusahaan asing ini meletup dan akhirnya menjadi alasanbagi rakyat Papua mendukung OPM. Dan OPM pun berhasilmenggunakan isu ini untuk memperkuat gerakannya. Kini, tuntutan 1 Kurang lebih 22 juta hektar atau lebih dari setengah luas Papua dinyatakan sebagai hutanproduksi. Sedangkan 13 juta hektar dari luas tersebut sudah dijadikan konsesi kehutananyang dibagi-bagikan oleh rezim Soeharto kepada perusahaan-perusahaan berupa pemberianHak Pengusahaan Hutan (HPH). 2 Terlanggarnya nilai-nilai adat dan hak masyarakat Papua akibat operasi PT. Free PortIndonesia tidak hanya menyebabkan hilangnya identitas budaya dan nilai-nilai spiritual,melainkan juga harga diri rakyat Papua. TERBATAS20 kontribusi PT Freeport terhadap masyarakat sekitar semakin menguat.Bahkan, tuntutan negosiasi ulang yang melibatkan masyarakat Papuamenyebabkan pemerintah Indonesia berada dalam dilema yang semakindalam. 3. D i na mi ka S os i a l - B u da ya Seperti diungkapkan sebelumnya, kebijakan transmigrasi padamasa Orde Baru menyebabkan keresahan sosio-kultural yang telahmerubah wajah demografis di Papua. Selama tiga dekade, kebijakantransmigrasi telah mengundang penduduk yang berasal dari Jawa danBali memasuki Papua, dan kini telah mencapai 15 persen dari totalpenduduk Papua. Penduduk pendatang yang pada umumnya lebih tinggipendidikannya, kemudian mendominasi sektorsektor ekonomimasyarakat, termasuk pasar tenaga kerja di dalam pemerintahandaerah. 3 Kebijakan pemerintah yang sebenarnya juga berlaku umum diseluruh wilayah Indonesia ini, dipandang masyarakat Papua sebagaisebuah bentuk intervensi kebudayaan dan dianggap telah menimbulkankeresahan sosial. Kelalaian pemerintah dalam melakukan

pendekatansosial di dalam rakyat Papua yang kini telah diramaikan dengandatangnya pada transmigran, membuat hubungan masyarakat aslidengan pendatang menjadi tidak harmonis.Tidak harmonisnya hubungan antara penduduk asli danpendatang dapat dilihat dari ditemukannya kasus-kasus perebutantanah dan sumber daya alam lain. Bahkan, kini ada kecenderungan yangmengarah pada terjadinya sikap inferior dan superior yang menyangkuthubungan dan status sosial.Selain itu, bagi masyarakat Papua, kebijakan transmigrasimerupakan upaya pemusnahan etnis. Keseriusan pemerintah mengawasi 3 Chris Wilson, Internal Conflict in Indonesia : Causes, Symptoms and SustainableResolution diakses dari http://www.aph.gov.au/library/pub/rp/2002/02RP01.htm#irianjaya,pada 12 November 2006.

TERBATAS BAB VKESIMPULAN DAN SARAN A . K e s i mp u l a n Kompleksitas permasalahan di Papua sangat tinggi karena secara riildaerah tersebut sangat labil terkena pengaruh negatif akibat perkembanganpolitik dan keamanan di dalam negeri, dan dinamika eksternal yangberdimensi internasional. Terhadap kerawanan dan ancaman di Papua,dikaitkan dengan ketahanan wilayah tersebut yang sangat rendah, terdapatbeberapa isu yang harus terus dicermati dan diantisipasi perkembangannyademi terjaganya integrasi NKRI: 1. D i me n s i P ol i t i k. Isu Papua merupakan permasalahan dalam negeri Indonesia,namun tidak akan dapat terlepas dari dinamika di tingkat eksternal.Permasalahan Papua dipengaruhi oleh masalah politik dalam negeri,terutama berkaitan dengan kebijakan publik pemerintah pusat, dansangat terkait dengan kecenderungan modern dalam politikinternasional. Masalah dalam negeri, memang banyak berkaitan dengankondisi keamanan Papua, akan tetapi sumber

kekecewaan,ketidakpercayaan, dan bahkan kehadiran keinginan memisahkan dirilebih disebabkan karena belum sepenuhnya direalisasikan UU OtonomiKhusus di Papua dan mengatasi ketidakjelasan politik dengan adanyaProvinsi Irjabar. 2. D i me n s i K e a ma na n. Masalah keamanan di Papua kini lebih banyak berpusat padagerakan-gerakan politik kelompok pendukung kemerdekaan, dengankecenderungan keamanan oleh kelompok separatis bersenjatacenderung menurun. Namun demikian, mengingat luasnya wilayah Papua dihadapkan dengan keterbatasan kekuatan dan kemampuan TNIdi Papua, mengindikasikan adanya tetap adanya kemungkinan gangguankeamanan ke depan. 3. D i m en s i Hu k u m. Penegakan hukum di Papua masih menemui sejumlah hambatanyang akhirnya menyebakan penyelesaian berbagai masalah lainnyadiliputi ketidakjelasan. Untuk itu, dukungan untuk meningkatkankualitas dan kinerja aparat hukum di Papua perlu mendapat perhatianyang memadai, sehingga dapat menciptakan kesadaran dan kepatuhanpada hukum di kalangan masyarakat Papua. B. S a r a n 1. Eskalasi keamanan di Papua harus diimbangi dengan perkuatankekuatan keamanan dan pertahanan di Papua. Khusus, kekuatan TNIyang selama ini tidak seimbang dengan luas wilayah serta persebaranKSB perlu penyesuaian, salah satunya menyesuaikan perkembanganpolitik di Papua yang penuh ketidakpastian.2. Untuk meningkatkan kemampuan mobilitas pasukan, denganketerbatasan prasarana dan sarana jalan darat di Papua, maka peransarana mobilitas udara sangat penting. Untuk itu, dalam jangka pendekpeningkatan sarana mobilitas udara bagi TNI di Papua harus dilakukan,sementara untuk jangka menengah dan jangka panjang, pemerintahharus menyelesaikan pembangunan jalan trans Papua.3. Menyangkut isu-isu Papua yang terkait dengan dimensiinternasional, seperti peninjauan terhadap PEPERA 1969 dan kasus-kasus pelanggaran HAM harus menjadi perhatian pemerintah. Hal inidisebabkan karena keputusan Sidang Majelis Umum PBB bersifat tidakmengikat (not legally binding). Di samping itu pemerintah harus berupaya agar tidak terjadi lagi pelanggaran HAM di Papua. Ini dibutuhkan karena kondisi di dalam negeri harus pula menunjangdiplomasi internasional Indonesia. Khusus untuk diplomasi, pemerintahharus meningkatkan diplomasi internasional, termasuk diplomasi publikdalam berbagai forum regional dan internasional, termasuk PBB didalamnya.

Jakarta, Desember 2006DIREKTUR JENDERALSTRATEGI PERTAHANANDADI SUSANTOMAYOR JENDERAL TNIParaf :1. Sesditjen Strahan : ..2. Diranlingstra : ..3. Kabagum : ..Jakarta, Desember 2006a.n. DIREKTUR JENDERALSTRATEGI PERTAHANANDIREKTUR ANALISALINGKUNGAN STRATEGISMARCIANO NORMANBRIGADIR JENDERAL TNIParaf :1. Ketua Tim : ..2. Kasubbagtu : ..

TERBATAS.

DA FT AR PUST AKABUKU Rozi, Syafuan, dkk, Kekerasan Komunal : Anatomi dan Resolusi Konflik diIndonesia , (Pustaka Pelajar dan Pusat Penelitian Politik-LIPI, Jakarta, 2006).

Giay, Dr Benny, Pembunuhan Theys : Kematian HAM di Tanah Papua, (PercetakanGalang Press, Jakarta, 2006). Suranto, Hanif (ed), Memoria Passionis di Papua : Potret Sosial, Politik, dan HAMSepanjang 2004, ( Sekretariat, Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Papua,Jayapura, 2006). Rumbiak, Yan Pieter, Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua : MenyelesaikanPelanggaran HAM dan Membangun Nasionalisme di Daerah Krisis Integrasi, (Papua International Education, Jakarta, 2005). Snyder, Jack, Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah : Demokratisasi dan Konflik Nasionalis, (Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2003). Francis, Diana, Teori Dasar Transformasi Konflik Sosial, (Penerbit Quills,Yogyakarta, 2006). Usman, Wan, dkk, Daya Tahan Bangsa, (Program Studi Pengkajian KetahananNasional Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 2003). Pranowo, Bambang, & Darmawan (eds), Reorientasi Wawasan Kebangsaan di Era Demokrasi, (Departemen Pertahanan Republik Indonesia dan PenerbitAdicita Karya Nusa, Yogyakarta, 2003). Solossa, Jacobus Perviddya, Otonomi Khusus Papua : Mengangkat Martabat RakyatPapua di Dalam NKRI, (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2006). Suryosumarto, H Budisantoso, Ketahanan Nasional Indonesia : PenangkalDisintegrasi Bangsa dan Negara, (CV. Evata, Jakarta, 2001). Rathgeber, Theodor, Dr (ed), Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Papua Barat :Studi Realitas Sosial dan Perspektif Politik, (Pustaka Sinar Harapan,Jakarta, 2006).

Bahar, Saffroedin, Masalah Etnisitas Dan Ketahanan Nasional: Resiko Atau Potensi?dalam Amal, Ichlasul dan Armawi, Armaidi (et.all), Sumbangan Ilmu SosialTerhadap Konsepsi Ketahanan Nasional, (Gadjah Mada University Press,Yogyakarta, 1985). De Geus, Dr. P.B.R.,The Papua (New Guinea) Issue: Foreign Policies and MilitaryPower, (Jayawijaya Foundation, Jayawijaya, 2003). Djopari, RG, Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka, (Grasindo, Jakarta, 1993)

Hardiman, Sri, Kembali ke UUD 1945: Mengantar Perjuangan Pembebasan IrianBarat ke Wilayah Republik Indonesia, (Grasindo, Jakarta, 1995). Natalis Pigay BIK, Decki, Evolusi Nasionalisme dan Sejarah Konflik Politik di Papua, (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000). Ngadisah Dr. MA, Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Politik di Papua ,(Pustaka Raja, Yogyakarta, 2003). Tessiore, John and Woolfson, Susan, A Global Agenda, Issues Before the 53 rd General Assembly of the United Nations, (Rowman & Littlefield Publishers,Inc, New York, 1998) Hosio, Jusach Eddy, Drs, M.Si, Nilai Politis Provinsi Irjabat bagi NKRI :Implementasi Pedoman Organisasi Perangan Daerah, (Yogyakarta, LaksBang,2006). Hadi, Syamsul, dkk, Disintegrasi Pasca Orde Baru, Negara, Konflik Lokal danDinamika Internasional, (Jakarta, Yayasan Obor dan CIReS FISIP UI, 2007)

M AKALAH Juwana, Hikmahanto, Status Yuridis Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di IrianJaya Dalam Perspektif Hukum Internasional , 2002.Wanda, Daniel, Pepera Sebagai Suatu Proses Penentuan Nasib Sendiri yang Sah ,November 2000.

Anda mungkin juga menyukai