Anda di halaman 1dari 28

II-1

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Kerja Fisik dan Konsumsi Energi
1
Kerja fisik (physical work) adalah kerja yang memerlukan energi fisik otot
manusia sebagai sumber tenaganya (power). Kerja fisik seringkali disebut sebagai
manual operation dimana performansi kerja sepenuhnya akan tergantung
manusia baik yang berfungsi sebagai sumber tenaga ataupun pengendali kerja
berat ataupun kerja kasar dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang memerlukan
usaha fisik manusia yang kuat selama periode kerja berlangsung. Proses
mekanisasi mengurangi beban kerja yang terlalu berat dan harus dipikul manusia.
Dengan mekanisasi peran manusia sebagai sumber energi kerja akan digantikan
oleh mesin. Hal ini akan memberikan kemampuan yang lebih besar lagi untuk
penyelesaian aktivitas-aktivitas yang memerlukan energi fisik yang besar dan
berlangsung dalam periode lama.
Mengukur aktivitas kerja manusia adalah mengukur berapa besarnya
tenaga tenaga kerja yang dibutuhkan oleh seorang pekerja untuk melaksanakan
pekerjaannya. Tenaga yang dikeluarkan biasanya diukur dalam satuan kilokalori.
Secara umum kriteria pengukuran aktivitas kerja manusia dapat dibagi
dalam dua kelas yaitu kriteria fisiologis dan kriteria operasional.
1. Kriteria fisiologis.
Kriteria fisologis dari kegiatan manusia biasanya ditentukan berdasarkan
kecepatan denyut jantung dan pernafasan. Usaha untuk menentukan besarnya
tenaga yang setepat-tepatnya berdasarkan kriteria ini agak sulit, karena
perubahan fisik dari keadaan normal menjadi keadaan fisik yang aktif akan
melibatkan beberapa fungsi fisiologis yang lain, seperti tekanan darah,
peredaran udara dalam paru-paru, jumlah oksigen yang digunakan, jumlah
karbon dioksida yang dihasilkan, temperatur badan, banyaknya keringat, dan
1
Wignjosoebroto, Sritomo.Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu. Surabaya: Guna
Widya
II-2
komposisi kimia dalam urin dan darah. Secara lebih luas dapat dikatakan
bahwa kecepatan denyut jantung dan kecepatan pernafasan dipengaruhi oleh
tekanan psikologis, tekanan oleh lingkungan atau tekanan akibat kerja keras,
dimana ketiga tekanan tersebut sama pengaruhnya.Volume oksigen yang
dibutuhkan selama bekerja dipakai sebagai dasar menentukan jumlah kalori
yang diperlukan selama kerja atas dasar persamaan:1 liter = 4,7-5,0
kilokalori/menit. Volume oksigen yang digunakan tersebut dihitung dengan
cara mengukur udara ekspirasi dan kemudian kadar oksigen ditentukan
dengan teknik sampling. Dengan mengetahui temperatur dan tekanan udara,
maka volume oksigen yang digunakan akan bisa diketahui.
Pengukuran berdasarkan kecepatan denyut jantung lebih mudah dilakukan
tetapi pengukuran ini kurang tepat dibandingkan dengan konsumsi oksigen
karena lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor individu, seperti: emosi,
kondisi fisik, kelamin. Sehubungan dengan pekerjaannya sendiri, terdapat
banyak faktor yang mempengaruhi besarnya pengeluaran tenaga selama
bekerja, diantaranya:cara melaksanakan kerjanya, kecepatan kerjanya, sikap
pekerja, kondisi lingkungannya.
2. Kriteria Operasional
Kriteria operasional melibatkan teknik-teknik untuk mengukur atau
menggambarkan hasil-hasil yang bisa dilakukan tubuh atau anggota-anggota
tubuh pada saat melaksanakan gerakan-gerakannya. Secara umum hasil
gerakan yang bisa dilakukan tubuh atau anggota tubuh dapat dibagi dalam
berbagai bentuk:range (rentangan) gerakan, pengukuran aktivitas
berdasarkan kekuatan, ketahanan, kecepatan dan ketelitian. Untuk mengukur
aktivitas-aktivitas tersebut, bisa digunakan bermacam-macam alat ukur
seperti:alat pengukur tegangan dinamometer. Pengukuran aktivitas fisik
berdasarkan range dari gerakan, digunakan untuk jenis pekerjaan yang
berulang dengan tetap. Hasil gerakan tubuh dikatakan menurun atau
meningkat jika range gerakannya makin kecil atau makin besar. Pengukuran
aktivitas fisik berdasarkan kekuatan dan daya tahan pada hakekatnya tidak
hanya ditentukan oleh kekuatan otot saja, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-
II-3
faktor subjektif lainnya, seperti:besarnya tenaga yang dikeluarkan, kecepatan
kerja, cara dan sikap melaksanakan kerja, kebiasaan olahraga, jenis kelamin,
umur, daya reaksi, stabilitas, letak posisi beban dan arah gerakan dari anggota
tubuh. Besarnya penggunaan tenaga saat melakukan aktivitas tentu akan
berpengaruh pada kekuatan dan daya tahan tubuh untuk melaksanakan
aktivitas tersebut. Makin besar tenaga yang dituntut oleh pekerjaan tersebut
berarti kekuatan dan daya tahan tubuh untuk menangani pekerjaan tersebut
akan makin rendah, dan sebaliknya.
Selain tentang pengukuran kerja, juga dibahas tentang konsumsi energi.
Dimana didapatkan persamaan:
i
Energi Total = Energi External + Energi Internal + Metabolisme Basal
Dimana:
Metabolisme Basal Pria 70 Kg = 1.2 Kkal/menit
Metabolisme Basal Wanita 60 Kg = 1.0 Kkal/menit
2.1.1. Proses Metabolisme
Sistem metabolisme adalah sistem yang mengatur pembakaran dari lemak,
protein, mineral, dan karbohidrat. Makanan yang masuk ke dalam mulut diaduk
dan bercampur dengan kelenjar ludah lalu masuk ke pharing saat menelan
epiglotis akan menutup sehingga makanan tidak masuk ke dalam paru-paru,
makanan masuk akibat pompa usus yang disebut perystaltik dan dengan getah
lambung akan menghasilkan beberapa carsinogen, peptin dan renin.
Metabolisme dipengaruhi oleh jenis kelamin dan usia. Proses metabolisme
yang terjadi dalam tubuh mansia merupakan fase yang penting sebagai penghasil
energi yang diperlukan untuk kerja fisik. Lewat proses metabolisme akan
dihasilkan panas dan energi yang diperlukan untuk kerja fisik lewat sistem otot
manusia.
Besarnya energi yag dihasilkan akan dinyatakan dalam unit satuan kilo
kalori atau kkal atau kilojoule bilamana dinyatakan dalam satuan standar
internasional, dimana :
1 Kilocalories (Kcal) = 4.2 KiloJoules (KJ)
II-4
Selanjutnya dalam fisiologi kerja, energi yang dikonsumsikan seringkali
bisa diukur secara langsung yaitu melalui konsumsi oksigen yang dihisap, dalam
hal ini konversi bisa dinyatakan sebagai berikut:
1 Liter O
2
= 4.8 Kkal = 20 KJ
Pengukuran detak/denyut jantung nadi akan sangat sensitif terhadap
temperatur dan tekanan emosi manusia, dan diisi lain pengukuran melalui
konsumsi oksigen pada dasarnya tidak akan banyak dipengaruhi oleh perbedaan
karakteristik individu manusia yang akan di ukur. Dalam aktivitas penelitian
tentang pengukuran energi fisik untuk kerja maka kedua metode ini yang paling
sering diaplikasikan.
Perlu diketahui konsumsi oksigen akan tetap diperlukan meskipun orang
tidak melakukan aktivitas fisik kondisi seperti ini disebut sebagai basal
metabolism dimana dalam kondisi seperti ini energi kimiawi dari makanan
hampir seluruhnya akan di pakai untuk menjaga panas badan agar manusia bisa
tetap hidup. Adanya kerja fisik akan menyebabkan penambahan energi. Kenaikan
konsumsi energi dalam kerja fisik ini disebut kalori kerja sehingga nilai konsumsi
energi untuk kerja atau metabolisme kerja dapat diformulasikan sebagai berikut :
Konsumsi energi untuk kerja = metabolisme basal + nilai kalori kerja
Selain denyut nadi dan kebutuhan dan kebutuhan energi dalam
perancangan sistem kerja juga perlu diperkirakan julah kebutuhan oksigen yang
dapat dihitung dengan rumus:
Konsumsi oksigen =
1
]
1

+
,
_


5 . 0 1 . 0
5
75
X
X
X = Rata-rata jumlah denyut nadi
2.1.2. Standar untuk Energi Kerja
Standar dalam hal ini adalah pengaturan yang dibuat untuk mengetahui
berapa energi atau tenaga yang dibutuhkan dalam melaksanakan aktivitas.
Sehingga dengan energi yang cukup maka pekerja dapat melakukan pekerjaannya
dan selesai tepat pada waktunya.
II-5
Tabel 2.1. Kategori Beban Kerja yang Disesuaikan dengan Energi Kerja
Beban Kerja Energi Kerja
Ringan 100 - 200 Kkal / jam
Sedang > 200 350 Kkal / jam
Berat > 350 500 Kkal / jam
2.1.3. Pengukuran Denyut Jantung
Jantung adalah alat yang sangat penting bagi tubuh dimana bertugas
sebagai alat transportasi, merubah dan mengangkut, memelihara dan mencegah.
Di dalam sistem jantung terdapat cardiac output (CO). Cardiac Output
adalah volume darah yang dipompakan ventrikel dalam unit waktu.
Tabel 2.2. Pengaruh Berbagai Keadaan Pada CO
Cardiac Output Kondisi / Faktor
1. Tidak berubah a. Tidur
b. Perubahan
suhu yang moderat
c. Cemas 50-100%
2. Bertambah a. Makan 30 %
b. Exercises 70 %
c. Suhu Tinggi
d. Kehamilan
e. Epincphrin
3. Menurun a. Duduk/ berdiri dari
berbaring.
b. Aritmia yang cepat
c. Penyakit jantung
Jantung mengalami tiga fase yaitu fase systole, fase diastole, dan fase
istirahat bila tekanan darah normal adalah 120/80 maka angka systole adalah 120
sedangkan diastole 80 dengan satuan mmHg diukur dengan tensimeter dan
stetoskop. Denyutan jantung normal adalah 60-80 kali/menit diukur dengan
meletakkan jari diatas arteri radialis sejajar dengan ibu jari diukur dalam 15 detik
dan hasilnya akan dikalikan empat.
Heart rate adalah kemampuan jantung dalam melakukan aktivitas. Nervus
Vagus bisa menurunkan Heart Rate 20-30 kali/menit.
II-6
Heart Rate Max:
Laki-Laki = 220-usia
Wanita = 200-usia
Normal Heart Rate = 60-85 kali /menit
Ketahanan jantung adalah kemampuan jantung terhadap kerja tubuh
hingga mengalami kelelahan dan melakukan recovery atau pemulihan.
Contoh:tubuh bekerja di tempat panas maka tubuh akan melakukan proteksi
dengan penurunan denyut jantung tubuh akan meningkatkan pengeluaran
keringat.
Gangguan jantung akibat kerja ada 2 yaitu:
1. Mekanis
Mekanis adalah adanya beban yang berlebihan secara mendadak tanpa melalui
tahapan-tahapan yang rendah hingga ke tinggi.
Contoh: Pekerja pabrik bangunan secara manual mengangkut semen dengan
beban awal yang sangat berat akan berpengaruh pada beban yang diberikan di
bagian tubuh tempat meletakkan beban tersebut.
2. Chemis
Efek kimia yang disekitar kita bekerja akan menimbulkan zat racun. Zat racun
ini menyebabkan kerusakan jantung dengan 2 cara yaitu:
a. Mengenai jantung dan sistem pembuluh darah jantung.
b. Mengenai jaringan.
2.2. Peningkatan Efisiensi Kerja Fisik
Sebagaimana kita ketahui, kerja manusia ada yang bersifat mental dan ada
yang bersifat fisik dan masing-masing mempunyai tingkat intensitas yang
berbeda-beda. Tingkat intensitas yang terlampau tinggi memungkinkan
pemakaian tenaga yang berlebihan. Sebaliknya, tingkat intensitas yang terlampau
rendah memungkinkan timbulnya rasa jenuh atau rasa bosan. Oleh karena itu,
para pekerja harus memiliki tenaga yang banyak untuk dapat meningkatkan
efisiensi kerja yang dilakukan. Oleh karena itu usaha yang dilakukan untuk
peningkatan efisiensi dengan memberikan waktu istirahat yang cukup, pengaturan
II-7
waktu kerja dengan waktu istirahat yang seimbang yang disesuaikan dengan sifat,
jenis pekerjaan dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya seperti lingkungan
kerja panas atau dingin, kebisingan dan berdebu. Efisiensi kerja meningkat dan
produktivitas meningkat sehingga pekerjaan dapat terselesaikan tepat waktu
dengan sendirinya sehingga kerja kombinasi tidak diperlukan lagi. Tambahan juga
memberikan gizi yang seimbang dapat mempertahankan dan meningkatkan
ketahanan tubuh serta menyeimbangkan kebutuhan gizi dan kalori terhadap
tuntutan pekerjaan.
2.3. Evaluasi Metode Kerja dengan cara Pengukuran Energi yang
Dikonsumsi
Evaluasi metode kerja merupakan kegiatan pencatatan secara sistematis
dan pemeriksaan dengan seksama mengenai cara-cara yang berlaku atau diusulkan
untuk melaksanakan kerja. Sasaran pokok dari efektifitas ini adalah mencari,
mengembangkan dan menerapkan metode kerja yang lebih efektif dan efisien.
Tabel 2.3. Penggunaan Energi dalam Melakukan Berbagai
Kelompok Pekerjaan Fisik
Jenis Kelamin
Kelompok
Pekerjaan
Energi yang digunakan
(Kkal/menit)
Wanita
Staf 1,36
Ringan 1,50
Sedang 1,70
Berat 2,90
Laki-laki
Staf 7,87
Ringan 2,31
Sedang 3,30
Berat 4,60
2.4. Kelelahan Akibat Kerja
2
2
Sutalaksana, Iftikar.Teknik Tata Cara Kerja. Bandung: Departemen Teknik Industri Institut
Teknologi Bandung.1979
II-8
2.4.1. Pengertian Kelelahan
Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh
terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat.
Kelelahan diatur secara sentral oleh otak. Pada susunan syaraf pusat terdapat
sistem aktivasi (bersifat simpatis) dan inihabis (bersifat para simpatis). Istilah
kelelahan menunjukkan kondisi yang berbeda-beda dari setiap individu, tetapi
semuanya bermuara kepada kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja
serta ketahanan tubuh. Kelelahan diklasifikasi dalam dua jenis yaitu kelelahan
otot dan kelelahan umum. Kelelahan otot adalah merupakan tremor pada otot/
perasaannyeri pada otot. Sedangkan kelelahan umum biasanya ditandai dengan
berkurangnya untuk bekerj yang disebabkan oleh karena monotoni, intensitas dan
lamanya kerja fisik, keadaan lingkungan, sebab-sebab mental, status kesehatan
dan keadaan gizi (Grandjean,1993). Secara umum, gejala kelelahan dapat dimulai
dari yang ringan sampai perasaan yang melelahkan. Kelelahan subjektif biasanya
terjadi pada akhir jam kerja, apabila rata-rata beban kerja melebihi 30-40 % dari
tenaga aerobik maksimal (Astrand dan Rodahl, 1997 dan Pulat, 1992).
Untuk mengurangi kelelahan maka harus dihindarkan sikap kerja yang
bersifat statis dan diupayakan sikap kerja lebih dinamis. Hal ini dapat dilakukan
dengan merubah sikap kerja statis menjadi sikap kerja lebih bervariasi atau
dinamis, sehingga sirkulasi darah dan oksigen dapat berjalan normal ke seluruh
anggota tubuh. Sedangkan untuk menilai tingkat kelelahan seseorang dapat
dilakukan pengukuran kelelahan secara tidak langsung baik secara objektif
maupun subjektif.
2.4.2. Faktor Penyebab Terjadinya Kelelahan
Kelelahan terjadi karena terkumpulnya produk-produk sisa dalam otot dan
peredaran darah, dimana produk-produk sisa ini bersifat bisa membatasi
kelangsungan aktivitas otot. Atau mungkin bisa dikatakan bahwa produk-produk
sisa ini mempengaruhi serat-serat saraf dan sistem saraf pusat sehingga
menyebabkan orang menjadi lambat bekerja dan sudah lelah.
II-9
Setelah pekerja melakukan pekerjaannya, maka umumnya terjadi
kelelahan. Dalam hal ini kita harus waspada, dan harus kita bedakan jenis
kelelahannya. Beberapa ahli membedakan atau membaginya sebagai berikut :
1. Kelelahan Fisik
Kelelahan fisik akibat kerja yang berlebihan, dimana masih dapat dikompensasi
dan dapat diperbaiki performansnya seperti semula. Kalau tidak terlalu berat
kelelahan ini dihilangkan dengan istirahat dan tidur yang cukup.
2. Kelelahan yang Patologis
Kelelahan ini tergabung dengan penyakit yang diderita, biasanya muncul tiba-
tiba dan berat gejalanya.
3. Psikologis dan Emotional Fatique
Kelelahan ini adalah bentuk yang umum. Kemungkinan merupakan sejenis
mekanisme melarikan diri dari kenyataan pada penderita psikosomatik.
Semangat yang baik dan motivasi kerja akan mengurangi angka kejadiannya
ditempat kerja.
2.4.3. Langkah-langkah Mengatasi Kelelahan
Upaya kesehatan dalam mengatasi kesalahan, meskipun seseorang
mempunyai batas ketahanan. Akan tetapi ada beberapa hal akan mengurangi
kelelahan yang tidak seharusnya terjadi:
a. Lingkungan harus bersih dari zat-zat kimia.
b. Pencahayaan dan ventilasi harus memadai dan tidak ada gangguan bising.
c. Jam kerja sehari diberi waktu istirahat sejenak dan istrihat yang cukup
saat makan siang.
d. Kesehatan pekerja harus tetap dimonitor.
e. Tempo kegiatan tidak harus terus-menerus.
f. Waktu perjalanan dari dan ke tempat kerja harus sesingkat mungkin, kalau
memungkinkan.
g. Secara aktif mengindentifikasikan sejumlah pekerja dalam peningkatan
semangat kerja.
h. Fasilitas rekreasi dan istirahat harus disediakan di tempat kerja.
II-10
i. Waktu liburan harus diberikan pada para pekerja.
j. Kelompok pekerja yang rentan harus lebih diawasi.
k. Kebutuhan kalori seimbang.
2.4.4. Pengukuran Kelelahan
Sampai saat ini belum ada cara untuk mengukur tingkat kelelelahan secara
langsung. Pengukuran-pengukuran yang dilakukan oleh para peneliti sebelumnya
hanya berupa indikator yang menunjukkan terjadinya kelelahan akibat kerja
(Grandjean,1993) mengelompokkan metode pengukuran kelelahan dalam
beberapa kelompok sebagai berikut:
1. Kualitas dan Kuantitas kerja yang Dilakukan
Pada metode ini, kualitas output dapat digmbarkan sebagai sejumlah
proses kerja (waktu yang digunakan setiap item) atau proses operasi yang
dilakukan setiap unit waktu. Namun demikian, banyak faktor yang harus
dipertimbangkan seperti:target produksi, faktor sosial dan prilaku psikologis
dalam kerja. Sedangkan kuantitas output (kerusakan produk, penolakan produk)
atau frekuensi kecelakaan dapat menggambarkan terjadinya kelelahan, tetapi
faktor tersebut bukanlah merupakan causal factor.
2. Uji Psiko-motor
Uji psiko-motor (psychomotor test) merupakan salah satu cara untuk
mengukur tingkat kelelahan. Pengukuran ini hanya berupa indikator yang
menunjukkan terjadinya kelelahan akibat kerja. Pada metode ini melibatkan
fungsi persepsi, interpretasi, dan reaksi motor. Salah satu cara dapat digunakan
adalah dengan pengukuran waktu reaksi. Waktu reaksi adalah waktu untuk
membuat suatu respon yang spesifik saat satu stimuli terjadi. Waktu reaksi
terpendek biasanya berkisar antara 150 sampai dengan 250 milidetik. Dalam uji
waktu reaksi ini, stimuli yang digunakan adalah nyala lampu dan denting suara.
Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Whole Body Reacton
Tester.
3. Uji Hilangnya Kelipan
II-11
Dalam kondisi yang lelah, kemampuan tenaga kerja untuk melihat kelipan
akan berkurang. Semakin lelah akan semakin panjang waktu yang diperlukan
untuk jarak antara dua kelipan. Uji kelipan, disamping untuk mengukur kelelahan
juga menunjukkan keadaan kewaspadaan tenaga kerja, akan uji hilang kelipan
atau flicker fusion test.
4. Uji Mental
Pada metode ini konsentrasi merupakan salah satu pendekatan yang dapat
digunakan untuk menguji ketelitian dan kecepatan menyelesaikan pekerjaan.
Bourdon Wiersma Test, merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk
menguji kecepatan, ketelitian dan konstans. Hasil test akan menunjukkan bahwa
semakin rendah atau sebaliknya. Namun demikian Bourdon Wiersma test lebih
tepat untuk mengukur kelelahan akibat aktivitas atau pekerjaan yang lebih bersifat
mental.
2.5. Beban Kerja
2.5.1. Faktor yang Mempengaruhi Beban Kerja
Menurut Rodahl (1989) dan Manuaba (2000) bahwa secara umum
hubungan antara beban kerja dan kapasitas kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor
yang sangat kompleks, baik faktor internal maupun faktor eksternal.
2.5.1.1. Beban Kerja oleh Karena Faktor Eksternal
Faktor eksternal beban kerja adalah beban kerja yang berasal dari luar
tubuh pekerja. Yang termasuk beban kerja eksternal adalah
1. Tugas-tugas (task) yang dilakukan baik bersifat fisik seperti stasiun kerja, tata
letak ruangan kerja, alat dan sarana kerja, kondisi atau medan kerja, sikap
kerja, cara angkat-angkut, alat bantu kerja, sarana informasi termasuk displai
dan kontrol, alur kerja dan lain-lain. Sedangkan tugas-tugas yang bersifat
mental seperti kompleksitas pekerjaan atau tingkat kesulitanpekerjaan yang
mempengaruhi tingkat emosi pekerja, tanggung jawab terhadap pekerja dan
lain-lain.
II-12
2. Organisasi kerja yang dapat mempengaruhi beban kerja seperti lamanya waktu
kerja, waktu istirahat, kerja bergilir, kerja malam, sistem pengupahan, sistem
kerja, musik kerja, model struktur organisasi, pelimpahan tugas dan wewenag
dan lain-lain.
3. Lingkungan kerja yang dapat memberikan beban tambahan kepada pekerja
adalah :
a. Lingkungan kerja fisik seperti:mikroklimat (suhu udara ,
kelembaban udara, kecepatan rambat udara, suhu radiasi) intensitas
penerangan, intensitas kebisingan, vibrasi mekanis dan tekanan udara.
b. Lingkungan kerja kimiawi seperti:debu, gas-gas pencemar
udara, uap logam, fume dalam udara dan lain-lain.
c. Lingkungan kerja biologis seperti:bakteri, virus dan parasit,
jamur, serangga dan lain-lain.
d. Lingkungan kerja psikologis seperti:pemilihan dan
penempatan tenaga kerja, hubungan antar pekerja dengan pekerja, pekerja
dengan atasan, pekerja dengan keluarga dan pekerja dengan lingkungan
sosial yang berdampak kepada performansi kerja di tempat kerja.
2.5.1.2. Beban Kerja oleh Karena Faktor Internal
Faktor internal beban kerja adalah faktor yang berasal dari dalam
tubuh itu sendiri akibat adanya reaksi dari beban kerja eksternal. Reaksi tubuh
tersebut dikenal sebagai strain. Berat ringannya strain dapat dinilai baik secara
subjektif maupun objektif. Penilaian secara objektif yaitu melalui perubahan
reaksi fisiologis. Sedangkan penilaian secara subjektif dapat dilakukan melalui
perubahan reaksi psikologis dan perubahan perilaku. Karena strain secara
subjektif berkaitan erat dengan harapan, keinginan, kepuasaan dan penilaian
subjektif lainnya. Faktor internal meliputi:
a.Faktor somatis:jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, kondisi kesehatan dan
status gizi.
2.5.2. Penilaian Beban Kerja Fisik
II-13
2.5.2.1. Penilaian Beban Kerja Fisik Berdasarkan Metode Secara
Langsung
Pengaturan letak detak jantung adalah aktivitas pengukuran yang
paling sering diaplikasikan. Meskipun metode ini tidak langsung terkait dengan
pengukuran energi fisik yang harus dikonsumsikan seseorang untuk kerja.
Pengukuran konsumsi oksigen dalam hal ini justru akan berkaitan dengan proses
metabolisme/pembakaran dalam tubuh manusia yang akan menghasilkan energi
untuk kerja yang selanjutnya terkait secara proporsional dengan konsumsi energi
akan dipakai untuk kerja.
Kerja fisik mengakibatkan pengeluaran energi yang berhubungan erat
dengan konsumsi energi. Konsumsi energi pada waktu bekerja biasanya
ditentukan dengan cara tidak langsung yaitu dengan pengukuran:
1. Kecepatan denyut jantung
2. Konsumsi oksigen
Bilangan nadi atau denyut jantung merupakan variabel yang penting dan
pokok, baik dalam penelitian lapangan maupun dalam penelitian laboratorium.
Dalam hal penentuan konsumsi energi, biasanya digunakan parameter indeks
kenaikan bilangan denyut jantung, indeks ini merupakan perbedan antara keceptan
denyut jantung pada waktu kerja tertentu dengan kecepatan denyut jantung pada
saat istirahat.
Untuk merumuskan hubungan antara energy expenditure dengan
kecepatan denyut jantung, dilakukan pendekatan kuntitatif hubungan antara energi
ekspenditur dengan kecepatan denyut jantung dengan menggunakan analisa
regresi. Bentuk regresi hubungan energi dengan kecepatan denyut jantung adlah
regresi kuadratis dengan persamaan sebagai berikut :
Y = 1,80411 0,0229038 X + 4,71711. 10
-4
X
2
Dimana :
Y = Energi ( Kkal per menit )
X = kecepatan denyut jantung ( denyut per menit )
2.5.2.2. Penilaian Beban Kerja Fisik Berdasarkan Metode Secara Tidak
II-14
Langsung
Grandjean (1993) menjelaskan bahwa konsumsi energi sendiri tidak
cukup untuk mengestimasi beban kerja fisik tidak hanya ditentukan oleh jumlah
KJ yang dikonsumsi, tetapi juga ditentukan oleh jumlah otot yang terlibat dan
meningkatkan denyut nadi. Berdasarkan hal tersebut, maka denyut nadi lebih
mudah dan dapat digunakan untuik menghitung indeks beban kerja. Astrand dan
Rodahl (1997), Rodahl (1989) menyatakan bahwa denyut nadi mempunyai
hubungan linier yang tinggi dengan asupan oksigen pada waktu kerja.
Dan salah satu yang sederhana untuk menghitung denyut nadi adalah
dengan merasakan denyutan pada arteri radialis di pergelangan tangan.
Denyut nadi untuk mengestimasi indeks beban kerja fisik terdiri dari beberapa
jenis yang didefenisikan oleh Grandjean (1993).
1. Denyut nadi istirahat adalah rerata denyut nadi sebelum pekerjaan dimulai.
2. Denyut nadi kerja adalah rerata denyut nadi selama bekerja
3. Nadi kerja adalah selisih antara denyut nadi istirahat dan denyut nadi kerja.
Peningkatan denyut nadi mempunyai peran yang sangat penting didalam
peningkatan cardiac output dari istirahat sampai kerja maksimum. Peningkatan
yang potensial didalam dalam denyut nadi dari istirahat sampai kerja maksimum
tersebut oleh Rodahl (1989) didefenisiskan sebagai Heart Rate Reserve. HR
Reserve tersebut di ekspresikan dalam persentase yang dapat dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
% HR Reserve =
100 x
Istirahat DenyutNadi Maksimum DenyutNadi
Istirahat DenyutNadi Kerja DenyutNadi

Lebih lanjut, Manuaba dan Van Wontergehm (1996) menentukan


klasifikasi beban kerja berdasarkan peningkatan denyut nadi kerja yang di
bandingkan dengan denyut nadi maksimum karena beban kardiovaskuler
(cardiovaskuler load = % CVL) yang dihitung dengan rumus sebagai berikut :
% CVL = 100 x(Denyut nadi kerja-Denyut nadi istirahat)
Denyut nadi maks-Denyut nadi istirahat
Dimana denyut nadi maksimum adalah ( 220-umur) untuk laki-laki
dan (200-umur) untuk wanita.
II-15
Dari hasil perhitungan % CVL tersebut kemidian dibandingkan dengan
klasifikasi yang telah ditetapkan sebagai berikut :
< 30 % = Tidak terjadi kelelahan
30 s.d < 60 % = Diperlukan perbaikan
60 s.d < 80 % = Kerja dalam waktu singkat
80 s.d < 100 % = Diperlukan tindakan segera
> 100 % = Tidak diperbolehkan beraktivitas
Selain cara-cara tersebut diatas, Kilbon (1992) mengusulkan bahwa
cardiovasculair strain dapat diestimasi dengan menggunakan denyut nadi
pemulihan atau dikenal dengan metode Brouha. Keuntungan dari metode ini
adalah sama sekali tidak mengganggu atau menghentikan pekerjaan, karena
pengukuran dilakukan tepat setelah subjek berhenti bekerja. Denyut nadi
pemulihan (P) dihitung pada akhir 30 detik pada menit pertama, kedua dan ketiga.
P
1
, P
2
, P
3
adalah rata-rata dari ketiga nilai tersebut dan dihubungkan dengan total
cardiac cost denga ketentuan sebagai berikut :
1. Jika P
1
-P
3
10 atau P
1
, P
2
, P
3
seluruhnya < 90, nadi pemulihan normal.
2. Jika rata-rata P
1
yang tercatat 110, dan P
1
-P
3
10, maka beban kerja tidak
berlebihan.
3. Jika P
1
-P
3
< 10, dan jika P
3
> 90, perlu ada perbaikan.
Laju pemulihan denyut nadi dipengaruhi oleh nilai absolut denyut nadi
pada ketergantungan pekerjaan (the interuption of work), tingkat kebugaran
(individual fitness) dan pemaparan panas lingkungan. Jadi nadi pemulihan tidak
segera tercapai, maka diperlukan redesaign pekerjaan untuk mengurangi tekanan
fisik. Redesaign tersebut dapat berupa variabel tunggal maupun variabel bebas
(tasks, organisasi kerja,dan lingkungan kerja) yang menyebabkan beban kerja
tambahan.
2.6. Penentuan Waktu Kerja dan Waktu Istirahat
II-16
Jika denyut nadi dipantau selama istirahat, kerja dan pemulihan maka
waktu pemulihan untuk beristirahat meningkat sejalan dengan beban kerja. Dalam
keadaan yang ekstrim, pekerja tidak mempunyai waktu istirahat yang cukup
sehingga mengalami kelelahan yang kronis. Untuk menghindari kerugian
pengukuran pekerja ketika bekerja, dapat digunakan perubahan tingkat denyut
selama pemulihan.
Untuk menghitung lamaya waktu kerja, maka dengan rumus :
E = 1,80411- 0,0229038X + 4,71711. 10
-4
X
2
E = konsumsi energi selama pekerjaan berlangsung (Kkal/menit) berdasarkan
kecepatan denyut jantung per menit (X)
2.7. Hubungan antara Motivasi, Sikap dan Kelelahan Non Fisik dengan
Produktivitas Kerja para Penguasaha Kecil di Jawa Timur,
Indonesia
3
2.7.1. Pendahuluan
Berbagai paparan mengenai produktivitas kerja dalam pembangunan
seperti Human Develoment Index (HDI) sampai saat ini belum menunjukan
indikator yang menggembirakan. Hal ini memperjelas indikator produktivitas
kerja nasional di Indonesia bahwa kondisi produktivitasnya sangatlah
memprihatinkan. Oleh karena itu upaya meningkatkan produktivitas kerja tidak
dapat ditawar-tawar lagi agar peringkat produktivitas nasional di Indonesia bisa
diletakkan pada kedudukan yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.
Rendahnya produktivitas kerja tersebut apabila tidak cepat diatasi tentunya
akan berdampak negatif, berpeluang membentuk beberapa kantong kemiskinan
seperti munculnya kemiskinan yang baru, atau krisis sosial yang akan menjurus
pada penurunan derajat kesehatan. Keadaan tersebut sangat memungkinkan terjadi
jika dicermati dari aspek kependudukan, sebagaimana yang dilaporkan Badan
Pusat Statistik bahwa tingkat pengangguran menunjukan kecenderungan naik
sejak tahun 1997 sampai 1999, yaitu 6,36%; dan telah terjadi peningkatan
3
Dr. M. Subandowo adalah Direktur Program Pascasarjana UNIPA (Universitas PGRI Adi Buana) di Surabaya, Jawa
Timur, Indonesia. Untuk kepentingan akademik, beliau boleh dihubungi dengan alamat e-mail: subanindi@gmail.com
II-17
partisipasi kerja pada tahun 1999 sebesar 67,22%; dan tahun 2000 meningkat lagi
menjadi 67,72% (BPS, 2000).
Apabila rendahnya produktivitas kerja tersebut dicermati dari kondisi
krisis moneter sejak tahun 1997 dan efek dampaknya hingga saat ini, secara
empirik terbukti bahwa produktivitas kerja dan daya tahan produk secara nasional
justru dimiliki oleh Usaha Kecil Menengah (UKM) bila dibandingkan dengan
usaha bisnis yang lebih besar. Menurut Ginanjar Kartasasmita (1999),
pengalaman ini menunjukkan bahwa industri kecil di sentra-sentra ekonomi dapat
berkembang lebih pesat, fleksibel dalam menghadapi perubahan pasar, dan dapat
meningkatkan produksinya daripada industri dan bisnis yang berskala besar.
Terkait dengan Usaha Kecil Menengah (UKM) ini, khususnya pada sektor
industri pertanian, ianya merupakan sentra industri kecil yang sangat handal dan
dapat menyerap tenaga kerja yang cukup banyak. Nampaknya terdapat juga
beberapa UKM yang telah melakukan ekspor, seperti industri kecil pengrajin
emping melijo di Jawa Timur, yang merupakan produk unggulan khas Indonesia.
Perilaku UKM tersebut tentunya sangat menarik untuk dikaji terkait dengan
produktivitas kerjanya. Keberadaan UKM tentunya sangat berdampak dalam
aspek kehidupan masyarakat, baik sosial, pendidikan maupun kesejahteraan.
Oleh karena itu perubahan sektor ekonomi masyarakat yang menyangkut
produktivitas UKM merupakan penyumbang dominan terhadap keberadaan
tingkat kesejahteraan masyarakat dan sekaligus juga terhadap kondisi kesehatan
masyarakat. Hubungan antara produktivitas dan kesehatan ini telah dinyatakan
oleh M. Fishbein & I. Ajzen (1975). Dinyatakan juga bahwa kunci pokok atau
sumber penyebab kemiskinan adalah produktivi tas pekerja rendah bertalitemali
dengan penyebab kurangnya gizi, rendahnya kesehatan, rendahnya ketrampilan,
rendahnya pendapatan, rendahnya tabungan, rendahnya investasi, dan rendahnya
produktivitas (Pasaribu, 1994).
Dari beberapa kajian mengenai sumber daya manusia, peranan investasi
sumber daya manusia mempunyai pengaruh yang besar dalam produktivitas
(Kartasasmita, 1999). Dinyatakan juga bahwa peningkatan produktivitas tenaga
kerja ini dapat didorong melalui pendidikan dan pelatihan serta penin gkatan
II-18
derajat kesehatan dalam kajian-kajian mengenai faktor produktivitas. Berdasarkan
latar belakang tersebut maka perlu dilakukan analisis mengenai faktor-faktot
dominan yang mempengaruhi produktivitas kerja produktivitas kerja bagi usaha
kecil di sektor pertanian. Secara spesifik, dengan demikian, penelitian ini akan
mengkaji:
1. Bagaimana model hubungan antara motivasi untuk berpresta si, persahabatan,
dan kekuasaan; sikap kerja berupa wawasan, kemantapan, dan kecenderungan
bertindak dengan kelelahan kerja non fisik terhadap produktivitas kerja.
2. Bagaimanakah karakteristik produktivitas kerja pengusaha kecil berbasis
pertanian dilihat dari aspek motivasi kerja, sikap kerja dan kelelahan kerja non
fisiknya.
Berkenaan pertanyaan-pertanyaan penelitian tersebut, maka kajian ini
bertujuan untuk melihat eksistensi hubungan antara motivasi, sikap dan kelelahan
non fisik dengan produktivitas kerja berkenaan dengan fasetfasetnya. Penelitian
ini sekaligus juga mengkaji tentang karakteristik pengusaha kecil gugus pertanian
di daerah Jawa Timur dari aspek produktivitas kerja dan faktor-faktor yang
menyebabkannya.
Studi-studi yang telah dilakukan oleh R. Steers, J. Mowday & L. Porter
(1982) dan Sondang P. Siagian (1995) menunjukkan bahwa motivasi merupakan
factor yang mendasar dan mempengaruhi kinerja seseorang dalam melaksanakan
tugasnya. Sementara itu studi-studi yang telah dilakukan oleh A.L. Edward
(1957), D.C. McClelland (1969), S.H. Bertley & E. Chute (1980), dan S. Lience
(1994) pula menggolongkan tiga motif, yaitu motif berprestasi, motif berafiliasi
dan motif berkuasa kedalam motivasi sosial. Studi lain yang dilakukan oleh D.C.
McClelland (1974) mengklasifikan motivasi yang mempengaruhi diri manusia
kedalam social motives theory. Teori ini meliputi:
1. Kebutuhan akan prestasi atau need for achiement (nach) yang merupakan
kebutuhan untuk berhasil dengan memperlihatkan kemampuan penguasaan
lebih tinggi.
2. Kebutuhan akan afiliasi atau need for affiliation (naff) yang merupakan
kebutuhan akan cinta dan kebersamaan atau belonging, pergaulan, kebutuhan
II-19
untuk mempunyai teman dari berbagai kalangan, dan diterima oleh lingkungan
social yang tinggi.
3. Kebutuhan akan kekuasaan atau need of power (nop) yang merupakan
kebutuhan untuk menguasai pekerjaan sendiri atau menguasai orang lain
dalam bekerja, kebutuhan untuk memerintah, kebutuhan akan otonomi, serta
kebutuhan kemandirian dan kebebasan.
Selain faktor motivasi, terdapat beberapa faktor lain yang terkait dengan
produktivitas kerja seperti factor demografi, latar belakang budaya, serta
kemampuan keterampilan, disamping masalah psikologis seperti persepsi, sikap,
kepribadian, dan belajar; serta variabel organisasi seperti sumberdaya
kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan (Robbins, 1991). Lebih
jauh mengenai sikap kerja, A.L. Edwards (1957), J.C. Raveen (1960), dan S.P.
Robbins (1991) menyatakan bahwa ianya merupakan suatu respons evaluatif yang
ditunjukkan oleh seseorang terhadap objek dengan tingkatan sikap yang positif,
negatif atau netral. Secara umum, definisi tentang sikap telah diungkapkan oleh
M. Fishbein & I. Ajzen (1975) dan E.L. Deci (1975) dimana mereka
mengkategorikan ranah sikap yang dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu:
1. Komponen kognitif, yang merupakan seluruh kognisi yang ada pada seseorang
mengenai fakta, pengetahuan dan keyakinan.
2. Komponen afektif, yang merupakan seluruhan perasaan atau emosi terhadap
objek.
3. Komponen kecenderungan berperilaku, yang merupakan kesiapan seseorang
untuk bereaksi atau kecenderungan bertindak terhadap objek.
Dari ketiga komponen tersebut, dalam penelitian ini, diadaptasikan
menjadi komponen: wawasan, kemantapan dan kecenderungan bertindak dalam
berwira usaha. Hubungan ketiga komponen tersebut banyak didukung oleh para
ahli psikologi yang menyatakan bahwa komponen sikap cenderung berinteraksi
secara selaras dan konsisten apabila berhadapan dengan objek yang sama. Pola
sikap, biasanya, memiliki arah yang relatif seragam. Dan apabila tidak terjadi atau
salah satu saja dari tiga komponen tersebut tidak selaras dalam menyikapi objek,
II-20
maka akan timbul ketidakselarasan pula yang menyebabkan timbulnya
mekanisme perubahan sikap sedemikian rupa sehingga konsistensi itu tercapai
kembali (Azwar, 1997). Sementara itu T.R. Mitchell (1989) dan S.P. Robbins
(1991) mengungkapkan bahwa untuk menghasilkan produktivitas kerja yang
tinggi maka factor kemampuan pekerja, motivasi dan sikap sangatlah penting.
Dalam konteks ini S.P. Robbins (1991) menyatakannya dengan istilah
karakteristik biografis. Disamping faktor motivasi dan sikap, maka faktor
kesehatan pekerja juga sangatlah penting untuk diperhatikan, karena masalah
derajat kesehatan ini, seperti halnya derajat kelelahan kerja akan meningkatkan
atau menurunkan produktivitas kerja. Kelelahan kerja memang dapat menurunkan
tidak hanya prestasi kerja tetapi juga produktivitas kerja (Cameron, 1973; dan
Bartley & Chute, 1982). Dilain pihak, kelelahan kerja juga dapat berakibat
macam-macam. Seperti diungkapkan oleh E. Grandjean (1985) dan P.K.
Sumamur (1984) bahwa terdapat dua kelelahan kerja, yaitu kelelahan kerja fisik
dan kelelahan kerja umum. Kelelahan kerja umum ini sering disebut dengan
psyhic fatique atau nerous fatique (ILO, 1983). Sementara itu kelelahan kerja fisik
terjadi akibat kontraksi otot berlangsung lama, yang mengakibatkan proses otot
dan metabolisme serabut-serabut otot tidak mampu menghasilkan output kerja
yang sama, atau output kerja tenaga bersangkutan menurun dan produktivitas
kerjanya pun akan menurun.
Diakui secara umum bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
kelelahan non fisik dengan produktivitas kerja (Morgan & Muray, 1935; Gilmer,
1966; Cameron, 1973; Sumamur, 1984; dan Bart, 1994). Dalam penelitiannya, S.
Lience (1994) memaparkan adanya hubungan antara kelelahan dengan
produktivitas kerja, dengan menyatakan bahwa: kelelahan kerja ranah fisik dan
non fisik sangat berhubungan dengan produktivitas kerja; serta produktivitas pada
tenaga kerja akan mengalami kelelahan ranah non fisik lebih besar daripada
produktivitas tenaga kerja yang berhubungan dengan kelelahan ranah fisik.
Berdasarkan perspektif teoritis tersebut nampak jelas bahwa terdapat hubungan
yang erat antara variabel motivasi, sikap dan kelelahan non fisik dengan
produktivitas kerja.
II-21
2.7.2. Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Sikap kerja dalam penelitian ini diukur berdasarkan skala Likert, yang
meliputi faset komponen wawasan atau product moment, parts-whole correction
(Guilford & Ruchter, 1981) dengan hasil rxy (0,4800,667) dan rpq (0,392
0,582).Sikap-sikap kemantapan adalah rxy (0,4430,778) dan rpq (0,3200,677).
Dan kecenderungan bertindak adalah rxy (0,4830,605) dan rpq (0,3800,538).
Sedangkan memakai konsistensi interval dengan alfa (0,520,83). Alat ukur
kelelahan kerja non fisik yang digunakan telah diuji oleh S. Liennce (1993), dan
ianya dinamakan angket Alat Ukur Kelelahan Kerja Non Fisik (AUK2NF).
Instrumen ini telah teruji, baik validitas maupun reliabilitasnya pada pekerja
Indonesia, baik pada pagi hari, siang hari, maupun sore hari. Sedangkan untuk
mengukur motivasi kerja digunakan TAT. Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik analisis jalur (path analysis) dengan taraf signifikasi
5% atau p = 0.05 utuk semua pengujian.
2.7.3. Hasil dan Analisis Penelitian
Usaha kecil berbasis pertanian di daerah Jawa Timur ternyata cukup besar
jumlahnya. Salah satu daripadanya adalah pengrajin emping melinjo yang
merupakan industri kecil hasil budidaya pertanian tanaman asli Indonesia dan
mempunyai rasa yang khas. Industri kecil pengrajin emping melinjo ini tersebar di
wilayah Jawa Timur dan merupakan sentra-sentra industi kecil pertanian di daerah
Magetan, Ponorogo, Pacitan dan Kediri. Sentra-sentra industri ini biasanya
bercirikan kekerabatan dan kebersamaan yang kuat serta menjunjung tinggi nilai-
nilai kekeluargaan dalam melakukan usaha. Ciri-ciri tersebut diduga merupakan
salah satu potensi dalam menghadapai tantangan persaingan usaha sehingga
eksistensinya tetap terjaga walaupun krisis moneter melanda negeri ini. Oleh
karena itu sangat menarik untuk mengkaji tentang hubungan faktor kausalitas
yang menjadi pemicu produktivitas kerja, seperti: motivasi, sikap kerja, dan
kelelahan kerja non fisik. Berdasarkan analisis data hubungan antara faktor-faktor
II-22
tersebut dalam suatu model hubungan, sebagaimana temuan model pada gambar 1
dan 2, kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama model hubungan antara faktor motivasi, sikap, kelelahan non fisik
dengan produktivitas kerja merupakan fungsi dari: Produktivitas Kerja = F
(motivasi, sikap, kelelahan non fisik), sebagaimana terlihat pada Gambar 2.1.
Berdasarkan model pada Gambar 2.1 itu maka kelelahan non fisik (negatif) dan
motivasi sangat signifikan hubungannya dengan produktivitas kerja (alfa 5%).
Gambar 2.1. Model Hasil Analisis Jalur antara Motivasi, Sikap, dan
Kelelahan Non Fisik dengan Produktivitas Kerja
Keterangan:
A1 = Motivasi Kerja
A2 = Sikap Kerja
A3 = Kelelahan Kerja Non Fisik
A4 = Produktivitas Kerja
Dari model tersebut juga terlihat bahwa kelelahan non fisik maupun
produktivitas kerja. Hal ini sangat berbeda dengan faktor sikap yang tidak
signifikan hubungannya dengan produktivitas kerja. Akan tetapi jika hubungan
antara variabel sikap, motivasi dan kelelahan non fisik itu dilihat dari aspek
hubungan antara faset variabel, yakni faset motivasi (dalam hal ini motif untuk
berprestasi) dan faset sikap (dalam hal ini wawasan, kemantapan, dan
kecenderungan untuk bertindak), maka kelelahan non fisik dan produktivitas kerja
cenderung mengindikasikan adanya keserasian dalam hubungan antara faset
II-23
dalam varibel tersebut. Keserasian dan keselarasan hubungan tersebut terlihat juga
dari hasil analisis model hubungan antara faktor dalam fasetnya, yaitu Fungsi
Produktivitas Kerja = F (motivasi berprestasi, wawasan, kemantapan,
kecenderungan bertindak, dan kekelahan non fisik) yang telah terbukti
sebagaimana nampak pada model hubungan fungsi antara variabel dalam Gambar
2.2. di bawah ini:
Gambar 2.2. Model Hasil Analisis Jalur Antara Motivasi Berprestasi,
Wawasan, Kemantapan, Kecenderungan Bertindak,
danKelelahan Non Fisik dengan Produktivitas Kerja
Keterangan:
A3 = Kelelahan Kerja Non Fisik
A4 = Produktivitas Kerja
A11 = Motivasi Berprestasi
A21 = Wawasan
A22 = Kemantapan
A23 = Kecenderungan Bertindak
Dari analisis jalur tersebut, sebagaimana nampak dalam model hubungan
pada Gambar 2.2. terlihat bahwa motivasi berprestasi pengaruhnya paling
dominan, sebagaimana juga nampak dalam model hubungan pada Gambar 2.1.
jika dibandingkan dengan variabel lainnya yang baik secara langsung maupun
II-24
tidak langsung kurang berpengaruh terhadap produktivitas kerja. Hal ini disusul
oleh variabel kelelahan non fisik dan faset sikap dalam bekerja. Sementara itu
dalam hal faset motivasi untuk berprestasi sangat terlihat bahwa hubungan antara
faset cenderung melalui pakem yang secara teoritis, faset hubungan sikap tersebut
memang beralur pada konsep perubahan wawasan pada akhirnya membuahkan
perilaku produktif, dalam hal ini produktivitas kerja.
Hubungan yang signifikan antara motivasi, sikap dan kelelahan non fisik
dengan produktivitas kerja. Dalam hubungan ini, peran motivasi juga sedemikian
kuat, termasuk hubungan dalam fasetnya. Hal ini sangat berbeda dengan sikap
kerja yang tidak sedemikian kuat, walaupun hubungan antara variabelnya searah
dengan produktivitas kerja. Dalam konteks hubungan antara motivasi dengan
produktivitas kerja, apabila dikaitkan dengan faktor kelelahan non fisik, maka
hubungannya juga sangat kuat, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Faktor kelelahan non fisik ini terlihat dalam hubungannya dengan variabel
sikap kerja. Faktor kelelahan non fisik juga sangat berpengaruh terhadap semua
faset, tetapi hubungannya ternyata negatif, dalam artian bahwa semakin rendah
tingkat kelelahan non fisik maka variabel lainnya menjadi semakin meningkat.
Temuan tersebut kiranya selaras dengan pendapat para ahli bahwa peranan
kelelahan kerja ini berhubungan dengan produktivitas kerja secara signifikan
(Gilmer, 1966; Alluisi & Morgan, 1972; Cameron, 1973; Bart & Moore, 1986;
dan Sumamur, 1986). Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Lience (1994)
bahwa hubungan antara kelelahan dengan produktivitas kerja sangat erat, karena:
1. Kelelahan kerja ranah fisik dan non fisik sangat berhubungan dengan
produktivitas kerja
2. Produktivitas pada tenaga kerja yang murni mengalami kelelahan ranah non
fisik lebih besar pengaruhnya daripada produktivitas pada tenaga kerja yang
murni mengalami kelelahan ranah fisik
3. Pada subjek berusia < 25 tahun, yang mengalami kelelahan ranah non fisik,
terlihat hubungan bermakna dengan produktivitas kerja, sementara yang
mengalami kelelahan ranah fisik ternyata hubungannya kurang bermakna.
II-25
4. Sebaliknya, pada subjek berusia > 25, kelelahan ranah fisik berhubungan secara
bermakna dengan produktivitas kerja, sementara kelelahan ranah non fisik
tidak berhubungan secara bermakna dengan produktivitas kerja.
Kedua, Kompleksitas Motivasi Kerja, peranan motivasi demikian kuat,
baik dalam konteks variabel maupun dalam konteks fasetnya, apabila hal ini
dicermati dari aspek kinerja pengusaha kecil. Memang para pengusaha kecil di
Jawa Timur ini selalu membutuhkan energi, dorongan, dan bantuan yang sangat
besar dan kadang-kadang tidak permanen apabila mereka melakukan kegiatan
produksi guna memenuhi feeling kebutuhan hidup mereka setiap hari. Hal ini
sejalan dengan pendapat McDonald yang menyatakan bahwa:
a. Motivasi sebagai pemicu adanya perubahan energi, dan peruba han energy
akan membawa perubahan sinergi dalam sistem neurop sycological yang ada
pada organisme manusia dimana penampakannya terlihat pada perilaku; dan
b. Keberadaan motivasi ditandai oleh munculnya feeling dan afektif seseorang,
yang artinya bahwa motivasi erat hubungannya dengan masa lah kejiwaan;
dengan demikian juga maka afektif dan emosi itu menentukan tingkah-laku
seseorang (dalam Sardiman, 1996).
Motivasi kerja dalam kajian model hubungan kausal, sebagaimana nampak
dalam penelitian ini, jelas pengaruh langsungnya terhadap produktivitas kerja,
tanpa melibatkan sikap kerja. Hal ini sesuai dengan pendapat Newcom (1985)
yang menyatakan bahwa motivasi merupakan penyebab adanya tindakan tertentu;
atau dapat dikatakan bahwa motivasi merupakan kesiapan atau kecenderungan
untuk bertindak. Peranan motivasi yang dominan dan bermuara pada produktivitas
kerja itu terjadi apabila suatu tujuan ataukeinginan untuk mempertahan hidup
dapat dipenuhi dengan baik. Sebaliknya, apabila pekerjaan tersebut merupakan
hal yang secara rutin dilakukan, seperti pekerjaan setiap hari, maka tidak
diperlukan suatu wawasan, kemantapan dan kecenderungan bertindak secara
fluktuatif. Segala yang dikerjakannya, dengan demikian, merupakan rutinitas dan
kebiasaan belaka. Dengan perkataan lain, dorongan-dorongan berupa kebutuhan
merupakan energi penggerak yang akan memunculkan produktivitas kerja demi
mempertahankan kelangsungan dapur dan kebutuhan hidup lainnya.
II-26
Eksistensi motivasi jika dikaitkan dengan perilaku kerja, secara alami telah
menetap dalam diri manusia dan merupakan suatu energi yang bersifat kekal pada
diri manusia. Hal ini sejalan dengan pendapat Sardiman (1987) dan Richard &
Denny (1995) yang memerinci tentang eksistensi motivasi pada diri manusia itu
sebagai berikut:
1. Manusia pada dasarnya memiliki tenaga dalam yang dapat mengarahkan
hidupnya
2. Dalam diri manusia itu ada fungsi yang bersifat rasional dan bertanggung jawab
terhadap tingkah-laku intelektual dan sosial, mampu mengarahkan dirinya ke
tujuan yang positif, mampu mengatur dan mengontrol dirinya, serta mampu
menentukan nasibnya; dan manusia pada hakekatnya adalah dalam proses
menjadi dan akan berkembang terus.
3. Dinamika kehidupan selalu melibatkan manusia dalam rangka mewujudkan
dirinya sendiri, membantu orang lain, serta membuat dunianya lebih baik.
4. Potensi manusia adalah terbatas, lingkungan adalah penentu tingkahlaku
manusia, dan tingkah-laku tersebut merupakan kemampuan yang bisa
dipelajari.
5. Setiap manusia mempunyai penyulut motivasi, mereka mempunyai semacam
sumbu tetapi tidak tahu sampai titik manakah sumbu tersebut baru tersulut
sehingga melahirkan ledakan motivasi.
Hubungan antara motivasi prestatif dengan perilaku kerja sangatlah
signifikan. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Deci (1975) yang menyatakan
bahwa motivasi intrinsik menghasilkan tingkah-laku yang menyebabkan individu
itu mengalami perasaan kompeten. Tingkah-laku yang dihasilkan oleh motivasi
intrinsik ini akan memunculkan dua bentuk perilaku, yaitu:
a. Tingkah-laku yang ditujukan untuk meningkatkan stimuli
b. Tingkah-laku sebagai upaya untuk mengatasi situasi atau tantangan.
Pengaruh motivasi berprestasi pada industri kecil berbasis pertanian di
Jawa Timur ini juga cukup dominan yang ditandai oleh sikap dan wawasan.
Temuan ini selaras dengan asumsi dari para ahli yang menyatakan bahwa
kebutuhan berprestasi menekankan tendensi individu yang terlibat dalam suatu
II-27
penyelesaian aktivitas yang berhubungan dengan kekuatan akan harapan, kognitif
(wawasan).
i

Anda mungkin juga menyukai