Anda di halaman 1dari 14

REVIEW JURNAL ANALISIS BISNIS PENGUSAHAAN HUTAN

EVALUASI KINERJA EKONOMI HUTAN TANAMAN INDUSTRI PULP POLA KEMITRAAN

REVIEWER : MOHAMMAD ANDIKA LAWASI 11/324658/PKT/01037

PROGRAM PASCASARJANA ILMU KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA, 2011

A. LATAR BELAKANG Latar belakang kajian ini adalah adanya rencana pemerintah yang akan mengalokasikan 9 juta ha lahan bagi pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) pulp guna meningkatkan peran pembangunan sektor kehutanan di bidang ekonomi. Sementara kondisi situasional saat ini lebih memungkinkan Pola membangun HTI pulp dengan pola kemitraan bersama masyarakat.

kemitraan ini dirasakan perlu dilakukan mengingat dalam sejarah pengeolaan HTI banyak diwarnai konflik antara masyarakat dengan perusahaan hutan tanaman yang pada akhirnya sering berujung pada kerugian terhadap HTI pulp itu sendiri. Oleh karena itu, sebagai sebuah solusi atas berbagai konflik sosial tersebut, Pembangunan HTI pulp dengan pola kemitraan bersama masyarakat (yang lebih populer disebut social forestry) dirasakan sangat perlu untuk diterapkan agar keberlanjutan pengelolaan HTI pulp tetap berjalan. Solusi alternatif ini terbukti mampu memicu daya lenting keberlanjutan pembangunan HTI pulp di Indonesia. Namun disisi lain, keraguan terhadap kelayakan usaha membangun HTI pulp pola kemitraan tetap akan muncul. Bagaimana pun, fakta sejarah pembangunan HTI telah menyebutkan bahwa lahirnya pola ini lebih dikarenakan tekanan situasional mengatasi konflik, bukan karena alasan efisiensi seperti yang terjadi pada Pola Inti Rakyat (PIR) sektor perkebunan. Padahal, membangun HTI Pulp adalah sebuah investasi faktor-faktor produksi untuk tujuan maksimalisasi keuntungan, bukan sebagai sebuah Charity (aktivitas amal). Dalam tulisan ini penulis akan mencoba mengurai jawaban atas beberapa pertanyaan berikut : (1) Permasalahan apa sajakah yang muncul dalam pembangunan HTI Pulp di Indonesia? (2) apakah secara finansial praktik pengelolaan HTI pulp pola kemitraan layak dilakukan? (3) berdasarkan pengalaman praktik pengelolaan HTI bersama masyarakat, instrumen ekonomi apa sajakah yang diperlukan agar tidak terjadi kegagalan pasar dan kelembagaan jika pola ini ingin dikembangkan dikemudian hari.

B. METODOLOGI

1. Kajian ini memanfaatkan hasil penelitian tentang kelayakan finansial pengembangan HTI pulp bersama masyarakat pada PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan. Pemilihan kajian terhadap hasil penelitian pada unit

manajemen HTI PT. MHP didasarkan atas relatif baiknya kinerja ekonomi pengalokasian areal konsesi kawasan hutan oleh negara kepada perusahaan tersebut. Pengelolaan HTI Pulp pada PT. MHP dijadikan sebagai lokus untuk melihat permasalahan apa saja yang timbul dalam pengelolaan HTI Pulp di Indonesia. 2. untuk melihat bagaimana kelayakan ekonomi dari penggunaan pola kemitraan pada HTI Pulp jika dibandingkan dengan HTI murni (tanpa kemitraan), maka teori yang digunakan penulis untuk mengevaluasi kinerja ekonomi dari HTI pulp pola kemitraan adalah sebagai berikut : a. Menurut teori ekonomi, adanya skema kemitraan berupa pembagian keuntungan dari total keuntungan yang semestinya dinikmati oleh sebuah perusahaan HTI murni (tanpa kemitraan), akan menggeser kurva penawaran ke kiri, artinya perusahaan akan menyesuaikan jumlah produknya dengan biaya marjinal yang baru, agar keuntungannya tetap. Hal ini akan berimbas pada pengurangan jumlah produksi. b. Jika perusahaan HTI pulp kemitraan tetap mempertahankan jumlah produksi pada titik yang sama dengan keadaan HTI murni, karena terikat kontrak dengan industri pulp, maka perusahaan akan merugi.

Gambar 1. Pergeseran kurva penawaran skala usaha HTI murni menjadi HTI pola kemitraan

c. Indikator kelayakan usaha yang dipakai adalah: y NVP (Net Prasent Value), yaitu selisih antara pendapatan dan pengurangan yang telah di disconto.

IRR (Internal Rate of Return), yaitu suku bunga disconto yang menyebabkan NVP bernilai nol

BCR (Benefit Cost Ratio), yaitu hasil bagi disconto pendapatan dengan biaya

3. Untuk mendapatkan rekomendasi agar tidak terjadi kegagalan pasar dan kelembagaan jika pola ini ingin dikembangkan dikemudian hari, maka penulis perlu melakukan analisis terhadap instrumentasi ekonomi. C. PEMBAHASAN Dalam penelitian ini, sebagai bentuk evaluasi terhadap kinerja ekonomi HTI Pulp pola kemitraan, penulis ingin mengkaji permasalahan apa saja yang muncul dalam sejarah pembangunan HTI Pulp di indonesia dan bagaimana kelayakan usaha dari program HTI pulp yang menggunakan Pola Kemitraan. Ada dua aspek yang dianalisis oleh penulis, yang pertama adalah dari segi kinerja pembangunan Hutan Tanaman Industri untuk melihat dinamika dan permasalahan apa saja yang terjadi dalam pengelolaannya. Aspek kedua adalah kelayakan finansial pembangunan HTI pulp pola kemitraan untuk melihat sejauh mana program Kemitraan yang dilaksanakan efektif dalam menunjang keberlangsungan pembangunan HTI pulp.

1. Kinerja Pembangunan Hutan Tanaman Industri Dalam aspek ini, penulis melakukan analisis deskripsi sejarah pembangunan HTI pulp sebagai berikut: a. Pembangunan HTI di Indonesia ditujukan untuk memenuhi kebutuhan industri kehutanan, merehabilitasi lahan kritis dan tidak produktif, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sayangnya realisasi penanaman HTI hingga tahun 2006 hanya mencapai 2,16 juta ha saja dari target semula pada tahun 1985 seluas 6,2 juta ha. b. Lambatnya perkembangan gerakan penanaman hutan tanaman di indonesia ini lebih banyak disebabkan oleh masalah-masalah sosial seperti tumpang tindih lahan dan konflik atas sumber daya lahan dengan masyarakat lokal dibanding isu pengelolaan atau lingkungan. Darusman (2004) menjelaskan bahwa kurang berkembangnya HTI di Indonesia lebih disebabkan oleh faktor ekonomi usaha dan kelembagaannya, bukan oleh aspek silvikultur atau sumberdaya manusianya. c. Lemahnya perkembangan HTI juga sangat berkaitan dengan adanya efek substitusi dari hutan alam (HA). HTI dan HA sama-sama memproduksi kayu, tetapi para pemodal lebih tertarik pada HA sebab biaya operasionalnya yang lebih murah. d. Menurut Manurung (2002), tanpa adanya suntikan dana dari Dana Reboisasi (DR) untuk membangun HTI, dan sebagai akibat harga kayu bulat domestik yang murah, maka sesungguhnya tidak ada insentif ekonomi untuk membangun HTI. Namun fakta di lapangan, ternyata ada perusahaan HTI swasta murni yang besar, berhasil dalam membangun HTI Pulp meski tanpa adanya DR. hanya saja, beberapa hasil kajian menyebutkan bahwa

keberhasilan sebagian perusahaan HTI pulp tersebut tidak terlepas dari insentif ekonomi terselubung, yaitu diperolehnya keuntungan besar dari hasil kayu tebangan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) dari lahan konsesi yang dialokasikan pemerintah.\ e. Dalam perkembanngannya, untuk mengatasi permasalahan konflik sosial antara perusahaan HTI pulp dengan masyarakat, pada era tahun 2000-

an beberapa perusahaan mencoba mengembangkan pola kemitraan dengan masyarakat sebagai sistem pengelolaan dalam beberapa atau keseluruhan unit manajemennya. Contoh kasusnya : PT.Wira Karya Sakti (WKS) di Jambi mengembangkan Hutan Tanaman Pola Kemitraan (HTPK), PT. Finnantara Intiga di Kalimantan Barat mengembangkan program Community Development melalui kemitraan dengan 7500 rumah tangga, PT. Xylo Indah Pratama di Sumatera Selatan menanami lebih dari 5000 hektar lahan milik masyarakat dengan pulai (Alstonia spp) juga melaluiskema kemitraan dengan masyarakat. f. Pilihan terhadap pola kemitraan antara perusahaan dengan masyarakat merupakan alternatif logis empirik yang menjadi obat penawar lambannya kinerja pembangunan HTI di Indonesia dan terbukti memicu daya lenting keberlanjutan pembangunan HTI pulp di indonesia. g. Dari sisi ekonomi, pilihan pola kemitraan masih menyisakan persoalan. Menurut teori ekonomi, adanya skema kemitraan berupa pembagian keuntungan dari total keuntungan yang semestinya dinikmati oleh sebuah perusahaan HTI murni (tanpa kemitraan), akan menggeser kurva penawaran ke kiri, artinya perusahaan akan menyesuaikan jumlah produknya dengan biaya marjinal yang baru, agar keuntungannya tetap. Hal ini akan berimbas pada pengurangan jumlah produksi (gambar 1).

2. Kelayakan Finansial Pembangunan HTI Pola Kemitraan Dalam aspek ini, penulis melakukan analisis terhadap kelayakan finansial HTI pulp pola kemitraan dengan mengkaji hasil penelitan yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya terhadap perusahaan HTI Pulp PT Musi Hutan Persada. Tabel 1 berikut merupakan komponen pendapatan dan biaya, baik dari sisi perusahaan maupun masyarakat dalam skema pembangunan hutan tanaman Acacia mangium : Tabel 1. Biaya dan Pendapatan perusahaan-masyarakat pada program MHBM di Unit VI-Guci PT. MHP Jenis dan Biaya Pendapatan Biaya 1. Persiapan lahan 2. Penanaman dan pemupukan 3. Pemeliharaan I (tahun ke-1) 4. Pemeliharaan II (tahun ke-2) 5. Pemeliharaan III (tahun ke-3) 6. Pemanenan 7. PSDH 8. Perlindungan hutan (1 daur) 9. Administrasi dan umum 10. Investasi sarana prasarana 11. Beban bunga 12. Jasa produksi (MHBM) Pendapatan 1. Penjualan kayu 2. Jasa kerja (tahun ke-1) 3. Jasa kerja (tahun ke-2) 4. Jasa kerja (tahun ke-3) 5. Jasa produksi (akhir daur) Perusahaan (Rp/Ha) 700.000 690.000 505.000 505.000 255.000 7.633.520 948.051 3.500.000 2.757.704 2.068.278 344.713 500.000 46.800.000 Masyarakat (Rp/Ha) -

1.130.000 150.000 150.000 500.000

Sumber : diolah dari hasil penelitian Martin dan Fitriyanti (2006)

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa pendapatan kotor perusahaan dari 1ha Acacia magium sebesar Rp. 46.800.000,-. Martin dan Fitriyanti (2006)

memperoleh besaran tersebut dengan asumsi bahwa perkiraan produksi tinggi yaitu sebesar 200 m3/ha, harga jual kayu US$ 26/m3, US$ 1 senilai Rp. 9.000,-. Dengan estimasi tinggi tersebut, perusahaan akan mendapatkan pendapatan bersih sebesar Rp. 26.935.823/ha, kemudian dikurangi lagi dengan pembayaran jasa

produksi (konsekwensi pola kemitraan) sebesar Rp. 500.000/ha sehingga pendapatan total bersih sebanyak Rp. 26.435.823/ha.

Tabel 2.

Analisis Kelayakan Program MHBM (bagi perusahaan) (feasibility analysis MHBM program) Analisis kelayakan program NPV 14% 854.019,3 18% -1.070.031 14% 1,078679 BCR 18% 0,88747 IRR % 15,55

Jangka waktu (tahun) 8

Sumber : Martin dan Fitriyanti (2006) Tabel 2 merupakan analisis kelayakan terhadap program MHBM dengan menggunakan komponen biaya dan pendapatan pada tabel 1. Analisis kelayakan menggunakan indikator NPV, BCR, dan IRR dengan discount factor 14% dan 18% berdasarka suku bunga untuk investasi jangka panjang (Bank Indonesia, 2003). Analisis didasarkan pada pendapatan dan biaya selama pelaksanaan program, dan ditinjau dari sisi perusahaan. NPV perusahaan bernilai positif pada suku bunga 14% dan bernilai negatif pada suku bunga 18%, hal ini menunjukkan bahwa pada suku bunga 14% perusahaan memperoleh keuntungan bersih selama pelaksanaan program namun tidak pada suku bunga 18%. Nilai BCR yang diperoleh lebih besar dari satu pada suku bunga 14% dan untuk suku bunga 18% BCRnya lebih kecil dari satu, hal ini menunjukkan bahwa total penerimaan lebih kecil dari pada total biaya untuk suku bunga 18% dan untuk suku bunga 14% total penerimaannya lebih besar dari total biaya. Nilai IRR yang diperoleh sebesar 15,55% menunjukkan tingkat

pengembalian investasi yang tinggi pada suku bunga 14% sampai dengan 15,55%. Suatu proyek dinyatakan layak jika NPV > 0, BCR > 1, dan IRR > suku bunga yang berlaku. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan maka dapat

dikatakan bahwa program MHBM layak bagi perusahaan jika suku bunga yang berlaku kurang dari 15,55%.

Penulis juga menilai bahwa catatan penting dari hasil analisis finansial program MHBM yang dilakukan oleh Martin dan Fitriyanti (2006) ini adalah bahwa struktur biaya dan pendapatan yang digunakan terjadi pada saat daur kedua. Jika dilakukan pada daur pertama, maka biaya akan bertambah karena ada biaya awal dan biaya transaksi. Selain itu, penulis juga menilai bahwa analisis finansial tersebut tidak memasukkan biaya sosial yang biasanya pasti dikeluarkan perusahaan karena merupakan obligasi. Apabila semua biaya-biaya tersebut

dimasukkan, maka bisa jadi nilai IRR akan dibawah suku bunga berlaku. Pada kondisi seperti inilah usaha hutan tanaman sering disebut banyak pihak tidak bankable, meskipun banyak kemanfaatan sosialnya. Penulis juga menilai, bahwa ternyata nilai pembagian keuntungan yang menjadi perolehan masyarakat hanya sebesar 1,85% dari total keuntungan usaha. Masyarakat tidak puas dengan kecilnya proporsi jasa produksi sebesar Rp. 2.500/m3, dan hasil negosiasi masyarakat dengan perusahaan melalui CIFOR mengarah ke peningkatan jasa produksi menjadi sekitar Rp. 15.000/m3. pengurangan pendapatan dari sisi perusahaan (gambar 1). 3. Rekomendasi Penulis Berdasarkan pelajaran dari gambaran kelayakan finansial usaha membangun HTI Pulp pola kemitraan yang telah disampakan sebelumnya, maka logika ekonomi sederhana yang dapat dilakukan untuk menaikkan tingkat kelayakan usaha adalah dengan mengurangi tingkat biaya dan memperbesar pendapatan. Menurut penulis, hal yang perlu dilakukan untuk mengurangi tingkat biaya dapat dilakukan melalui instrumen ekonomi, sementara memperbesar pendapatan bisa didorong oleh instrumen kebijakan. Instrumen ekonomi meliputi pelibatan hasil penelitian dan pengembangan (litbang) dan pengaturan tarif. Sementara instrumen kebijakan meliputi disintegrasi HTI dan industri. Penulis menjelaskan bahwa pelibatan hasil litbang sangat diperlukan, sebab hasil litbang dapat mempengaruhi pembentukan harga dan jumlah output. Itu

artinya, peningkatan pembagian keuntungan bagi masyarakat merupakan

Melalui inovasi manajemen dan teknologi tertentu, maka biaya-biaya operasional dan overhead dapat ditekan. Selain itu, Litbang bertujuan menciptakan efisiensi faktor-faktor produksi sehingga mempunyai kemampuan untuk menggeser kembali kurve penawaran ke kanan (kasus gambar 2). Instrumen ekonomi lainnya yang memungkinkan berperan dalam penurunan tingkat biaya investasi pembangunan HTI Pulp pola kemitraan adalah melalui pengurangan besaran Provisi sumber daya hutan. Besaran PSDH HTI murni seharusnya berbeda dengan HTI pola kemitraan, karena HTI murni lebih berorientasi pada keuntungan semata, sementara HTI pola kemitraan mempunyai peran dalam pemgurangan kemiskinan dan penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal. Instrumen kebijakan yang perlu dilakukan untuk memperbesar pendapatan adalah dengan memisahkan antara HTI dengan industri. Menurut penulis

rendahnya harga jual kayu hasil hutan tanaman disebabkan oleh praktek monopsoni, dimana semua industri pulp yang ada di Indonesia berada dalam satu payung yang sama dengan hutan tanaman, sehingga menyebabkan terjadinya kesalahan pembentukan harga. Menurut penulis, industri merupakan captive market yang dibutuhkan oleh HTI untuk kepastian pasar. Penciptaan lebih banyak industri sejenis pada suatu kawasan tertentu akan mendorong terjadinya pasar bebas yang mampu mengoreksi harga . jika harga produk hutan tanaman tinggi, maka pembangunan HTI akan berjalan sendiri sesuai dengan mekanisme pasar bebas . pemerintah tidak perlu repot memfasilitasi pembangunan HTI seperti sekarang, tetapi hanya berperan dalam mengawasi dan mengatur mekanisme pasar yang sehat.

D. CRITICAL REVIEW 1. Positif : a. Kajian yang dilakukan penulis sangat menarik dimana penulis mencoba mengetengahkan persoalan yang terjadi dalam sejarah pembangunan HTI pulp di Indonesia untuk dijadikan pelajaran bagi pengembangan HTI Pulp pada masa mendatang serta sebagai rekomendasi kepada pemerintah agar tidak terjadi kegagalan kebijakan dalam pembangunan HTI Pulp. b. Penulis mampu menguraikan kelemahan-kelemahan dalam pengelolaan HTI pola kemitraan dengan menggunakan teori ekonomi, bahwa HTI Pulp pola kemitraan yang secara ekonomi layak untuk diusahakan ternyata masih memiliki sejumlah keraguan dan persoalan, Menurut teori ekonomi, adanya skema kemitraan berupa pembagian keuntungan dari total keuntungan yang semestinya dinikmati oleh sebuah perusahaan HTI murni (tanpa kemitraan), akan menggeser kurva penawaran ke kiri, artinya perusahaan akan menyesuaikan jumlah produknya dengan biaya marjinal yang baru, agar keuntungannya tetap. Hal ini akan berimbas pada pengurangan jumlah produksi. Jika perusahaan HTI pulp kemitraan tetap mempertahankan jumlah produksi pada titik yang sama dengan keadaan HTI murni, karena terikat kontrak dengan industri pulp, maka perusahaan akan merugi. c. Penulis mampu memberi solusi dasar agar tingkat biaya dapat diturunkan dan pendapatan dapat dimaksimalkan dalam usaha HTI pola kemitraan dengan menggunakan instrumen ekonomi berupa pelibatan peran litbang dan kebijakan tarif, serta dengan instrumen kebijakan berupa disintegrasi HTI dengan industri. 2. Negatif : a. Penulis hanya mengevaluasi sebagian aspek dari persoalan pembangunan HTI pulp pola kemitraan ini. Pada point pertama huruf b, penulis sudah menjelaskan masih ada keraguan dalam pola kemitraan ini, dimana terdapat pembagian keuntungan (profit share) yang dilakukan

perusahaan kepada masyarakat sebagai balas jasa produksi, dianggap

sebagai biaya marjinal baru, sehingga perusahan harus menyesuaikan jumlah produknya (mengurangi jumlah produksi kayu) dengan biaya marjinal tersebut agar keuntungannya tetap. Namun penulis belum mengevaluasi bagaimana imbas pengurangan jumlah produksi kayu pada HTI pulp tersebut terhadap hutan Alam. b. Lanjutan dari critical review point 2 huruf a diatas, bahwa konsekwensi logis terhadap pengurangan jumlah produksi kayu akan berpengaruh terhadap kurangnya suplai bahan baku terhadap industri pulp yang tiap tahun membutuhkan pulp sekitar 30 juta ton m3 setiap tahunnya. Ketidakmampuan HTI Pulp dalam memasok kebutuhan

bahan baku industri pulp merupakan ancaman serius terhadap kelestarian hutan alam, karena bukan tidak mungkin kekurangan tersebut akan dipenuhi dari hutan Alam. Aspek inilah yang tidak

dilihat oleh penulis untuk dievaluasi sebagai faktor eksternal yang turut serta dalam siklus industri pulp. c. Peneliti hanya melakukan kajian terhadap satu lokus tempat, yaitu kasus yang terjadi pada PT. Musi Hutan Persada. Jadi, semua

peristiwa yang terjadi dalam pengelolaan HTI Pulp pola kemitraan pada PT.MHP, mulai dari dinamika pendapatan dan biayanya, termasuk konflik sosial dengan masyarakat sehingga pola kemitraan diterapkan, dijadikan sebagai contoh kasus dalam pengelolaan HTI Pulp Pola kemitraan ini. Sehingga kesimpulan yang dikonstruksikan sangat mentah dan cenderung menggeneralisasi bahwa semua kasus yang terjadi dalam semua perusahaan HTI Pulp pola kemitraan adalah sama. Padahal begitu banyak contoh kasus dengan berbagai lokus tempat yang berbeda yang bisa dijadikan studi kasus, seperti PT PSPI di kecamatan Kampar Kiri Riau, PT Xylo Indah Pratama di sumatera selatan, PT Wira Karya Sakti di Jambi, dan PT Finantara Intiga di Kalimantan Barat. d. Penulis tidak mengkaji seberapa jauh (lama/umur) HTI Pulp pola kemitraan ini bertahan atau menguntungkan baik perusahaan maupun

masyarakat, padahal inti dari evaluasi ekonomi sangat terkait dengan unsur waktu, suku bunga pasar dan tingkat inflasi. HTI Pulp pola kemitraan bukan hanya sekedar program coba-coba atau

eksperimentasi pengusaha untuk menjembatani antara masyarakat dengan pengusaha yang hanya dilakukan dalam waktu yang singkat tetapi nanti akan terus berkelanjutan. Pada studi kasus di PT. MHP misalnya, program kemitraan dikatakan layak jika suku bunga yang berlaku kurang dari 15,55% (pada perhitungan umur daur ke 8 tahun) . Pertanyaan yang kemudian muncul adalah sampai pada umur proyek ke berapa HTI Pulp Pola Kemitraan ini dapat memberi keuntungan?? Pertanyaan ini menjadi logis karena keuntungan sangat tergantung dengan umur tebang optimum dan suku bunga riil yang selalu berubahubah. Jika suatu saat suku bunga melonjak tajam, maka perusahan tidak memperoleh keuntungan. Pada Hal inilah yang belum dikaji oleh penulis.

EVALUASI KINERJA EKONOMI HUTAN TANAMAN INDUSTRI PULP POLA KEMITRAAN

Anda mungkin juga menyukai