Anda di halaman 1dari 2

Ibarat mejadi sebuah pedagang Mungkinkah terlintas dalam pikir Kita rugi karena apa yang kita jual,

lebih dari takar

Kemudian kita berteori, bukan pedagang professional Pabila kita melakukannya dan keluarlah serentet rumus dan akhirnya kita terhitung merugi. Lalu muncullah dasar berpikir lain , dengan memberi lebih dari apa yang diwajibkan ke kita maka orang lain akan kembali karena senang bertransaksi dengan kita. Ditengah atau diakhir dialektika, bagaimanapun kita yakin barang siapa bersyukur maka Allah akan menambahinya. Namun, Inilah piciknya pikiran kita, semuanya dikembalikan kemateri semata.. Memberi (materi) lebih bukan berarti kita berharap (materi) lebih.. Atau jika kita tidak mendapatkan(materi) lebih kita dianggap tidak pernah memberi (materi) lebih.. Terus bagaimana Ustman RA, dari seorang saudagar kaya yang senantiasa menghibahkan hartanya. Atau sahabat lainnya bahkan Rasulullah..di masa akhir hayatnya. Memberi lebih (bukan sekedar materi) berarti kita berharap (materi) lebih ..

Dalam sebuah cerita , Suatu ketika ada seseorang yang dianggap sukses dalam memjalankan amanah, ditawari sebuah jabatan dan apa yang terpikir dalam pikirannya, Bukankah seorang dinilai berdasar tanggungjawabnya, seberapa besar ia memenuhi amanahnya atau berbuat lebih darinya. Dan Ia khawatir tak bisa berbuat lebih dari kewajibannya. Memberi lebih bukan berarti kita berharap lebih ..(baca sekedar materi)

Namun Ia kembali berpikir..apakah aq dulu pernah berbuat lebih? Lalu bagaimana dengan Allah yang telah mengaruniakan atas segala nitmat dalam dadamu dari kekufuran, dalam pikirmu dari kesesatan. Bukankah itu lebih dari segala-galanya. Kita tak pernah bisa memberi lebih (baca bukan hanya materi) Tapi kita bisa memberkan segalanya lebih atau tidak..Alah yang mengetahuinya

27 September 2011

Anda mungkin juga menyukai