Bahasa Ch2
Bahasa Ch2
2. Islam, Negara dan Politik dalam Perspektif Historis Tujuan utama bab ini adalah untuk menunjukkan bahwa sekularisme yang didefinisikan sebagai pemisahan kelembagaan antara Islam dan negara dengan tetap menjaga keterkaitannya dengan politik lebih konsisten dengan sejarah masyarakat Islam daripada dengan ide post-kolonial mengenai Negara Islam yang bisa menerapkan syariah melalui kekuasaan Negara yang memaksa. Pemisahan antara otoritas keagamaan dengan otoritas Negara merupakan perisai pengaman yang penting bagi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan peran politik Islam. Dengan membuktikan bahwa sekularisme semacam ini merupakan hal yang islami, saya berharap bisa membantu menghilangkan anggapan ummat Islam bahwa konsep ini merupakan pemaksaan ala Barat yang akan menyisihkan agama ke ruang privat. Sebagaimana akan saya jelaskan dalam bab 4, sebetulnya tidak ada satu model sekularisme Barat yang tunggal, karena setiap masyarakat Barat menegosiasikan hubungan antara agama dan Negara dan antara agama dan politik sesuai dengan konteks sejarah mereka. Keliru juga memahami bahwa di Negara Eropa dan Amerika Utara yang dianggap sekuler, agama telah dipinggirkan ke ruang privat. Dengan memahai bab 2 dan 4, jelaslah bahwa hubungan antara Negara dan agama dalam masyarakat Islam tidak jauh berbeda dengan masyarakat Barat. Mengutip Ira Lapidus, ada pembedaan yang jelas antara institusi Negara dan agama dalam masyarakat Islam. Bukti sejarah memperlihatkan bahwa tidak ada satu model institusi agama dan Negara yang baku dalam masyarakat Islam; yang ada adalah sejumlah model yang saling bersaing. Bahkan, dalam setiap model terdapat ketidakjelasan mengenai bagaimana distribusi otoritas, fungsi dan hubungan antara institusi-institusi tersebut.1 Penekanan saya terhadap perbedaan institusi agama dan Negara dalam sejarah masyarakat Islam bukan berarti bahwa pengalaman masa lalu masyarakat Islam tersebut harus menjadi model bagi masyarakat Islam saat ini dan di masa depan. Ide seperti ini tidak mungkin dilaksanakan dan juga
Ira M. Lapidus, State and Religion in Islamic Socieites, Past and Present, No. 151 (May, 1996), p. 4.
1
masyarakat Islam saat ini. Satu hal yang harus saya klarifikasi dari penjelasan ini adalah bahwa sejarah yang saya kemukakan di sini adalah sejarah ummat Islam yang menjadi mayoritas di sebuah daerah. Namun bukan berarti status mayoritas ini membuat mereka dianggap Islami atau ideal menurut sumber-sumber dasar Islam. Ummat Islam dulu maupun sekarang biasa berpendapat bahwa kegagalan ummat Islam saat ini bukanlah karena Islam itu sendiri, melainkan karena mereka tidak bisa menjalankan islam yang ideal. Saya tidak menganggap argumen ini relevan dengan apa yang akan saya ungkapkan di
mendeskripsikan islam yang ideal kepada orang lain selalu terhambat oleh keterbatasan-keterbatasan dan kemungkinan manusia untuk berbuat salah. Memang tingkat pemahaman dan pengalaman seseorang terhadap makna alQuran itu berbeda-beda, tapi tidak ada seorang manusia pun yang bisa sepenuhnya mentransendensikan kemanusiaannya, terutama kepada manusia lain. Jika kemampuan manusia yang terbatas untuk memahami dan mengkomunikasikan sesuatu itu selalu menjadi dasar bagi usaha untuk mengembangkan hubungan sosial dan politik sesuai dengan ajaran Islam, saya jadi mempertanyakan apa sebenarnya yang dimaksud dengan Islami dalam konteks ini? saya tidak bermaksud menolak adanya keragaman individual dalam memahami dan mengamalkan nilai-nilai Islam, namun pemahaman dan pengamalan ini tidak bisa dijadikan dasar organisasi sosial dan politik masyarakat, kecuali jika ada pemahaman yang sama dan bisa dipatuhi oleh semua pihak. Dengan kata lain, makna kolektif dan praktis istilah Islami itulah yang harus terus dianalisis dan direfleksikan sepanjang sejarah pengalaman ummat Islam dulu, kini dan nanti. Dalam bingkai perspektif inilah saya menjadikan bab ini sebagai sebuah usaha untuk menunjukkan kontradiksi yang terdapat dalam gagasan
menyesali kurangnya perhatian terhadap pengalaman beberapa saya akan mengklarifikasi tema utama bab ini yaitu memahami pengalaman hubungan Islam dengan negara dan politik dalam sejarah pengalaman masyarakat Islam. Hubungan antara Islam, negara dan politik sepanjang sejarah masyarakat Islam jelas merefleksikan ketegangan permanen antara visi ideal penyatuan Islam dan negara dengan kebutuhan pemimpin agama untuk melanggengkan otonominya dari institusi negara. Pemimpin agama membutuhkan otonomi dari negara untuk mempertahankan otoritas moralnya pada negara dan masyarakat secara keseluruhan. Kerangka dasar yang digunakan untuk memediasi ketegangan itu adalah adanya harapan ummat Islam kepada negara untuk memegang teguh prinsip-prinsip Islam dalam menjalankan kewajibannya sekaligus menjaga wataknya yang sekular dan politis. Harapan yang pertama berdasarkan pada keyakinan ummat Islam bahwa Islam menyediakan model yang komprehensif untuk kehidupan individu dan publik dalam ruang publik maupun ruang privat. Namun, negara pada dasarnya memang merupakan institusi yang sekular dan politis karena kekuasaan dan institusinya menuntut bentuk dan tingkat kontinuitas dan prediktabilitas yang tidak bisa disediakan oleh otoritas keagamaan. Memang pemimpin agama bisa dan memang harus menekankan cita keadilan dan kesetiaan terhadap syariah dalam teori. Tapi, mereka tidak mempunyai kekuasaan maupun kewajiban untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan praktis seperti bagaimana mempertahankan perdamaian antar komunitas lokal, mengatur relasi ekonomi dan sosial atau mempertahankan negara dari ancaman luar. Fungsi pragmatis itulah yang menuntut negara untuk memiliki kontrol yang efektif terhadap wilayah dan penduduknya, serta memiliki kemampuan untuk menggunakan kekuataan pemaksa agar penduduknya tunduk dan patuh pada kekuasaanya. Fungsi seperti ini nampaknya lebih mungkin dipenuhi oleh pemimpin politik daripada pemimpin agama. Namun demikian, bukan berarti pemimpin agama tidak bisa memiliki otoritas politis atas pengikutnya. Saya hanya menyarankan untuk membedakan
menggunakan kebebasan itu untuk melemahkan otoritas politik negara. Pemimpin agama, memang, harus bersikap kritis kepada negara karena dengan cara demikian, mereka bisa mempertahankan otoritas keagamaan mereka di tengah-tengah komunitas dan juga mendorong negara untuk mengontrol mereka. Dengan demikian, semakin besar otonomi pemimpin agama, semakin besar pulalah tantangan mereka bagi otoritas politik negara. Tetapi, jika mereka dianggap dikontrol oleh negara, semakin kecil pulalah kemungkinan masyarakat menerima penilaian mereka bahwa negara sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan kata lain, sejarah memperlihatkan
Seperti yang sudah saya ungkapkan, karena model Nabi di Madinah terlalu unik untuk direplikasi, saya akan memfokuskan pembahasan ini dengan mengklarifikasi signifikansi masa Khulafaurrasyidin (abu Bakar, Ustman, Umar dan Ali) pada tahun 632-661, dan periode Umayah (661-750).2 Saya akan mempertimbangkan sejarah masa awal ini dalam hubungannya dengan dua model penyatuan dan negosiasi hubungan antara Islam dan negara maupun antara Islam dan politik. Dalam bagian kedua saya akan menguji secara singkat beberapa peristiwa dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh peristiwa mihnah yang dimulai pada masa Khalifah al-Ma'mun di tahun 833 dan dilanjutkan oleh penguasa setelahnya dalam hubungannya dengan pertanyaan yang kita bahas dalam bab ini. Karena peristiwa-peristiwa itu menekankan pentingnya membedakan Islam dan negara, bagian ketiga akan menyoroti pentingnya wakaf sebagai kekuataan kelembagaan dan keuangan institusi keagamaan dan otonomi ulama dalam menegosiasikan hubungan Islam dengan negara dan politik. Sebagaimana muslim yang lain, sulit bagi saya untuk menawarkan refleksi analitis terhadap fase awal sejarah Islam tersebut karena tingginya penghormatan yang diberikan kepada para sahabat yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa itu. Bagaimana saya bisa melakukan penilaian salah atau benar kepada Abu Bakar, seorang sahabat
Untuk review terhadap sejarah masa awal yang otoritatif dan mengutip sumber-sumber Arab lihat Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, vol. 1, The Classical Age of Islam, Chicago: University of Chicago Press 1974, pp. 187-230; Wilfred Madelung, The Succession of Muhammad: A Study of the early Caliphate, Cambridge: Cambridge University Press, 1997; and Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, 2nd edition, Cambridge: Cambridge University Press 2002.
2
3 4
Madelung, The Succession to Muhammad, 46- 47. Madelung, The Succession to Muhammad, 48, note 55.
Fred M. Donner, The Early Islamic Conquests, Princeton: Princeton University Press, 1981, 86-87 6 Madelung, The Succession to Muhammad, 47. 7 M. J. Kister, illa bi-haqqihi Jerusalem Studies in Arabic and Islam, no. 8, pp. 6196, 1986, p. 35, n. 8 mengutip al-Shafii wa-qalu li-abi bakrin bada l-isari: ma kafarna bada imanina wa-lakin shahana ala amwalina 8 Untuk beberapa versi kisah ini, lihat EI (Encyclopedia of Islam): Malik b. Nuwayra and Khalid b. Walid.
5
Para sahabat terkemuka mengecam perbuatan Khalid. Bahkan Umar menuntut khalifah karena memecatnya Khalid dan Ali menetapkan melakukan hukuman zina had terhadapnya dianggap telah (dengan
mengambil paksa istri Malik),9 Namun Abu bakar sebagai Khalifah tidak mengabulkan kedua permintaan itu.10 Tuntutan-tuntutan itu akan nampak tidak masuk akal jika kita memahami keputusan Abu Bakar sebagai bagian dari otoritas keagamaan yang dimilikinya dari Nabi karena para Sahabat terkemuka, memahami tentu, bahwa tidak akan berselisih Abu Bakar dengannya, itu bersifat karena mereka dan keputusan mengikat
merupakan bagian dari ajaran Islam. Tetapi sebaliknya, walaupun para sahabat tidak sepakat dengan Abu Bakar, mereka tidak berbuat sekehendak hatinya untuk mewujudkan apa yang mereka anggap benar, mungkin karena mereka menghormati otoritas politik Abu Bakar sebagai khalifah. Ulamaulama zaman berikutnya seperti al-Syafi'i, al-Khttabi, Ahmad bin Handal dan Ibnu Rajab menyikapi situasi itu secara berbeda-beda, baik dengan memberikan analisis tekstual terhadap hadits maupun sekedar berapologi.11 Barulah kemudian pada masa-masa berikutnya Ibnu Arabi menjustifikasi keputusan Abu Bakar dengan memberikan alasan umum bahwa Abu Bakar memang harus melakukan hal tersebut. Karena jika tidak, suku-suku pemberontak itu akan mendapatkan kekuasaan dan terus memberontak. Penjelasan terakhir inilah yang kemudian menjadi pemahaman terhadap sejarah Islam yang paling populer di kalangan sunni. Karena saya tidak bermaksud untuk menilai salah atau benarnya fakta sejarah tersebut, saya ingin kursif kita melihat ketidakjelasan dan resiko penggunaan kekuasaan negara untuk mengimplementasikan
Madelung, Succession to Muhammad, 50, Catatan Kaki 60, mengatakan bahwa penyebutan Malik b. Nuwayra sebagai pengikut nabi palsu dari Najd, Sajah, adalah rekayasa. Ia juga mencatat bahwa Umar pasti tindakan menyatakan keberatan atas perilaku Khalid, jika ia menganggap Malik sudah murtad. 10 Syed H.M. Jafri, The Origins and Early Development of Shia Islam, Oxford: University Press, 2000, 58-79. 11 Kister, illa bi-haqqihi, 36-37.
9
ketidaksepahamannya dengan sahabat lain. Dengan kata lain, jika saja Umar atau Ali yang menjadi khalifah tentu hasilnya akan sangat berbeda. Kesimpulannya bagi kita adalah membedakan antara pandangan keagamaan Abu Bakar dengan keputusan dan tindakan politiknya sebagai khalifah mungkin bisa membnatu. Pembedaan ini pub bisa berguna dalam memahami beberapa sahabat besar yang tidak setuju dengan Abu Bakar karena mereka juga bisa memiliki alasan keagamaan dan politis. Pembedaan ini perlu dipertahankan tanpa melihat motivasi keagamaan Abu Bakar atau sahabat lain, karena tindakan seseorang tidak bisa ditentukan oleh motivasinya. Pembedaan seperti itu mungkin masih sulit diterapkan oleh ummat Islam untuk membaca sejarah periode Madinah karena, pada saat itu, sifat otoritas politiknya yang masih personal dan negara masih belum dianggap sebagai sebuah institusi politik. Kesulitan itu juga bisa karena berbagai faktor termasuk masih barunya contoh yang ditinggalkan Nabi, keterbatasan pendirian negara di daerah Arab pada saat itu dan cara keempat khalifah itu terpilih dan menjalankan kekuasaannya. Intinya, apapun pandangan terhadap peristiwa-peristiwa itu, ketidakjelasan seperti itu tidak bisa bisa dijustifikasi maupun diterima dalam konteks negara post kolonial model Eropa saat ini. Ketidakjelasan otoritas politik dan agama seorang khalifah memang sudah tidak bisa lagi dipertahankan setelah pembunuhan Ali dan permulaan berdirinya negara Umayah. Walaupun Umayah berbentuk monarki, namun ia masih berusaha untuk mempertahankan kesan bahwa otoritas khalifah merupakan perpanjangan dari otoritas Nabi. Gelar-gelar yang dipakai oleh khalifah-khalifah dinasti Umayyah seperti khalifat allah, amin allah, na'ib allah menunjukkan besar dan agungnya otoritas keagamaan yang dimiliki khalifah. Gelar-gelar tanda otoritas ini selalu diumumkan menjelang pelaksanaan khutbah jum'at di semua wilayah yang mereka kuasai. Namun, legitimasi keagamaan terhadap Muawiyah, pendiri dinasti ini, tidak hanya diperlemah oleh konfrontasinya dengan Ali yang berakhir dengan terbunuhnya keponakan Nabi itu, namun juga oleh upaya-upaya lunak dan
sesudahnya adalah karena mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan mendapatkan legitimasi keagamaan dengan berusaha mereflikasi model pemerintahan Nabi atau pemerintahan Khulafa al-Rasyidun di Madinah. Ironisnya, masalah ini diperparah oleh keinginan penguasa untuk mengkonsolidasikan kekuatannya terhadap masyarakat, yang justru malah melemahkan legitimasi keagamaan yang mereka miliki. Revolusi Abbasiyah sukses menentang dinasti Umayah karena mereka menyatakan bahwa dinasti itu tidak memiliki legitimasi keagamaan dan mereka mengklaim bisa mendirikan sistem yang ideal bagi ummat Islam. Namun, jelas kemudian bahwa kekhalifahan sudah terlembagakan menjadi dinasti kerajaan yang penguasanya dipilih berdasarkan garis keturunan, yang tidak lebih merupakan adaptasi dari model monarkinya dinasti Sasanid dan Byzantium.13
P. Crone and M. Hinds, Gods Caliph: Religious Authority in the First Centuries of Islam, London: Cambridge University Press, 1986. 12. 13 Lapidus, A History of Islamic Societies, 58-66.
12
Kerajaan-kerajaan Arab yang bermunculan, keberadaannya relatif tidak terlalu pelik, karena aparatur negara dan penerusnya biasanya mengadopsi struktur dinasti Sasanid dan Byzantium dan sering terus mempekerjakan pejabat yang sama dengan rezim yang sebelumnya. Untuk mempertahankan legitimasi keagamaannya, khalifah-khalifah dinasti Abbasiyah, terutama yang berkuasa pada periode-periode awal, sering memposisikan diri mereka sebagai kurator ilmu-ilmu agama dan menjadi partisipan dalam upaya interpretasinya.14 ekspektasi itu Ironisnya, dengan mereka membuat atau memunculkan mereka pada mendasarkan klaim kekuasaan
hubungan kekerabatannya dengan Nabi, sehingga mereka dianggap layak untuk mempraktikkan kembali modelnya. Khalifah-khalifah periode awal dinasti Abbasiyah berusaha untuk mempertahankan kesatuan kepemimpinan agama dan politik dengan menunjuk hakim (qadi), menguasai lembaga dan ilmu agama, sekaligus memerankan diri sebagai pertahanan militer kerajaan Islam. Namun usaha-usaha untuk menegakkan model penyatuan antara otoritas politik dan negara menjadi tidak berguna, karena adanya beberapa peristiwa tragis yang kemudian dikenal sebagai mihnah. Implikasi Mihnah terhadap Otoritas dan Institusi Politik dan Agama Ketidaksesuaian antara cita ideal Islam untuk menyatukan kepemimpinan agama dan politik dengan realitas empiris sejarah ummat Islam mulai jelas, bahkan sebelum pemberontakan Khawarij dan Syi'ah. Masalah-masalah politik yang dihadapi oleh Khulafaurrasyidun di Madinah merupakan bukti yang jelas bahwa struktur ideal yang diperintahkan oleh Nabi tidak cocok untuk direplikasi. "Secara implisit, keberadaan para pemberontak merupakan tanda kemunculan kelompok ummat Islam yang memisahkan diri dari otoritas dan kepemimpinan khalifah."15 Tumbuhnya sejumlah sekte seperti Qadiriyah, Murjiah, dan lainnya menentang mitos tentang kesatuan Islam. Apalagi, jika mempertimbangkan kemunculan peristiwa drastis yang lebih
Muhammad Qasim Zaman, Religion and Politics under the Early Abbasids: The Emergence of the Proto-Sunni Elite, Leiden: Brill, 1997, 129-166. 15 Ira Lapidus, The Separation of State and Religion in the Development of Early Islamic Society, International Journal of Middle East Studies, vol. 6, 1975, 366.
14
realitasnya pada masa Abbasiyah. Ia merupakan sebuah pencampuran hibrid antara Kerajaan Timur Tengah (Sasanid dan Byzantium) Pra Islam dan universalisme Islam. Para khalifah berusaha untuk mengkombinasikan otoritas keagamaan sebagai penerus Nabi dengan bentuk kerajaan dan otoritas kelembagaan serta budaya ala Kerajaan Timur Tengah. Kecendrungan ini terlihat jelas dalam patronase dinasti Umayyah terhadap artistik, arsitektur dan perayaan ala Byzantium di Istana kerajaan" dan dalam proyek kerajaan yang lain, serta gaya ekspansi mereka yang kasar. Sementara itu, dinasti Abasiyyah meniru model Persia dengan berpatron pada khazanah literature dinasti Pahlavi dan filsafat Hellenistik."16 Sebagai respon, para ulama periode awal menunjukkan adanya keterputusan antara cita ideal dan realitas, dan meragukan klaim otoritas para khalifah untuk menginterpretasikan atau mengelaborasi syariah. Klaim ini merefleksikan fakta bahwa ulama memiliki pengaruh yang lebih besar di kalangan ummat Islam daripada para khalifah. "Dengan demikian, independensi otoritas keagamaan pandang dari kekuasaan khalifah berkembang dan bersamaan Islam dengan lagi munculnya kelompok-kelompok sektarian dalam ummat Islam. Dari sudut komunal keagamaan, kekhalifahan tidak terintegrasikan."17 Kemunculan otoritas keagamaan yang independen dari khalifah dan aparat negara inilah, yang disebut Lapidus sebagai pembedaan antara otoritas politik dan agama dalam sejarah masyarakat Islam. Apa yang disebut mihnah adalah inkuisisi teologis yang bertujuan untuk membuat anggota kelompok ulama, yang pada saat itu merupakan sebuah kelompok yang bersatu tanpa tujuan tertentu, menyetujui sikap yang diambil
16 17
Lapidus, The Separation, p. 372. Lapidus, The Separation, p 373. 20 Lapidus, The Separation, p. 376.
18 19
pemisahan kelembagaan khalifah dan komunitas, pemisahan otoritas di antara keduanya sekaligus memberikan peran yang berbeda kepada masing21 22
Lapidus, State and Religion, 12. Lapidus, Separation, p. 385. 25 Lapidus, State and Religion, p. 19.
23 24
Nimrod Hurvitz, The Mihna (Inquisition) and the Public Sphere in The Public Sphere in Muslim Societies, M. Hoexter, S. Eisenstadt, and N. Levitzion, eds. Albany NY: State University of New York Press, 2002, 27 27 Carl Petry, The Civilian Elite of Cairo in the Later Middle Ages, Princeton: Princeton University Press, 1981, 15.
26
mengilustrasikan pandangan ini dengan merujuk pada pengalaman historis Mesir dari abad sembilan sampai empat belas masehi. II. Dinasti Fatimiyah dan Mamluk di Mesir Seperti yang sudah dicatat di bagian lalu, saya tidak sedang berusaha untuk memaparkan sejarah dinasti Fatimiyah dan Mamluk di Mesir secara umum. Tapi, saya akan memaparkan masing-masing periode dan kemudian menandai aspek-aspek tertentu untuk memberikan ilustrasi mengenai ketidakmungkinan penyatuan antara agama dan negara. Saya mengatakan demikian bukan karena klaim penyatuan itu tidak pernah ada pada masa lalu karena dinasti Fatimiyah jelas-jelas menyatakan bahwa mereka memiliki hak dari Tuhan untuk berkuasa. Namun, jika pun demikian, tidak berarti bahwa klaim itu serta merta menjadi sah atau realistis. Hal yang penting untuk kita catat adalah bahwa klaim seperti itu tidak hanya gagal dalam tingkat praksis, tetapi juga tidak mungkin berhasil karena adanya perbedaan fundamental antara otoritas agama dan negara. Saya harap diskusi kita mengenai Imamimam Syi'ah Ismailiyah pada bagian awal bab ini (bagian yang membahas dinasti Fatimiyah) bisa menegaskan hal yang saya sebut tadi. Bahaya negara yang berusaha untuk memaksakan otoritas keagamaan, walaupun tidak membuat klaim eksplisit tentang itu, bisa menjadi lebih jelas dalam diskusi kita tentang dinasti Mamluk berikut ini. Selayang Pandang tentang Dinasti Fatimiyah di Mesir Dinasti Fatimiyah didirikan pertama kali pada tahun 909 di Afrika Utara (Tunisia sekarang) oleh Ubaidillah yang dianggap sebagai Imam Mahdi oleh pengikut Syi'ah Ismailiyah. Periode dinasti Fatimiyah di Mesir mulai ketika Jauhar, komandan pasukan al-Mu'izz (Imam Syi'ah Dinasti Fatimiyah untuk periode 953-975) menaklukkan negeri itu dan memasuki ibukotanya Fustat pada tahun 969. al-Mu'izz sendiri baru memasuki Mesir 4 tahun berikutnya. Al-Aziz bin al-Mu'izz memerintah dari tahun 975 sampai tahun 996, yang kemudian diikuti oleh al-Hakim yang berkuasa selama 25 tahun (996-1021). Setelah al-Hakim dianggap menghilang, atau menurut riwayat lain dibunuh
28
Crone and Hinds, Gods Caliph, p. 99. Crone and Hinds, Gods Caliph, pp. 100-101. Pengarang buku ini mengutip ulamaulama Syi'ah seperti Kulayni and Numan. 31 Crone and Hinds, Gods Caliph, p. 102.
29 30
Crone and Hinds, Gods Caliph, p. 103. Paula Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, Albany: University of New York Press, 1994, 49. 34 Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, pp. 49-50.
32 33
State
Lev, State and Society in Fatimid Egypt, Leiden: Brill, 65-66. Yacoy Lev, Army, Regime and Society in Fatimid Egypt, 358-487/968-1094, International Journal of Middle Eastern Studies, Vol. 19:3, 354 37 Lev, Army, Regime and Society, 355. 38 Lev, State and Society, p. 70.
35 36
privat
(mazalim),
bawah pengawasan Hakim Agung (qadi al-qudat). Hakim agung dinasti Fatimiyah bertanggung jawab atas seluruh lembaga-lembaga yang sama di seluruh provinsi, walaupun berada di bawah kebijaksaan khalifah. Namun ada beberapa daerah yang dikuasai oleh kekuatan politik lain seperti Palestina yang saat itu berada di bawah kekuasaan al-namun tidak berada di bawah pengawasan Hakim Agung Abi al-Awwam yang bermazhab Hanbali. Tentara juga tidak harus tunduk kepada Hakim Agung, tetapi mereka menjadi pelindung yurisdiksi mazalim, jika dianggap akuntabel.40 Tanggung jawab hakim agung juga bisa diperluas sampai ke persoalan agama seperti menjadi imam shalat, pengurusan masjid dan jenazah, dan juga tanggung jawab lain seperti mengepalai kantor percetakan uang (dar al-darb), mengawasi standar timbangan (mi'yar), dan mengurusi baitul mal.41 Penyatuan peran peradilan dan tanggung jawab keuangan ini memberikan kesempatan kepada aparatur negara untuk menyalahgunakan kekuasaan. Otoritas yang dimiliki mazalim memperlihatkan hak pregoratif khalifah untuk menginvestigasi pengaduanpengaduan individual tentang ketidakadilan, kekeliruan administratif yang dilakukan oleh pejabat negara dan menyelesaikan keluhan-keluhan seperti itu tanpa harus mengikuti prosedur yang biasa berlaku. Perwakilan dari seluruh departemen hadir pada saat pengadilan mazalim, yang juga menjadi
Lev, Army, Regime and Society, 340, 341; M. Conrad, Fatimids, in The Encyclopaedia of Islam, volume 2. Mazalim nampaknya seperti PTUN karena ia adalah lembaga peradilan yang menangani masalah kelaliman penguasa beserta keluarganya terhadap rakyat, namun kadang-kdang fungsinya lebih dari itu. Sedangkan peradilan hisbah nampaknya seperti pengadilan syari'at yang seperti diberlakukan di Aceh karena pengadilan ini menangani pelanggaran terhadap prinsip amar ma'ruf nahi munkar. (catatan penerjemah) 40 Amin Haji, Institutions of Justice in Fatimid Egypt (358-567/969-1171), Aziz AlAzmeh, ed. Islamic Law: Social and Historical Contexts, Routledge, 1988, 198-200. 41 Haji, Institutions of Justice, 200. See also Lev, State and Society, 135.
39
Meskipun kepala polisi seharusnya ada di bawah kendali Hakim Agung, sebetulnya ada ketegangan yang cukup besar antara pejabat negara yang berada di dua departemen yang berbeda itu menyangkut batas-batas otoritas mereka dalam penyelenggaraan hukuman hudud.44 Insitusi kenegaraan lain yang terdapat pada masa Dinasti Fatimiah adalah almuhtasib. Institusi ini muncul pada masa Dinasti Fatimiah di Mesir dan terus berkembang di bagian negara lain. Terlepas dari perbedaan pendapat yang menyatakan bahwa institusi ini berasal dan berkembang dari masa pra-Islam, jelas bahwa peran al-muhtasib (orang yang mengeksekusi aturan hisbah) telah mapan pada akhir abad ke 4 sebagai satu-satunya lembaga sensor, pengawas pasar, dan juga penjaga moral publik berdasarkan aturan amar maruf nahyi munkar.45 Seorang pelaksana hukum hisbah menjadi figur sentral di mata publik karena ia memegang otoritas yang sangat besar baik sebagai pegawai pemerintahan maupun sebagai otoritas keagamaan yang bertugas menjaga kepentingan dan moralitas publik. Pasar (suq) yang menjadi wilayah kekuasaan muhtasib, menurut manual hisbah yang dibuat oleh Ibnu Abdun, dianggap mewakili seluruh kehidupan sosial.46
Haji, Institutions of Justice, 203 Haji, Institutions of Justice, 208, 209. 44 Lev, State and Society, 153-157. 45 See, for example, Lev State and Societ, 160-176; Jonathan Berkey, The Muhtasibs of Cairo Under the Mamluks: Toward an Understanding of an Islamic Institution, Michael Winter and Amalia Levanoni, eds., The Mamluks in Egyptian and Syrian Politics and Society Leiden: Brill NV, 2004. 46 Berkey, The Muhtasibs of Cairo, 247, note 14.
42 43
pengawas tidak hanya terbatas pada pasar (suq) saja, namun meliputi semua aspek yang berkaitan dengan produksi, distribusi, dan impor produk makanan. Jabatan muhtasib menjadi istimewa karena ia tidak hanya menjadi badan arbitrase perdagangan tetapi juga agen pemerintah dan sekaligus pelaku yang aktif (karena bisa melakukan monopoli) dalam aktivitas perdagangan masyarakat Mesir saat itu.51 Pemerintah mendapatkan gandum dengan membelinya dari pasar bebas, kemudian menanamnya di ladangladang pribadi milik imam, dan kadang-kadang memonopoli komoditas sehingga harus berhadapan dengan para pedagang yang menjualnya.52 Karena hal itulah, membedakan milik pribadi, kepentingan penguasa dan
Berkey, The Muhtasibs of Cairo, 251. Lev, State and Society, 161; Berkey, The Muhtasibs of Cairo, 249, note 28. 49 Berkey, The Muhtasibs of Cairo, 248. 50 Boaz Shoshan, Fatimid Grain Policy and the Post of the Muhtasib, International Journal of Middle East Studies, vol. 13, 1981, 185 and Lev, State and Society, 161 51 Lev, State and Society, 162. 52 Shoshan, Fatimid Grain Policy, 182
47 48
publik dan simbol keagamaan merupakan hal yang problematik. Praktik penjualan gandum oleh elite penguasa pada masa dinasti Fatimiyah lebih bertujuan untuk mencari keuntungan sendiri dan mengabaikan permintaan rakyat miskin.54 Seperti yang terlihat dalam fungsi muhtasib sebagai pengumpul pajak dan penjaga moralitas publik, masalah yang potensial muncul dari penyatuan antara insitusi keagamaan dan negara adalah ketidakjujuran dan korupsi. Ulama-ulama seperti al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sultaniyyah, menggambarkan tanggung jawab muhtasib meliputi penyelenggaraan shalat, puasa, membayar zakat, termasuk pengaturan urusan moralitas publik seperti pengaturan penyatuan laki-laki perempuan di ruang publik, mabuk di muka umum, atau pengunaan alat-alat musik. Fungsi-fungsi itu diselengarakan dengan cara paksa di jalan-jalan kota Kairo dan kota lainya. 55 Ada pula hukum resmi yang berkaitan dengan warga dzimma seperti larangan untuk menunggang kuda atau keledai dalam kota, atau kewajiban untuk memakai baju yang berbeda dan mengalungkan lonceng di leher jika memasuki tempat mandi umum (hammam).56 Saya akan mengulang penjelasan mengenai hal ini di bagian lain. Pengaruh dinasti Fatimiyah terhadap Institusi Peradilan dan Keagamaan Penjelasan mengenai dinasti Fatimiyah dan institusi-institusinya diatas diharapkan bisa menjadi latar dan konteks untuk penjelasan utama kita dalam bagian ini tentang konsekuensi penyatuan otoritas agama dan politik. Walaupun dinasti Fatimiyah memerintah Mesir selama dua abad, mazhab Syi'ah yang dianut oleh negara tidak pernah benar-benar tersebarkan kepada masyarakat banyak, dan mayoritas masyarakat Mesir tetaplah penganut sunni. Jadi, apa konsekuensi dari patronase rezim fatimiyah terhadap mazhab Syi'ah dan apa implikasinya terhadap model penyatuan otoritas agama dan
Lev, State and Society, 162-63 Lev, State and Society, 176. 55 Berkey, The Muhtasibs of Cairo, 261- 64 56 Berkey, The Muhtasibs of Cairo, 262-63
53 54
Yaacov Lev, The Fatimid Imposition of Isma`ilism on Egypt (358-386/969-996), Zeitschrift der Deutschen Morgenandischen Gesellschaft, vol. 138, 1988, 315. 58 Mekah diobrak-abrik oleh Penganut Karmatiyah yang berusaha mencuri hajar aswad dari Ka'bah. Perlu dicatat bahwa Karmatiyah adalah salah satu sekte Syi'ah Ismailiyah yang tidak menyatakan kesetiannya kepada dinasti Fatimiyah, dan malah dipergunakan oleh komandan-komandan dinasti Buwaihi untuk menyerang dinasti Fatimiyah, walaupun kedua kelompok ini sebetulnya adalah Syi'ah. Farhad Daftary, The Ismai`ilis: Their History and Doctrines, Cambridge: Cambridge University Press, 1990, 161-165. 59 Lev, The Fatimid Imposition of Ismailism on Egypt, 315-316.
57
dengan sebuah perpustakaan besar. Ia berfungsi sebagai sekolah tempat berbagai cabang ilmu termasuk teologi, filsafat, kedokteran, astronomi dan bahkan hukum sunni diajarkan. Dar al-hikmah juga berfungsi sebagai pusat pelatihan bagi para da'I syi'ah Ismailiyah. Kuliah-kuliah yang diselenggarakan di Dar al-Hikmah ditujukan tidak hanya bagi kalangan Syiah Ismailiyah tetapi juga bagi kalangan non-Syi'ah Ismailiyah."65 Lembaga ini kemudian diwakafkan setelah berdiri selama lima tahun sebagai upaya pemberian otonomi kepada para ulama sunni dan syi'ah. Satu abad kemudian, ketika dua orang ulama mulai mengajarkan teologi asy'ariyah dan ajaran-ajaran yang terinspirasi oleh al-Hallaj, "Wazir al-Afdal memerintahkan penahanan kedua orang itu dan Dar al-Ilm pun ditutup."66 Sejak saat itu, Dar al-ilm mulai
Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, 43-44. Lev, State and Society, 71 62 Paul Walker, Fatimid Institutions of Learning, Journal of the American Research Center in Egypt, vol. 34, 1997, 180, 181. 63 Walker, Fatimid Institutions of Learning, 181. 64 Walker, Fatimid Institutions of Learning, 184-5. 65 Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, p. 56 66 Walker, Fatimid Institutions of Learning, 192
60 61
Walker, Fatimid Institutions of Learning, 193. Lev, The Fatimid Imposition, 317 69 Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, 45-46. 70 Lev, The Fatimid Imposition p. 316 and Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, p. 45. 71 Michel Brett, The Realm of the Imam: The Fatimids in the Tenth Century, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, vol. 59:3, 1996, 437-38. 72 Lev, State and Society, 143 note 48
67 68
Lev, The Fatimid Imposition 317 and Sanders, 124-5. Lev, Fatimid Imposition, 318. 75 Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, 125-26. 76 Lev, Fatimid Imposition, 318.
73 74
Lev, Fatimid Imposition, pp. 320-23. Lev, State and Society 73-4. 79 Walker, Fatimid Institutions of Learning, p. 181.
77 78
Walker, Fatimid Institutions of Learning, p. 188. Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, p. 62. 82 Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, pp. 56-57. 83 Walker, Fatimid Institutions of Learning, p. 185. 84 Lev, State and Society, 140 85 Marshall Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, Vol. II, 467; Lapidus, A History of Islamic Societies, 292.
80 81
86 87
Carl Petry, The Civilian Elite 16. Hodgson, The Venture of Islam, Vol. II, p. 419.
kekuasaannya, mereka mengunakan beberapa tokoh pemimpin untuk mengontrol negara. Tahun 1261 setelah Baghdad jatuh ke tangan Mongol pada tahun 1258, Sultan al-Zahir Baybars mendukung klaim al-Mustansir atas
Lapidus, A History of Islamic Societies, 287, 291-92. Donald Little, Religion Under the Mamluks, The Muslim World, 1983, 73; reprinted in History and Historiography of the Mamluks, Variorum Reprints, 1986. 169 - 172. 90 Little, Religion under the Mamluks, 171
88 89
Robert Irwin, The Middle East in the Middle Ages: The early Mamluk Sultanate 12501382, London: Croom Helm, 1986, 43. 92 Little, Religion Under the Mamluks, 173-74. 93 Sherman Jackson, The Primacy of Domestic Politics: Ibn Bint al-Aazz and the
91
menegosiasikan kekuasaannya dengan institusi keagamaan dalam rangka mendapat legitimasi dan juga peran negara untuk memediasi sejumlah institusi keagamaan dalam tradisi sunni.94 Kompetisi antara para ulama untuk mendapatkan atau menarik dukungan terhadap negara memperlihatkan betapa kompleksnya hubungan antara institusi agama dan negara. Walaupun berbagai mazhab memiliki ketentuanketentuan khusus dalam menyelesaikan masalah-masalah fiqih, mereka membutuhkan dukungan sukarela atau kekuasaan negara untuk mengimplementasikannya. Sifat hirarkis lembaga peradilan membagi hakim ke dalam dua kategori yaitu hakim ketua dan hakim deputi. Hakim ketua memberikan otorisasi terhadap keputusan para deputi agar putusan tersebut bisa dicatat dalam daftar hukum pengadilan (diwan al-hukum) dan dengan demikian bisa dilaksanakan oleh negara.95 namun bila deputi yang mengeluarkan keputusan tidak menganut mazhab yang sama dengan hakim ketua, maka hakim ketua tetap berkewajiban untuk melaksanakan keputusan itu. Namun minoritas hakim bermazhab syafi'I tidak mengizinkan hal tersebut karena itu berarti melanggar aturan mazhab orang lain. Dengan demikian, bila seorang hakim bermazhab syafi'i menduduki jabatan tertinggi daalam struktur pengadilan, dia tidak akan mengeimplementasikan keputusan yang dihasilkan oleh hakim dari mazhab lain. Karena pada saat Baybar naik tahta, jabatan hakim ketua dipegang oleh hakim bermazhab syafi'i yang memiliki pandangan seperti yang tersebut di atas, maka ia mulai memutuskan untuk menunjuk hakim agung lain yang mewakili kelompok-kelompok sunni yang bisa menerima keputusannya.96 Kebijakan ini memberikan keuntungan politis yang sangat jelas bagi penguasa-penguasa Mamluk. Mereka tidak hanya menerima ucapan terimakasih dan kesetiaan dari kelompok-kelompok mazhab baru di lembaga peradilan yang tentu bisa membuat keputusan yang
Establishment of Four Chief Judgeships in Mamluk Egypt, Journal of the American Oriental Society, vol. 115:1, 52-65. 94 Jackson, The Primacy of Domestic Politics, 53. 95 Jackson, The Primacy of Domestic Politics, p. 61, note 91 96 Jackson, The Primacy of Domestic Politics, p. 54.
Little, Religion under the Mamluks, 174. Lapidus, Muslim Cities in the Later Middle Ages, p. 135 99 Berkey, The Muhtasibs of Cairo Under the Mamluks, 252, 253 100 Little, The Detention of Ibn Taymiyya 321.
97 98
Ira Lapidus, Muslim Cities in the Later Middle Ages, Cambridge, MA: Harvard University Press, 1967, 131-34.
101
Lapidus, Muslims Cities, 135. J. Nielson, Secular Justice in an Islamic State: Mazalim under the Bahri Mamluks 662/1264-789/1387, Leiden: Nederlands Historisch-Archaeologisch Istituut te Istanbul, 1985, 123
102 103
S.D. Goitein, A Mediterranean Society: The Jewish Communities of the Arab World as Portrayed in the Documents of the Cairo Geniza, 6 volumes, Berkeley: University of California, 1967-94, vol. II, 1971, 288
104
Walaupun rezim dinasti Fatimiyah nampaknya agak sedikit lebih toleran dan mendukung institusi ahl-al-dzimmah (terutama kristen Koptik) karena berbagai alasan, penduduknya yang mayoritas sunni sangat anti-dzimmi dan mereka marah kepada rezim Fatimiyah karena mendukung ahl-dzimmah. Masyarakat sunni memandang keberadaan kristen Koptik dan yahudi dalam pemerintahan dinasti Fatimiyah Mesir mewakili sistem pemerintah yang tidak sah dan tidak bisa diterima dalam masyarakat Islam. dengan demikian, tekanan negara kepada kelompok dzimmi harus dilihat sebagai konsesi terhadap kemarahan dan permusuhan kalangan sunni kepada kelompok ini dan sebagai sikap politik yang layak diambil untuk mencegah konfrontasi serius antara kelompok ini dengan masyarakat muslim. Dengan demikian, Posisi orang kristen dan Yahudi di negara Islam (selama dinasti fatimiyah berkuasa) dilindungi namun tidak cukup aman. Hukum Islam melindungi hidup, hak milik, serta kebebasan mereka, meskipun dengan beberapa pembatasan, untuk melaksanakan ajaran agamanya. tetapi, hukum Islam juga menuntut mereka untuk dipisahkan dari masyarakat lain dan mengharuskan mereka untuk tunduk pada aturan. Jika aturanaturan itu dijalankan di bawah pemerintahan yang lemah atau buruk`,maka kondisi ini dapat dan pasti mengarah pada absennya hukum dan perlakuan buruk. Kebijakan yang diambil rezim Fatimiyah ini selaras dengan karakter umum periode saat itu dimana perdagangan internasional yang cepat dibuat untuk interaksi bebas antara kelompok yang berbeda dalam masyarakat disamping karena perilaku tertentu yang dianggap masuk akal.105 Debat akademis mengenai status dzimmah di kalangan ummat Islam sering merujuk pada apa yang disebut "perjanjian Umar", sebuah teks yang berasal dari perjanjian antara Umar bin Khatab dengan ahl al-dzimmah di Syiria, namun dianggap oleh sebagian sarjana baru muncul pada beberapa masa berikutnya.106 Kondisi yang nampaknya telah diatur oleh perjanjian itu adalah perbedaan gaya berpakaian (ghiyar), larangan untuk mendirikan gereja atau sinagog, pembatasan kegiatan ibadah yang dilakukan di ruang publikm dan aturan-aturan mengenai kemungkinan ahl-dzimmah bekerja dalam pemerintahan Islam. Aturan-aturan ini tentu saja merupakan tambahan atas
105 106
ketidakstabilan yang berkelanjutan. Ibnu Tughj akhirnya menyerah pada perbaikan tidak diizinkan diteruskan.107 Pada tingkat lokal, wazir, amir dan ulama berusaha menggunakan kekuasaan mereka
107
untuk
mengeksploitasi,
memeras
dan
menekan
rekan
non-
Walaupun al-Hakim membatalkan beberapa kebijakannya setahun sebelum ia (menghilang), permanen. kerusakan, pada terutama disebabkan hilangnya wakaf dan perubahan bangunan gereja menjadi masjid, bisa Namun pemerintahan khalifah Fatimiyah berikutnya, sejumlah orang kristen dan Yahudi yang beremigrasi ke Byzantium pada masa al-Hakim, mulai kembali ke Mesir dan melakukan rehabilitasi, hingga hubungan antar agama mulai kembali membaik. Tidak seperti rezim Fatimiyah, rezim Mamluk tidak memandang dirinya sebagai pemimpin agama atau berusaha menempatkan diri mereka dalam urusan-urusan yang dianggap urusan ulama. Malah, mereka tergantung pada ulama dan pemimpin agama lainnya untuk melegitimasi otoritas politiknya. Ironisnya, sikap ini membuat posisi ahl al-dzimmah di masa Dinasti Mamluk lebih buruk daripada di masa Dinasti Fatimiyah. Meskipun para penguasa Mamluk tidak berniat untuk menyulut permusuhan dengan komunitas ahldzimmah tertentu, namun mereka cenderung menyerah pada permintaan para pemimpin agama yang menekan mereka untuk memperlakukan ahl aldzimmah dengan buruk. Hampir di seluruh negeri-negeri Muslim, ahl al-dzimmah sering dipekerjakan oleh Mamluk sebagai pengontrol atau penjaga badan-badan negara, konsultan kesehatan para sultan, akuntan, staf keuangan pejabat-pejabat tinggi atau juru tulis bagi kalangan militer dan amir-amir lokal. Posisi yang cukup berpengaruh itu jelas memancing permusuhan dan kecurigaan komunitas muslim. Sentimen ini nampaknya semakin meningkat ketika mayoritas sunni yang tinggal di Mesir menghadapi tantangan hegemoni kalangan syi'ah selama dua abad berikutnya dan menghadapi perang salib. Dalam suasana seperti itu, kejadian kecil saja bisa menyebabkan terjadinya kekacauan dan protes terhadap ahl al-dzimmah, dan biasanya sultan-sultan dinasti Mamluk meresponnya dengan cara menekan kalangan dzimmi untuk
Lev, Persecutions and Conversion to Islam in Eleventh-Century Egypt, The Medieval Levant. Studies in Memory of Eliyahu Ashtor, Asian and African Studies, 22 (1988) pp. 77 - 84.
109
Donald P. Little, Coptic Conversion to Islam under the Bahri Mamluks, 692755/1293-1354, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, vol. 39 (1976), 553-54.
110
mengamankan suasana.111 Pada tahun 1354, Negara beberapa kali menggunakan kekerasan untuk meredam perlawanan kalangan Kristen Koptik yang disebabkan oleh kejadian-kejadian kecil. Seperti pada masa sebelunya, pembatasan ketat yang berdasarkan Perjanjian Umar kembali diberlakukan. Kalangan Kristen Koptik dan Yahudi yang menjadi pejabat tinggi dipecat dari jabatannya, dipaksa masuk Islam dengan ancaman akan dibunuh di jalanan kota Kairo. Pada tahun itu pula, semua tanah wakaf yang diberikan kepada gereja-gereja dan biara-biara Kristen diambil alih dan didistribusikan kepada para amir dan beberapa ulama, hingga lembaga-lembaga kristen kehilangan sumber utama keuangannya. Tekanan dan pengambil alihan sumber-sumber keuangan lembaga itu dimaksudkan untuk menarik ahl al-dzimmah agar masuk Islam dalam jumlah besar.112 IV. Negosiasi AntarLembaga Pengalaman sejarah yang saya ungkapkan tadi hanya merupakan contoh pendekatan Islam terhadap sekularisme sebagai negosiasi konstan antara institusi negara dan politik. Seperti yang sudah saya tekankan di awal bab ini, sejarah selalu diperdebatkan dan diinterpretasikan dengan cara yang berbeda untuk mendukung pandangan yang berbeda bahkan yang saling bertentangan. Karena itulah saya sadar bahwa cara pembacaan terhadap sejarah yang saya lakukan di sini bukanlah satu-satunya cara. Namun bukan berarti interpretasi sejarah dan penjelasan mengenai implikasinya yang saya lakukan di sini harus ditolak atau diterima sepenuhnya. Yang saya inginkan adalah mudah-mudahan cara pembacaan sejarah yang saya lakukan bisa masuk akal dan berguna bagi ummat Islam sekarang yang sedang berusaha merekonsiliasikan komitmen mereka untuk tetap berpegang teguh kepada syariat dalam konteks mereka saat ini baik dalam konteks lokal maupun global. Melalui perspektif ini, saya akan menyusun beberapa implikasi tentatif yang saya dapat dari kilas balik sejarah yang saya lakukan tadi dan
111 112
Little, Coptic Conversion to Islam, 556-64. Little, Coptic Conversion to Islam, 567-68
memperlihatkan perbedaan karakter otoritas politik dan agama seperti yang sudah saya jelaskan dalam bab I. Hal terpenting yang perlu saya ungkapkan di sini adalah bahwa negara memang harus sekuler dan politis karena kekuasaan dan institusinya membutuhkan tingkat dan bentuk kontinuitas dan prediktabilitas tertentu yang tidak dimiliki oleh otoritas keagamaan. Secara teoritis, pemimpin agama memang harus memperjuangkan keadilan dan kesetiaan terhadap Syari'ah, namun mereka tidak punya kekuasaan maupun kewajiban untuk bertanggung jawab atas ketertiban kekomunitas lokal, pengaturan relasi ekonomi dan sosial, atau pertahanan terhadap ancaman luar. Fungsi-fungsi ini membutuhkan adanya kontrol yang efektif atas wilayah dan penduduk, serta kemampuan untuk menggunakan kekuatan pemaksa. Kualitas ini memang harus dimiliki oleh pejabat negara, namun tidak oleh pemimpin agama. Seperti yang sudah disebutkan di awal, beberapa pemuka agama mungkin memiliki otoritas politik atas pengikutnya, dan beberapa pemimpin politik mungkin mendapatkan legitimasi keagamaan dari kelompok tertentu dalam masyarakat. Namun yang perlu kita perhatikan di sini adalah ada dua tipe otoritas yang berbeda, bahkan meskipun keduanya dipegang oleh yang sama. Keduanya memiliki kriteria yang berbeda dan mendapatkan perlakuan
kekuasaannya. Masalahnya adalah apapun pandangan yang digunakan untuk melihat peristiwa-peristiwa sejarah itu, kebingungan seperti ini tidak bisa dijustifikasi dan diterima dalam konteks negara post kolonial model eropa saat ini. Pentingnya pemisahan otoritas agama dan negara dalam masyarakat Islam juga bisa dipahami dengan melihat konsekuensi kebijakan mihnah yang dikeluarkan oleh Khalifah Abbasiyah, al-Ma'mun pada tahun 833, persis 200 tahun setelah perang terhadap orang-orang murtad terjadi. Episode tragis yang terjadi dalam sejarah Ummat Islam ini penting bagi diskusi kita kali ini karena peristiwa mihnah jelas memperlihatkan bahayanya penyatuan otoritas agama dan negara sekaligus menandai runtuhnya dominasi model ini karena ulama bisa menegaskan otonomi mereka dari negara dengan sukses walaupun beberapa di antara mereka harus membayar mahal. Pengalaman ini juga menegaskan pentingnya melindungi otonomi aktor-aktor masyarakat sipil, termasuk otoritas keagamaan karena perlindungan ini merupakan hal penting bagi suksesnya pemisahan antara Islam dan negara dengan tetap mengatur keterhubungan antara Islam dan politik. Agar proses negosiasi antara pemimpin agama dan negara berlangsung mulus, perlu adanya dasar kelembagaan dan sumber keuangan yang mendukung mereka. Dari perspektif inilah, saya akan secara singkat membahas pentingnya peran waqaf dalam konteks historis tersebut. Sejak periode awal sejarah Islam, ummat Islam yang mampu telah berusaha untuk mewakafkan tanah atau harta milik mereka yang lain untuk mendukung masjid, madrasah dan apapun yang bisa bermanfaat bagi komunitas. Alasan mereka melakukannya adalah layanan publik yang disediakan oleh waqaf terus mengalir manfaatnya dan mungkin akan menjadi rahmat bagi wakif saat dia hidup mauopun setelah mati. Waqaf memang telah memainkan peran yang sangat besar dan cukup kompleks dalam masyarakat Islam, lebih dari pernah diperkirakan. Regulasi mengenai wakaf menjadi bidang yang sangat komplek dalam hukum Islam karena ia berkaitan dengan hal-hal yang juga penting seperti warisan termasuk di dalamnya
Miriam Hoexter, The Waqf and The Public Sphere, The Public Sphere in Muslim Societies, M. Hoexter, S. Eisenstadt, and N. Levitzion, eds., Albany NY: State University of New York Press, 2002, 121 114 Adam Sabra, Poverty and Charity in Medieval Islam: Mamluk Egypt, 1250-1517, (Cambridge: Cambridge University Press, 2000, 70.
113
menegosiasikan dan memediasi hubungan antara keduanya. Penguasa tidak bisa berfungsi tanpa restu dari rakyatnya yang menginginkan mereka untuk memegang teguh dan mengimplementasikan ajaran Islam seperti yang sudah dijelaskan oleh para ulama. pada saat yang sama, ulama dan institusi keagamaan juga tidak berfungsi tanpa dukungan penguasa yang tidak hanya melindungi batas-batas negara Islam dan menjaga stabilitas dan perdamaian
Sabra, Poverty and Charity, 95-100 Leonor Fernandes, Mamluk Politics and Education: The Evidence FromTwo Fourteenth Century Waqfiyya Annals Islamoques, vol. 23, 1987, 87-98.
115 116
keagamaan dan menegakkan aturan-aturan wakaf. Namun, seperti yang sudah saya jelaskan, penguasa perlu menghormati otonomi para ulama karena para ulama mempunyai kredibilitas untuk memberikan legitimasi keagamaan bagi negara. Dengan kata lain, independensi kelembagaan dan keuangan ulama sangat bermanfaat tidak hanya bagi mereka, tetapi juga bagi pengikut mereka dan negara. Wakaf menyediakan mekanisme hukum dan sosial untuk menjaga keseimbangan antara otonomi dan ketergantungan ulama terhadap negara. Sebagai wahana bagi para pemimpin untuk mendoakan pemberi wakaf secara publik maupun privat, wakaf menjadi representasi hubungan yang tersembunyi namun konstan antara yang berkuasa dan yang diatur. Namun dinamika dan peran wakaf di satu daerah bisa berbeda dengan daerah lain dan berimplikasi pada penyebaran mazhab. Aturan mengenai wakaf memberikan perhatian khusus pada posisi wakif, yang sering memiliki hak untuk menunjuk dirinya sendiri atau orang pilihannya untuk mengurus aset wakaf. Ia juga mempunyai hak untuk mendapapatkan manfaat meskipun tidak ekslusif dari hasil pengelolaa aset wakaf. Aturan ini nampaknya merupakan konsekuensi dari prinsip bahwa wakfi tetap memiliki hak kepemilikan tertentu terhadap aset wakaf dan bisa terus mendapatkan keuntungan dari pengelolaan wakaf tersebut. Sebagai prinsip umum, wakif memiliki kekuasaan untuk menentukan aturan-aturan tertentu terhadap harta yang diwakafkannya. Aturan ini sudah sangat sering diulang-ulang dalam fatwa dan kajian mengenai wakaf keputusan syariat).117 Prinsip tetapnya hak kepemilikan wakif terhadap harta yang diwakafkannya dianut oleh semua mazhab fiqih sunni kecuali oleh mazhab Maliki yang menyatakan bahwa pemberi wakaf harus melepaskan hak kepemilikan atas bahwa "nash alwaqif ka nash al-syar'I (keputusan pemberi wakaf sama kuatnya dengan
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981, 35
117
Makdisi, The Rise of Colleges, 38. Yehoshua Frenkel, Political and Social Aspects of Islamic Religious Endowments (awqaf): Saladin in Cairo (1169-73) and Jerusalem (1187-93), Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, vol. 62, 1999, 1-20. 120 Leonor Fernandez, Mamluk Politics and Education: The Evidence From Two Fourteenth Century Waqfiyya Annals Islamoques, v. 24, 1987, p. 87. See also Yacov Lev, Yacov, State and Society, 153, n.5;
118 119
mazhab lokal membuat para pemberi wakaf dan penerimanya penghormatan yang cukup tinggi dari masyarakat. Wakaf merupakan alat penting bagi keluarga terkemuka untuk mengamankan kekuasaan mereka dari otoritas penguasa, dan mempertahankan posisi mereka di tengah-tengah masyarakat. Wakaf juga merupakan alat pendukung yang penting jika mereka hendak melindungi kepentingan masyarakat dengan menentang kebijakan pemerintah."121 Namun, otonomi penuh tidak bisa diraih melalui wakaf dan malah bisa dikompromikan karena berbagai faktor. Misalnya, jika pemberi wakaf adalah pejabat terkemuka, kita tidak akan menemukan resistensi terhadap kebijakan pemerintah, seperti yang bisa kita temukan dari institusi yang diwakafkan oleh pedagang atau pemuka masyarakat sipil, dari institusi wakafnya. Otonomi sebuah institusi wakaf mungkin bisa meningkatkan kredibilitasnya, pendirinya, Ibnu namun bisa juga menurunkan menolak tingkat ketertarikan khalifah masyarakat terhadapnya. Mazhab Hanbali (yang dinisbatkan kepada nama Hanbal, yang sukses permintaan Abbasiyah selama masa inkuisisi) dikenal enggan menerima pemberian dari institusi-institusi negara atau terlibat dalam masalah-masalahitu dengan negara. posisi seperti ini mungkin bisa membuat satu mazhab atau seorang ulama memiliki otonomi yang lebih tinggi dan pengaruh yang lebih besar pada lembaga-lembaga negara daripada mazhab atau ulama yang bersikap lebih kompromis. Namun sikap seperti ini tidak selalu menghasilan kebijakan yang lebih plural dan toleran. Mazhab Hanbali misalnya malah cenderung memberikan pengaruh konservatif atau ortodoks. Dengan demikian, madrasah-madrasah yang ada di Baghdad pada abad ke11 adalah wakaf dari para menteri dan sultan dinasti Saljuk yang juga
121
beberapa penggal sejarah Islam. aspek-aspek yang telah saya terangkan dan diskusikan, yang mungkin kadang-kadang terlalu mendetil, ditujukan untuk memperlihatkan adanya beberapa peristiwa dalam sejarah yang bisa mendukung argumen utama yang saya bangun dalam buku ini. selain elemen dan implikasi yang disebutkan di bagian akhir, saya juga telah menekankan posisi kritis ahl al-dzimmah, yang seharusnya dilindungi oleh syari'at. Bagian tersebut ditujukan untuk menunjukkan bahwa aspek normatif Syari'ah bisa menjadi lemah karena faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik dan tidak mungkin dilaksanakan tanpa adanya mekanisme kelembagaan yang tepat. Karena itulah konstitusionalisme menjadi penting untuk memberikan landasan yang kuat bagi berjalannya mekanisme tersebut dalam masyarakat Islam saat ini. Saya juga berharap bahwa bagian yang menerangkan tentang ahl al-dzimmah di masa Fatimiyah dan Mamluk bisa memberikan landasan historis untuk menjawab pertanyaan ini terutama dalam hubungannya
Daphna Ephrat, Religious Leadership and Associations in the Public Sphere of Seljuk Baghdad in Hoexter, Eisenstadt, and Levitzion, eds., The Public Sphere in Muslim Societies, eds. State University of New York Press, Albany, NY, p. 32-3.
122