Anda di halaman 1dari 7

AURA NILA

Niken Putri Pratiwi 08-5192/22


Setapak demi setapak kaki ini melangkah menuju suatu tempat yang asing bagiku. Tak pernah terbesit sedikit pun keinginan untuk berada di sini. Namun karena keyakinan inilah aku menekadkan diri menemui seseorang di tempat yang sangat berisik ini. ##### Beberapa bulan yang lalu, ia cukup terkenal karena bakat dan intuisinya, serta atas segala kejutan yang ia berikan. Srek, srek, srek. Terdengar suara sobekan kertas dari arahnya, Farel Azharika, teman sekolahku yang selalu bersikap dingin namun pintar. Tentu hal itu membuatku menoleh padanya dan bertanya, Apa yang sedang kau lakukan? Ia menggelengkan kepalanya. Kamu takut denganku? tanyanya. Ia malah bertanya hal yang aneh bagiku. Untuk apa aku takut padanya? Tidak, aku hanya takut pada Allah, jawabku. Yah, bukankah kamu kuat? Tidaklah mungkin kau takut padaku. Farel, apakah kamu memiliki masalah? Maaf, tapi aku merasa ada sesuatu yang aneh padamu? tanyaku. Dia tersenyum sinis, Aku hanya ingin membaca pikiran orang. Jika memang ternyata kau hanya takut pada Allah, tatap mataku. Sempat ku tatap matanya beberapa detik. Namun, tatapan itu benar-benar menusuk hatiku. Ada suatu getaran aneh darinya. Segera ku lepas tatapan itu. Apa yang sebenarnya terjadi padamu? tanyaku dengan suara yang agak meninggi. Farel hanya tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya, lalu pergi ke luar kelas dengan meninggalkan sebuah pesan yang kan ku ingat selamanya, Lakukan saja yang terbaik!

Tak kusangka pesan tersebut adalah pesan terakhir darinya yang kian terngiang selalu di ingatanku. Beberapa hari setelah kejadian itu, tak ada lagi aura dirinya yang selalu membuat kelas dan sekolah ini menjadi sedikit berbeda. Farel seminggu ini terkabarkan sedang sakit. Entah penyakit apa yang menerpanya, namun aku merasa penyakitnya bukanlah penyakit biasa. Pencaritahuan pun ku lakukan. ##### Langkahku kini terus menuju seseorang yang ku rindukan. Di rumah sakit ini, tempat yang tak ingin ku kunjungi, segala jawaban ku temukan. Ku berjalan mencari ruangan tempat Farel dirawat. Namun, Assalamualaikum!, terdengar suara sapaan. Waalaikumussalam. Ku hentikan langkahku dan menoleh ke belakang. Apakah kamu yang bernama Vasya? Kini telah tampak sekitar satu meter di depan diriku sesosok lelaki tua berjenggot panjang dan berkumis lebat. Matanya begitu dingin, sepertinya aku mengenal aura dari dalam dirinya. Maaf jika saya mengejutkanmu. Perkenalkan, saya ayahnya Farel. Kau mencarinya, bukan? ucap beliau. Aku mengangguk. Farel sudah tidak berada di rumah sakit ini lagi. Ia dipindahkan ke rumah sakit lain. Lebih baik kau pulang saja. Malam sudah mulai larut, jelasnya sebelum aku menanyakan kabar Farel. Maaf, tapi saya ingin tahu lebih banyak ..., tanyaku namun terpotong. Tak segalanya perlu kau ketahui. Bacalah surat ini! Ini surat dari Farel. Segeralah pulang! ujar beliau sambil memberiku sebuah amplop hitam. Kuambil amplop itu, Baiklah jika hanya ini yang ku dapat. Berikanlah salam kerinduan ini padanya. Ku berikan beliau sebuah Al-Quran. Aku ingin Farel membaca ayat-ayat cinta dari Allah. Allah pasti akan memberikan cinta-Nya pada siapapun yang merindukan-Nya sebab Allah Maha Pengasih. Jika tak ada seorang pun yang bisa menyembuhkan penyakitnya, Allah pasti bisa. Mungkin hanya itu yang bisa saya beri. Terima kasih, Pak! Saya pulang

dulu. Assalamualaikum! Ku berjalan pulang dengan membawa sebuah amplop hitam. Berharap mendapat yang telah dicari walau tak melihat raganya. ##### Setelah selesai sholat tahajud di rumah, ku buka amplop hitam berisi surat dari Farel. Wahai bunga yang selalu merekah di hatiku, wangimu terebah dalam duniaku, mengubah kelamku menjadi pelangi. Karena semangat darimulah aku tetap bertahan di sini. Detik demi detik kulalui dengan terus berlari dari takdir. Sesuatu selalu membelengguku, ia tak pernah mau melepas walau telah berulang kali ku coba. Setelah ku bertanya pada Tuhan, akhirnya ku tahu, sesuatu ini kan membuat duniaku berbeda dengan gadis yang selama ini ku rindukan. Aku ingin mendekati kelopakmu, namun takdir berkata lain, untuk melihatnya saja ku tak pantas. Aku memiliki aura yang berbeda dengan auramu. Aura nila, itu milikku. Aura ini membuatku tak dapat mendekap kasihmu. Bahkan mengharuskanku menjauh darimu. Kini aku hanya berdoa semoga kau temui manusia biasa yang dapat mencintai setiap sudut dari jiwamu. Maafkan aku bila harus menutup duniaku darimu. Segalanya kulakukan dengan satu alasan yaitu takdir. Sekian surat dari Farel. Bunda, bila seseorang memiliki aura nila, maksudnya apa ya? tanyaku pada Bunda ketika kami sedang duduk bersantai di teras rumah. Itu berarti anak tersebut adalah anak Indigo. Istilah indigo berasal dari bahasa Spanyol yang berarti nila. Anak-anak Indigo memang sering dianggap aneh. Mereka suka berbicara sendiri, dapat melihat masa lalu dan masa depan serta cenderung lebih matang dari usianya. Kecerdasan anak-anak Indigo juga di atas rata-rata dan mereka mampu melakukan hal-hal yang bahkan belum pernah mereka pelajari sebelumnya. Karena sering bicara sendiri, banyak orangtua anak Indigo menyangka anak mereka menyandang autisme atau hiperaktif. Padahal dengan bimbingan yang tepat, anak indigo bisa hidup normal di masyarakat. Aku terbangun dari mimpi dengan masih memegang sebuah surat dari Farel. Mimpi bertanya pada Bunda. Tak terasa pipi ini basah akan air mata haru.

Farel ternyata menaruh hati padaku. Namun, ia memiliki penyakit yang tak biasa. Farel, aku yakin kamu bisa kembali layaknya manusia biasa. Aku menunggu kesembuhanmu di sini. ##### Ku buka jendela kamarku menemui fajar baru. Udara sejuk terasa menggetarkan paru-paruku. Jarum jam menunjukkan pukul 04.45 Vasya! Sudah jam berapa ini? Kamu belum solat subuh, nak! terdengar suara orang yang paling aku cintai di dunia ini, Bundaku tercinta. Iya, Bunda! Ini juga mau wudhu. Pukul 06.00, tas selempangan hitam di tangan kanan dan beberapa buku pelajaran di tangan kiri telah siap menemaniku menjelajahi ilmu di sekolahku tercinta. Setelah berpamitan pada Bunda, ku telusuri jalan setapak di depan rumahku, lalu berpijak pada trotoar berharap segera menemukan bus kota menuju sekolahku. Namun di tengah jalan, ada seorang lelaki yang tak ku kenal menarikmenarik lengan kiri bajuku. Aku mohon, aku ingin pergi ke sekolah bersama denganmu. Ayo kita ke sekolah! ucap lelaki yang berpakaian seragam SMA lengkap dengan menggendong tas ransel hitam. Iya, iya, tapi jangan kau tarik lengan bajuku ini! Bisa sobek! Siapa kamu? Kamu sekolah di mana? Apakah kita satu sekolah? tanyaku yang sedikit apatis dengan teman-teman sekolahku berjumlah kurang lebih 876 siswa. Lelaki itu membisu tak menjawab. Aku melanjutkan perjalananku pagi itu. Lelaki itu pun mengikutiku hingga aku tiba di sekolahku. Segera ku masuk ke kelas berharap tak diikuti lelaki itu lagi karena setahuku dia tak sekelas denganku. Pelajaran belum dimulai, di dalam kelasku hanya terdapat 3 siswi yang sedang ngerumpi. Ku keluarkan buku catatan fisika dan bermaksud ingin mengembalikannya kepada Frizka, teman sebangkuku. Namun masih saja ada yang iseng menarik-narik lengan kiri bajuku. Aku pun menoleh.

Aku hanya ingin pergi ke sekolah bersama denganmu. Aku mohon, pergilah denganku! pinta lelaki tak dikenal itu lagi yang membuatku terkejut. Siapa kamu sebenarnya? Sekolahku itu ya di sini. Kamu mau ajak aku ke sekolah yang mana? tanyaku dengan suara yang agak meninggi. Namun lelaki itu masih saja tak mau menjawab setiap pertanyaanku. Vasya, ada apa denganmu? Mengapa kamu bicara sendiri seperti itu? tanya Frizka yang telah duduk di samping kananku. Aku menoleh ke arahnya. Friz, aku tidak bicara sendiri, aku berbicara dengan ... ucapanku terpotong melihat lelaki itu tak berada di samping kiriku lagi. Tadi ada lelaki di sini, kataku memberitahu. Lelaki yang mana? Sejak aku masuk, tak ada lelaki di sini, seru Frizka. Ya sudah, lupakan saja! Oh ya, ini buku catatan fisikamu yang aku pinjam. Terima kasih banyak, ya! ucapku sambil memberikan sebuah buku bersampul merah jambu pada Frizka. Selama pelajaran, aku tidak bisa berkonsentrasi. Terfikir di benak ini lelaki yang mengikutiku sejak tadi pagi. Siapa gerangan yang membuat hati ini semakin detik semakin cemas? Sepulang sekolah sebelum mencari bus menuju rumahku, aku mampir ke sebuah gerobak dorong berisi tahu asin, jajanan kesukaanku. Ku berikan 2 lembar uang seribuan pada si penjual tahu sambil berucap,Permisi, Mang! Beli tahunya, dibungkus kertas koran saja! Beberapa menit kemudian, aku telah duduk di kursi taman dekat sekolahku sambil asyik memakan tahu asin buatan Mang Cecep yang semakin ku gigit semakin membuat lidahku menggelitik. Tak hanya lidahku, jantungku pun ikut menggelitik. Terkejut lebih tepatnya. Foto sesosok lelaki yang sering ku lihat tapi tak ku kenal berada di kertas koran pembungkus tahu dari Mang Cecep. Kubaca berita yang tertulis di bawah foto tersebut, 27 Januari 2008, seorang siswa SMA ditemukan tewas kecelakaan saat pergi ke sekolah bersama pacarnya. Ia tewas di tempat kejadian sedangkan pacarnya bernama Bunga mengalami cacat pada kedua kakinya.

Bukankah sekarang tanggal 27 Januari 2009? Jadi, lelaki yang sering menarik-narik lengan kiri bajuku dan mengikutiku sejak tadi pagi ternyata sudah meninggal. Hari ini tepat setahun ia meninggal. Apa maksud dari semua ini? Nak Bunga, tas kamu tertinggal. Aku menoleh ke sumber suara itu. Tak jauh dari pandanganku terlihat seorang kakek membawa sebuah tas menghampiri gadis yang berjalan menggunakan kedua tongkat. Terima kasih, Kek! ucap gadis tersebut. Gadis itu pun kembali melanjutkan perjalanannya dengan tertatih-tatih. Kini ia bermaksud melewatiku yang masih duduk terbengong di kursi taman. Aku segera berdiri mencegat gadis itu. Apakah benar kamu bernama Bunga? Aku mohon sama kamu jangan menyeberangi jalan itu. Kamu bisa meninggal karena kecelakaan. ujarku secara spontan. Maksud kamu apa? Kamu jangan bicara sembarangan! bentaknya lalu pergi meninggalkanku. Aku pun tak mengerti dengan apa yang telah aku katakan. Mengapa aku bisa mengatakan hal seperti itu? Beberapa detik kemudian, terdengar suara teriakan dari seberang jalan. Bruk! Astagfirullah! Sebuah mobil pengangkut barang menabrak gadis bertongkat itu. Aku segera berlari menuju tempat kejadian yang telah dipenuhi massa. Ia sudah meninggal. ujar salah seorang warga setelah memeriksa keadaan Bunga ketika diri ini baru saja tiba di tempat kejadian. Innalillahi wainnaillaihi rojiun. Perlahan mundur kaki ini melangkah. Ku tutup mulutku sebelum terjebak dalam jeritan. Beribu-ribu istighfar bergema di setiap sudut hatiku sambil meratapi segala yang telah terjadi. Air mata yang sempat ku tahan kini meluap membanjiri pipi-pipiku. Ingin ku putar kembali roda waktu agar jiwaku tak tertekan menghadapi peristiwa ini. ##### Ku ceritakan segala kejadian anehku pada seseorang yang ternyata telah sering mengalami hal serupa. Di rumah Farel, ayahnya menjelaskan kenyataan ini.

Ada kemungkinan kamu mengalami apa yang Farel alami. Maafkan Farel. Bisa jadi, Farel yang telah membuka mata batin kamu tanpa kamu ketahui. Maksud Bapak, saya memiliki aura nila juga? Astagfirullah! Ini anugerah ataukah musibah?

Anda mungkin juga menyukai