Anda di halaman 1dari 3

Bali yang Kini Fokus Mengelola Sampah

Keyword : Agus, Badung, Dinas Kebersihan, Dkp, Gianyar, Hutan Mangrove, Ipst, Kehutanan, Kota Denpasar, Kubik, Luas, Mampu, Namun, Pengelolaan Sampah, Penggunaan Lahan, Pertamanan, Proyek, Proyek Sarbagita di Bali, Rencana, Tabanan, Tpa Oleh web admin pada Monday, March 8, 2010, 22:09

Proyek Sarbagita di Bali sudah berjalan hampir sembilan tahun. Sayang, proyek yang diproyeksikan untuk program pengelolaan sampah menjadi listrik itu hingga kini belum berjalan sempurna. PROYEK pengelolaan sampah menjadi listrik di Pulau Dewata atau yang dikenal Sarbagita dilaksanakan sejak 16 April 2001. Hal itu ditandai dengan berdirinya Badan Pengelola Kebersihan Sarbagita (BPKS) yang kemudian membentuk Instalasi Pengelolaan Sampah Terpadu (IPST). Empat kabupaten/kota di Bali, yakni Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan, melebur menjadi satu dalam pengelolaan sampah. Namun, hingga kini, baru Denpasar, Badung, dan sebagian wilayah Tabanan yang mengirimkan sampahnya ke tempat pembuangan akhir (TPA) Suwung, Denpasar, sebagai pusat pengelolaan sampah menjadi sumber listrik (IPST). Gianyar hingga saat ini belum bisa mengirimkan sampah ke TPA Suwung, kata Agus S., kepala BPKS. Akibatnya, listrik yang dihasilkan hanya mencapai 0,5 hingga 1 Mw dengan total sampah 2.500 meter kubik per hari. Proyek tersebut berawal dari terbatasnya lahan TPA Suwung. Dengan luas 10 hektare, TPA itu tak mampu lagi menampung sampah dari Denpasar. Akibatnya, TPA Suwung memakan 38 hektare hutan mangrove di sekitarnya. Padahal, Kementerian Kehutanan hanya mengizinkan penggunaan lahan seluas 10 hektare. Karena masalah itulah, kemudian muncul rencana pengelolaan sampah melalui proyek Sarbagita di bawah kendali BPKS. Sebelum menghasilkan listrik, BPKS melakukan berbagai studi ke luar negeri. Lembaga yang terdiri atas orang-orang profesional dan akademisi tersebut juga merancang pengelolaan sampah yang melibatkan empat kabupaten/kota di Bali. Sebelum mendapatkan investor, BPKS menyusun sebuah IPST di kawasan TPA Suwung. Di TPA Suwung, ada dua pengelola. TPA tersebut dikelola oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Denpasar. Sementara itu, IPST di TPA Suwung berada di bawah kendali BPKS. Setelah mematangkan program, BPKS kemudian mencari mitra kerja dan investor. Kami lalu menyurati semua kedutaan yang punya pengelolaan sampah menjadi listrik, jelasnya. Pada 2 September 2003, BPKS menyeleksi calon mitra yang kemudian menghasilkan investor, yakni PT NOEI (Navigate Organic Energy Indonesia).

Pada 14 Mei 2004, PT NOEI menandatangani kerja sama dengan BPKS dengan total nilai investasi Rp 300 miliar. Nanti PT NOEI yang berhak menjual listrik ke PLN sebagai bagian dari keuntungan. Sarbagita sendiri mendapat sisa bagi hasil. Di antara total nilai investasi yang disepakati itu, PT NOEI baru menanamkan modal Rp 100 miliar. Targetnya, pada akhir 2011 semua investasi sudah turun dan pembangunan IPST itu selesai serta diharapkan mendapatkan 9 MW listrik. Pembangunan pembangkit itu dimulai sejak 15 Februari 2005. Dari modal awal Rp 100 miliar, sudah terbangun beberapa fasilitas pengelolaan sampah, sebut Agus. Dia menjelaskan, saat ini ada dua sistem pengelolaan. Yakni, penyedotan gas metan dan Galfad (gasification, land fill, anairobic-daecation). Di antara dua sistem itu, baru penyedotan gas metan yang menghasilkan listrik. Saat ini, sampah lama yang sudah menumpuk ditutup dengan tanah. Dengan demikian, gas metannya tidak bocor keluar. Kemudian, diambil dengan penyedotan pipa, gas metan tersebut melakukan pembakaran. Hasil pembakaran itu memutar turbin. Kemudian, turbin memutar generator untuk menghasilkan listrik. Hasilnya juga lumayan. Dari sampah yang menjadi masalah berat lantaran terus membuat gunung tambah tinggi, akhirnya dengan sistem yang sudah jalan menghasilkan 0,5 sampai 1 Mw. Dan, PT NOE sudah melakukan kerja sama dengan PLN untuk menjual hasil listriknya, paparnya. Pengelolaan sampah menggunakan sistem Galfad, yakni cara memilah sampah di mesin dengan bantuan manusia. Sampah organik dipisah dan dimasukkan ke land field dengan proses pemisahan air sampah. Kemudian, bio gasnya akan menjadi bahan pembangkit listrik itu. Setelah habis bio gasnya, sampah tersebut dipanaskan. Kemudian, hasil pemanasan menghasilkan gas dan abu. Gasnya kembali membangkitkan listrik, sedangkan abunya bisa untuk bahan baku seperti lantai dan sebagainya. Sedangkan, sampah nonorganik sudah dipilih untuk didaur ulang. Yang pasti menghasilkan uang juga, sebut Agus. Bahkan, kata Agus, pada 8 Desember 2007 pihaknya mendaftarkan program tersebut ke CDM (Clean Development Mechanism) PBB. Nanti program pengurangan gas metan ke udara itu dianggap mengurangi pemanasan global. Dengan demikian, jika berjalan, akan ada hitunghitungan jual beli karbon. Program seperti kita ini malah dibayar lantaran dianggap mampu mengurangi karbon, katanya. Sementara itu, sampah di Gianyar masih dikelola di TPA Temesi dengan melibatkan Rotary Club. Untuk sampah organik, dikelola menjadi pupuk kompos yang hasilnya kemudian dijual kembali. Di sini sudah ada alat untuk mengubah sampah organik menjadi kompos, pihak Rotary yang menyediakan, sebut Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Gianyar, IB Kesawa. Sayang, karena keterbatasan sarana-prasarana, hingga kini TPA Temesi baru bisa mengolah 30 persen dari sampah organic itu. Ke depannya, DKP berharap bisa mengolah 100 persen sampah organik menjadi kompos. Sedangkan sampah nonorganik dipilah untuk didaur ulang kembali.

Di sini ada ratusan pemulung yang membawa sampah nonorganik setiap harinya untuk dijual keluar dan didaur ulang. Keberadaan mereka cukup meringankan tugas DKP di sini, terang Kesawa. JPNN

Anda mungkin juga menyukai