Anda di halaman 1dari 9

Indonesia dan Dunia Perminyakan Nasional

oleh Ari Pristianto pada 4 November 2011 pukul 12:28 Indonesia Keluar dari OPEC, Ada apa sebenarnya dan krisis minyak nasional?

Jurnal-Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro kepada Kompas (28/5) menyatakan Indonesia keluar dari Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC). Purnomo mengaku telah menandatangani surat pengajuan keluar dari anggota OPEC. Menurut Purnomo, status Indonesia sebagai negara pengimpor minyak dengan tingkat produksi yang terus menurun menyebabkan Indonesia memiliki perbedaan kepentingan dengan OPEC.

Kebijakan menteri ESDM ini merupakan tindak lanjut dari pemikiran Presiden SBY yang ia cetuskan awal bulan ini. Dalam sambutan Presiden ketika membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) 2008 pada 6 Mei yang lalu, presiden SBY menyatakan:

Indonesia sekarang ini tidak lagi menjadi oil exporting country dalam arti nett yang betul-betul kita mengekspor lebih banyak. Kita sekarang juga menjadi oil importing country. Kita mengkonsumsi sejumlah bahan bakar minyak dan fuel yang tidak sedikit. Oleh karena itulah, kemarin dalam Sidang Kabinet Terbatas, kita memikirkan apakah kita masih tetap berada di OPEC atau sementara kita mengundurkan diri saja, di luar itu sambil kita meningkatkan produksi dalam negeri kita, sehingga pantas kalau kita kembali berada dalam Organisasi OPEC karena kita memproduksi jumlah minyak yang pantas. Produksi kita sekarang kurang sedikit dari satu juta barel per hari, menurun, karena memang sumur-sumur sudah menjadi tua. Kita meningkatkan produksi itu, tapi masih perlu waktu, 1, 2, 3 tahun ke depan. Langkah pemerintah Indonesia keluar dari keanggotaan OPEC sangat membingungkan, terlebih langkah tersebut diambil pada saat harga minyak membumbung tinggi. Apakah langkah ini diambil dengan pertimbangan yang matang untuk kebaikan rakyat Indonesia? Ataukah demi kepentingan asing?

Bagimana dengan Produksi Indonesia Sendiri? Dalam beberapa tahun terakhir produksi minyak Indonesia mengalami penurunan. Data dari BP menunjukkan, penurunan produksi crude oil (minyak mentah) terjadi sejak tahun 1997. Pada

tahun 1996 lifting crude oil Indonesia mencapai 1,580 juta barrel per hari sedangkan tahun 1997 turun menjadi 1,557 juta barrel. Tahun 2006 lifting harian turun menjadi 1,071 juta barrel.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Migas Departemen ESDM, produksi minyak mentah Indonesia tahun 2007 mencapai 347,493 juta barrel atau sekitar 0,952 juta barrel per hari. Untuk tahun 2008, 3 bulan pertama lifting Indonesia mencapai 84,822 juta barrel.

Sementara itu Kepala BP Migas menegaskan lifting minyak Indonesia tahun ini mengalami peningkatan dan melampaui target APBN-P. Pada bulan Maret lifting mencapai 985.872 bph dan April 978.960 bph sementara target produksi dalam APBN-P mencapai 977 ribu BOPD.

Menurut Kepala BP Migas R. Priyono, dengan terjadinya peningkatan produksi migas Indonesia maka Indonesia masih produsen migas terbesar di Asia Tenggara. Ia menegaskan produksi migas Indonesia sudah mencapai 2,3 juta barrel setara minyak per hari (boepd).

Dengan adanya tambahan produksi sebesar itu, kita berpeluang menembus angka produksi ratarata 1 juta BOPD, dengan catatan bila lapangan-lapangan produksi eksisting tidak mengalami penurunan produksi. Karena itu kita upayakan untuk maintain dan push sehingga angka itu bisa dicapai,kata Priyono.

Apakah Sama Net Importir dengan Importir Minyak? Seperti yang diungkapkan Presiden SBY dan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, faktor yang mendorong pemerintah keluar dari OPEC adalah posisi Indonesia yang sudah terkatagori net importir. Alasan ini juga yang dikemukakan oleh pemerintah dalam menaikan harga BBM. Karena lebih besar impor daripada produksi maka kenaikan harga minyak mentah dunia berakibat meningkatnya beban subsidi yang oleh Wapres Jusuf Kalla diperkirakan mencapai Rp 200 trilyun sampai dengan Rp 300 trilyun.

Yang perlu kita pertanyakan adalah apakah sama net importir dengan importir?

Sebagaimana kita ketahui Indonesia mengimpor minyak bukan karena Indonesia tidak memiliki ladang-ladang migas. Bahkan menurut kepala BP Migas, para investor pada tahun ini meminta 100 wilayah kerja migas di Indonesia. Ini menunjukan terjadinya peningkatan aktivitas eksplorasi migas. Di sisi lain produksi crude oil Indonesia kembali meningkat hingga pertengahan tahun ini.

Indonesia bisa dikatakan sebagai negara importir migas jika sebagian besar kebutuhan crude oil Indonesia dan refinery-nya harus didatangkan dari luar negeri. Dengan posisi negara importir migas barulah Indonesia harus keluar dari OPEC atau mendapatkan pengaruh negatif dari kenaikan harga minyak dunia yang berpatokan pada harga berlaku di bursa komoditas New York (NYMEX).

Namun nyatanya sebagian besar kebutuhan migas nasional dipenuhi dari produksi dalam negeri. Menurut data Direktorat Jenderal Migas, tahun 2007 produksi crude oil Indonesia lebih besar daripada konsumsinya sehingga surplus 26,191 juta barrel, sedangkan pada tiga bulan pertama tahu 2008 surplus mencapai 8,108 juta barrel. Dari sisi ekspor dan impor, tahun 2007 ekspor crude oil Indonesia lebih besar 16,686 juta barrel sedangkan pada tiga bulan pertama tahun 2008 surplus 6,399 juta barrel.

Begitu pula, jika Indonesia importir minyak atau setidaknya berada dalam posisi net importir maka mengapa dalam APBN-P 2008 terdapat lonjakan winfall profit Rp 41 trilyun rupiah? Percayakan anda jika kita importir minyak jika di dalam APBN negara kita mendapatkan tambahan rezeki nomplok Rp 41 trilyun akibat lonjakan harga minyak dunia? Perlu kita ketahui winfall profit yang diperoleh negara bukanlah dari hasil ekspor dikurangi biaya produksi dan transport, tetapi diperoleh semata-mata dari pajak penghasilan (PPh) para kontraktor migas yang didominasi asing. Artinya jika ladang-ladang migas dikuasai dan dikelola oleh negara, maka pendapatan migas bukanlah dari PPh migas tetapi dari hasil ekspor migas secara keseluruhan.

Kekurangan Indonesia adalah kapasitas refinery minyak nasional tidak memadai dengan kebutuhan nasional. Bahkan kapasitas refinery Indonesia di bawah Singapura. Menurut BP Statistical Review of World Energy 2007, kapasitas refinery di Indonesia tahu 2006 hanya mencapai 1,126 juta barrel per hari sedangkan negara kecil seperti Singapura kapasitasnya mencapai 1,255 juta barrel per hari. Padahal kita semua tahu Singapura tidak memiliki ladang migas sedikit pun. Kenyataan ini sangat ironi, sebab Indonesia mengekspor minyak mentah dan mengimpor BBM. Hasil ekspor migas nasional itu pun bukanlah milik pemerintah Indonesia tetapi milik kontraktor asing.

Stop Ekspor, alasan utamanya apa? Jika Indonesia sudah berani dengan lantang menyatakan dirinya bukan pengekspor minyak tetapi pengimpor minyak, maka mulai sekarang Indonesia harus menghentikan ekspor minyak mentah. Begitu pula jika seluruh hasil lifting minyak dalam negeri digunakan seluruhnya untuk kebutuhan nasional, maka tidak logis mengaitkan harga BBM di Indonesia dengan harga yang berlaku di NYMEX kecuali Indonesia mengimpor seluruh atau sebagian besar kebutuhan nasional.

Waspada Rekayasa Asing, ada isu tersebut nyata? Dari fakta dan data di atas, sebenarnya sangat aneh jika Indonesia mengambil kebijakan keluar dari OPEC. Sebab kebijakan ini diambil setelah pemerintah mengambil kebijakan menaikan harga BBM dan menyatakan harga BBM akan digerek ke tingkat harga keekonomian, yakni harga yang sama dengan harga BBM yang berlaku di tingkat internasional dengan acuan harga minyak mentah yang berlaku di New York.

Fakta ini menggambarkan jika harga BBM sudah mencapai harga keekonomian dan mengikuti fluktuasi harga di NYMEX, maka para kontraktor migas dapat menjual minyak mentah dari ladang-ladang minyak yang mereka kuasai di Indonesia kepada pemerintah dengan harga New York bukan harga lokal. Jika kondisi ini yang terjadi, para kontraktor migas akan mendapatkan keuntungan luar biasa sebab mereka dapat melakukan efisiensi yang sangat tinggi dengan biaya transpot dan asuransi yang sangat minim dibandingkan bila mereka menjual minyak mentah ke luar negeri.

Di sisi lain dengan keluar dari keanggotaan OPEC, Indonesia tidak terikat lagi dengan sistem quota OPEC sehingga kondisi ini mungkin saja dimafaatkan kontraktor untuk menggenjot produksi crude oil sebanyak-banyaknya. Hal ini terlihat dari mulai meningkatnya eksplorasi da produksi minyak Indonesia.

Di sisi lain, Barat seperti yang pernah dikemukakan Presiden AS Bush meminta OPEC meningkatkan produksi minyak mentah untuk mengendalikan harga minyak. Permintaan Bush ditolak oleh OPEC. Sekjen OPEC menyatakan masalah kenaikan harga minyak mentah bukanlah masalah produksi (supply) tetapi masalah spekulasi dan penurunan nilai mata uang dolar Amerika Serikat.

Keluarnya Indonesia dari keanggotaan OPEC sangat memungkinkan sebagai bagian dari Barat untuk melemahkan peranan OPEC. OPEC di masa lalu dapat dijadikan senjata negeri-negeri muslim melawan Barat dengan embargo minyaknya. Dengan semakin lemahnya peranan OPEC baik dari sisi politis dan ekonomi, maka tidak tertutup kemungkinan AS dapat mengendalikan bisnis perminyakan di dunia dengan segala dampaknya.

Keluar dari OPEC Tunjukan Migas Indonesia Dikuasai Asing (fakta di Era ini, benarkah itu nyatanya?) Dilansir dalam Jurnal-ekonomi.org Keputusan pemerintah Indonesia keluar dari OPEC seakanakan sebuah penghematan luar biasa. Sebagaimaa dikutip Antara (29/5), Meneg PPN/Kepala Bappenas, Paskah Suzeta menyatakan dengan keluarnya Indonesia dari OPEC maka negara dapat menghemat biaya sebesar US $2 juta. Bahkan katanya bayar iuran OPEC mahal.

Sebagai warga negara yang memiliki akal sehat tentu kita dapat membandingkan mana pemborosan dan mana yang tidak. Kepala Bappenas tidak membandingkan iuran OPEC dengan potensi pendapatan migas jika dikelola oleh negara dibanding bila diserahkan kepada investor. Bahkan untuk tahun 2007, cost recovery yang ditanggung negara mencapai US $8,338 milyar atau setara Rp 76,709 trilyun.

Cost recovery oleh kontraktor dihitung berdasarkan referensi atas harga minyak mentah yang berlaku di Indonesia dan harga gas aktual. Setelah kontraktor memulihkan semua biaya yang dikeluarkan, Pemerintah berhak memperoleh pembagian tertentu dari hasil produksi minyak bumi dan gas alam yang tersisa, selanjutnya kontraktor memperoleh sisanya sebagai bagian ekuitas (laba).

Asing Kuasai 84% migas Indonesia Langkah pemerintah Indonesia keluar dari OPEC dengan alasan Indonesia bukan lagi ekportir migas menggambarkan bahwa pemerintah tidak memiliki migas kecuali migas yang digali dari lapangan-lapangan migas yang dikuasai Pertamina. Itu pun Pertamina dikondisikan sebagai perusahaan perseroan bukan sebagai badan milik negara, sehingga perlakuan terhadap Pertamina sama dengan swasta dan investor asing.

Sementara itu, dalam Diskusi Publik Dampak Kenaikan BBM di Jakarta (28/5), Deputi Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Erwin Usman menyatakan 84% produksi migas

nasional dikuasai asing. Sebanyak 329 blok migas di tangan asing. Jika diletakkan titik-titik pada peta Indonesia, maka Indonesia sudah tergadaikan, katanya sebagaimana dipetik Antara.

Berdasarkan data yang dikemukakan oleh Erwin Usman, maka luas lahan konsesi migas yang diberikan pemerintah kepada investor mencapai 49,65% dari seluruh daratan Indonesia yang mencapai 192,257 juta hektar.

Dalam Buletin BP Migas No. 35 Januari 2008 halaman 3, dikemukakan untuk mencapai target produksi per hari 1,034 juta barrel pemerintah mengharapkan penggenjotan produksi dari 55 KKSK khususnya 10 KKSK terbesar. Perusahaan kapitalis asal Amerika Chevron Pacific Indonesia misalnya ditargetkan dapat berproduksi 376 ribu barrel per hari. Target produksi Chevron ini merupakan yang terbesar mencapai 36,39% target produksi migas nasional.

Politik Migas Islam, bagaimana pandangannya?

Sementara itu Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Ismail Yusanto mengemukakan pangkal permasalahan migas Indonesia adalah politik liberalisasi sektor migas yang dijalakan pemerintah selama ini. Akibatnya investor khususnya asing menguasai sebagian besar produksi dan ladangladang migas Indonesia. Menurut Ismail Yusanto, seharusnya migas Indonesia dikelola berdasarkan Syariah sehingga kendali penguasaan dan pengelolaan migas ada di tangan negara bukan di tangan asing. Jika migas dikuasai negara, maka negara dapat menggunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. [Redaksi Jurnal Ekonomi Ideologis]

Perlukah Indonesia keluar dari OPEC? Dalam Forum Diskusi Pakar-Awam OPEC sebenernya sebuah organisasi bergengsi ketika OPEC mampu mengendalikan harga minyak dengan kuotanya, namun saat ini OPEC sepertinya tidak banyak mempengaruhi harga minyak. Juga ketika Indonesia sudah menjadi net importir Indonesia masih tercatat sebagai anggota OPEC. Tetapi sependek pengetahuanku, menjadi net exportir bukanlah syarat keanggotaan OPEC. Jadi sepertinya asalkan anggotanya masih mengeksport minyak maka bisa menjadi anggota. Indonesia saat inipun sebenarnya juga masih mengeksport minyak namun juga mengimpor minyak, baik dalam bentuk minyak mentah maupun BBM (refined).

Posisi sulitIndonesia saat ini memang sedang kesulitan berat dalam pengelolaan sumberdaya energi. Saat ini kebutuhan energi didalam negeri hampir 40% masih didominasi oleh minyak bumi. Sedangkan sisa lainnya dipenuhi dari batubara (yang mulai meningkat sejak 1980an), Gas lebih banyak dijual karena biasanya gas itu dijual dengan sistem kontrak. Karena sistem kontrak ini, maka harga gas tidak bisa serta-merta naik seperti harga minyak. so, harga minyak yang saat ini disekitar 120USD/barrel sakjane sudah tidak realis. Karena harga minyak saat inipun sudah menggunakan future trading atau sistem ngijon. Membeli untuk kebutuhan tigabulan mendatang. Dan karena ketakutan tidak mendapat jatah di masa mendatang inilah yang menyebabkan harga minyak menanjak. Demikian juga dengan batubara yang ikutan melonjak. Tapi lagi-lagi gas yang menjadi andalan eksport Indonesia tidak bisa menolong kenaikan harga energi ini. Fluktuasi harga minyak saat ini banyak yang menduga akibat beberapa faktor antara ain supply minyak yang terganggu akibat produksi Shell di Nigeria, nilai US dollar yang melemah, serta kebutuhan (demand) dimasa mendatang yang tidak pasti atau keraguan mendapatkan pasokan energi primer.

Indonesia yang menderita Indonesia itu menjadi net importir minyak sejak 2004. Jadi sejak 2004 Indonesia secara riil selalu nombokin belanja minyak di dalam negeri. Produksi Indonesia hanya sekitar 800 000 barrel sehari, sedangkan kebutuhannya diatas 900 000 barrel sehari.

Nah apakah saat ini memang sudah tepat kalau Indonesia keluar dari OPEC? OPEC sendiri tidak meminta Indonesia keluar, karena dalam banyak hal wakil Indonesia di OPEC sejak dulu selalu mendapat peran yang penting (terutama Subroto). Jadi keanggotaan Indonesia di OPEC sangat dinanti-nanti. Hal ini disebabkan Indonesia termasuk negara yang berpengalaman dalam mengelola perminyakan. Lah wong sejak akhir 1890 sudah mulai memproduksi minyak kok. Sedangkan saudi ini baru sekitar tahun 1930-1940-an, kalau ga salah. Indonesia memang berpengalaman dalam mengelola tetapi bukan ahli memanfaatkan sumber energi ini untuk kebutuhan dalam negeri, sehingga Indonesia saat ini malah sudah terlanjur manja BBM. Dan belum bersiap-siap bergeser ke sumber energi lain. Lah mau ngganti Geothermal saja terganjal adat di Bali, mau bikin PLTN malah difatwa sama ulama lokal.

Kalau melihat gelagatnya harga minyak ga bakalan kurang dari 100$/bbl. Jadi fluktuasinya akan berkisar diatas 100. Bahkan ada yang menduga pada dua tahun kedepan akan berkisar 150, bahkan bisa-bisa mencapai 200$/bbl.

Finansial atau kebanggaan sebagai bangsa? Mana yang terjadi sekarang? Keluar dari OPEC secara finansial mungkin menguntungkan karena tidak harus membayar iuran keanggotaan sebesar 2 Juta Dollar setahun. Tetapi harus diingat bahwa ada policy atau kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas aktif. yang artinya kalau Indonesia ini mau aktif dalam politik dunia, ya mesti ikutan lah. Termasuk dulu aktif dalam kegiatan PBB, Nonblok, Asean, G-15 dan organisasi lainnya.

Tidak hanya kebanggaan saja, mungkin dengan sesama anggota OPEC Indonesia mampu mengundang negara-negara anggota lainnya itu untuk menjadi investor, atau bahkan bersedia menjual minyaknya dibawah harga normal. Tentusaja ini sangat dipengaruhi oleh siapa yang menjadi wakil Indonesia di OPEC yang mampu melakukan loby-loby canggihnya.

Saya kira alasan Airlangga dan Alvin Lie di Komisi VII DPR hanyalah alasan ekonomi semata. Mereka sama sekali tidak berpikir soal kebanggaan serta titipan moral pendahulu Indonesia untuk berperan aktif dalam politik luar negeri sesuai amanat UUD-45. Disisi lain memang harus diakui bahwa saat ini Indonesia sedang dilanda krisi kebanggaan sebagai warga negara. Peranan serta namanya di luar negeri sedang merosot, bahkan dihadapan rakyatnya sendiri.

Kesimpulannya: Pemerintah Indonesia memiliki 12 alasan sehingga memilih opsi untuk keluar dari keanggotaan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC). Salah satu alasan terpenting adalah saat ini Indonesia menjadi net importer kendati mengekspor minyak. Selain itu, saat ini ada politisasi di OPEC, ujar Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro usai bersama Wapres M Jusuf Kalla, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Luar Negeri Hassan Wirayuda, dan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta, Kamis (29/5). Purnomo menegaskan, saat ini ada pengelompokan anggota OPEC di kawasan Teluk yang kurang menguntungkan bagi organisasi. Anggota OPEC di kawasan Teluk seperti Arab Saudi, Iran, Irak, Uni Emirat Arab, dan Kuwait. Tapi, Iran adalah negara di kawasan Teluk tapi tidak tergabung dalam keanggotaan organisasi negara-negara kawasan Teluk, jelas dia. Saat ini pemerintah Indonesia menyiapkan pembahasan dengan OPEC terkait rencana Indonesia untuk keluar dari keanggotan. Sebelumnya, Sekjen OPEC Abdalla Salem Elbadri menyayangkan keputusan Indonesia untuk keluar dari OPEC, apalagi telah menjadi anggota sejak 1962. Menkeu Sri Mulyani mengatakan, keluarnya Indonesia dari OPEC, dipastikan tidak akan memberi pengaruh terhadap stabilitas APBN dan pasokan minyak OPEC. Pasalnya, hingga saat ini pasar energi dunia berubah dari sisi surplus dan demand. Kalau dari segi kuantitas dan kemampuan, OPEC itukan sebetulnya quantity produce, memiliki kemampuan untuk

memproduksi. Nah, Indonesia hanya memiliki kemampuan kurang dari satu juta barel per hari. Jadi, tidak ada pengaruhnya, katanya. Selain itu, iuran keanggotaan OPEC juga tidak terlalu besar. Artinya, keluarnya Indonesia dari OPEC tidak akan mengurangi belanja negara secara signifikan. Iuran per tahun OPEC mencapai US$ 2 juta. Meneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta mengatakan, keluarnya Indonesia dari OPEC akan ditindaklanjuti pemerintah dengan meningkatkan produksi minyak. Sementara itu, Wapres M Jusuf Kalla menargetkan, dalam tempo lima tahun lagi Indonesia ditargetkan bisa menjadi negara pengeskpor minyak kembali. Syaratnya, ladang-ladang minyak bisa dieksplorasi dengan baik dan ada penghematan konsumsi BBM. Jika konsumsi BBM dalam negeri terus meningkat, Indonesia akan sulit menjadi negara pengekspor lagi, ujar Wakil Presiden M Jusuf Kalla kepada wartawan usai menerima Wakil Perdana Menteri Luxemburg Jean Asselbom di Jakarta, Kamis (29/5). Terkait keluarnya Indonesia dari OPEC, Wapres mengatakan, pemerintah ingin mendudukkan persoalan tersebut dengan benar. OPEC adalah organisasi negara-negara pengekspor minyak, padahal Indonesia adalah net importer. Jadi, kalau nanti kita sudah mulai ekspor lagi kita bisa masuk lagi," katanya. Menurut Wapres, Indonesia saat ini mengimpor sekitar 300 ribu barrel per hari (bph). Kendati Indonesia mengekspor minyak, impor minyak Indonesia justru lebih besar. Nanti orang bisa salah sangka, Indonesia masuk OPEC masak minyaknya mahal, katanya.

Nb. Kendati demikian yang terjadi di Indonesia dan Masalah Perminyakan Nasional tertumpu pada: 1. Kilang Produksi tidak bertambah (tumbuh sejalan dengan permintaan) sejak Era SoekarnoSoeharto 2. Money Politic, sangat kental masih bermain di dalam Sistem Perminyakan Nasional Indonesia 3. Multi Poor Employment Experience 4. Revitalisasi di sektor vital masih kabur visinya

Sumber : Copas dari mana-mana

Anda mungkin juga menyukai