Anda di halaman 1dari 3

Makna Hakiki Mudik dan Halal Bi Halal Mudik, peristiwa tahunan di negeri kita yang selalu terjadi setiap

tahun di penghujung Ramadhan menjelang Idul Fitri, dan segera disusul dengan arus balik nya seolah sudah menjadi hal wajib dilakukan oleh umat Islam yang menjadi perantau, sehingga mahalnya ongkos perjalanan, macet yang luar biasa, kecelakaan yang sering terjadi tidak menyurutkan langkah dan semangat para perantau untuk pulang kampung agar bisa bertemu dengan sanak famili, peristiwa mudik adalah peristiwa multi dimensi, dari mulai dimensi teologis, sosiologis, psikologis sampai politis. Seorang pakar ekonomi mengatakan bahwa mudik adalah kegiatan yang kontra produktif dan tidak rasional, karena hanya menghambur-hamburkan harta dalam beberapa hari saja setelah bekerja dan mengumpulkannya dalam satu tahun, ada benarnya juga pendapat beliau, tapi sekali lagi mudik tidak bisa hanya dilihat dari satu dimensi, secara teologis peristiwa mudik bernilai dan berpahala tinggi sebagai implementasi dari keyakinan agamanya dalam hal silaturahim, satu perbuatan yang sangat dianjurkan Rasul SAW, dan karenanya kalau ada yang meninggal dalam proses mudik ini diyakini sebagai khusnul khotimah. Dari dimensi sosiologis, mudik adalah penghilang rasa kangen yang tertahan, untuk berkumpul dengan keluarga, sanak famili dan teman-teman masa kecil di kampung halaman, berkumpul dengan sanak famili, teman sebaya ketika kecil adalah amunisi hebat meningkatkan motivasi bersosial. Dari kacamata psikologis mudik adalah sebuah oase ditengah kekeringan dan pudarnya nilai-nilai humanisme, karena setahun penuh bekerja bak robot yang terkadang mengikis nurani karena hanya mengejar setoran, dan melahirkan mental-mental hedonisme, yang melihat segala sesuatu dari sudut pandang materi dan dan hanya mementingkan hasil tanpa peduli prosesnya sehingga sering menghalalkan segala cara. Secara politis, mudik banyak juga digunakan oleh para politisi untuk tebar pesona untuk meraih simpati massa, dari hanya melakukan open house, bagi-bagi angpau, menyelenggarakan mudik gratis bagi konsituen sampai kampanye terang-terangan. Mudik berasal dari kata udik, artinya desa atau kampung halaman, tambahan huruf m didepan kata mudik menjadikannya bermakna pulang kampung, setelah sekian lama meninggalkannya karena merantau, untuk meningkatkan taraf hidup, menggapai asa dan cita. Peritiwa mudik dan arus balik, menjadi berita nasional sekitar dua minggu menjelang dan setelah Idul Fitri, kampung yang dituju adalah kampung dimana seorang perantau lahir, tujuannya silaturahmi dengan orang tua dan keluarga untuk saling bermaafan dan berbagi cerita dan suka cita tentang apa yang dicapai ditempat perantauan, mudik menjadi pembelajaran kita semua bahwa satu saat nanti kita juga akan melakukan mudik sejati dan hakiki yang dalam konteks agama disebutkan istilah inna lillahi wa inna ilaihi rojiun yang terjemah bebasnya adalah Dari Allah kita berasal dan kepada-Nya kita akan mudik (kembali), jadi kita semua pasti akan mudik, ketika waktunya tiba nanti, dan persiapan orang mudik juga perlu ditiru, memperisapkan bekal terbaik agar tidak susah dan sengsara di kampung halaman nanti, karena mudik hakiki kelak kampungnya hanya dua jenis yaitu kampung kedamaaian (darussalam/surga) dan kampung kesengsaraan (neraka jahannam), semoga dengan bekal yang cukup dan investasi amal yang baik, kampung tempat mudik kita kelak bernama kampung kedamaian sesuai dengan doa yang kita panjatkan setiap selesai shalat Allahumma antas salam...wa adkhilna jannata darassalam....amin

Halal bi halal, tiga kata berangkai yang sering diucapkan dalam suasana Idul Fitri, adalah satu dari istilah-istilah "keagamaan" yang hanya dikenal oleh masyarakat Indonesia. Sehingga sering disebut sebagai tradisi keagamaan khas Indonesia (Indogenus). Setidaknya ada tiga makna yang dapat dikemukakan menyangkut pengertian istilah tersebut, yang ditinjau dari tiga pandangan. Yaitu, pertama, bertitik tolak dari pandangan hukum Islam kedua berpijak pada arti kebahasan, dan ketiga berangkat dari kacamata sosiologi. Dari pandangan hukum, seperti yang dikemukakan Prof Quraisy Shihab, kata halal biasanya dihadapkan dengan kata haram. Haram adalah sesuatu yang terlarang sehingga pelanggarannya berakibat dosa dan mengundang siksa. Sementara halal adalah sesuatu yang diperbolehkan serta tidak mengandung dan mengundang dosa. Jika demikian, halal bihalal adalah menjadikan sikap kita terhadap orang lain yang tadinya haram dan berakibat dosa. menjadi halal dengan jalan memohon maaf, yang biasanya dilakukan dengan saling mengulurkan tangan untuk berjabatan atau bersalaman. Adapun dari segi bahasa akar kata halal yang kemudian membentuk berbagai bentukan kata, mempunyai arti yang beraneka ragam, sesuai dengan bentuk dan rangkaian kata berikutnya. Makna-makna yang diciptakan oleh bentukan-bentukan tersebut, antara lain, berarti meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku, melepaskan ikatan dan menyelesaikan problem. Jika demikian, ber-hala bihalal merupakan suatu bentuk aktivitas yang mengantarkan pada pelakunya untuk meluruskan benang kusut, menghangatkan hubungan yang tadinya beku sehingga cair kembali, melepaskan ikatan yang membelenggu, serta menyelesaikan kesulitan dan problem yang menghadang terjalinnya keharmonisan hubungan. Boleh jadi hubungan yang dingin, keruh dan kusut tidak ditimbulkan oleh sifat yang haram. Ia menjadi begitu karena Anda lama tidak berkunjung kepada seseorang, tidak membalas sms atau membalas tapi dengan kata yang sangat singkat setelah dikirimi sms panjang lebar, tidak mengangkat panggilan telepon padahal ada hal penting yang akan disampaikan dan perlu jawaban segera, atau timbul keretakan hubungan dari kesalahpahaman akibat ucapan dan lirikan mata yang tidak disengaja. Kesemuanya ini, tidak haram menurut pandangan hukum, namun perlu diselesaikan secara baik; yang beku dihangatkan, yang kusut diluruskan, dan yang mengikat dilepaskan. Sedangkan dari dimensi sosiologis, halal bihalal, diduga kuat efek dari interaksi jamaah haji Indonesia dengan penduduk lokal Arab, khususnya dengan pedagang, perbedaan bahasa menyebabkan komunikasi sering menggunakan bahasa isyarat dan sedikit bahasa yang berkaitan dengan masalah transaksi yang tidak bisa dihindari, karena jamaah haji Indonesia dikenal sebagai jamaah yang doyan belanja (konsumtif) sehingga sangat disukai pedagang Arab, komunikasi yang sering digunakan pedagang Arab diantaranya adalah kata bagus, murah tafadhol beli.. dan ketika transaksi disepakati maka mereka mengatakan naam halal.. rupanya kata halal dalam bertransaksi jual beli, ini memberi kesan mendalam, sehingga sepulang dari tanah suci para haji sering menggunakan kata halal ini sebagai kata deal/ persetujuan ketika bertransaksi jual beli, dan lebih meluas lagi dengan nemaknai hala sebagai memberi maaf. Adapun tambahan kata bi halal sering diartikan cara memberi maafnya dengan yang halal, caranya lembut dan sopan serta dengan meyediakan jamuaan yang diyakini halal pula, jadi intinya halal bi halal melakukan segala sesuatu berbasis kehalalan, dan saat ini halal bihalal menjadi tradisi yang diselenggarakan masyarakat Indonesia tanpa membedakan latar belakang.

Itulah makna serta substansi halal bihalal, sehingga semakin banyak dan seringnya Anda mengulurkan tangan dan melapangkan dada, maka semakin dalam pula penghayatan dan pengamalan Anda terhadap hakikat halal bihalal . Bentuknya memang khas Indonesia, namun hakikatnya adalah hakikat ajaran Islam, sehingga walaupun kemarin terjadi perbedaan hari raya tidak meyebabkan hubungan silaturahmi kita renggang atau rusak, tetapi menyikapinya secara dewasa, bahkan penulis mendapatkan ungkapan secara berkelakar gara-gara hilal setitik rusak opor sebelanga dan seloroh lain kapanpun lebarannya..kau tetap Indonesiaku... Akhirnya. Penulis mengucapkan mohon maaf lahir dan bathin..semoga kita mendapat predikat taqwa dan senantiasa mendapat ridho dan kasih sayang Allah SWT ..amin H. Nasrudin, SPdI, SE, MSI Dosen Politeknik Sawunggalih Aji Purworejo

Anda mungkin juga menyukai