Anda di halaman 1dari 20

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Anatomi Ginjal 1.1.

1 Makroskopis Ginjal terletak dibagian belakang abdomen atas, dibelakang peritonium (retroperitoneal), didepan dua kosta terakhir dan tiga otot-otot besar (m.transversus abdominis, m.kuadratus lumborum dan m.psoas mayor) di bawah hati dan limpa. Di bagian atas (superior) ginjal terdapat kelenjar adrenal (juga disebut kelenjar suprarenal). Kedua ginjal terletak di sekitar vertebra T12 hingga L3. Ginjal pada orang dewasa berukuran panjang 11-12 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3 cm, kira-kira sebesar kepalan tangan manusia dewasa. Berat kedua ginjal kurang dari 1% berat seluruh tubuh atau kurang lebih beratnya antara 120-150 gram.

Secara umum bentuk ginjal seperti biji kacang, dengan lekukan yang menghadap ke dalam. Jumlahnya ada 2 buah yaitu kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan dan pada umumnya ginjal laki-laki lebih panjang dari pada ginjal wanita. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit ke bawah dibandingkan ginjal kiri untuk memberi tempat lobus hepatis dextra yang besar. Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Kedua ginjal dibungkus oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak pararenal) yang membantu meredam guncangan.

Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa, terdapat cortex renalis di bagian luar, yang berwarna coklat gelap, dan medulla renalis di bagian dalam yang berwarna coklat lebih terang dibandingkan cortex. Bagian medulla berbentuk kerucut yang disebut pyramides renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil disebut papilla renalis. Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus. Pelvis renalis berbentuk corong yang menerima urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua atau tiga kaliks renalis majores yang masing-masing akan bercabang menjadi dua atau tiga kaliks renalis minores. Medulla terbagi menjadi bagian segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut dikelilingi oleh bagian korteks dan tersusun dari segmensegmen tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papila atau apeks dari tiap piramid membentuk duktus papilaris bellini yang terbentuk dari kesatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul (Price,1995 : 773).

1.1.2 Mikroskopis Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah 1-1,2 juta buah pada tiap ginjal. Nefron adalah unit fungsional ginjal. Setiap nefron terdiri dari kapsula bowman, tumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung henle dan tubulus kontortus distal, yang mengosongkan diri keduktus pengumpul. (Price, 1995)

Unit nephron dimulai dari pembuluh darah halus / kapiler, bersifat sebagai saringan disebut Glomerulus, darah melewati glomerulus/ kapiler tersebut dan disaring sehingga terbentuk filtrat (urin yang masih encer) yang berjumlah kira-kira 170 liter per hari, kemudian dialirkan melalui pipa/saluran yang disebut Tubulus. Urin ini dialirkan keluar ke saluran Ureter, kandung kencing, kemudian ke luar melalui Uretra. Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran lawan arus dan kotranspor. Hasil akhir yang kemudian diekskresikan disebut urin.

1.1.3 Vaskularisasi ginjal Arteri renalis dicabangkan dari aorta abdominalis kira-kira setinggi vertebra lumbalis II. Vena renalis menyalurkan darah kedalam vena kavainferior yang terletak disebelah kanan garis tengah. Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang menjadi arteri interlobaris yang berjalan diantara piramid selanjutnya membentuk arteri arkuata kemudian membentuk arteriola interlobularis yang tersusun paralel dalam korteks. Arteri interlobularis ini kemudian membentuk arteriola aferen pada glomerulus (Price, 1995). Glomeruli bersatu membentuk arteriola aferen yang kemudian bercabang membentuk sistem portal kapiler yang mengelilingi tubulus dan disebut kapiler peritubular. Darah yang mengalir melalui sistem portal ini akan dialirkan kedalam jalinan vena selanjutnya menuju vena interlobularis, vena arkuarta, vena interlobaris,

dan vena renalis untuk akhirnya mencapai vena cava inferior. Ginjal dilalui oleh sekitar 1200 ml darah permenit suatu volume yang sama dengan 20-25% curah jantung (5000 ml/menit) lebih dari 90% darah yang masuk keginjal berada pada korteks sedangkan sisanya dialirkan ke medulla. Sifat khusus aliran darah ginjal adalah otoregulasi aliran darah melalui ginjal arteiol afferen mempunyai kapasitas intrinsik yang dapat merubah resistensinya sebagai respon terhadap perubahan tekanan darah arteri dengan demikian mempertahankan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus tetap konstan ( Price, 1995).

1.1.4 Persarafan ginjal Menurut Price (1995), Ginjal mendapat persarafan dari nervus renalis (vasomotor), saraf ini berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk kedalam ginjal, saraf ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ke ginjal.

1.2 Fisiologi ginjal Ginjal adalah organ yang mempunyai pembuluh darah yang sangat banyak (sangat vaskuler) tugasnya memang pada dasarnya adalah

menyaring/membersihkan darah. Aliran darah ke ginjal adalah 1,2 liter/menit atau 1.700 liter/hari, darah tersebut disaring menjadi cairan filtrat sebanyak 120 ml/menit (170 liter/hari) ke tubulus ginjal. Cairan filtrat ini diproses dalam tubulus sehingga akhirnya keluar dari kedua ginjal menjadi urin sebanyak 1-2 liter/hari. Secara garis besar ginjal memiliki fungsi sebagai berikut : a. Memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau racun, b. Mempertahankan keseimbangan cairan tubuh, 4

c. Mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh d. Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak. e. Mengaktifkan vitamin D untuk memelihara kesehatan tulang. f. Produksi hormon yang mengontrol tekanan darah. g. Produksi Hormon Erythropoietin yang membantu pembuatan sel darah merah.

Tahap Pembentukan Urine : a. Filtrasi Glomerular Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus, seperti kapiler tubuh lainnya, kapiler glomerulus secara relatif bersifat impermiabel terhadap protein plasma yang besar dan cukup permabel terhadap air dan larutan yang lebih kecil seperti elektrolit, asam amino, glukosa, dan sisa nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar 25% dari curah jantung atau sekitar 1200 ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsula bowman. Ini dikenal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate). Gerakan masuk ke kapsula bowmans disebut filtrat. Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus dan kapsula bowmans, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula bowmans serta tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh tekanan-tekanan koloid diatas namun juga oleh permeabilitas dinding kapiler.

b. Reabsorpsi Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit, elektrolit dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zat-zat tersebut kembali lagi zat-zat yang sudah difiltrasi. c. Sekresi Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran darah melalui tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara alamiah terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion hidrogen. Pada tubulus distalis, transfor aktif natrium sistem carier yang juga telibat dalam sekresi hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan ini, tiap kali carier membawa natrium keluar dari cairan tubular, cariernya bisa hidrogen atau ion kalium kedalam cairan tubular perjalanannya kembali jadi, untuk setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau kalium harus disekresi dan sebaliknya. Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi cairan ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium). Pengetahuan tentang pertukaran kation dalam tubulus distalis ini membantu kita memahami beberapa hubungan yang dimiliki elektrolit dengan lainnya. Sebagai contoh, kita dapat mengerti mengapa bloker aldosteron dapat menyebabkan hiperkalemia atau mengapa pada awalnya dapat terjadi penurunan kalium plasma ketika asidosis berat dikoreksi secara theurapeutik.

BAB II SINDROMA NEFROTIK

2.1 Definisi Sindrom nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai, merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkholesterolemia serta edema. Yang dimaksud proteinuria masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/kg berat badan/hari atau lebih. Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5 gram/dl.

2.2 Epidemiologi Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun.

2.3 Etiologi Sebab pasti belum diketahui; akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit auto imun. Jadi merupakan suatu antigen-antibodi. Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu : a. Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun. Penyakit ini diturunkan secara resesif autosom atau karena reaksi fetomaternal. Resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Pencangkokan ginjal pada masa neonatus telah dicoba, tapi tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.

Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi histopatologik sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi ISKDC (International Study of Kidney Diseases in Children, 1970) serta Habib dan Kleinknecht (1971). Tabel 1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer3 Kelainan minimal (KM) Glomerulosklerosis (GS) Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) Glomerulosklerosis fokal global (GSFG) Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD) Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif Glomerulonefritis kresentik (GNK) Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP) GNMP tipe I dengan deposit subendotelial GNMP tipe II dengan deposit intramembran GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial Glomerulopati membranosa (GM) Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak. Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan Noer di Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal dari 401 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi.

b. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah : 1. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom Alport, miksedema. 2. Infeksi : hepatitis B, streptokokus, AIDS. 3. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun serangga, bisa ular. 4. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schnlein, sarkoidosis. 5. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal. malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis,

2.4 Patofisiologi Reaksi antigen antibody menyebabkan permeabilitas membrane basalis glomerulus meningkat dan diikuti kebocoran sejumlah protein (albumin). Tubuh kehilangan albumin lebih dari 3,5 gram/hari menyebabkan hipoalbuminemia, diikuti gambaran klinis sindrom nefrotik seperti edema, hiperliproproteinemia dan lipiduria. Patofisiologi beberapa gejala dari sindrom nefrotik : a. Proteinuria (albuminuria) Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Terdapat peningkatan permeabilitas membrane basalis kapiler-kapiler

glomeruli, disertai peningkatan filtrasi protein plasma dan akhirnya terjadi proteinuria(albuminuria). Beberapa faktor yang turut menentukan derajat proteinuria(albuminuria) sangat komplek.

Konsentrasi plasma protein Berat molekul protein Electrical charge protein 9

Integritas barier membrane basalis Electrical charge pada filtrasi barrier Reabsorpsi, sekresi dan katabolisme sel tubulus Degradasi intratubular dan urin

b. Hipoalbuminemia Plasma mengandung macam-macam protein, sebagian besar

menempati ruangan ekstra vascular(EV). Plasma terutama terdiri dari albumin yang berat molekul 69.000. Hepar memiliki peranan penting untuk sintesis protein bila tubuh kehilangan sejumlah protein, baik renal maupun non renal. Mekanisme kompensasi dari hepar untuk meningkatkan sintesis albumin, terutama untuk mempertahankan komposisi protein dalam ruangan ekstra vascular(EV) dan intra vascular(IV).

NORMAL Sintesis albumin dalam hepar normal

SINDROM NEFROTIK sintesis albumin meningkat

EV IV EV IV

Walaupun sintesis albumin meningkat dalam hepar, selalu terdapat hipoalbuminemia pada setiap sindrom nefrotik. Keadaan hipoalbuminemia ini mungkin disebabkan beberapa faktor : kehilangan sejumlah protein dari tubuh melalui urin (prooteinuria) dan usus (protein losing enteropathy) Katabolisme albumin, pemasukan protein berkurang karena nafsu makan menurun dan mual-mual Utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal ginjal

Bila kompensasi sintesis albumin dalam hepar tidak adekuat, plasma albumin menurun, keadaan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia ini akan diikuti oleh hipovolemia yang mungkin menyebabkan uremia pre-renal dan tidak jarang terjadi oligouric acute renal failure. Penurunan faal ginjal ini akan mengurangi filtrasi natrium Na+ dari glomerulus (glomerular sodium 10

filtration) tetapi keadaan hipoalbuminemia ini akan bertindak untuk mencegah resorpsi natrium Na+ kedalam kapiler-kapiler peritubular. Resorpsi natrium na+ secara peasif sepanjang Loop of Henle bersamaan dengan resorpsi ion Clsecara aktif sebagai akibat rangsangan dari keadaan hipovolemia. Retensi natrium dan air H2O yang berhubungan dengan system rennin-angiotensinaldosteron (RAA) dapat terjadi bila sindrom nefrotik ini telah memperlihatkan tanda-tanda aldosteronisme sekunder. Retensi natrium dan air pada keadaan ini (aldosteronisme) dapat dikeluarkan dari tubuh dengan pemberian takaran tinggi diuretic yang mengandung antagonis aldosteron.

c. Edema Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik dari kapiler-kapiler glomeruli, diikuti langsung oleh difusi cairan kejaringan interstisial, klinis dinamakan sembab. Penurunan tekanan onkotik mungkin disertai penurunan volume plasma dan hipovolemia. Hipovolemia

menyebabkan retensi natrium dan air. (lihat skema) Proteinuria masih menyebabkan hipoalbuminemia dan penurunan tekanan onkotik dari kapiler-kapiler glomeruli dan akhirnya terjadi edema. Mekanisme edema dari sindrom nefrotik dapat melalui jalur berikut : 1. Jalur langsung/direk Penurunan tekanan onkotik dari kapiler glomerulus dapat langsung menyebabkan difusi cairan ke dalam jaringan interstisial dan dinamakan edema. 2. Jalur tidak langsung/indirek Penurunan tekanan onkotik dari kepiler glomerulus dapat menyebabkan penurunan volume darah yang menimbulkan konsekuensi berikut: Aktivasi system rennin angiotensin aldosteron Kenaikan plasma rennin dan angiotensin akan menyebabkan

rangsangan kelenjar adrenal untuk sekresi hormone aldosteron. Kenaikan konsentrasi hormone aldosteron akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion natrium menurun. Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan circulating cathecolamines.

11

Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin, menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat. Kenaikan tahanan vaskuler renal ini dapat diperberat oleh kenaikan plasma rennin dan angiotensin.

2.5 Gejala Klinis Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah edema, yang tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali edema timbul secara lambat sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerahdaerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya edema menjadi menyeluruh dan masif (anasarka). Edema berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai edema muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan edema hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Edema biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM. Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan edema masif yang disebabkan edema mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh karena edema dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan menurun karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani. Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak, maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik. Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada penyakit berat dan kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan respons 12

emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri. Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu sering dan lama menyebabkan perkembangan dunia sosial anak menjadi terganggu. Manifestasi klinik yang paling sering dijumpai adalah sembab, didapatkan pada 95% penderita. Edema paling parah biasanya dijumpai pada sindrom nefrotik tipe kelainan minimal (SNKM). Bila ringan, sembab biasanya terbatas pada daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah, misal daerah periorbita, skrotum, labia. Edema bersifat menyeluruh, dependen dan pitting. Asites umum dijumpai, dan sering menjadi anasarka. Anak-anak dengan asites akan mengalami restriksi pernafasan, dengan kompensasi berupa tachypnea. Akibat edema kulit, anak tampak lebih pucat. Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian International Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30% pasien SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil umur. Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria yang masif yaitu > 40 mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam; biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari. Pasien SNKM biasanya mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien dengan tipe yang lain. Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum < 2.5 g/dL. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan umumnya, berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol LDL dan VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria. Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik. Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal penyakit. Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin serum biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang bukan SNKM. Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik. Pada pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi pleura dan hal tersebut berkorelasi secara langsung dengan derajat sembab dan secara tidak langsung dengan kadar albumin serum. Sering pula terlihat gambaran asites. USG ginjal sering terlihat normal meskipun kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan dari kedua ginjal dengan ekogenisitas yang normal. 13

PATOFISIOLOGI :

Reaksi Ag-ab Peradangan glomerulus

Permeabilitas membran basalis meningkat

Proteinuria

Hipoalbuminemia

Tekanan osmotik Kapiler menurun

Lipid serum meningkat

Transudasi ke Dalam interstisium hipovolemia

ADH meningkat aldesteron meningkat

GFR menurun

Retensi Na+ & H2O

edema

14

2.6 Penegakkan diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 1. Anamnesis Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di ke dua kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan. 2. Pemeriksaan fisis Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadangkadang ditemukan hipertensi 3. Pemeriksaan penunjang Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat, rasio

albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal. Bila terjadi hematuria mikroskopik (>20 eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (mis. Sclerosis glomerulus fokal).

2.7 Penatalaksanaan Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah tergesagesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10% kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari. Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada penderita dengan sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel 2 berikut: Tabel 2. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada penderita dengan sindrom nefrotik Remisi Proteinuria negatif atau proteinuria < 4 mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut Kambuh Proteinuria 2+ atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut, sebelumnya pernah mengalami remisi

15

Kambuh tidak sering

Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12 bulan

Kambuh sering

Kambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal, atau 4 kali kambuh pada setiap periode 12 bulan

Responsif-steroid

Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja

Dependen-steroid

Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan

Resisten-steroid

Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison 60 mg/m2/hari selama 4 minggu

Responder lambat

Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari tanpa tambahan terapi lain

Nonresponder awal Nonresponder lambat

Resisten-steroid sejak terapi awal Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-steroid

PROTOKOL PENGOBATAN International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan untuk memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m2/hari dengan dosis maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan sebesar 40 mg/m2/hari secara selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu, lalu setelah itu pengobatan dihentikan. A. Sindrom nefrotik serangan pertama 1. Perbaiki keadaan umum penderita a. Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal. Batasi asupan natrium sampai 1

16

gram/hari, secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya dalam makanan yang diasinkan. Diet protein 2-3 gram/kgBB/hari. b. Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau albumin konsentrat. c. Berantas infeksi d. Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi e. Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema anasarka. Diuretik diberikan bila biasanya ada edema 1 anasarka atau

mengganggu

aktivitas.

furosemid

mg/kgBB/kali,

bergantung pada beratnya edema dan respons pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan hidroklortiazid (25-50 mg/hari). Selama pengobatan diuretic perlu dipantau kemungkinan hipokalemia, alkalosis metabolic, atau kehilangan cairan intravascular berat Jika ada hipertensi, dapat ditambahkan obat antihipertensi. 2. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan, prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau kurang terjadi pemburukan keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu waktu 14 hari

B. Sindrom nefrotik kambuh (relapse) 1. Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse ditegakkan 2. Perbaiki keadaan umum penderita a. Sindrom nefrotik kambuh tidak sering Merupakan sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau < 4 kali dalam masa 12 bulan. 1) Induksi Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu 2) Rumatan

17

Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, prednison dihentikan. b. Sindrom nefrotik kambuh sering Merupakan sindrom nefrotik yang kambuh > 2 kali dalam masa 6 bulan atau > 4 kali dalam masa 12 bulan. 1) Induksi Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu. 2) Rumatan Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, dosis prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2/48 jam diberikan selama 1 minggu, kemudian 30 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, akhirnya 10 mg/m2/48 jam selama 6 minggu, kemudian prednison dihentikan. Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3 mg/kg/hari diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi anak adalah bila pasien tidak respons terhadap pengobatan awal, relapse frekuen, terdapat komplikasi, terdapat indikasi kontra steroid, atau untuk biopsi ginjal.

2.8 Komplikasi y y y Shock akibat sepsis, emboli atau hipovolemia Thrombosis akibat hiperkoagulabilitas Infeksi sekunder, terutama infeksi kulit yang disebabkan oleh

Streptokokus, Stafilokokus y y Hambatan pertumbuhan Gagal ginjal akut atau kronik

Efek samping steroid, misalnya sindrom Cushing, hipertensi, osteoporosis, gangguan emosi dan perilaku

18

2.9 Prognosis Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut : 1. Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun. 2. Jenis kelamin laki-laki. 3. Disertai oleh hipertensi. 4. Disertai hematuria 5. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder 6. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal 7. Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari timbulnya gambaran klinis Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid.

19

BAB III KESIMPULAN

Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh proteinuria masif, hipoalbuminemi, edema, hiperlipidemi, lipiduri dan hiperkoagulabilitas yang disebabkan oleh kelainan primer glomerulus dengan etiologi yang tidak diketahui atau berbagai penyakit tertentu. Pemahaman patogenesis dan patofisiologi merupakan pedoman pengobatan rasional sebagian besar pasien SN. Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah edema, yang tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali edema timbul secara lambat sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya edema menjadi menyeluruh dan masif (anasarka). Penatalaksanaan SN meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal atau penyakit penyebab, menghilangkan/mengurangi proteinuria, memperbaiki

hipoalbuminemia serta mencegah dan mengatasi penyulit Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid.

20

Anda mungkin juga menyukai