Anda di halaman 1dari 61

No.

64 1990
International Standard Serial Number: 0125 – 913X
Diterbitkan oleh :
Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma

Daftar Isi :
2. Editorial

Artikel

3. Program Pemberantasan Filaria di Indonesia


7. Masalah dalam Pemberantasan Filariasis di Indonesia
11 Aspek Epidemiologi Filariasis yang Berhubungan dengan
Pemberantasnnya
15. Aspek Sosio Budaya dalam Penanggulangan Filariasis
18. Beberapa Aspek Imunologi dan Bioteknologi dalam Penang-
gulangan Masalah Filariasis
22. Identifikasi Komponen Proten Mikrofilaria B malayi dan
hubungannya dengan Status Kliniko Parasitologik dari Filaria

27. Nutritional Polyneuropathy in Surabaya and its Surrounding


33. Ulkus Dekubitus
36. Pola Preskripsi Obat yang Dikaitkan dengan Diagnosis di Unit
Rawat Jalan rumah Sakit Umum Kelas C, Kelas D, dan Pus-
kesmas
42. Kunjungan Pasien Kanker di Unit Rawat Jalan Beberapa
Rumah Sakit di Indonesia
46. Purifikasi Antibiotik
50. Identifikasi Tipe Lepromatous Leprosy (LL) pada Pasien
Lepromatosa secara Tes transformasi Limfosit

53. Kegiatan Ilmiah : Simposium Peranan Akupunktur dalam Dunia


Kedokteran
54. Kalender Kegiatan Ilmiah

55. Informasi Obat : Facid®

56. Pengalaman Praktek : Nyaris Makan Tanah;Sampah


56. Humor Ilmu Kedokteran
58. Abstrak-abstrak.
60. RPPIK
Bagi sementara orang, filariasis menypakan. penyakit yang hanya didengar ceritanya saja
taa pernah melihat sendiri penderitanya. Penyakit ini memang sejenis penyakit parasit yang
penyebarannya tidak merata, melainkan terkonsentrasi di beberapa kantong-kantong wilayah
tertentu. Meskipun demikian, penyakit ini tetap merupakan masalah kesehatan yang penting,
karena menyebabkan kerugian masyarakat berupa penurunan produktivitas penderitanya,
apalagi sarana pemberantasannya sebenarnya sudah cukup tersedia. Adanya kendala yang di-
jumpai di lapanganlah yang mengakibatkan mash terdapatnya daerah-daerah endemik filariasis
sampai saat ini.
Edisi kalil ini menampilkan kumpulan makalah yang pernah dibahas pada Seminar Penyakit
Menular yang diadakan oleh Pusat Penelitian Penyakit Menular Departemen Kesehatan RI
beberapa waktu yang lalu, ditambah dengan artikel yang membahas aspek imunologi dan
bioteknologinya.
Seminar tersebut menghasilkan beberapa rekomendasi yaitu :
Karena keterbatasan biaya operasi untuk pemberantasan filariasis, maka sejak tahun
anggaran 1987 - 1988 pelaksanaānnya diserahkan ke Puskesmas dengan melakukan
pengobatan bagi penderita yang berobat ke Puskesmas setempat.
Dengan memperhatikan hal tersebut di atas, maka forum diskusi simposium
filariasis memandang perlu untuk menyiapkan penanggulangan filariasis di tingkat Pus-
kesmas.
Langkah-langkah yang perlu diambil adalah sebagai berikut :
1) Petugas Puskesmas dengan memakai indikator gejala klinis: adenolimfangitis dan
elephantiasis, dapat memperkirakan adanya filariasis di suatu daerah atau desa.
2) Suatu desa yang diperkirakan merupakan daerah endemis, dianjurkan melaksanakan
pemeriksaan darah jari 20 ul pada malam hari, dari sejumlah 10% dari penduduknya.
3) Bila hasil pemeriksaan darah.menunjukkan mikrofilaremia 5% atau lebih dari jumlah
yang diperiksa, maka sebaiknya dilakukan pengobatan massal dengan biaya dari Daerah.
4) Pengobatan massal dianjurkan dengan dosis rendah yang diberikan secara berkala
sampai dicapai dosis total Dietilkarbamasin sejumlah 4 g untuk B. malayi dan 6 g untuk
W. bancrofti lama pengobatan ditetapkan oleh kebijaksanaan dokter Puskesmas. Pe-
ngobatan tersebut dianjurkan dengan peran serta masyarakat.
5) Vektor potensialdi daerah endemis ini perlu ditentukan, untuk mengetahui tempat
perindukannya. Selanjutnya bila memungkinkan dilakukan pengendalian lingkungan
dengan kerjasama lintas sektoral khususnya bidang pertanian.
6) Evaluasi pengobatan dianjurkan dilaksanakan 3 tahun setelah pengobatan.
7) Memasukkan Dietilkarbamasin dalam daftar obat essensial filariasis obat Inpres Pus-
kesmas.
Artikel tambahan yang melengkapi edisi ini adalah mengenai polineuropati, ulkus dekubitus
dan beberapa lainnya lagi.
Selamat membaca,
Redaksi

2 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990


Artikel

Program Pemberantasan Filaria


di Indonesia
Dr. Isrin Ilyas DTMH, MPH.
Sub Direktorat Filariasis, Direktorat Jenderal PPM dan PLP
Departemen Kesehatan RI., Jakarta

PENDAHULUAN
Filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebab- gram Pemberantasan Filariasis telah mencakup 1860 daerah
kan oleh sejenis cacing darah-jaringan dari Genus Filaria, yang kantong endemis filariasis meliputi 21 dari 27 propinsi seluruh
penularannya pada manusia melalui gigitan berbagai spesies Indonesia. Hasil yang dicapai cukup meinuaskan prevalensi
nyamuk. Penyakit ini menjadi masalah kesehatan rakyat yang penyakit secara nyata turun dari 13,3% pada tahun 1970 menjadi
penting terutama bagi daerah pedesaan di luar pulau Jawa-Bali 3,29% pada tahun 1987. Walaupun angka penurunan ini belum
karena mengakibatkan berkurangnya kemampuan kerja masya- menggambarkan keadaan yang sebenamya, tapi dapat disimpul-
rakat dan cacat yang ditimbulkannya. Kantong-kantong daerah kan bahwa Program Pemberantasan Filariasis yang telah di-
endemis biasanya merupakan daerah dataran rendah yang ber- laksanakan jelas memberikan dampak yang nyata dalam me-
awa dengan di sana-sini dikelilingi oleh daerah yang bersemak nekan potensi penularan sekaligus melindungi dan meringankan
kerugian masyarakat terhadap berkurangnya kemampuan kerja.
belukar dan berhutan. Diperkirakan ada sekitar 5.000 daerah
Dengan tidak adanya bantuan dana sejak tahun 1987/1988,
kantong filariasis yang mengancam kira-kira sejumlah 20 juta
maka praktis kegiatan operasional pemberantasan Filariasis ter-
penduduk, di antaranya sekitar 2 juta orang terinfeksi mikro-
henti, sehingga dapat diperkirakan untuk masa-masa mendatang
filaria dalam darahnya, kira-kira 200.000 penduduk menderita potensi penularan filariasis akan meningkat kembali dan rakyat
serangan akut dan 100.000 orang menanggung cacat (elephan- pedesaan di daerah endemis filariasis akan tetap menanggung
tiasis) sepanjang hidupnya. Pendatang barn ke daerah endemis penderitaan akibat penyakit ini.
yang belum mempunyai daya imunitas terhadap filariasis akan Di samping faktor sumber daya untuk menunjang pem-
lebih mudah mendapat serangan akut serta akibat menahun berantasan 'filariasis, cukup banyak faktor-faktor teknis-epi-
selanjutnya. demiologis penyakit yang belum terpecahkan sehingga metode
Di Indonesia ditemukan tiga spesies cacing Filaria yang me- pemberantasan yang efektif dan efisien belum ditemukan.
rupakan penyebab penyakit ini, yaitu Wuchereria bancrofii,
Brugia malayi dan Brugia timori dan berpuluh-puluh spesies
nyamuk yang berperan sebagai vektor penular penyakit. Fila-
riasis-malayi disamping mempunyai gejala-gejala yang lebih
TUJUAN
berat memberikan masalah tersendiri dengan adanya hospes
binatang (kucing dan kera) sebagai sumber penularan. Tentang Program Pemberantasan Filariasis bertujuan untuk melin-
bionomik dan perilaku vektor nyamuk masih banyak yang belum dungi masyarakat dari ancaman penyakit filariasis agar terhindar
diketahui sehingga sampai saat ini metode vektor kontrol yang dari serangan penularan dan terbebas dari penderita akibat
tepat guna belum ditemukan. penyakit.
Sejak tahun 1970 (Pelita I) dengan kerja sama WHO, US Secara operasional tujuan tersebut digambarkan dengan me-
Namru dan Bagian Parasitologi UI mulai dilaksanakan peneliti- makai indikator Microffilaria rate (dalam %) dan Acute Disease
an dan percobaan lapangan untuk pemberantasan filariasis Rate (dalam %), yaitu :
dan sejak tahun 1975 (Pelita II) Program Pemberantasan Fila- 1. Menurunkan M -f rate sampai kurang dari 2%;
riasis secara intensif mulai dilaksanakan. Sampai saat ini Pro- 2. Menurunkan ADR sampai menjadi 0%
Dibacakan pada Simposium Filariasis, Seminar Penyakit Menu/ar, Pusat Penelitian
Penyakit Menular Departemen Kesehatan RI., 21 Maret 1988.

Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990 3


KEBIJAKSANAAN selama 10 hari untuk Filariasis malayi dan Filariasis timori.
b) Pengobatan DEC dosis bertahap.
Mempertimbangkan banyak dan luas tersebarnya kantong-
Dosis tunggal sehari cukup 1 tablet Filarzan(50 mg. DEC)
kantong daerah endemis filariasis di aneka ragam medan geo-
bagi penduduk berumur di atas 10 tahun dan 1/2 tablet
grafis, keterbatasan sumber daya dan faktor-faktor teknis epi-
bagi yang berumur di bawah 10 tahun. Pemberian dosis ini
demiologis, maka dalam pelaksanaan Program Pemberantas-
berlangsung selama 4 hari dan hari-hari berikutnya pengobat-
an Filariasis ditetapkan beberapa kebijaksanaan.
an dilanjutkan dengan pemberian dosis standar .
1) Prioritas.
c) Pengobatan DEC dosis rendah.
Urutan prioritas daerah endemis yang akan diberantas
Kepada setiap penduduk diberikan dosis tunggal sehari
adalah :
1/2 tablet bagi yang berumur di atas 10 tahun dan 1/4
a) daerah sosio-ekonomi produktif;
tablet bagi yang berumur di bawah 10 tahun. Obat hanya
b) daerah lokasi transmigrasi;
diminum setiap minggu selama 6 bulan dan dilanjutltan
c) daerah dengan derajat endemisitas tinggi;
selama 6 hari lagi dengan dosis standar .
d) daerah endemis yang memerlukan pemberantasan ulang.
5) Survai evaluasi.
2) Metode intervensi.
Kegiatan ini merupakan kegiatan pemeriksaan klinis dan pe-
Kegiatan utama pemutusan rantai penularan adalah dengan
meriksaan darah jari untuk menilai basil pengobatan setelah
jalan pengobatan massal penduduk dengan pemberian obat
periode 1 tahun.
pembunuh parasit (Diethylcarbamazine Citrate). Jadi dengan
Bila telah diketahui M -f rate kurang dari 2% dan ADR = 0%,
tujuan melenyapkan sumber infeksi pada manusia.
maka pengamatan dan penanggulangan selanjutnya diserahkan
3) Peran serta masyarakat.
kepada Puskesmas setempat. Puskesmas akan membeukan pe-
Agar target dan sasaran pemberantasan tercapai
ngobatan DEC secara selektif kepada penduduk yang mem-
masyarakat harus dilibatkan secara aktif untuk ikut
berperan dalam kegiatan pemberantasan. Tabel 1. Hasil survei dan pengobatan Filariasis di Indonesia sejak 1970/1971 s.d. 1986/1987
4) Di daerah endemis dengan prevalensi M-frate SURVEI MIKROFILARIA PENGOBATAN
kurang dari 2%, kegiatan pemberantasan filariasis Tahun
Jumlah Jumlah Jumlah ML Range Jumlah Jumlah
dilakukan oleh Puskesmas setempat dengan meto- Desa diperiksa positif rate Mf. rate Desa diobati
de pengobatan DEC secara selektif. 1970/1971 35 11.022 2.383 21,6 0,6 -37,6 - -
1971/1972 42 16.703 2.561 15,3 0,0 -68,5 1 833
POKOK POKOK KEGIATAN 1972/1973 46 21.266 2.780 13,1 0,0 -85,7
1973/1974 60 30.952 2.905 9,4 0,0 -60,4 5 19.286
1) Pengumpulan data dasar, sensus penduduk
dan pemetaan lokasi. Pelita I. 183 79.943 10.629 13,3 7 20.819
Kegiatan ini bermaksud untuk mengetahui dan 1974/1975 59 25.864 2.919 11,2 0,0 - 45,4 15 10.861
menentukan keadaan endemisitas suatu daerah, 1975/1976 85 59.898 6.075 10,1 0,0 - 53,3 24 37.880
keadaan penduduk, situasi geografis dan fasilitas 1976/1977 103 73.096 7.938 10,8 0,0 - 42,7 80 72.885
1977/1978 82 57.301 5.100 8,8 0,0 - 34,2 79 75.274
yang mendukung, sehingga dapat dibuat rencana
1978/1979 78 53.695 3.110 5,7 0,0 - 28,2 33 30.869
kegiatan pemberantasan selanjutnya.
2) Penyuluhan kesehatan masyarakat. Pelita II 407 269.818 25.142 9,31 231 227.769
Kepada seluruh penduduk diberikan penyuluhan 1979/1980 111 76.350 4.851 6,3 0,0 - 34,4 74 101.982
tentang penyakit filariasis, penyebarannya, cara 1980/1981 136 112.667 7.765 6,9 0,0 -70,0 140 162.700
pemberantasannya dan bagaimana perilaku masya- 1981/1982 147 132.347 6.317 4,7 0,0 -70,0 144 178.260
rakat untuk menunjang pemberantasan penyakit. 1982/1983 173 164.538 7.547 4,5 0,0 - 37,5 183 229.116
3) Pemeriksaan klinis dan pemeriksaan darah jari. 1983/1984 196 163.108 5.123 3,1 0,0 - 34,0 164 212.005
Dari ditemukannya tanda-tanda dan gejala-geja- Pelita III 763 649.010 31.603 4,86 705 884.063
la klinis akut dan menahun akan dapat ditentukan 1984/1985 343 164.228 4.679 2,8 0,0 - 21,5 258 276.047
besarnya Acute Disease Rate (ADR) dan 1985/1986 224 109.296 4.143 3,8 0,0 - 23,8 201 199.066
Elephantia - sis Rate (ER). Dari jumlah penduduk 1986/1987 123 50.097 1.699 3,4 0,0 - 11,7 111 94.772
yang ditemukan mikro-filaria dalam darah jarinya Pelita IV 690 323.621 10.521 3,25 570 569.885
akan dapat diketahui besarnya tingkat penularan s.d Th. Ke-3
penyakit (Micro-filaria rate : M f rate4).
4) Pengobatan massal. Keterangan :
Ada tiga altematif cara pemberian obat DEC, ya- Tahun anggaran 1987/1988 program pemberantasan Filariasis tidak mendapat anggaran
itu : lagi dari APBN, untuk sementara kegiatan terhenti dan kelanjutan pemberantasan di-
a) Pengobatan DEC dosis standar serahkan kepada kesediaan Dinas Kesehatan Propinsi masing-masing.
Data di atas menunjukkan hasil survei dan pengobatan pendahuluan maupun ulangan
Kepada setiap penduduk diberikan obat DEC setiap tahunnya; jadi sejumlah desa yang dilakukan intervensi per tahun, sebagian me-
dengan dosis tunggal sehari 5 mg/kg BB rupakan desa-desa baru dan sebagian lagi merupakan desa-desa yang pernah dilakukan
selama 15 hari untuk Filariasis bancrofti dan kegiatan pada tahun-tahun sebelumnya (desa lama).
Sumber data : Seksi pemberantasan vektor pada Subdit Filariasis & Schistosomiasis.

4 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990


Tabel 2. Cakupan Wilayah Pemberantasan Filariasis dan tingkat Prevalensi berdasarkan hasil-hasil
survei pendahuluan sejak adanya kegiatan pemberantasan sampai dengan tahun 1985/1986. Pelita IV (th. 1984/1985 s.d th. 1986/1987).
PROPINSI Telah disurvei sejumlah 690 desa endemis
Jumlah cakupan Jumlah Jumlah desa/lokasi dg. Mf.
Tahun awal rate pada survei pendahuluan dengan hasi Mf-rate 3,25% dan telah diobati
Desa/
No. Kabu- Keca- lokasi
sejumlah 569.885 orang.
kegiatan < 2% ≥ 2 %
paten matan kegiat- Sejak dimulainya tahun 1970/1971 sam-
an Jml. % Jml. % pai tahun proyek 1986/1987 Program Pembe-
rantasan filariasis telah menjangkau 21 pro-
1. Aceh 1971/1972 6 22 36 3 8,3 33 91,7 pinsi dari 27 propinsi seluruh Indonesia, me-
2. Sumut 1971/1972 6 16 31 18 58,0 13 41,9
liputi 116 kabupaten, 390 kecamatan dan
3. Sumbar 1971/1972 5 8 63 34 54,0 29 46,0
4. Riau: 1972/1973 5 23 131 14 . 10,7 117 89,3
1860 desa yang merupakankantong-kantong
5. Jambi 1972/1973 2 4 42 8 19,0 34 81,0 daerah endemis filariasis. Terlihat ada ke-
6. Sumsel 1971/1972 6 22 101 38 37,6 63 62,4 cenderungan penurunan penularan dari tahun
7. Bengkulu 1971/1972 3 12 244 92 37,7 152 62,3 ke tahun (Pelita I : rata-rata M-f rate 13,3%,
8. Jawa Barat 1970/1971 5 5 8 6 0 2 100 Pelita IV : rata-rata M-f rate 3,25%).
9. Jawa Tengah 1976/1977 7 9 18 12 66,7 6 33,3 Dari sebanyak 1860 desa endemis yang
10. Kal - Bar 1972/1973 5 17 53 17 32,0 36 67,9
11. Kal-Teng 1973/1974 7 22 119 29 24,4 90 75,6
disurvei ternyata sebanyak 1394 desa ting-
12. Kal - Sel 1970/1971 9 31 104 9 8,6 95 91,3 kat endemisitasnya tinggi (Mf-rate di atas 2%)
13 Kal- Tim 1973/1974 5 30 74 14 18,9 60 81,1 sehingga perlu dilakukan pengobatan massal
14.Sul- 1971/1972 4 18 45 20 44,4 25 55,6 dengan obat DEC. Pada evaluasi selanjutnya
15. Sul-Teng 1970/1971 4 32 270 55 20,4 215 79,6 dari 1394 desa endemis tersebut hanya pada
16. Sul - Set 1969/1970 3 8 67 11 16,4 56 83,6 sebanyak 381 desa prevalensinya dapat di-
17. Sul - Tra 1971/1972 4 16 54 6 11,1 48 88,9
turunkan menjadi 2% atau kurang; 1013
18. N.T.T. 1971/1972 12 39 251 48 19,1 203 80,9
19. Maluku 1972/1973 2 8 33 2 6,1 31 93,9 desa endemis prevalensinya masih di atas 2%
Irian Jaya 1979/1980 7 13 23 8 34,8 15 65,2 (441 desa dengan Mf-rate : 2% - 5% dan 572
21. Timor Timur 1980/1981 9 15 93 22 23,6 71 76,3 desa dengan Mf-rate : di atas 5%). Jadi peng-
Jumlah 1969/1970 116 390 1860 466 25,0 1394 74,9 obatan massal yang telah dilakukan berhasil
menekan potensi penularan sampai di bawah
Jakarta, Oktober 1986
punyai tanda-tanda/gejala-gejala klinis saja. 2% hanya pada 381 desa (28%), walaupun kegiatan pengo- batan
massal ini telah dilakukan berulang kali (2 – 3 kali u-lang).
Bila M-f rate masih di atas 2% dan ADR lebih dari 0% maka
pengobatan massal ulang dilakukan kembali.
HASIL YANG DICAPAI
Selama periode dari tahun 1970 (Pelita I) sejak dimulainya MASALAH
Program Pemberantasan Filariasis sampai dengan tahun 1987
(tahun ke-3 Pelita IV) hasil yang dicapai dapat digambarkan Selain masalah-masalah operasional yang menyangkut faktor-
sebagai berikut (lebih lanjut dapat diperlihatkan pada daftar faktor sumber daya, medan geografis dan perilaku masyarakat,
terlampir). Program Pemberantasan Filariasis menemui hambatan me-
Pelita I (th. 1970/1971 s.d th. 1973/1974). nyangkut faktor-faktor teknis-epidemiologis sebagai berikut :
Kegiatan-kegiatan program masih dalam rangka penelitian 1. Diagnosis
dan percobaan lapangan mencakup daerah-daerah endemis
yang masih terbatas dan baru melibatkan 6 propinsi. Telah Diagnosis dini baru dapat ditegakkan bila ditemukan gejala-
dilakukan survei pada 183 desa endemis dengan hasil Mf rate gejala dan tanda-tada akut filariasis. Hanya sebagian kecil saja
rata-rata 13,3% dan kemudian telah diobati sebanyak 20.819 (1% - 2%) penderita yang memperlihatkan tanda-gejala akut ini.
orang penduduk. Sebagian besar lagi diagnosis baru dapat ditegakkan setelah pe-
nyakit berkembang selama 5 - 6 bulan di mana telah dapat
Pelita II (th. 1974/1975 s.d th. 1978/1979). ditemukan mikrofilaria dalam darah tepi dan di antara pen-
Program pemberantasan yang lebih intensif mulai derita yang mengandung mikrofilaria ini perjalanan penyakit
dilaksanakan mencakup jumlah daerah endemis yang lebih selanjutnya banyak yang tidak memperlihatkan sama sekali
banyak. Telah disurvei sejumlah 407 desa endemis dengan gejala klinis baik tanda akut maupun tanda kronis sehingga
hasil Mf-rate rata-rata 9,3% dan penduduk yang diobati mereka tak pemah merasakan terserang filariasis.
berjumlah 227.769 jiwa. Diagnosis epidemiologis untuk menentukan derajat endemi-
Pelita III (th. 1979/1980 s.d th. 1983/1984). sitas suatu daerah dilakukan dengan cara pemeriksaan darah jari
Program Pemberantasan Filariasis mencakup 763 buah desa dari sejumlah sampel yang cukup banyak (minimal sekitar 1000
endemis, dengan Mf-rate rata-rata 4,86% dan jumlah penduduk orang) dan tentunya akan membutuhkan lebih banyak tenaga,
yang mendapat pengobatan sebanyak 884.063 orang. dana waktu operasional.

Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990 5


Tabel 3. Evaluasi keberhasilan Propinsi dalam Pemberantasan Filariasis (Jumlah desa/lokasi
2. Pengobatan DEC yang berhasil diturunkan 2% dan yang belum) sampai dengan tahun 1985/1986
Masalah-masalah yang muncul dari pengobat-
an DEC adalah : Jumlah Jumlah desa/lokasi dengan Mf. Rate desa/
Desa/
z Masih seringnya ditemui reaksi samping o- lokasi Berhasil diturunkan Masih 2 - 4% ≥ 5%
No. PROPINSI
bat yang cukup berat (mual, muntah, pu- dg. Mf. < 2%
sing, demam dan menggigil); 2% Jumlah % Jumlah % Jumlah %
z Frekuensi minum obat yang sering (untuk
dosis standar antara 10 - 15 kali; dosis 1. Aceh 33 4 12,1 15 45,5 14 42,4
2. Sumut 13 6 46,2 46,2 1 7,6
bertahap dan dosis rendah lebih seringlagi); 3. Sum - Bar 29 15 51,7 12 41,4 2 6,9
z Pada pengobatan massal penduduk, mereka 4. Riau 117 21 17,9 20 17,0 76 65,0
yang merasa tak sakit enggan minum obat, 5. Jambi 34 10 29,4 12 35,3 12 35,3
apalagi bagi mereka yang mengetahui da- 6. Sum - Sel 63 36 57,1 20 31,7 7 11,1
rahnya tidak mengandung mikrofilaria. 7. Bengkulu 152 32 21,0 38 25,0 82 53,9
z Penderita cacat lama (elephantiasis) kecewa 8. Jawa Barat 2 1 50,0 1 50,0 0 0
9. Jawa Tengah 6 5 83,3 1 16,7 0 0
karena merasa obat DEC yang diminum ti
10. Kal - Bar 36 11 30,5 8 22,2 17 47,2
dak menyembuhkan cacat yang dideritanya. 11. Kal - Teng 90 18 20,0 33 36,7 39 43,3
12. Kal - Sel 95 46 48,4 24 25,3 25 26,3
13. Kal - Tim 60 8 13,3 18 30,0 34 56,7
14. Sul - Utara 25 13 52,0 5 20,0 7 28,0
3. Vektor nyamuk. 15. Sul - Tengah 215 42 19,5 58 26,9 115 53,5
Beraneka ragam spesies nyamuk yang berperan 16. Sul - Sel 56 5 8,9 25 44,6 26 46,4
sebagai vektor rantai penularan penyakit belum 17. Sul - Tra 56 5 8,9 25 41,7 12 25,0
dapat dikontrol secara memuaskan karena be- 18. N.T.T. 203 64 31,5 80 39,4 59 29,1
lum adanya metode vektor kontrol yang tepat gu- 19. Maluku 31 13 41,9 13 41,9 5 16,1
20. Irian Jaya 15 2 13,3 3 20,0 10 6,7
na, terutama vektor kontrol untuk spesies-spesi-
21. Timor Timur 71 13 18,3 29 40,8 29 40,8
es Mansonia dan Culex.
Jumlah 1394 318 27,3 441 31,6 572 41,1

4. Hospes binatang
Untuk Brugia malayi yang zoonotik, sumber penularan pe- 2) Agar dapat diteliti metode diagnosis epidemiologisayang lebih
nyakit selain manusia juga ikut berperan binatang liar seperti kera tepat-guna sehingga dapat ditentukan potensi penularan suatu
dan kucing. Sampai saat ini belum diketahui bagaimana metode daerah. Apakah metode survai darah jari yang melibatkan
intervensi terhadap hospes binatang ini. Untuk ini perlu di- sampel yang cukup banyak masih relevan?
ketahui sejuah mana peranan hospes binatang tersebut dan 3) Agar dapat diteliti faktor-faktor apa yang berperan sehingga
daerah-daerah endemis Brugia malayi mana yang bersifat zoono- hanya orang-orang tertentu saja yang memperlihatkan manifes-
tik. tasi klinik akut atau menimbulkan cacat elephantiasis.
4) Agar dapat diteliti obat alternatif sebagai pengganti obat DEC,
KESIMPULAN DAN SARAN yang tetap efektif tapi dengan efek samping lebih ringan dan
praktis penggunaannya.
Selama empat periode Pelita (dari tahun 1970 sd tahun 5) Agar dapat.diteliti pengobatan atau tindakan yang tepat bagi
1987) telah dilakukan upaya-upaya pemberantasan filariasis di penderita cacat elephantiasis yang tidak mempan oleh obat DEC.
Indonesia dengan kegiatan pokok berupa pengobatan massal 6) Agar dapat diteliti apakah metode pengobatan masal yang
penduduk dengan obat DEC. Daerah-daerah endemis yang ter- juga melibatkan penduduk yang tidak terserang masih efektif
cakup dalam kegiatan pemberantasan baru sebagian saja dari dan dapat dipertahankan.
seluruh daerah endemis yang ada. Walaupun demikian dari hasil 7) Agar dapat diteliti lebih lanjut tentang bionomik spesies
yang dicapai terlihat ada kecenderungan penurunan penularan nyamuk penular, sehingga akan dapat ditemui metode vektor
sehingga banyak penduduk di daerah endemis dapat terhindar kontrol yang tepat guna untuk menunjang pemberantasan fila-
dan tertolong dari ancaman kerugian yang ditimbulkan penyakit riasis.
ini. 8) Agar dapat diteliti lebih lanjut daerah-daerah endemis Brugia-
Dalam menuju suksesnya pemberantasan filariasis, ditemu- malayi yang zoonotik, seberapa jauh peranan hospes binatang
kan masalah-masalah yang memerlukan pemecahan selanjutnya diketahui bagaimana metode intervensi terhadap hospes penular
dan dalam makalah ini diajukan berupa saran-saran sebagai ber- tersebut.
ikut : 9) Dalam keterbatasan sumber daya diharapkan adanya cara
1) Agar dapat diteliti metode menegakkan diagnosis dini ter- yang lebih tepat guna untuk melanjutkan pemberantasan fila-
utama bagi penderita yang tidak memperlihatkan tanda-tanda riasis agar kerugian-kerugian berupa hilangnya tenaga kerja
dan gejala-gejala klinik yang jelas. masyarakat tidak berlanjut.

6 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990


Masalah dalam Pemberantasan Filariasis
di Indonesia
Sri Oemijati
Bagian Parasitologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

PENDAHULUAN besar, dan akhirnya hambatan bergerak karena besarnya.


Pemberantasan suatu penyakit perlu dilakukan, bila mem- Gejala menahun ini selain menyebabkan penderitaan fisik,
punyai dampak yang jelas, misalnya suatu-penyakit yang mem- juga menyebabkan penderitaan mental yang tidak ringan.
punyai angka kematian, angka kesakitan dan prevalensi yang
tinggi; dapat menyebar dengan cepat dan menyebabkan KEADAAN DI INDONESIA
wabah, serta dirasakan menyebabkan kerugian besar. Filariasis tersebar luas di seluruh Indonesia, terutama
Penyakit filariasis tidak menyebabkan kematian secara di daerah pedesaan di dataran rendah. Walaupun dapat di-
langsung, tetapi menyebabkan penderitaan serta kerugian temukan juga di daerah perkotaan dan yang berbukit, pe-
tidak sedikit, jika dihitung kehilangan jam kerja yang disebab- nyakit ini terutama merupakan masalah kesehatan masya-
kannya. rakat di daerah pedesaan di dataran rendah.
DAMPAK PENYAKIT FILARIASIS Spesies parasit dan masalah filariasis
Untuk melihat dampak penyakit filariasis, perlu ditinjau Di Indonesia pada manusia ditemukan tiga spesies yang
gejala-gejala yang disebabkannya. secara epidemiologik dapat dipisahkan menjadi lima macam,
Gejala akut terdiri dari demam, limfadenitis, limfangitis yaitu W. bancrofti yang ada di daerah perkotaan, W. bancrofti
yang biasanya sering kambuh dan dapat timbul sebulan sekali, yang ada di daerah pedesaan, B. malayi yang periodik(yang
terutama setelah pekerjaan fisik yang agak berat. Demam tidak dapat ditularkan pada hewan), B. malayi yang sub-
dapat berlangsung selama 2 sampai 5 hari, tidak jarang timbul periodik (atau yang dapat ditularkan pada hewan) dan
abses pada kelenjar dan saluran limfe, yang kemudian me- B. timori yang hingga sekarang hanya ditemukan di daerah
mecah dan menjadi ulkus, yang dapat berlangsung sampai Nusa Tenggara Timur.
beberapa minggu. Besarnya masalah filariasis di Indonesia yang hingga se-
Jelas bahwa gejala akut menyebabkan penderitaan fisik, karang ditentukan dengan microfilaria rate dan disease rate,
yang seringkali memerlukan perawatan keluarga, karena berkisar antara 0 sampai 70%. Meskipun microfilaria rate
penderita tidak dapat berjalan. Gejala akut ini lebih banyak di berbagai daerah ada tendensi menurun bila dibandingkan
ditemukan pada infeksi Brugia malayi dan B. timori daripada dengan angka-angka sebelum kemerdekaan, namun masih ada
infeksi dengan Wuchereria bancrofti. daerah-daerah dengan prevalensi tinggi, terutama daerah-
Gejala filariasis yang menahun terjadinya perlahan-lahan, daerah yang sukar dijangkau, dan penduduknya masih dalam
setelah gejala akut berlangsung agak lama. Gejala menahun taraf pendidikan dan pengetahuan rendah seperti di Pulau
dapat terdiri dari limfedema, hidrokel, khiluria dan elefanti- Buru dan Irian Jaya. Pada penduduk asli di Pulau Buru di-
asis pada lengan dan genitalia. Biasanya pembengkakan di- temukan microfilaria rate antara 35 sampai 70%, sedangkan
dahului gejala akut yang kemudian hilang lagi, tapi setelah disease rate nya adalah antara 14 dan 47,3%. Selain dari itu,
tiap gejala akut pembengkakan menjadi lebih parah, sehingga filariasis seringkali merupakan family infection. Di daerah
pembengkakan tidak menghilang lagi dan dapat terus mem- Kumpeh, Jambi, ditemukan bahwa di antara keluarga yang

Dibacakan pada Simposium Filariasis, Seminar Penyakit Menular,


Pusat Penelitian Penyakit Menular Departemen Kesehatan RI, 21 Maret
1988.

Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990 7


terinfeksi, 46,6% mempunyai lebih dad satu anggauta yang 3 x 2 mg/kg. berat badan sehari sampai dosis total sebesar
terkēna infeksi. 72 mg/berat badan.
Vektor filariasis di Indonsia Masalah pertama yang dihadapi adalah bahwa semua harus
Lebih dari 20 spesies nyamuk telah dilaporkan sebagai ditimbang dahulu sebelum dapat ditentukan dosis obat yang
vektor filariasis di Indonesia, yang masih perlu diteliti kern- harus diberikan. Masalah kedua dan yang terbesar ialah adanya
bali, sedangkan tentang bionomik spesies-spesies itu masih efek samping dari pengobatan dengan DEC. DEC memberi
belum banyak diketahui. efek samping yang disebabkan oleh dua hal; yang pertama
Untuk W. bancrofti di daerah perkotaan, sejak dahulu ialah karena tidak tahan terhadap obatnya sendiri seperti
dilaporkan Culex quinquefasciatus sebagai vektor, sedang- pusing, mual muntah dan sebagainya. Hal ini biasanya tidak
kan untuk W. bancrofti yang di daerah pedesaan dilaporkan berat sehingga jarang sampai mengharuskan penghentian
sebagai vektor berbagai spesies dari genus Anopheles, Culez, pengibatan. Efek samping yang lebih berat disebabkan karena
Aedes dan Mansonia. Untuk B. malayi yang periodik dilapor- terbunuhnya parasit yang menyebabkan reaksi demam yang
kan An. barbirostris sebagai vektor, sedangkan untuk B. malayi tinggi, sakit kepala, sakit seluruh badan, yang dapat timbul
yang subperiodik dilaporkan sebagai vektor temtama berbagai beberapa jam setelah minum obat. Kemudian dapat timbul
spesies Mansonia Brugia timori terutama ditularkan oleh An. limfadenitis, limfangitis yang dapat berlanjut sampai terjadi
barbirostris, tapi An. vagus dan An. subpictus pernah juga abses. Penderitaan ini dapat berlangsung beberapa hari sampai
dilaporkan sebagai vektor. beberapa minggu, sehingga orang banyak yang menolak minum
obat.
Spesies nyamuk yang dapat menjadi vektor filariasis ini
berbeda-beda dari daerah yang satu dari yang lain, sedangkan Cara mengatasi
tentang bionomik vektor-vektor ini belum banyak diketahui. Untuk mengatasi hal ini di Indonsia sudah mulai diterap-
kan dengan pemberian pengobatan dengan dosis rendah yang
Hospes reservoir filariasis di Indonsia telah dirintis dengan penelitian oleh team FKUI di Flores
Hingga sekarang hanya B. malayi yang subperiodiklah yang (Partono dkk.) dan disusul oleh penelitian-penelitian lainnya
mempunyai hospes reservoir. (Haryani, Lifwarni dll.) Gagasan pengobatan dosis rendah ini
Hospes reservoir yang paling penting adalah kera, terutama timbul karena berhasilnya pengobatan filariasis di pulau
kera Presbytis yang seringkali mempunyai prevalensi infeksi Kinmen (Taiwan) dengan cara pemberian medicated salt.
tinggi. Meskipun kucing domestik juga dapat merupakan Karena di Indonesia cara ini diperkirakan akan menemui
hospes reservoir, tapi prevalensi pada kucing pada umumnya kesukaran (filariasis banyak terdapat di daerah pantai dan
lebih rendah. Di daerah Kumpeh, Jambi, prevalensi pada kera orang banyak yang memakai garam buatan sendiri), maka
Presbytis sekurang-kurangnya 50%, sedang pada kucing lebih dicoba pemberian dosis rendah seminggu sekali sejumlah
rendah. Penelitian transmigran, yang datangnya setelah pen- 50 mg untuk dewasa dan 25 mg untuk anak-anak yang lebih
duduk asli diobati, menunjukkan bahwa orang-orang yang dapat diramalkan masukan obatnya. Dengan cara ini efek
positif baik secara klinis maupun dengan pemeriksaan darah, samping dapat ditekan sehingga minimal teratasi.
lebih banyak terjadi pada transmigran yang dimukimkan Masalah terbesar dari cara ini adalah lamanya waktu peng-
lebih dekat pada hutan. Juga penelitian nyamuk menunjuk- obatan yang mencapai kurang lebih satu tahun. Maka ke-
kan bahwa bentuk infektif terutama ditemukan pada nyamuk mudian dilakukan berbagai penelitian untuk mengurangi
yang ditangkap di ladang dekat hutan (Sri Oemijati dkk 1986). jangka waktu itu dan mendidik beberapa tokoh masyarakat
melalui penyuluhan untuk melakukan pembagian obatnya.
PEMBERANTASAN FILARIASIS Pengobatan dengan medicated salt juga dapat berhasil (Har-
Sebaiknya pemberantasan filariasis ditangani pada semua yani). Penelitian dengan dosis rendah ini hingga sekarang masih
faset yaitu : pemberantasan parasitnya pada semua hospes, dilakukan. Meskipun sudah ada kata sepakat bahwa peng-
pemberantasan nyamuk vektornya dan penanganan lingkung- obatan filariasis sebaiknya dilakukan dengan dosis rendah,
annya yang dapat mendukung kelestarian lingkaran hidup namun masih dilakukan berbagai penelitian untuk menetap-
parasit. kan lamanya pengobatan dan jarak antara pemberian obat,
dan peran serta masyarakat dalam pengobatan ini.
PEMBERANTASAN PARASIT DENGAN PENGOBATAN Masalah ke tiga adalah penjangkauan penduduk yang di-
Untuk memberantas parasit dengan pengobatan, seharus- obati (coverage). Meskipun orang bersedia minum obat,
nya diadakan pengobatan semua hospes yang mengandung namun sukar sekali untuk rnencapai coverage 100%. Sering-
parasit, sehingga tidak ada parasit lagi yang dapat ditularkan kali ada saja orang yang tidak ada di tempat waktu ada pem-
oleh vektor. berian obat, karena sedang ada di ladang, sedang pergi ke
Pemberantasan filariasis dengan cara pengobatan merupa- daerah lain ataupun untuk sementara menetap di daerah lain
kan pemberantasan jangka pendek untuk mengurangi infection untuk sekolah atau bekerja. Meskipun obat diberikan, di-
rate dan disease rate sehingga orang dapat bekerja dan ber- sangsikan apakah obat tadi diminum atau tidak. Orang-orang
produksi. ini jika kembali dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain.
Obat dan cara pengobatan Selain dari itu, setelah pengobatan selesai, ada saja orang
Hingga sekarang obat satu-satunya yang sudah dapat dari daerah lain (yang positif) masuk karena perkawinan,
dipakai secara luas pada masyarakat -adalah Dietilkarbamazin bekerja, sekolah dan lain-lain. Untuk mengatasi hal ini, maka
(DEC), yang di Indonsia diproduksi sebagai Filarzan. Dosis pengobatan harus di ulang-ulang dari masa ke masa sampai
yang hingga sekarang disetujui secara internasional adalah: semua daerah telah terjangkau oleh pengobatan.

8 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990


Pengendalian Vektor luas. Pemakaian patogen seperti Bacillus thuringiensis dan
Pengendalian vektor filariasis di Indonsia belum dilaku- Nematoda Romanomermis baru dalam taraf penelitian labo-
kan secara khusus. Pengendalian vektor dapat dilakukan ratorium saja. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengendalian
dengan berbagai cara: pengendalian secara kimiawi dan non vektor filariasis di Indonsia secara biologik masih dalam
kimiawi misajnya pengendalian vektor dengan pengelolaan penelitian dini sekali.
lingkungan, pengendalian vektor secara biologik dan genetik. Dengan demikian dapat 'dikatakan bahwa pengendalian
Pengendalian vektor secara kimiawi vektor filariasis di Indonesia belum dilakukan secara baik.
Dalam pengendalian vektor secara kiiniawi digunakan ber- Cara-cara yang dapat dikembangkan adalah :
bagai bahan kimia untuk membunuh ataupun menghambat 1) Penggunaan insektisida, yang didahului dengan penelitian
pertumbuhan serangga. bionomik vektor, sehingga penyemprotan dapat mencapai
Di Indonsia hingga sekarang yang banyak dipakai dalam sasarannya.
pengendalian vektor malaria yang seringkali sekaligus dapat 2) Pengendalian vektor secara non kimiawi dengan cara
mengendalikan vektor filariasis, adalah penggunaan insektisida pengelolaan lingkungan, balk untuk mengurangi, menghilang-
yang ditujukan untuk membunuh nyamuk dewasa dengan kan tempat perindukan ataupun mencegah, atau menghindari
cara penyemprotan tempat menggigit dan tempat istirahat kontak dengan vektor. Untuk hal ini perlu kerjasama lintas
vektor. Hal ini seringkali tidak mencapai sasaran, karena yang sektoral dan yang lebih penting adalah peranserta masyarakat
biasanya disemprot adalah rumah tinggal, sedangkan nyamuk yang dapat ditingkatkan melalui penyuluhan-penyuluhan
menggigit atau istirahat di luar rumah, dan pada filariasis yang adekuat.
infeksi seringkali terjadi jauh dari pemukiman misalnya di Pengendalian Hospes Reservoir
ladang dan tepi hutan, yang tidak terjangkau oleh insektisida. Hingga sekarang belum ada data tentang pengendalian
Selain dari itu, karena vektor filariasis di Indonesia me- hospes reservoir filariasis di Indonesia. Kera merupakan hewan
nyangkut lebih dari 20 spesies nyamuk dengan bionomik yang dilindungi, sehingga sukar untuk membunuhnya secara
yangberbeda-beda pula, cara penyemprotan tidak dapat di- besar-besaran. Selain dari itu kera yang menjadi vektor fila-
seragamkan sebelum ada datayang lengkap tentang bionomik riasis sangat liar dan sukar ditangkap. Barangkali pengendalian
vektor. Masalah lain adalah terjadinya resistensi vektor ter- dapat dilakukan dengan menjauhkan kera dari manusia, se-
hadap insektisida yang digunakan yang kebanyakan telah hingga nyamuk yang didekat manusia tidak terkena infeksi
diketahui pada vektor malaria, sehingga perlu diadakan alter- dari kera itu. Kucing sebagai hospes reservoir juga merupakan
natif-alternatif cara pemberantasan lain atau menggunakan masalah yang tidak mudah dipecahkan. Jika mungkin barang-
insektisida lain. Penyemprotan pada waktu ini terutama di- kali dilakukan pengobatan masal pada kucing-kucing, tapi
lakukan terhadap vektor malaria dan pengendalian vektor jangkauan akan jauh lebih rendah daripada manusia.
filariasis dapat terjadi sebagai efek samping atau bonusnya. Pemberantasan Filariasis Melalui Bioteknologi
Pengendalian vektor secara non kimiawi Penggunaan bioteknologi dalam pemberantasan filariasis
Pengendalian vektor filariasis secara ini di Indonesia se- di Indonsia masih dalam taraf penelitian dini. Yang sedang
benarnya secara khusus belum dilakukan. Yang sudah terjadi dikembangkan pada waktu ini adalah penggunaan bioteknologi
adalah efek samping dari pengelolaan lingkungan yang dituju- dalam hal imunologi untuk lebih memahami patogenesis
kan untuk hal lain terutama untuk pertanian seperti per- penyakit, imunodiagnosis dan deteksi vektor di lapangan.
ubahan rawa menjadi lahan pertanian sehingga mengurangi
tempat perindukan nyamuk, atau membersihkan batang- KESIMPULAN DAN SARAN
batang air dari tumbuh-tumbuhan air seperti Echornia cras- 1) Filariasis termasuk penyakit yang merugikan karena me-
sipes dan Pistia, kangkung dan rumput-rumput yang juga nurunkan daya kerja dan daya produksi masyarakat di daerah
mengurangi tempat perindukan nyamuk. Sebaliknya per- endemik sehingga perlu dilanjutkan pemberantasannya.
ubahan lingkungan dapat juga menambah tempat perinduk- 2) Untuk pemberantasan yang baik, masih banyak yang perlu
an. Di daerah transmigrasi digali berbagai saluran air di daerah diselidiki; dan pemberantasan, meskipun dalam banyak hal
pemukiman, yang kemudian dimasuki tumbuh-tumbuhan air, ada persamaan, perlu diadakan modifikasi menurut keperluan
sehingga tempat perindukan nyamuk lebih mendekati pe- di daerah masing-masing, sehingga tidak selalu dapat dilakukan
mukiman. Pembuatan kolam ikan di dekat rumah yang diberi secara seragam.
tumbuh-tumbuhan air, juga mendekatkan tempat perindukan 3) Pemberantasan jangka pendek dengan cara pengobatan
nyamuk pada pemukiman. hasilnya cukup baik dan sebaiknya diteruskan melalui parti-
Cara mengurangi kontak antara vektor dan manusia di sipasi masyarakat dan diulang menurut keperluan, untuk
daerah pedesaan masih belum terlaksana, terutama karena mengurangi infection rate dan disease rate, sehingga dapat
masih kurang pengertian masyarakat dan keadaan ekonomi menaikkan daya kerja dan daya produksi masyarakat di
yang rendah. Pemakaian kelambu masih belum difahami daerah endemik. Pemberantasan jangka pendek ini sebaiknya
kegunaannya, dan penduduk seringkali hanya memakai disusul dengan pemberantasan jangka panjang yang mencakup
kelambu bila dingin. Juga penggunaan repellent seperti minyak pengendalian vektor jangka panjang melalui kerjasama lintas
sereh belum membudaya di Indonesia. Untuk cara pengendalian sektoral dan partisipasi masyarakat.
ini masih diperlukan penyuluhan yang baik. 4) Vektor-vektor filariasis di Indonesia masih belum diketahui
Pengendalian vektor filariasis secara biologik di Indonesia dengan jelas. Untuk pengendalian vektor, perlu ditingkatkan
belum dilakukan. Untuk vektor malaria pengendalian vektor cara-cara untuk mendeteksi nyamuk sebagai vektor.
dengan memakai ikan sebagai pemangsa sedang diteliti secara- 5) Pengendalian vektor jangka pendek dapat dilakukan untuk

Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990 9


sementara dengan penyemprotan insektisida setelah diketahui cara menjauhkan hospes reservoir (kera) dari habitat manusia.
biting habits dan resting habits vektor di daerah masing-masing. 7) Karena dana untuk pemberantasan filariasis di Indonsia
Pengendalian vektor jangka panjang dapat dilakukan sangat sedikit, perlu digalakkan peranserta masyarakat dalam
dengan pengelolaan lingkungan secara lintas sektoral dan pemberantasan.
peranserta masyarakat, oleh karena itu penelitian vektor dan Untuk hal ini perlu penelitian terutama dalam bidang sosial
bionomiknya perlu ditingkatkan, supaya dapat memberikan ekonomi dan budaya mengenai faktor-faktor yang penting
keterangan dan arahan kepada masyarakat dan instansi lain bagi penularan dan pemberantasan filariasis di Indonsia,
yang bersangkutan dengan pengelolaan lingkungan. sehingga dapat dilakukan penyuluhan yang sesuai untuk
6) Untuk pengendalian hospes reservoir belum cukup datanya, menggalakkan peranserta masyarakat ini.
sehingga masih perlu banyak penelitian tentang perilaku. kera 8) Penggunaan bioteknologi dalam pemberantasan filariasis
sebagai hospes reservoir dan kepentingannya sebagai hospes di Indonesia baru dalam taraf penelitian untuk lebih me-
reservoir. mahami patogenesis, diagnosis dan deteksi vektor.
Untuk sementara perlu dilakukan penelitian bagaimana

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990


Aspek Epidemiologi Filariasis
yang Berhubungan dengan
Pemberantasannya
M . Sudomo
Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

PENDAHULUAN B. timori menempati urutan pertama dalam penyebarannya


Filariasis saluran getah bening (lymphatic filariasis) yang di Indonesia. Demikian pula penderita dan penularannya lebih
disebabkan oleh Brugia malayi, B. timori, Wuchereria bancrofti besar dibandingkan dengan W. bancrofti4.
tipe kota maupun pedesaan mengancam kurang lebih 20 juta Salah satu sifat parasit filaria yang penting adalah peri-
penduduk Indonesia. Lebih dari setengah jumlah ini diancam odisitas. Hal ini tidak saja penting untuk studi epidemiologi
oleh filariasis jenis rural yaitu B. malayi. Filariasis mengancam tetapi juga menentukan pertumbuhan dari parasit itu sendiri.
penduduk di daerah endemik terutama para pendatang (trans- Di Indonsia terdapat empat jenis periodisitas B. malayi yaitu
migran) yang datang dari daerah non endemikl . Berbagai cara Aperiodik, Subperiodik Nokturnal, Periodik Nokturnal dan
penanggulangan dan pengobatan terhadap penyakit tersebut Periodik Diurnal (Lim, 1987).
telah dilakukan akan tetapi prevalensi di daerah-daerah ende- Lim (1985) 5 telah menunjukkan bahwa penyebaran dari
mik masih tetap tinggi. berbagai bentuk periodisitas ini ada hubungannya dengan
Filariasis tidak membunuh penderita tetapi penderitaan keadaan ekologi, adanya hospes reservoir dan vektornya.
orang yang terkena penyakit tersebut cukup berat, yang meng- Ada perubahan graduil pada periodisitas mikrofilaria dari
akibatkan turunnya produktivitas secara individual, keluarga aperiodik sampai periodik yang berhubungan dengan perubah-
maupun masyarakat. Penelitian epidemiologi penyakit ter- an ekologi habitatnya serta vektor dan reservoirnya. Dengan
sebut sudah cukup banyak dilakukan baik yang menyangkut kata lain perubahan ekologijuga akan merubah keadaan perio-
parasit, vektor, klinik maupun pengobatan dan pemberantas- disitas dan peak hour, sesuai dengan keadaan yang barn untuk
annya. dapat melanjutkan penularan (transmisinya). Tetapi mekanisme
Dalam makalah ini akan dicoba diulas kembali bagaimana apa yang dapat melakukan hal ini belum diketahui.
epidemiologi penyakit filaria dalam kaitannya dengan pem- B. malayi tipe periodik adalah parasit asli manusia, walau-
berantasannya, juga akan menyangkut parasit, vektor, reser- pun dapat diinfeksikan pada hewan percobaan seperti kucing
voir, pengobatan dan pemberantasannya. tapi tidak mudah berkembang seperti B. malayi sub
Parasit periodik6,7. Di Indonesia ditemukan cacing dewasa B. malayi
Parasit filariasis di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu: dan larva yang didapatkan di dalam tubuh kera di daerah
Brugia malayi, B. timori dan Wuchereria bancrofti. Ketiga endemik B. malayi periodik yaitu di Bengkulu Selatan dan
spesies ini dapat dipisahkan lagi menjadi lima tipe yaitu : Bengkulu Utara4. Sedangkan B. malayi sub periodik telah
B. malayi periodik, B. malayi sub periodik, B. timori, W. ban- dinyatakan sebagai zoonosis karena pada daerah endemik,
crofti tipe kota (urban) dan W. bancrofti tipe pedesaan (rural). cacing ini ditemukan j i ga pada kera dan kucing dengan
Filariasis tersebar luas di seluruh Indonesia tetapi bersifat intensitas yang sama4,8.
fokal. Dari ketiga spesies tersebut yang menjadi masalah cukup Brugia timori endemik di Flores dan Alor9,10. Studi peri-
besar dalam kesehatan masyarakat adalah B. malayi dan B. ti- odisitas dari penderita mikrofilaremia menunjukkan bahwa
mori terutama di daerah pedesaan. Brugia malayi endemik di parasit ini bersifat periodik nokturnal (Wanda et al, 1979).
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau di Maluku, Parasit ini hanya ditemukan pada manusia.
tetapi terbatas pada sebelah Barat garis Weber, yang me- Vektor
misahkan Irian Jaya dengan pulau Seram dan Ambon2,3. Vektor filariasis tersebar di hampir seluruh wilayah Indo-
Dari berbagai tipe parasit filaria ini, Brugia malayi dan nesia. Culex quinquefasciatus adalah merupakan vektor

Dibacakan pada Simposium Filariasis Seminar Penyakit Menular, Pusat


Penelitian Penyakit Menular, Departemen Kesehatan RI, 21 Maret 1988

Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990 11


W. bancrofti jenis perkotaan. Diketahui ada dua strain W. ban- Keadaan ekologi daerah penelitian sungguh sangat penting,
crofti, yaitu perkotaan dan pedesaan. Umumnya di Indonsia sebab dengan melihat keadaan ekologinya sudah dapat di-
banyak yang perkotaan dan sampai saat ini bukan merupakan perkirakan filariasis apa yang mungkin endemik di daerah
masalah. Tetapi yang pedesaan belum banyak diketahui tersebut. Bila suatu daerah berupa dataran rendah, banyak
baik vektor maupun epidemiologinya. Apakah W. bancrofti rawa-rawa dan kebun karet kemungkinan adanya B. malayi
jenis pedesaan yang ada di' Indonesia sama dengan yang ada di di daerah tersebut cukup besar. Adanya kera (P. cristata,
Malaysia di mana vektornya adalah Anopheles (maculatus, M fascicularis) dan kucing dapat menunjukkan kemungkinan
letifer dan whartoni) yang juga merupakan vektor malaria6, B. malayi di daerah tersebut merupakan zoonosis.
masih perlu diteliti lebih lanjut. Yang lebih penting lagi adalah mengetahui keadaan sosial
Vektor B. malayi periodik di Sumatera adalah borbagai ekonomi_ penduduk yang dapat dipakai sebagai dasar ke-
jenis Mansonia terutama Ma. bonneae/dives dan Ma. uniformis. berhasilan penanggulangannya. Hubungan dengan tua-tua
Sedangkan Anopheles spp yang potensial dapat bertindak kampung dan pejabat lain yang berpengaruh di dusun itu
sebagai vektor adalah An. paditaeniatus dan An. nigerrimus10 sangat berguna baik untuk melaksanakan penelitian maupun
Sedangkan vektor B. malayi subperiodik adalah terutama penanggulangannya.
Ma. uniformis, Ma. indiana dan Ma. bonneae/dives11 . Di Kemudian apabila sudah ditetapkan bahwa suatu daerah
Kalimantan, vektor B. malayi periodik adalah Mansonia spp. akan dijadikan tempat penelitian beberapa kegiatan awal yang
terutama Ma. uniformis yang berkembang biak di rawa air pelu dilakukan adalah :
tawar dekat dengan hutan dan kebun karet12 14. Di Sulawesi 1) Sensus
vektor B. malayi periodik adalah Anopheles barbirostris dan Dari tiap desa dibuat master list yang meliputi nomer
An. nigerrirnus selain Ma. uniformis, Ma. indiana dan Ma. rumah, nama kepala keluarga, umur, jenis kelamin, tempat
bonneae/dives. Vektor utama di Sulawesi adalah An. barbi- asal penduduk. Sambil melakukan sensus, penerangan me-
rostris yang berkembang biak pada daerah persawahan ngenai filariasis terus dilakukan.
(Atmosoedjono dkk, 1976; Bahang dkk, 1984). Mansonia 2) Pemerlksaan darah
di Sulawesi berkembang biak di tempat yang sama dengan Untuk mengetahui prevalensi penderita filariasis dan
Anopheles, tetapi mereka ditemukan juga di rawa-rawa15 derajat endemisitasnya maka dilakukan pemeriksaan terhadap
Di Maluku vektor B. malayi periodik diperkirakan Ma. uni- darah penduduk. Dalam pemeriksaan darah pada penelitian
formis dan An. bancrofti16. ini dipakai metode apusan darah tebal untuk seluruh pen-
Vektor B. timori ada tiga spesies Anopheles yaitu bar- duduk yang berūsia di atas satu tahun. Penduduk dikumpulkan
birostris, vagus dan subpictus tetapi yang telah dikonfirmasi- di suatu tempat (misal : gedung sekolah, rumah Kepala
kan adalah An. barbirostis17 Kampung, Balai Desa dan sebagainya) mulai jam 19.00. Darah
Reservoir diambil dari ujung jari tangan, setelah ditusuk dengan lanset,
Dari berbagai penelitian telah diketahui bahwa B. malayi dengan tabung kapiler sebanyak 20 mm3. Kemudian dibuat
di Indonesia mempunyai reservoir dan yang berperan penting apusan darah tebal pada kaca benda. Duabelas jam kemudian
adalah non-human primates. Brugia malayi sub periodik darah dihemolisa dan difiksasi kemudian diwarnai dengan
adalah merupakan zoonosis yang penting di Asia (Dissanaike, Giemsa. Dari sebagian penduduk dilakukan pemeriksaan
1979). Di Malaysia kera yang telah diketahui sebagai reservoir darah secara ganda yaitu pemeriksaan dengan metoda apusan
penyakit filaria adalah Presbytis cristata, P. melalopos, P. darah tebal dan juga dengan filtrasi dengan nucleopore ter-
obscura dan Macaca fascicularis, tetapi Presbytis spp adalah hadap darah vena sebanyak 1 ml. Kemudian apusan darah
yang utama (Lim & Mak, 1978). ini diperiksa dibawah mikroskop dan dihitung jumlah mikro-
Di Indonesia B. malayi telah ditemukan di P. cristata dan filaria yang terkandung di dalamnya. Dari data ini dapat di-
M. fascicularis (Palmieri, 1979; Lim dkk. 1984; Poernomo, ketahui microfilaria rate, microfilaria density dan juga mor-
1984). Bahkan di daerah endemik B. malayi periodik telah fologi dari mikrofilaria tadi.
ditemukan juga cacing dewasa di dalam P. cristata. Selain 3) Pemenisaan klinik
kera, kucing juga merupakan reservoir dari B. malayi yang Setelah dilakukan pencatatan dan pengambilan darah
telah dibuktikan dibeibagai tempat di tndonesia4,8 maka terhadap pend aduk dilakukan pemeriksaan klinik.
PENATALAKSANAAN PENELITIAN EPIDEMIOLOGI Pemeriksaan ini penting untuk melihat gejala akut dan me-
FILARIASIS nahun dari penyakit filaria tersebut. Pemeriksaan ditekan-
kan terhadap adanya gejala-gejala demam, adenolimfangitis,
Apabila suatu daerah diketahui endemis failariasis harus bisul, perut dan adanya gejala menahun seperti limfedema dan
dilakukan penelitian untuk mengetahui besar endemisitasnya elephantiasis. Demikian pula adanya penyakit-penyakit lain
maupun untuk mendapatkan data dasar yang nantinya akan dicatat di lembaran klinik (status) yang sudah disediakan.
sangat berguna untuk mengetahui keberhasilan (evaluasi)
4) Entomologi
penanggulangannya.
Dalam survai ini perlu juga dilakukan studi entomologi
Pemeriksaan kesehatan penduduk setempat akan sangat
untuk mengetahui vektor penyakit. Dalam hal ini yang perlu
membantu untuk melihat adanya gejala menahun filariasis
diketahui adalah kepadatan, kebiasaan menggigit, kebiasaan
dari beberapa penduduk seperti elefantiasis, limfedema dan
parut. Data hasil pemeriksaan darah penduduk sangat penting hinggap, habitat dan lain-lain.
untuk dicatat dan dimasukkan ke dalam data record tersendiri Pembedahan nyamuk sangat penting untuk mengetahui
untuk memudahkan penelusuran kembali. infeksi filariasis dan infective rate.

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990


5 ) Reservoir B. timori hanya terdapat di pulau-pulau di Nusa Tenggara
Perlu diambil darah kucing dan kera untuk mengetahui Timur saja dan tidak ditemukan di pulau-pulau di dekatnya,
adanya zoonosis. di Nusa Tenggara Barat. Di NTB hanya ditemukan W. ban-
crofti saja, padahal infeksi ganda antara B. timori dan W. ban-
PENANGGULANGAN crofti sexing dijumpai di daerah endemik B. timori' .
Penanggulangan filariasis dapat dilakukan dengan tiga Sampai saat ini satu-satunya obat yang dipakai untuk
cara yaitu pengurangan reservoir penular, penanggulangan mengobati filariasis adalah DEC, walaupun sebenarnya pe-
vektor dan pengurangan kontak antara manusia dan vektor. makaian obat ini agak sukar terutama pada pengobatan
Pengobatan masal dengan DEC masih merupakan cara masal. Efek samping yang demikian berat menyebabkan
yang efektif untuk penanggulangan filariasis saluran getah tidak semua penduduk mau memakannya, terutama pada
bening. Cara ini dipergunakan di daerah-daerah endemik, penderita mikrofilaremia yang berat. Dengan demikian pe-
baik terhadap penduduk asli maupun pendatang (transmigran). ngobatan tidak dapat dilakukan hanya satu kali saja, tetapi
Sebagai contoh, pengobatan masal DEC yang dilakukan di harus beberapa kali pengobatan masal, diikuti oleh beberapa
Sidondo dan enam desa di dataran Gumbasa dengan dosis kali pengobatan selektif. Hal ini tentu akan memakan biaya
5 mg/kgbb. yang diberikan selama 6 hari berturut-turut yang sangat besar di samping dibutuhkan tenaga yang cukup
(total 30 mg/kgbb) telah berhasil menurunkan prevalensi banyak dan tekun. Sampai saat ini belum ada kriteria yang
dari 28,5% menjadi 4,3% di Sidondo dan dari 24% menjadi menentukan sampai kapan pengobatan masal dihentikan,
5% di dataran Gumbasa19,20. Hasil percobaan ini menunjuk- kemudian diganti dengan pengobatan selektif. Dan sampai
kan bahwa pengobatan masal dengan dosis harian tersebut kapan pengobatan selektif dihentikan untuk menentukan
bahwa daerah tersebut sudah bebas dari filariasis. Untuk
sangat praktis bagi pelaksana, efek samping tidak begitu
menentukan kriteria ini masih perlu pembahasan yang men-
berat dan penerimaan penduduk sangat baik.
dalam dan memerlukan pemikiran-pemikiran lebih lanjut.
Sebaliknya dengan pengobatan masal yang dilakukan di Berbagai percobaan pengobatan telah dilakukan baik dengan
daerah perkebunan karet Banjar, Kalimantan Selatan oleh dosis standar, dosis rendah, jangka pendek maupun jangka
Ibrahim dkk (1977) merupakan suatu kegagalan21. Pada panjang dan ternyata hasilnya cukup baik, samua dapat me-
tahun 1973 prevalensi penderita filariasis 15% tetapi sesudah nurunkan mf rate. Memang pengobatan dosis rendah dapat
pengobatan, tahun 1974 malahan naik menjadi 18%. Sebab mengurangi efek samping dan menaikkan cakupan peng-
dari kegagalan ini masih perlu dikaji. Menurut Lim dkk (1985) obatan dan ini dapat dipakai sebagai alternatif peng-
kegagalan ini disebabkan oleh banyaknya migran yang masuk obatan sebagai pengganti pengobatan cara konvensional.
ke daerah perkebunan ini dan tingginya transmisi penularans. Tetapi yang juga penting adalah mengetahui pada tingkat
Pada tahun 1978 — 1979 di Sungai Baru dan Pengiuran, prevalensi berapa pengobatan harus dihentikan. Dan dengan
Kalimantan Selatan telah dicoba pengobatan DEC dengan cara apa mf rate harus ditentukan; dengan metoda apusan
dosis yang berbeda, yaitu 2 mg/kgbb untuk jangka panjang; darah tepi atau filtrasi.
25 hari terus-menerus, dan untuk jangka pendek 5 mg/kgbb Ditinjau dari segi vektor filariasis yang tersebar luas di
yang diberikan 2 kali sehari selama 5 hari berturut-turut; berbagai daerah di Indonesia, seharusnya ada indikator me-
dosis total 50 mg/kgbb. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ngenai penularan (transmisi) filariasis di suatu daerah. Untuk
ada perbedaan yang menyolok antara kedua cara tersebut. melihat keberhasilan suatu pengobatan, infective rate vektor
Hanya efek samping lebih nyata pada pengobatan jangka filariasis di daerah tersebut dapat dipakai sebagai indikator.
pendek bila dibandingkan dengan jangka panjang. Bila infective rate vektor filariasis sangat rendah, dapat di-
Percobaan lain seperti dengan mencampurkan DEC dalam simpulkan bahwa di daerah tersebut tidak ada lagi penularan.
garam dan pengobatan dengan dosis bertingkat dari dosis Tetapi pemeriksaan vektor dengan metoda pembedahan
sangat rendah sampai dosis standar menghasilkan juga hasil nyamuk secara individual memakan banyak waktu dan tenaga
yang memuaskan dengan efek samping yang tidak berarti. serta ketelitiannya juga berkurang karena sukar sekali mem-
Pengobatan terhadap B. timori secara masal dengan dosis bedakan L3 antara B. malayi dan B. pahangi. Dalam hal ini
total 50 mg/kgbb diikuti dengan pengobatan selektif jangka harus dicari cara lain yang lebih efektif dan efisien.
pendek setahun kemudian, dapat menurunkan mf rate dari Untuk daerah-daerah endemik filariasis yang belum me-
24% menjadi 0% dengan pemeriksaan darah ujung jari dan rupakan zoonosis, pengobatan saja sudah dapat dipakai sebagai
dengan pemeriksaan filtrasi dari 30% menjadi 2,5%22. Pe- penanggulangan, tetapi untuk daerah endemik di mana fila-
ngobatan masal dosis rendah yang diikuti dengan pengobat- riasis adalah zoonosis perlu dipikirkan cara-cara lain di samping
an selektif melalui peran serta masyarakat juga berhasil di pengobatan untuk memutuskan rantai penularan lewat binatang.
daerah endemik B. timori. Yang terakhir yang perlu dipikirkan adalah dampak pem-
Masih banyak lagi percobaan pengobatan yang dilakukan bangunan terhadap endemisitas filariasis. Dua contoh di Jawa
dengan berbagai cara dan kebanyakan hasilnya cukup baik. memang telah ada yaitu dengan hilangnya dua daerah endemik
filariasis B. malayi di Delta Serayu dan Kresek. Tetapi pe-
DISKUSI nelitian mengenai dampak pembangunan di luar Jawa ter-
Berdasarkan berbagai data yang ada, penyebaran filariasis hadap endemisitas filariasis belum pernah dilakukan. Bila
di Indonesia sangat luas, terutama yang disebabkan oleh memang benar bahwa pembangunan mempunyai dampak
B. malayi. Prevalensi terlihat lebih tinggi di daerah yang yang positif terhadap endemisitas filariasis, dalam arti me-
kurang berkembang dibandingkan dengan daerah yang sudah ngurangi penularan filariasis, tentu hal ini sangat menguntung-
berkembang. Sedangkan B. malayi yang terdapat di daerah kan. Perlu dikaji, pembangunan yang bagaimana, pada sektor
yang sangat maju/berkembang telah mulai hilang. Sebaliknya

Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990 13


pa saja yang dapat mengurangi endemisitas tadi. Kalau hal ini 13. Partono F, Djakarik, Sri Oemijati, Arbain Joesoef; MD Clarke,
sudah diketahui, pengobatan dan cara penanggulangan lain WC Cole, JC Lien, JH Cross. Filariasis in West Kalimaptan (Bor-
neo), Indonesia. Southeast Asian J. Trop. Med. Pub. H1th. 19.77a;
dapat diintegrasikan ke arah yang sama sehingga pe- 8 : 549.
nanggulangan filarasis dapat berjalan dengan lebih cepat. 14. Sudomo M. Lim Boo Liat, N. Sustriayu, YH Bang. Survey of fila-
Mengingat bahwa filariasis merupakan penyakit rakyat riasis at Waru village and Bkbulu Darat Transmigration scheme
dari golongan bawah, maka perlu dilakukan pendekatan East Kalimantan. Southeast Asian J. Trop. Med. PubL Hlth. 1980;
13 : 584.
sosial-ekonomi sebelum suatu program, baik itu merupakan 15. Kirnowardoyo S, Z Bahang, L Saafi, N Bende, Lim Boo . Liat.
survai, penelitian maupun penanggulangan dilakukan di Malayan filariasis studies in Kendari Regency, Southeast Sulawesi,
suatu daerah. Tanpa pendekatan yang baik suatu program Indonesia III : Survaillance of Mansonia mosquitoes with reference
tidak dapat berhasil dengan baik. Hal ini masih sering di- to seasonal and ecological aspects of Ma. uniformis and Ma.
indiana. Health Studies in Indonesia 1984; 12 : (1).
lupakan oleh para peneliti baik dari dalam negeri rrtaupun 16. Brug SL, Rook H de. Filariasis in Nederlandsch Indie. IV: Geneesk
peneliti asing, padahal aspek ini merupakan aspek yang me- T. Ned. Ind. 1933; 73 : 264—279.
nentukan keberhasilan suatu program. Dihimbau agar para 17. Atmosoedjono S, Partono F, Dennis DT, Poernomo. Anopheles
peneliti mengubah pola berfikir, dari satu sektor atau disiplin barbirostris (Diptera: Culicidae) as a vector of the Timor filaria
on Flores Island : Preliminary observation. J. Med. Entomol.
ilmu saja pola berfikir yang lebih luas, multidisiplin, multi- 1977; 13 611—13.
sektoral dan terintegrasi. 18. Atmosoedjono S, Van Peenen PFD, Putrali J. Anopheles barbi-
rostris (Van der Wulp) still an efficient vector of Brugia malayi
in Central Sulawesi (Celebes), Indonesia. Trans Roy Soc Trop Med
KEPUSTAKAAN Hyg 1976; 70 : 259.
1. Arbain Joesoef, JHCross. Distribution and prevalence of cases of 19. Putrali J, Caleb YM. Mass treatment of filariasis in Sidondo,
microfilaria in Indonesia. Southeast Asian J. Trop. Med. Publ. Central Sulawesi. Health Studies in Indonesia 1974; 2 : (1) 13—16.
Hlth. 1978; 9 : 480—8. 20. Putrali J, Caleb YM, PFD van Peenen, J Sulianti Saroso. Mass
2. Brug SL. Filariasis in Nederlandsch Indie I. Geneesk. T. Ned. Ind. treatment of malayan filariasis in the Gumbasa irrigation area of
1928; 68 681—704. Central Sulawesi. Southeast Asian J. Trop. Med. Publ. Hlth. 1975;
3. Lie KJ, Rees DM. Filariasis in Indonesia: distribution, incidence 6 : 206—210.
and vectors. Proc. Int. Congr. Med. and Malaria, Lisbon, 1958; 21. Ibrahim B, Utuh Rafii, Ahmad Jusuf, Harijani AM, Fauzi Darwis,
11 : 360. Masbar S, Sugiani. The effect of migration of people on the
4. Lim Boo Liat, M. Sudomo, JW Mak. Studies of filariasis in Keban distribution of Brugia malayi in South Kalimantan with regards
Agung and Gunung Agung villages in Southeast Bengkulu, Suma- to filariasis control National Seminar on Parasitologi I. Bogor.
tera, Indonesia V; Animal filariasis. Hemera Zoa, 1984; 71 : (3) 1977.
199. 22. Partono F, Poernomo, A Suwarta. A simple method to control
5. Lim Boo Liat. Distribution of Brugia malayi in relation to lands- Brugia malayi by diethylcarbamazine administration. Trans. Roy.
cape ecology, reservoir hosts and mosquito vectors in Indonesia, Soc. Trop. Med. Hyg. 1979; 78 : 370—2.
Tropical Biomedicine, 1985; 2 : 34—39. 23. Bahang Z, L Saafi, N Bende, S Kirnowardoyo, Lim Boo Liat.
6. Mak JW, Cheong WH, Yen PKF, Lim PKC, Chan WG. Studies Malayan filariasis studies in Kendari Regency, Southeast Sulawesi,
on the epidemiology of subperiodic Brugia malayi in Malaysia: Indonesia II : Surveillance of mosquitoes with reference to two
Problems in its control Acta Tropica., 1982; 39 : 237—45. Anopheles vector species. Health Studies in Indonesia, 1984;
7. Mak JW, Yen PKF, Lim PKC, Ramiah N. Zoonotic implications 12, (1).
of cats and dogs in filarial transmission in Peninsular Malaysia. 24. Harijani A Marwoto, Sakai Tuti, Fauzi Darwis, S Ompusunggu.
Tropical and Geographical Medicine 1980; 32 : 259—64. Penelitian pengobatan B. malayi subperiodik di Kalimantan
8. Palmieri JR, Purnomo, Vernon H Lee, David T Dennis, Harijani Selatan Mikrobiologi dan Parasitologi Kedokteran Indonesia II.
AM. Parasites of the silvered leaf monkey, Presbytis cristata Surabaya, 18—20 September. 1983.
Escholts, with a note on a Wuchereria like nematode. J. Parasitol 25. Jan Rush, Palmieri JR, Dennis DT, T Ibrahim, Harijani A Marwoto.
1980;66 645—51. The impact of filariasis mass treatment using DEC, conducted
9. Oemijati S, Liam Kiat Tjoen. Filariasis in Timor. Proc. 11th. in a long-term and short-term period on clearance of microfi-
Pacific. Sci. Congr. (Tokyo) 1966; 8 : 5. leremia and its side effect. Cermin Dunia Kedokteran, 1980;
10. Kurihara T, Oemijati S. Tiinor type microfilaria found in Flores 55—58.
island, Indonesia Jap J Parasit. 1975; 2 ; 78—80. 26. Kanda T, Arbain Joesoef, Yukimichi Imai, Hideki Suzuki, Kimi-
11. Sudomo M, Suwarto, Lim Boo Liat. Studies of filariasis in Keban hiro Yoneyama. Mircofilarial periodicity analysis of the survey
Agung and Gunung Agung villages in South Bengkulu, Sumatera data from six locatities in Indonesia. Southeast Asian J. Trop.
Indonesia. Health Studies in Indonesia, 1984a; 12 : (1) 51-60. Med. Publ. Hlth. 1979; 10 : 32—50.
12. Klokke AH. Filariasis due to Brugia malayi in South Borneo, 27. Lie KJ. The distribution of filariasis in Indonesia. Southeast Asian
Indonesia. Trans. Roy. Soc. Trop. Med. Hyg., 1961; 55 : 433—439.
J. Trop. Med. Publ. Hlth. 1970; 1 : 366—376.

Untuk segala surat-surat, pergunakan alamat :


Redaksi Majalah Cermin Dunia Kedokteran
P.O.BOX 3105, Jakarta 10002
dan
cantumkan kodepos pada alamat lengkap anda

14 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990


Aspek Sosio Budaya
dalam Penanggulangan Filariasis
Kasnodihardjo
Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan R.1., Jakarta

PENDAHULUAN keadaan sebagai suatu kebenaran bagi seseorang atau masya-


Di Indonsia filariasis masih merupakan penyakit yang rakat.
menimbulkan permasalahan kesehatan masyarakat, terutama Sampai saat ini masih banyak di antara penduduk di daerah
di daerah pedesaan dan daerah pemukiman transmigrasi. endemis failariasis yang percaya bahwa filariasis merupakan
Cara-cara penanggulangannya telah dilakukan antara lain penyakit keturunan. Sehingga apa yang telah menimpa atau
dengan pengobatan menggunakan DEC (diethylcarbamazine) terjadi diterima sebagai nasib. Bahkan mereka percaya bahwa
dan pemberantasan vektor, namun hasilnya belum seperti orang sering demam karena gangguan setan/roh halts, padahal
yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena upaya penanggu- sebenarnya demam karena terinfeksi filaria. Oleh karena
langan sering mengalami berbagai hambatan. Hambatan itu mereka kadang-kadang tidak segera mencari pengobat-
tersebut salah satu di antaranya dari aspek sosio budaya yang an. Bahkan penderita yang sudah membengkak kakinya
ada dalam masyarakat. Hambatan ini biasanya sulit dikontrol, (elephantiasis) tidak dibawa ke dokter (Puskesmas atau Rumah
walaupun demikian aspek tersebut sebenarnya dapat dimani- Sakit), melainkan biasanya menaruh Kepercayaan untuk
pulir sehingga dapat menunjang upaya penanggulangan filariasis. penyembuhannya pada orang yang mereka anggap pintar
(orang tua atau dukun). Mereka menganggap bahwa hanya
HAMBATAN SOSIO BUDAYA orang semacam itu yang dapat menyembuhkan atau mengusir
Secara garis besar hambatan sosio budaya dalam penang- penyakitnya.
gulangan filariasis dapat dikemukakan antara lain :
Sikap
Kebiasaan Sikap adalah suatu keadaan mental atau kecenderungan
Kebiasaan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang untuk bereaksi terhadap keadaan atau lingkungan-
seseorang secara berulang-ulang sehingga merupakan suatu nya.
hal yang rutin dan kadang-kadang dilakukan tanpa disadari Masih banyak anggota masyarakat di daerah endemis
oleh orang atau masyarakat yang bersangkutan. Sebagai filariasis yang mempunyai sikap tidak positip terhadap pe-
contoh : penduduk di daerah endemis filariasis umumnya nanggulangan filariasis. Sebagai contoh : masih banyak di
pekerjaan pokoknya bertani di ladang atau menyadap karet antara penduduk yang menolak dilakukan pengobatan dan
di hutan. Pekerjaan ini biasanya mereka lakukan hingga sore/ pengambilan darah. Mereka umumnya mempunyai alasan
senja hari, Malahan mereka tidak jarang tinggal/tidur di bahwa dengan diobati mereka malah menjadi sakit, padahal
tempat kerja seperti itu dalam waktu yang relatif lama. Selain sebelum diobati mereka sehat. Bagi mereka yang sakit, sebagai
itu penduduk di daerah endemis sewaktu tidur biasanya tidak efek samping obat biasanya mengalami perut mual, sakit
menggunakan/memasang kelambu. Tentunya kebiasaan se- kepala dan demam beberapa hari. Penduduk yang menolak
macam itu tidak mendukung upaya penanggulangan filariasis, diambil darahnya karena mempunyai anggapan bahwa pe-
karena risiko mendapat infeksi filariasis sangat besar. ngambilan darah mempunyai tujuan komersial. Darah yang
sudah terkumpul akan diperjual belikan.
Kepercayaan Selain itu penduduk di daerah endemis filariasis umum-
Kepercayaan adalah suatu penerimaan akan suatu ide atau nya kurang tanggap terhadap lingkungannya. Hal ini ter-

Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990 15


cermin pada masih banyaknya daerah rawa-rawa di sekitar sangat mudah, karena hanya menyangkut keadaan sehari-
pemukiman tetap dibiarkan terbuka, tanpa dimanfaatkan hari. Akan tetapi sampai saat ini perubahan itu sulit terjadi.
menjadi lahan produktif misalnya menjadi lahan persawahan Hal ini karena upaya perubahan yang sexing dilakukan kurang
atau pemanfaatan lainnya. Menurut Sri Oemijati (1981) memperhatikan faktor yang mendasari perubahan, yaitu
daerah rawa yang tetap terbuka merupakan tempat yang cocok proses penanaman nilai-nilai baru di bidang kesehatan, dalam
untuk berkembang biaknya nyamuk dari jenis Mansonia. hal ini adalah pendidikan kesehatan. Melalui pendidikan,
Nyamuk jenis ini merupakan salah satu vektor penular pe- sedikit demi sedikit nilai-nilai lama yang melekat pada diri
nyalit filaria. seseorang dan atau dianut oleh masyarakat akan dilepaskan
Tentunya menolak pengobatan dan pengambilan darah, oleh orang/masyarakat tersebut.
serta membiarkan daerah rawa tetap terbuka merupakan Penanaman dan atau perubahan nilai merupakan proses
sikap yang tidak positip bagi upaya penanggulangan filariasis. yang penting. Karena nilai yang melekat' pada diri seseorang
Karena dengan masih adanya penduduk menolak pengobat- adalah yang mendasari sikap dan perilaku orang tersebut.
an akan menyebabkan penularan penyakit filariasis yang terus- Penanaman nilai-nilai baru tersebut paling tepat adalah me-
menerus dalam masyarakat. Selain itu daerah rawa-rawa yang lalui proses belajar. Karena terbentuknya sikap ditentukan
dibiarkan tetap terbuka akan menunjang berkembangbiaknya oleh aspek afektif yang merupakan evaluasi yang bersifat
nyamuk penular filariasis. pribadi yang selanjutnya membentuk seseorang cenderung
Nilai untuk bertindak.
Menurut Alvin. L. Bertrand (1980), nilai adalah perasaan- Jadi bila seseorang menaruh evaluasi yang tinggi terhadap
perasaan tentang apa yang diinginkan ataupun tidak diingin- nilai bahwa "pengobatan sangat bermanfaat bagi kesehatan-
kan, atau tentang apa yang boleh atau tidak boleh. nya baik bagi dirinya sendiri maupun masyarakat", maka
orang tersebut akan cenderung bersikap positip terhadap
Nilai adalah perasaan-perasaan tentang apa yang baik atau-
pengobatan, dalam arti mau menerima pengobatan. Bahkan
pun tidak baik, tentang apa yang boleh atau tidak boleh.
selanjutnya akan melakukan tindakan yang mendukung pe-
Sering di sini didasarkan pada untung rugi.
ngobatan misalnya ikut terlibat dalam pelaksanaan pengobatan
Bila suatu keadaan dipercaya atau dianggap menguntungkan
yaitu membantu dengan cara mengajak orang lain agar mau
atau bermanfaat oleh seseorang, maka orang tersebut akan
diobati.
menaruh nilai yang tinggi. Sebaliknya bila suatu keadaan
Jadi seseorang berperilaku mendukung dan tidaknya
dianggap merugikan atau tidak bermanfaat, maka orang ter-
upaya penanggulangan filariasis karena kemantapan sikapnya
sebut akan menaruh nilai yang rendah. Sebagai contoh : Pe- yang didasarkan pada penilaian positip yang menumbuhkan
ngobatan bisa dianggap oleh masyarakat merugikan, karena kepercayaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Azrul Azwar
setelah minum obat malah menjadi sakit. Padahal sebelum (1983) bahwa "berperilaku dan tidaknya seseorang dalam
diobati mereka merasa sehat. Dengan sakit yang dialami bidang kesehatan dipengaruhi oleh kepercayaan orang ter-
akibat minum obat misalnya demam beberapa hari, mereka sebut terhadap kesehatan serta kesiapan mental yang di-
umumnya tidak dapat pergi ke ladang atau menyadap karet punyai". Kepercayaan dalam hal ini meliputi manfaat dan
di hutan. Tentunya hal ini mereka anggap merugikan, karena kerugian yang akan dihadapi serta kepercayaan bahwa diri-
mengganggu dalam melakukan pekerjaan. Sebaliknya bila nya dapat diserang penyakit.
pengobatan tersebut akhirnya dirasakan bermanfaat bagi Di sini bisa kita lihat betapa pentingnya unsur afektif
kesehatan baik untuk diri seseorang atau masyarakat, maka dalam perubahan sikap dan perilaku di bidang kesehatan
orang tersebut akan menerima/bersedia diobati. yang dapat ditempuh melalui pendidikan.
Pendidikan kesehatan yang sexing dilakukan seperti pe-
PERANAN DAN TUMBUHNYA PERANSERTA MASYA- nerangan ataau penyuluhan biasanya kurang memperhati-
RAKAT DALAM PENANGGULANGAN kan unsur afektif, sehingga hal ini hanya akan merupakan
Sebagaimana dikemukakan dalam Sistem Kesehatan Nasi- atau sekedar proses penyampaian pengetahuan tentang ke-
onal (SKN, 1982), masyarakat mempunyai peranan penting sehatan, bukan merupakan suatu proses belajar. Proses belajar
dalam memelihara dan meningkatkan diri sendiri dan lingkung- seperti itu sama sekali kurang atau tidak mendorong orang
an, karena Iesehatan merupakan kewajiban dan tanggung untuk berperilaku sehat. Padahal unsur afektif dalam proses
jawab setiap orang. Ini mengandung pengertian bahwa dalam pendidikan kesehatan merupakan faktor yang sangat penting
penyelenggaraan upaya kesehatan, peranserta ikut menentu- bagi perubahan dan pembentukan sikap. Di sini terbuka ke-
kan kesehatan manusia atau masyarakat itu sendiri. Seperti sempatan untuk melakukan penilaian secara pribadi, yang
halnya dalam upaya penanggulangan filariasis, masyarakat merupakan landasan untuk berperilaku. Kecenderungan
di daerah endemis diharapkan mendukung dan ikut serta orang untuk berperilaku secara potensjal terkandung di
dalam upaya tersebut. Kemungkinan besar upaya penanggu- dalam sikapnya. Bila sikap seseorang dilandasi sikap positip
langan yang disertai peranserta masyarakat akan mencapai dalam arti orang tersebut harus menjaga kesehatannya agar
hasil yang diharapkan yaitu menurunnya prevalensi penyakit tidak terinfeksi filaria, maka perilakunya juga positip. Orang
sampai titik yang tidak membahayakan. tersebut akan selalu berusaha menjaga agar tidak mudah
Dalam kenyataannya peranserta masyarakat dalam pe- terinfeksi. Oleh karena itu bila setiap orang di daerah endemis
nanggulangan filariasis belum begitu tampak, karena tumbuh- melakukan hal semacam itu, maka bisa dijamin upaya pe-
nya peranserta memerlukan perubahan-perubahan terutama nanggulangan filariasis akaan mencapai basil seperti _ yang
menyangkut sikap dan perilaku masyarakat yang bersangkut- diharapkan, yaitu menurunnya prevalensi penyakit sampai
an. Perubahan sikap dan perilaku masyarakat kelihatannya pada titik yang tidak membahayakan.

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990


PENUTUP berperilaku mendukung upaya penanggulangan filariasis.
Upaya penanggulangan filariasis akan mencapai hasil
seperti yang diharapkan bila disertai peranserta masyarakat. KEPUSTAKAAN
Ini berarti perlu adanya perubahan yang menyangkut sikap 1. A.L. Bertrand. Sosiologi, Kerangka Acuan, Metode Penelitian,
dan perilaku penduduk/masyarakat di daerah endemis fila- Teori-teori tentang Sosialisasi, Kepribadian dan Kebudayaan,
PT. Bin Ilmu, Cet. II, 1980.
riasis. Perubahan tersebut bisa terjadi bila setiap orang di 2. Azwar A. Pengantar Pendidikan Kesehatan, Sastra Hudaya, 1983.
daerah endemis menaruh nilO yang tinggi bahwa filariasis 3. Departemen Kesehatan RI. Sistem Kesehatan Nasional. 1982.
betul-betul merupakan suatu penyakit yang dapat meng- 4. Notoatmodjo S. Beberapa Aspek Sosio Budaya Dalam Pemberantas-
ganggu kesehatan sehingga merugikan atau membahayakan. an Penyakit Parasit, Kumpulan Makalah Seminar Parasitologi
Nasional ke II, Jakarta, 24–27 Juni 1981, Grafiti Medika Pers.
Bila setiap orang/penduduk di dalam diririya melekat ke- 5. Oemijati S. Masalah Filariasis di Indonsia, Kumpulan Makalah
percayaan yang berdasarkan nilai tersebut, maka sikap dan Seminar Parasitologi Nasional ke II, Jakartas 24–27 Juni 1981,
atau perilakunya akan positip. Masyarakat akan bersikap dan Grafiti Medika Pers.

Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990 17


Beberapa Aspek
Imunologi dan Bioteknologi dalam
Penanggulangan Masalah Filariasis
Liliana Kurniawan
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI., Jakarta

ABSTRACT

Filariasis appeared to show a broad spectrum of clinical manifestation which has


close relationship with immunological responses.
The complexity of the filarial antigens and immune response caused studies on
immunopathology, immunoprophylaxis and immunodiagnosis quite difficult. No signifi-
cant answers on these aspects had been achieved so far.
Specific immunosuppresion was seen particularly in microfilaremics, while in amicro-
filaremics the responses were significant which might be the cause of the low level of
microfilaremia. This specific immune response plays an important role in the patho-
genesis of lymphatic obstruction.
Specific humoral immune response to 25 and 70 - 75 kD of B. malayi microfilaria
were most prominent in amicrofilaremics. Monoclonal antibody to these components
could reduce microfilaremiae in mice and jird. This information would be used in
studying the transmission inhibiting immunity.
In the animal model, protective immunity was 80-100% when attenuated L3 was used.
An anti idiotype to the surface antigen of L3 would be an alternative in producing
vaccine candidate.
Antibody detection is not a method of choice in determining status and intensity
of infection. Antigen detection using monoclonal antibody Gib-13 showed correlation
with microfilariae. Monoclonal antibody NEB-Dl-E5 is L3 stage specific and reacted only
to B. malayi and B. timori. This monoclonal antibody would be very useful in the deter-
mination of L3 of B. malayi in mosquitoes in areas where B. malayi and B. pahangi
coexists.
Two DNA probes, pBm15 and pBma68 are species-specific probe to B. malayi.
These probes are used in differentiating L3 of B. malayi from B. pahangi in mosquitoes,
which cannot be differentiated morphologically.

PENDAHULUAN manifestasi klinik ditunjukkan oleh berbagai peneliti, namun


Manifestasi klinik filariasis menunjukkan spektrum luas. mekanisme dan macam reaksi imunologik mana yang berpe-
Spektrum ini meliputi individu yang tidak menunjukkan gejala ngaruh untuk terjadinya salah satu manifestasi klinik tersebut
sampai gejala obstruksi dari pembuluh limfe oleh cacing dewasa. belum diketahui (1). Antigen dan reaksi imunologik yang tidak
Gejala ini dapat bersamaan dengan amikrofilaremia ataupun sederhana pada filariasis, menyebabkan sulitnya penelitian imu-
mikrofilaremia. Gejala yang timbul di atas disebabkan terutama nopatologi, imunoprofilaksis dan imunodiagnosis filariasis.
oleh reaksi radang terhadap cacing dewasa di kelenjar limfe Perkembangan di bidang imunologi dan bioteknologi,
maupun di saluran limfe. Reaksi radang ini juga dipengaruhi khususnya pengembangan antibodi monoklonal dan DNA-
oleh'reaksi imunologik seluler maupun humoral. recombinant, membuka harapan untuk dapat meneliti hal-hal
Peran dari reaksi imunologik dalam kaitan dengan spektrum di atas dengan cara yang lebih sensitif dan spesifik.

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990


Dalam makalah akan dibahas penelitian-penelitian tory antigen, karena antigen ini terpapar langsung dengan reaksi
imunopatologi, imunoprofilaksis dan imunodiagnosis yang telah imunologik tubnh, dibandingkan bagian bagian lain• dari parasit
dilakukan, sehingga dapat dimanfaatkan dalam menunjang ini.(2) Dengan perkembangan beberapa teknik akhir-akhir ini
penanggulangan masalah pemberantasan filariasis di seperti surface labelling Western blot, purifikasi antigen dan hybri-
Indonesia. doma technology, dimungkinkan untuk mempelajari peranan
antigen sehubungan dengan imunitas ini, menurut bagian tubuh
IMUNOPATOLOGI parasit maupun berat molekulnya.
Imunosupresi yang bersifat spesifik balk seluler maupun Ada dua jenis imunitas yang banyak diperhatikan dalam
humoral terlihat terutama pada individu yang mikrofilaremik, mempelajari hal ini yaitu : protective immunity terhadap L3 dan
meskipun reaksi terhadap mitogen dan antigen lain tetap normal. transmission inhibiting immunity terhadap mikrofilaria.
Keadaan ini bukanlah karena individu tidak mbngenal antigen
filaria, tetapi karena berbagai mekanisme yang timbul akibat
adanya parasit filaria, mengakibatkan imunosupresi ini.(2) Kom- Protective immunity.
ponen-komponen yang mungkin berperan dalam imunosupresi
Vaksinasi dengan menggunakan L3 hidup yang dilemahkan,
ini ialah, serum supressor factor, T lymphocyte supressor cells dan
menunjukkan proteksi terhadap infeksi (challenge) sebanyak 80 -
monocytes. (1)
100%.(8,9) Immunitas yang terbentuk dengan vaksinasi tersebut
Reaksi imunologik terlihat paling tidak menonjol pada ke-
di atas dapat diberikan pada binatang lain melalui transfer antibodi.
lompok simtomatik mikrofilaremik. Reaksi hiporesponsif ini
Penelitian laie menunjukkan bahwa pads L2 akhir dan L3
mungkin merupakan manifestasi dari mekanisme imunosupresi
ditemukan surface antigen yang mungkin berperan dalam terjadi-
yang berlebih. Reaksi seluler dan humoral spesifik terlihat me-
nya imunitas. Surface antigen ditemukan hanya untuk waktu
nonjol pada individu yang amikrofilaremik. Rupanya reaksi ini
pendek dalam daur hidup, pads saat sebelum memasuki host
menurunkan densitas mikrofilaremia individu tersebut. (1) Reaksi
defmitif. Antigen ini rupanya sangat penting bagi L3 untuk
humoral spesifik terhadap komponen antigen mikrofilaria
mampu masuk tubuh host. Antibodi monoklonal yang mengenal
dengan BM 25 dan 70 - 75 kD lebih banyak didapat pada individu
surface antigen ini dapat dipakai untuk membuat anti idiotype.
yang amikrofilaremik daripada yang mikrofilaremik (4,5) Kom-
Anti idiotype ini dapat diuji sebagai vaksin untuk dinilai sifat
ponen antigen ini rupanya penting untuk merangsang antibodi
progektifnya.
yang spesifik terhadap mikrofilaria. Antibodi monoklonal yang
mengenal antigen antigen ini dapat menurunkan mikrofilaremia
B. malayi pada mencit dan jird.(5,6) Reaksi spesifik ini dapat terjadi Transmission inhibiting immunity
demikian hebatnya, sehingga tidak hanya menurunkan mikro- Transmission inhibiting immunity ini mampu menurunkan
filaremia, tetapi juga meningkatkan inflamasi lokal, sehingga mikrofilaremia di dalam peredaran darah, mempunyai dampak
terjadi perubahan patologik pada kelenjar dan pembuluh limfe mengurangi penularan. Imunitas ini tidak mengurangi kerusak-
secara berulang-ulang sampai teijadi kerusakan dan obstruksi an jaringan yang disebabkan oleh cacing dewasa, karena tidak
limfatik. Pada binatang telah ditunjukkan korelasi positif antara mempengaruhi cacing dewasa.
kerusakan jaringan limfatik dengan derajat reaksi imunologi.(1) Kazura menggunakan sera poliklonal yang dibuat ter-
Dalam penghancuran parasit disebutkan bahwa komplomen, hadap ekstrak mikrofilaria mampu menunjukkan bahwa kompo-
IgG melalui antibody dependent-cytotoxicity (ADCC) memegang nen antigen yang merupakan transmission inhibiting antigen
peranan penting. (2) mempunyai berat molekul 25 KD,(4) menurunkan mikrofila-
Sampai saat ini belum cukup penelitian untuk menerangkan remia sebanyak 97%. Canlas dengan menggunakan antibodi
patogenesis filariasis. Penelitian untuk mengetahui reaksi imu- monoklonal kelas IgG terhadap surface mikrofilaria, menurun-
nologik dan antigen yang berperan dalam imunopatologi dari kan densitas mikrofilaria sampai 90% Dada jird. Antigen tersebut
species B. malayi sedang berjalan di Kendari(6) dan di Jambi mempunyai berat molekul 70 - 75.0) Cara yang sama dengan
untuk W. brancrofii. Diaakukan evaluasi aspek imunologik klinis Canlas dilakukan oleh Agarwal dengan antibodi monoklonal
dan parasitologik pada transmigran yang berasal dari daerah kelas IgM pada mice (10) dan antigen dengan Berat Molekul
endemik terhadap adanya infeksi Maria. Selanjutnya masih di- 110 KD yang mempunyai efek transmission inhibiting immu-
perlukan penelitian yang ditujukan untuk mengetahui cara me- nity tersebut.(11)
ngurangi kerusakan jaringan akibat reaksi imunologik maupun
reaksi pengobatan. (2) IMMUNODIAGNOSIS.

IMUNOPROFILAKSIS Pengembarigan immunodiagnosis adalah sangat penting,


mengingat diagnosis filariasis secara parasitologik mempunyai
Penelitian tentang imunoprofilaksis banyak diteliti dengan kekurangan. Diagnosis dengan cara ditemukannya mikrofilaria
memperguriakan binatang percobaan, terutama untuk B. Malayi dalam peredaran darah pada malam hari ini, tidak dapat untuk
Kompleksnya antigen pada parasit Maria dan adanya reaksi menentukan infeksi prepaten, infeksi menahun dan tropical
silang antar stadia daur hidup maupun dengan spesies lain, eosinophilia.2) Pada individu yang amikrofilaremik asimpto-
merupakan faktor yang masih sulit diatasi dalam menentukan matik, secara parasitologik tidak dapat ditentukan apakah indi-
antigen yang merangsang terjadinya imunitas. Penelitian ter- vidu tersebut sedang dalam masa prepaten, infeksi dengan
utama menggunakan surface antigen atau excretory and secre- mikrofilaremia ringan atau memang bebas dari infeksi.(12) Cara

Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990 19


konvensional ini tidak dapat menunjukkan intensitas infeksi, Deteksi antigen memungkinkan suatu "diagnosis parasito-
tidak sensitif untuk evaluasi pengobatan/pemberantasan, selain logik", tetapi tidak dapat menggambarkan biologi parasit seperti
hambatan operasional, karena hams dilakukan pengambilan periodisitas. Adanya circulating immune complex perlu diatasi
sampel darah pada malam hari. untuk meningkatkan sensitivitas dari deteksi antigen ini.
Usaha-usaha untuk mendapatkan teknik pemeriksaan yang
2. Pada nyamuk
lebih sensitif dan spesifik, telah dilakukan mjalui purifikasi
Deteksi larva infektif filaria pada nyamuk sangat penting
monospesifik melalui cara rekayasa genetika..(13) Teknik yang
untuk mengetahui vektor filaria di suatu daerah, dinamika
telah dikembangkan adalah. teknik untuk deteksi antibodi dan
transmisi dan pemantauan entomologik program pemberantas-
deteksi antigen.
an filariasis.
Deteksi larva pada nyamuk dilakukan dengan cara pem-
Deteksi antibodi bedahan nyamuk dan diperiksa di bawah mikroskop untuk me-
Diagnosis filariasis atas dasar deteksi antibodi belum me- nentukan adanya larva infektif. Pemeriksaan ini membutuhkan
naunjukkan basil yang diharapkan. Hal ini terutama disebab- waktu yang lama, karena hams dilakukan satu persatu. Cara
kan karena cara ini tidak dapat membedakan keadaan pada mikroskopik ini juga tidal( dapat membedakan spesies B. malayi
paparan terhadap L3, infeksi paten, infeksi lama maupun ke- dan B. pahangi yang sexing didapatkan pada daerah endemis
adaan pasca pengobatan. Korelasi antara mikroflaremia dan yang sama. Dengan adanya kesulitan teknis dalam deteksi larva
kadar antibodi tidak ditemukan, sehingga tidak dapat dinilai filaria dalam nyamuk, telah diusahakan pengembangan tekno-
intensitas infeksi.(13) Hambatan terutama disebabkan oleh logi hibridoma maupun DNA-recombinant, untuk mendapatkan
karena kompleksnya antigen filaria clan_ reaksi silang dengan cara yang praktis yang dapat pula diterapkan di lapangan.
nematoda,lain maupun non nematoda.(11) Pengembangan se- Antibodi monoklonal NEB-DI-E5 yang bereaksi terhadap
lanjutnya perlu diarahkan untuk pengembangan antigen yang permukaan larva infektif B. malayi bersifat stage specific. Anti-
lebih spesifik, dengan menggunakan surface antigen dan atau bodi monoklonal NEB - DI - E5 ini bereaksi dengan L3
ES antigen (excretory secretory antigen) yang dimurnikan. B. malayi dan B. timori, tetapi tidak dengan B. pahangi dan
genera lain dari parasit filaria. (9) Tes ini dapat dipakai untuk
Deteksi antigen menyingkirkan kesulitan membedakan B. malayl dari B. pahangi
secara morfologik. Antibodi monoklonal NEB - DI - E5 telah di-
1. Pada host :
kembangkan untuk dipakai dalam ELISA. Tes ini telah diuji
Pengembangan deteksi antigen untuk diagnosis filariasis,
coba di lapangan di Kalimantan Selatan.(18) Diharapkan dalam
diharapkan dapat lebih menggambarkan status infeksi filariasis
waktu mendatang tes ini dapat dipakai. menggantikan cara
dibandingkan deteksi antibodi. Pada pendekatan ini, deteksi
konvensional yang lambat dan tidal( mampu membedakan L3
dilakukan terhadap metabolit, ekskresi/sekresi parasit, Zat-zat
B. malayi dari B. pahangi.
ini dihasilkan oleh parasit yang hidup, sehingga didapatkan suatu
Dua DNA probe yang species specific untuk B. malayi dan
diagnosis "parasitologi". Berbagai antibodi poliklonal dan
B. pahangi. DNA probe ini tidak stage specjft sehingga tidak
monoklonal dikembangkan untuk tujuan ini, dengan memper-
dapat dibedakan L3 dari stadia lain dari spesies tersebut.(19)
gunakan tes yang sensitif seprti RIPEGA, IRMA dan ELISA.
Kedua DNA pro beini akan sangat bermanfaat untuk menentukan
Dengan cara ini dapat ditemukan penderita filariasis yang tidak
spesies Brugia yang endemik di suatu daerah, tetapi sulit dipakai
dapat didiagnosis dengan cara konvensional.
untuk interprestasi intensitas transmisi. Kedua DNA probe ini
Malhotra, menggunakan fraksi IgG dari penderita gejala fila-
sedang diuji di Kalimantan untuk memastikan adanya B. pahangi
riasis bancrofti, menemukan bahwa 15 dan 20 penderita yang
pada manusia seperti dilaporkan oleh Palmeiri.(20) DNA probe
mikrofilaremik, menunjukkan bahwa ada reaksi terhadap ES
pBml5(21) yang spesifik terhadap B. malayi dan tidak menunjuk-
antigen dari mikrofilaria dalam darahnya.
kan reaksi dengan B. pahangi dipergunakan untuk menentukan
Gib 13, suatu antibodi monoklonal yang dikembangkan dari adanya larva infektif B. malayi di Riau, daerah dengan B. malayi
O. gibsoni, adalah antibodi monoklonal pertama yang dilapor- dan B. pahangi yang ditemukan bersama-sama. Tes hibridi-
kan mampu mendeteksi antigen pada penderita mikrofilaremik sasi DNA probe masih memerlukan zat radioaktif, se-
W. bancrofti. Antibodi monoklonal ini mengenal komponen hingga untuk pemakaian di lapangan, perlu dikembangkan tes
phosphoryl choline yang terdapat pada permukaan telur O. gib- yang lebih praktis.
soni. (15) Terdapat korelasi positifantigenemia dengan mikrofila-
remia. Gib-13 juga dapat mendeteksi antigen di urine.(16)
Sebuah antibodi monoklonal lain yang dikembangkan dari KESIMPULAN
D. immitis mampu mendeteksi adanya suatu antigen yang di-
ekskresi oleh mikrofilaria W. bancrofti. Antigen yang dikenal ini Penelitian imunopatologi, imunoprofilaksis dan imunodi-
mempunyai berat molekul 200 KD, dan mempunyai spesifisitas agnosis masih sangat perlu untuk diteruskan. Pengetahuan yang
tinggi dalam sera manusia, karena tidak ditemukan dalam per- lebih mendalam tentang imunopatologi, akan mempermudah
edaran darah dalam infeksi lain. (17) Circulating antigen ini selain memilih arah pendekatan penelitian imunoprofilaksis dan imu-
ditemukan di peredaran darah, dapat juga ditemukan di cairan nodiagnosis.
tubuh lain, yaitu urin. Bila circulating antigen di urin dapat meng- Belum ada imunoprofilaksis yang dalam waktu dekat dapat
gambarkan status infeksi penderita, maka secara operasionil digunakan di lapangan. Sebaiknya penelitian ditujukan pada pe-
pengambilan sampel untuk pemeriksaan akan lebih mudah. nelitian dengan larva infektif, sehingga vaksinasi tersebut dapat

20 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990


Brugia malayi microfilariae induced by a monoclonal antibody which pro-
memberikan proteksi terhadap infeksi L3. - motes killing by macrophage and recognizes surface antigens. Immunology,
Imunodiagnosis untuk deteksi antigen pada W bqncrofti 1987; 554: 655 - 63.
dimungkinkan dengan adanya antibodi monoklonal Gib-13 dan 11. Haque A, Aggarwal A, Cuna W, Ovlaque, Cesbron JY, Capron A The
yang mempunyai korelasi positif dengan mikrofilaremia. use of monoclonal antibodies in studies of filarial parasites antigens.
Congress, Joint IABS/WHO Symposium onstandardizationand control of
Deteksi L3 pada nyamuk dengan menggunakan teknik biologicals produces by Recombinant DNA Technology. Geneva, Swaizer-
ELISA sudah dicoba di lapangan. Pemakaian teknik ini di land, 1983.
lapangan, masih perlu penyederhanaan. Penggunaan DNA probe 12. Partono F. Filariasis in Indonesia : clinical manifestations and basic
concepts of treatment and control. Trans Roy Soc Trop Med Hyg, 1984;
untuk deteksi larva dan mikrofilaremia dapat juga dapat di- 78 : 9 - 12.
kembangkan untuk digunakan di lapangan. 13. Dessaint JP, Csebron JY, Lutsch Ch, Nogueira-Queiroz JA, Capron A
Radioimmunoassays and related procedures in the diagnosis of parasitic
KEPUSTAKAAN infections. Colloques international sur la medecine nucleaire at les appli-
cations medicales connexes des techniques nucleaires dans les pays en
1. Ottesen EA Immunological aspects of lymphatic filariasis and onchocer- development. Vienna, 26 - 30 August 1985.
ciasis in man. Trans R Trop Med Hyg 1984; 78 (suppl). 14. Malhotra A, Harinath BC. Detection and monitoring of microfilarial ES
2. WHO. Lymphatic filariasis. WHO Techn Rep Ser, 1984; 702. antigen levels by inhibiton ELISA during DEC therapy. Indian J Med Res,
3. Basundari Sri Utami, Kumiawan L, Piessens WF, Hastini, Widjaja R. 1984; 79 : 194 - 8.
Enzyme-linked Immunotransblotting test pads transmigran di daerah ende- 15. Forsyth KP, Mitchell GF. Antigen detection assays in filariasis : Diagno-
mis Filariasi malayi di Pulau Buton. Cermin Dunia Kedokteran, 1987; sis of infection and evaluation of control measures. International Sympo-
435:47-51. sium on nuclear medicine and related medical applications of nuclear
4. Kazura JW, Cicirello H, Forsyth K Differential recognition of a protective techniques in developing countries. Vienna : 26 - 30 August 1985.
Filarial antigen by antibodies from humans with bancroftian filariasis. 16. Dissanayake S, Forsyth KP, Ismail MM, Mitchell GF. Detection of circu-
J Clin Invest. 1986; 77 : 1985 - 92. lating antigen in bancroftian filariasis by using a monoclonal antibody.
5. Canlas M, Wadee A, Lamontagne L, Piessens WF. A monoclonal antibody Am J Trop Med Hyg, 1984; 3 : 1130 - 40.
to surface antigens on microfilariae of Borgia malayi reduces microfila- 17. Weil GJ, Liftis F. Identification and partial characterization of a parasite
remia in infected jirds. Am J Trop Med Hyg, 1984; 33 : 420 - 4. antigen in sera from humans infected with Wurchereria bancrofti. J Immu-
6. Kurniawan L, Basundari Sri Utami, Harun S, Hastini, Widjaja R, Andi nology 197; 38 : 1 - 7.
Djenna. Immunological responses in newly exposed individuals in malayan 18. Partono F. Laporan proyek Field evaluation of an enzyme linked immuno-
filariasis endemic area in Southeast Sulawesi, Indonesia. Sixth International assay using a monoclonal antibody which specifically identifies infective
Congress of Parasitology, Brisbane, 25 - 29 August 1986. larvae of Brugia malayi. 1988.
7. Wong MM, Guest MF, Lim KC, Sivanandam S. Experimental Brugia 19. Piessens WF, McReynolds LA, Williams SA Highly repeated DNA sequ-
malayi infections in the rhesus monkey. Southeast Asian J Trop Med ences as species specific probes for Brugia. Parasitology today, 1987;
H1th, 1977; 8 : 265 - 73. 3:378-9.
8. Higashi GI. Brugia malayi : L3 radiation attenuation vaccine studies in 20. Palmeiri JR, Ratiwayanto S, Masbar S, Tirtokusumo S, Rusch J, Marwoto
jirds. Report at WHO meeting on filariasis, 1987. HA. Evidence of possible natural infection of man with Brugia pahangi
9. Carlow CKS, Franke, ED, Lowrie RC, Partono F, Philip M.. Monoclonal on South Kalimantan (Borneo), Indonesia. Trop Geogr Med 1985; 7 :
antibody to a unique surface epitope of human filaria Brugia malayi identi- 239 - 44.
fies infective larvae in mosquito vectors. Proc Natl Acad Sci USA 1987; 84 : 21. Sim BLK, Piessens WF, Wirth DF. A DNA probe cloned in Escherichia
691-8. coli for the identification of Brugia malayi. Mol Biochem Parasitol 1986;
10. Aggarwal A, Cuna W, Haque A, Dissous C, Capron A Resistance against 19:117-23.

Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990 21


Identifikasi
Komponen Protein Mikrofilaria B malayi
dan hubungannya dengan
Status Kliniko Parasitologik dari Filaria
Basundari SU*, L Kurniawan*, Hastirti P*, Rita Marietta*, S Harun* dan M Yasin**
* Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan R.L, Jakarta
. ** Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, Departemen Kesehatan R I . , Jakarta.

ABSTRAK

Penelitian imunologis filariasis menunjukkan bahwa, kelompok penduduk yang


amikrofilaremik di daerah endemis filariasis mempunyai respon imun terhadap mikro-
filaria lebih baik dibandingkan dengan kelompok penduduk yang mikrofilaremik. Dengan
tehnik IFAT dan tes ADCC ditunjukkan bahwa IgG antimikrofilaria B. malayi yang
terdapat di dalam serta kelompok penduduk yang amikrofilaremik dan elephantiasis
dapat membunuh mikrofilaria secara in-vitro. Perkembangan penelitian imunologi
filariasis menunjukkan bahwa target IgG pada tubuh mikrofilaria B. malayi adalah
komponen protein yang mempunyai berat molekul 75, 70 ,dan 25 Kd. Penelitian di
atas pada umumnya belum menggambarkan komponen protein mikrofilaria yang ber-
peran pada respon imun filariasis.
Untuk memahami komponen protein mikrofilaria yang berperan dalam respon imun
filariasis, dilakukan tes ELISA dan Western Blot terhadap sera dari penduduk daerah
endemis filariasis malayi di Riau dan P. Buton. Sera yang diperiksa adalah sera dari
kelompok penduduk yang amikrofilaremik dengan gejala klinis dan tanpa gejala klinis;
kelompok mikrofilaremik dengan gejala klinis dan tanpa gejala klinis; dan kelompok
elephantiasis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komponen protein 125, 100, 79, 70, 25
dan 8 Kd dari mikrofilaria dikenal secara umum oleh setiap kelompok. Komponen 125,
25 Kd dikenal lebih bānyak pada kelompok amikrofilaremik tanpa gejala klinis dan
elephantiasis, atau paling kurang menonjol pada kelompok mikrofilaremik dengan gejala
klinis. Komponen 8 Kd dikenal menonjol oleh kelompok amikrofilaremik dengan
gejala klinis.
Dan hasil diatas dapat dikemukakan bahwa masih perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut untuk dapat menjawab komponen mana di antara komponen-komponen tersebut
yang mungkin bersifat protektif, kelas dan subkelas imunoglobulin mana yang berperan
dalam imuno-proteksi.

PENDAHULUAN
perbedaan pada manifestasi klinis dan parasitologis yang dialami
Gejala klinis filariasis yang dialami oleh penduduk di daerah penderita dalam petjalanan penyakitnya, bukan tidak mungkin
endemis filariasis, seperti : demam, limfangitis dan limfadenitis, bahwa gejala klinis yang dialami penderita merupakan fase
biasanya terjadi secant berulang. Penderita yang menunjukkan penting; di man gejala klinis merupakan refleksi respon imun
adanya gejala di atas atau salah satu gejala tersebut, dapat di- dari hospes terhadap parasitnya.1
temukan bersama-sama dengan keadaan mikrofilaremik atau Penelitian di bidang imunologi menunjukkan bahwa respon
amikdofilaremik dalam peredaran darahnya. Dengan adanya imun baik yang humoral dan seluler terhadap mikrofilaria pada

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990


kelompok amikrofilaremik lebih baik daripada kelompok mikro- Tabel 1. Spesifikasi kliniko-parasitologis sera yang dites.
filaremik.2 Mc. Greevy clan kawan-kawan dengan teknik imuno-
Kelompok klinis/parasitologis Jumlah sera
fluoresen antibodi tes menunjukkan bahwa di dalam serum
kelompok amikrofilaremik dan elephantiasis terdapat antibodi
Pulau Buton
terhadap selubung (sheath) dari mikrofilaria dari kelas IgG dan Amikrofilaremik 7
IgM. Secara in-vitro telah ditunjukkan, bahwa antibodi kelas IgG Mikrofilaremik 8
yang terdapat di dalam serum kelompok amikrofilaremik dapat Elephantiasis 6
merangsang sel-sel mononuklear untuk menempel pada tubuh Riau
mikrofilaria B. malayi, yang mengakibatkan matinya mikro- Amikrofilaremik dengan gejala klinis 5
filaria tersebut. Peristiwa ini (Antibody Dependent Cell C,ytotoxi- Amikrofilaremik tanpa gejala klinis 11
Mikrofilaremik dengan gejala klinis 9
city) diduga merupakan mekanisme kerja antibodi bersama- Mikrofilaremik tanpa gejala klinis 13
sama dengan sel mononuklear dalam hal membunuh mikro- Elephantiasis 11
filaria.3 Limfedema 5
Dari bukti di atas dapat disimpulkan bahwa pada keadaan Sukabumi
amikrofilaremik sistem imun dari hospes berhasil membentuk Kontrol 12
antibodi terhadap mikrofilaria yang mungkin mempunyai daya (daerah non endemis)
proteksi; sebaliknya pada keadaan mikrofilaremik tidak terdapat
hal yang demikian. Perkembangan akhir penelitan imunologi tes ELISA dengan menggunakan ekstrak mikrofilaria B. malayi
menunjukkan, IgG anti mikroflaria B. malayi pads binatang sebagai antigen. Setengah mikrogram (0,5 µg) antigen dalam
percobaan gerbil dan mice adalah IgG terhadap komponen 50 ul coating beer, ditempelkan pads micro ELISA plate. Untuk
protein mikrofilania yang mempunyai berat molekul 75, 70 dan menghindari reaksi positif palsu dilakukan bloking dengan 0,5%
25 Kd (Kilo dalton). Dipaparkan bahwa IgG terhadap komponen BSA (Bovine Serum Albumin) dalam PBS pH 7,2. Berikutnya
75 dan 70 Kd dapat menurunkan mikrofilaria di dalam darah ditambahkan sera yang di tes dengan pengenceran 1 : 200.
gerbil4 (Ian IgG terhadap komponen 25 Kd dapat menurunkan Setelah dilakukan pencucian 3 x 5 menit dengan PBS Tween
mikrofilaria dalam darah mencit.5 50 ul konjugat antihuman IgG (produksi Milles Yeda) ditambah-
Penelitian ini disusun dengan tujuan untuk lebih memahami kan dengan pengenceran 1 : 1000. Setelah dicuci 3 x 5 menit
imunopatogenesis dari filariasis pada manusia; dengan cara dengan PBS 7iveen. 50 ul substrat ditambahkan dan dibaca pads
mengidentifikasi/mempelajari IgG dari penduduk daerah ELISA reader.
endemis filariasis dengan berbagai status klinis dan
parasitologis terhadap komponen-komponen protein
mikrofilaria B. malayi. Tes Western Blot
BAHAN DAN CARA Deteksi antibodi terhadap mikrofilaria secara kualitatif di-
lakukan dengan teknik Western Blot.
Sampel sera Tahap pertama dilakukan penguraian ekstrak mikrofilaria dan
Desa Wakalambe dan Barangka di P. Buton dan desa Teluk pemindahan protein dari agar po p-acrylamide ke atas kertas
Sajua di Riau merupakan daerah endemis filaria B. malayi nitroselulose seperti yang telah dilakukan.6
masing-masing mempunyai milcroflaria rate 24% dan 20%. Dari Tahap berikutnya, kertas diinkubasi dengan serum
dua daerah ini dikumpulkan sera yang akan diteliti, masing- (pengenceran 1 : 200) selama 90 menit pada temperatur kamar
masing sera mempunyai catatan hasil pemeriksaan kliniko- sambil digoyangkan, dicuci dengan Tween 4 x 20 menit.
parasitologik. Sebagai kelompok kontrol dikumpulkan 12 sera Konjugat yang ditambahkan adalah peroxidase anti human IgG
dari derah non endemis Sukabumi. (produksi Milles Sdentific) dengan pengenceran 1 : 1000,
Pengumpulan sera dilakukan dengan mengambil darah vena inkubasi dilakukan selama 60 menit dalam temp eratur kamar.
sebanyak 10 ml. Serum dipisahkan dad sel darah merah dan Setelah dilakukan pencucian ditambahkan 3'3' diamino benzi-
disimpan pada -20° C sebelum dilakukan tes ELISA dan Western dine. Bila tes positif akan timbul pita-pita berwama coklat pada
Blot. kertas nitroselulose. Dengan pedoman berat molekul standar
Berikut ini dapat dilihat spesifikasi kliniko-parasitologik dad (produksi BIO RAD) berat molekul pita-pita tersebut ditentukan.
sera yang di tes :.(tabel 1).
HASIL
Pembuatan antigen :
Mikrofilaria B. malayi digerus dengan menggunakan tissue Hasil tes ELISA
grinder, kemudian disonikasi 3 x 3 detik. Setelah disuspensi PadaTabel 2 terlihat bahwa kandungan IgG antimikrofilaria
dengan PBS pH 7,2 dilakukan sentrifugasi. Supernatan di- kelompok mikrofilaremik dengan gejala klinis penduduk Riau
kumpulkan clan kandungan proteinnya diukur dengan cara mempunyai harga titer rata-rata terrendah dibandingkan dengan
Lowry. Antigen yang didapat disimpan path -70° C dalam kelompok lain (0,497). Sedangkan harga titer dari kelompok lain
alikuot. tidak menunjukkan perbedaan.
Dari Tabel 3 terlihat bahwa kandungan IgG antimikrofilaria
di antara 3 kelompok penduduk p. Buton mempunyai titer yang
Tes ELISA relatif sama tinggi, masing-masing 0,964, 0,512, 0,605 untuk ke-
Untuk mengukur titer IgG terhadap mikrofilaria, dilakukan lompok mikrofilaremik, amikrofilaremik dan elephantiasis.

Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990 23


Kelompok kontrol dari daerah non endemic mempunyai Gambar 2. Gambaran pengenalan komponen protein mikrofilaria B. malayi
oleh IgG penduduk Riau kelompok mikroiilaremik tanpa gejala
titer 0,177.
klinis dan dengan gejala klinis.
Hasil tes Western Blot
Gambaran pengenalan komponen protein mikrofilaria B.
malayi oleh IgG dari penduduk Riau kelompok amikrofilaremik
dengan gejala klinis dan tanpa gejala klinis.
Pada gambar I terlihat 4 komponen yang dikenal menonjol
oleh kedua kelompok ini; komponen 125 Kd dikenal oleh 36,3%
kelompok amikrofilaremik tanpa gejala klinis sedang kelompok
amikrofilaremik dengan gejala klinis 0%. Komponen 100 Kd di-
kenal oleh 36,3% kelompok amikrofilaremik tanpa gejala klinis,
dan 60% oleh kelompok dengan gejala klinis. Komponen 25 Kd
dikenal oleh kedua kelompok ini dengan persentase yang relatif
sama, masing-masing 75,7% kelompok amikrofilaremik tanpa
gejala klinis dan 80% kelompok-dengan gejala klinis. Koimponen
8 Kd dikenal oleh 36,3% dan 60% kelompok amikrofilaremik
tanpa gejala klinis dan dengan gejala klinis.
Gambaran pengenalan komponen protein mikrofilaria B.
malayi oleh IgG penduduk Riau kelompok mikrofilaremik tanpa
gejala Minis dan dengan gejala klinis.
Gambar 1. Gambaran pengenalan komponen protein mikrofilaria B.
malayi oleh IgG dari penduduk Riau kelompok amikrofilaremik dengan
gejala klinis dan tanpa gejala klinis.
Gambar 1. Gambaran pengenalan komponen protein mikrofilaria B. malayi
oleh IgG dari penduduk Riau kelompok mikrofilaremik dengan Gambar 3. Gambaran pengenalan komponen protein mikrofilaria B. malayi
gejala klinis dan tanpa gejala klinis. oleh IgG penduduk Riau kelompok Elephantiasis dan Limfedema.

Pada gambar II terlihat bahwa komponen 125 Kd tidak di-


kenal menonjol oleh kedua kelompok ini, tetapi tidak demikian
halnya dengan komponen 25 Kd. Komponen ini dikenal oleh
76,9% kelompok mikrofilaremik tanpa gejala klinis tetapi ke-
lompok mikrofilaremik dengan gejala klinis hanya 44%. tiāsis dan Limfedema. Demikian pula halnya untuk komponen
Gambaran pengenalan komponen protein mikrofilaria B. 25 Kd dikenal oleh 81,8% dan 60% oleh kelompok-kelompok
malayi IgG penduduk Riau kelompok Elephantiasis dan Limfe- tersebut.
dema. Gambaran pengenalan komponen protein mikrofilaria B.
Pada gambar III terlihat bahwa komponen 125, 100, 79 dan malayi oleh IgG penduduk P. Buton kelompok amikrofilaremik
70 Kd dikenal relatif sama tinggi oleh kedua kelompok ini, dan mikrofilaremik.
yaitu 45,4% dan 40% untuk komponen 125 Kd, 36,3% dan 60% Dan gambar IV terlihat bahwa jumlah komponen protein
untuk komponen 100 Kd, 59,5% dan 60% untuk komponen yang dikenal oleh penduduk p. Buton lebih sedikit dibandingkan
79 Kd,40% dan 36,3% masing-masing untuk kelompok Elephan- penduduk Riau. Tetapi komponen-komponen 125, 100, 79, 70
25 dan 8 Kd yang dikenal oleh penduduk Riau juga dikenal oleh

24 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990


Gambar 4. Gambaran pengenalan komponen protein mikrofilaria B. malayi Gambar 5. Gambaran pengenalan komponen protein
oleh IgG penduduk P. Buton kelompok amikrofilaremik dan mikro- mikrofilaria B. Malayi oleh IgG penduduk P.Buton kelompok

Tabel 2.
filaremik.
Kelompok Titer lgG anti MF B. malayi
penduduk p. Buton. Komponen yang dikenal menonjol oleh
kelompok amikrofilaremik adalah komponen 125 Kd dan 25 Kd, Amikrofilaremik
yang dikenal oleh 42,8%dan 71,4% dari kelompok ini; sedangkan tanpa gejala klinis 0,696 + 0,245
kelompok mikrofilaremik yang mengenal sebanyak 25% dan dengan gejala klinis 0,722 + 0,328
12,5%. Mikrofilaremik
tanpa gejala Minis 0,718 + 0,219
Gambaran pengenalan komponen protein mikrofilaria B.
dengan gejala Minis 0,497 + 0,152
malayi oleh IgG penduduk p. Buton, kelompok Elephantiasis.
Elephantiasis 0,822 + 0,305
Pada gambar V terlihat hanya 12 komponen protein mikro-
Limfedema 0,648 + 0,075
filaria B. malayi yang dikenal oleh kelompok ini. Komponen
yang dikenal menonjol oleh kelompok ini adalah komponen Kontrol 0,177 + 0,02
100 Kd dan 25 Kd, yang dikenal oleh 83% dan 33% dari
kelompok ini. * Penduduk Riau
Penduduk non endemis dari Sukabumi (kontrol) mengenal
komponen 70 dan 25 Kd, masing-masing 7,6% dan 15,7%. Tabel 3

Kelompok Titer IgG anti MF B. malayi


DISKUSI
Amikrofilaremik 0,512 + 0,77
Bila kita simak hasil penelitian ini, terdapat beberapa Mikrofilaremik 0,964 + 0,1
komponen yang menarik untuk dibahas; komponen tersebut Elephantiasis 0,605 + 0,28
adalah komponen 125; persentase jumlah kelompok-kelompok Kontrol 0,177 + 0,02
yang mengenal komponen ini relatif sama, tetapi kelompok
mikrofilaremik dengan gejala klinis dari Riau dan kelompok * Penduduk p. Buton
mikrofilaremik dari p. Buton terlihat mempunyai IgG anti
mikrofilaria yang paling kurang mengenal komponen ini (22% punyai arti penting yang erat hubungannya dengan pembentuk-
dan 25%); komponen yang lain adalah komponen 25 Kd (44% an IgG anti mikrofilaria yang mungkin mempunyai daya pro-
dan 12,5%) pada tabel 4; hal ini ditunjang dengan hasil tes teksi.
ELISA, dimana kelompok mikrofilaremik dengan gejala klinis Komponen 8 Kd, komponen ini dikenal paling menonijol
mempunyai titer yang paling rendah dibandingkan gejala Minis oleh kelompok amikrofilaremik dengan gejala klinis yaitu se-
mempunyai titer yang paling rendah dibandingkan kelompok
banyak 60%, sedangkan kelompok lain 30%, kelompok elephan-
lain (tabel 2). Aka dikonfirmasikan dengan pernyataan bahwa
kelompok mikrofilaremik dengan gejala klinis adalah kelompok tiasis dan lemfedema kurang dari 30% dan kelompok elephan-
yang menunjukkan respon imun balk seluler maupun humoral tiasis dari p. Buton 0% (Label 4). Dengan adanya kenyataan ini
yang kurang dibandingkan dengan kelompok lain,2 besar ke- timbul pertanyaan, apakah komponen ini mempunyai peran
mungkinannya bahwa kedua komponen ini mungkin mem- dalam terjadinya gejala klinis pada perjalanad penyakit, di mana

Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990 25


Tabel 4. identifikasi subkelas imunoglobulin dan mempelajari kelas lain
dari antibodi pada penduduk daerah endemis filariasis; melaku-
Komponen Amikrofilaremik Mikrofilaremik . Elephan- kan karakterisasi dari setiap komponen protein mikrofilaria dsb.
protein gejala gejala gejala gejala tiasis Limfedema
MF (KD)
Sehingga dampak dari penelitian dapat bermanfaat untuk pe-
(—) (+) (—) (+)
ngembangan vaksin.
Riau
Dan hasil di atas dapat disimpulkan bahwa, terdapat per-
125 36,5% 0% 15,3% 22% 40% 45,4% bedaan pola pengenalan IgG terhadap komponen protein mikro-
100 36,3% 60% 30,7% 44% 60% 36,3% filaria di antara kelompok penduduk daerah endemis filariasis.
79% 45,4% 40% 46,1% 44% 60% 59,5% Terdapat beberapa komponen yang mungkin mempunyai arti
70 36,3% 20% 46,1% 55% 40% 36,3% penting, komponen tersebut adalah : 125, 25 dan 8 Kd. Perlu
25 75,7% 80% 76,9% 44% 60% 81,8 dilakukan identifikasi sub-kelas IgG di dalam sera penduduk
8 36,3% 60% 35,4% 22% 22% 27,2% daerah endemis filariasis.
P. Buton
125 42,8% 25% 16% KEPUSTAKAAN
100 57,1% 37,5% 83%
79 42,8% 50% 16% 1. Ottesen EA. Immunological aspects of lymphatic filariasis and oncho-
cerciasis man. Trans Roy Soc. Trop Med Hyg. 1984; 78 : Supplement.
70 14,2% 25% 0%
2. Piessens WF dkk. Immune responses in human infections with B. malayi :
25 71,4% 12,5% 33% Correlation of cellular and humoral reactions to microfilarial antigens with
8 28,5% 37,5% 0% clinical status Am J Trop Med Hyg 1980; 29 (4) : 563 - 70.
3. Mc Greevy PB, Ratiwayanto S, Tuti S, Mc Greevy MM, Dennis DT.
B. malayi : relationship between antigen sheath antibodies and amicro-
biasanya timbulnya gejala klinis dihubungkan dengan fase dini filaria in natives living in an endemic area of South Kalimantan, Borneo.
A J Trop Med Hyg 1980; 29 (4) : 553 - 62.
dari infeksi. 4. Canlas M, Wadee A, Lamontagne I., Piessens WF. Amonoclonal antibody
Kendala utama yang dihadapi pada tes imunodiagnosis pe- to surface antigens on microfilaria of B. malayi reduces microfilaraemia in
nyakit filariasis adalah banyaknya reaksi silang yang terjadi jirds. Am J Trop Med Hyg 1984; 33 : 420 - 4.
dengan parasit lain, seperti protozoa dan golongan cacing 5. Kazura JW, Cicirelo H, Forsyth K Differential recognition of a protective
filarial antigen by antibodies from human with Bancroftian filariasis. J Clin
filaria lain.7 8 Almond menyatakan bahwa penyebab reaksi silang Invest 77 : 1985 - 1992.
yang dapat mempengaruhi respon imun adalah disebabkan oleh 6. Basundari SU. Tehnik imuno-transbloting dan aplikasinya. Medika 1989;
phosphocho/ine (PC) yang di samping terdapat pada golongan 2:175-81.
cacing juga terdapat pada bakteri, fungi dan protozoa.9 7. Oliver-Gonzales J, Morales FH. Common antigens among filarial and
other nematode parasites of man. J Infect Dis 1945; 77 : 91 - 5.
Dari sisi lain Renu B Lal menunjukkan bahwa pada penderita 8. Ambroise-Thomas P. Immunological diagnosis of human filariasis : present
filariasis tidak ditemukan IgG4 yang berreaksi dengan phospho- possibilities, difficulties and limitations (a review). Acta Trop (Basel) 1974;
choline.10 Sedangkan penelitian oleh Rabia menunjuk- 31 : 108 - 28.
kan bahwa 70% IgG dari penderita filariasis adalah 9. Almond NM, Parkhouse RME. The IgG class distribution Of anti-
phosphorylcholine responses in mice infected with parasitic nematodes.
IgG4. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Renu B Immunology 1986; 59 : 633 - 5.
Lal, bahwa untuk meningkatkan ketepatan tes imunodiagnosis 10. Renu BL, Ottesen EA. Enhanced diagnostic specificity in human filariasis
pada filariasis maka hams mengidentifikasi IgG4 dari sera by IgG4 Antibody assessment. J Infect. Dis 1988; 158 (5) : 1034 - 7.
penderita. Dari pendapat ini dapatlah disimpulkan bahwa pada 11. Natvig JB, Kunkel HG. Human immunoglobulins : classes, subclasses,.
genetic variants and idiotypes. Adv Immunol. 1973; 16 : 1 - 159.
penyakit filariasis, IgG yang berperan dalam respon imun adalah 12. Seppala IJ, Routonen N, Sarnesto A, Mattila PA, Makela O. The percentages
dari IgG4. Penelitian telah membuktikan bahwa tidak hanya of six immunoglobulin isotypes in human antibodies to tetanus toxoid :
pada infeksi parasit saja subkelas imunoglobulin berperan,pada standardization of isotypespecific second antibodies in solid phase assay.
infeksi yang lainpun demikian pula halnya. " IgG yang ber- Eur J Immunol 1984; 14 : 868 - 74.
respon terhadap polisakharida adalah IgG2, sedangkan antigen
yang berupa protein biasanya merangsang IgGl dan IgG3 pada
respon imun yang terjadi.12
UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan demikian penelitian ini masih merupakan suatu Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada Bapak Soeha,yono W. selaku
observasi yang bersifat umum, belum dapat menjawab bagai- pejabat sementara Puslit Penyakit Menular, yang telah memberi kesempatan untuk
mana imunopatogenesis dari filariasis secara spesifik, mengingat melaksanakan penelitian ini.
bahwa konjugat yang dipakai untuk mengidentifikasi antibodi Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Bapak Suriadi Gunawan
selaku kepala Puslit Menular, yang telah memberi kesempatan menulis makalah ini;
anti mikrofilaria hanya terbatas pada IgG saja. Masih banyak juga kepada teman-teman staf bidang tata operasional yang telah membantu
hal lain yang lebih mendalam perlu dilakukan, seperti melakukan sepenuhnya kegiatan administrasi sehingga penelitian ini dapat berjalan lancar.

26 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990


Nutritional Polyneuropathy in
Surabaya and its Surrounding

Djoenaidi Widjaja
Department of Neurology, Faculty of Medicine, University of Airlangga
Dr. Soetomo Hospital, Surabaya

INTRODUCTION than the arms and their distal segments more than the proximal
Distal (dying back) axonopathies associated with nutritional ones.
deficiency are peripheral neuropathies due to lack of an essential 2) Exclusion of other polyneuropathies e.g. diabetes mellitus,
nutrient or nutrients in the diet. The most important of these uremia, leprosy, Guillain Barre syndrome etc.
nutrients are the B vitamins, more specifically thiamine, nico- 3) History of nutritional deficiency e.g. eat only once or twice
tinic acid, pyridoxine, pantothenic acid and cyanocobalamin. a day or excessive intake of carbohydate and low protein.
It seems that besides these vitamins, the total amount of calories 4) Electro-neuromyographic parameters indicative for polyneu-
(if less than 1000 calories per day) which we eat are also ropathy.
important for the production of this disease. Dietary imbalance, 5) No cells or enhancement of protein on cerebrospinal fluid
for instance an excessive intake of carbohydrate relative to examination.
protein or the supply of thiamine, is conducive to the develop- Electrocardiogram, X -photo of the chest, blood, urine, faeces
ment of distal axonopathy. and cerebrospinal fluid were routinely examined, including
The development of nutritional deficiency may be influ- blood sugar, serum creatinine, B.U.N. and serologic tests for
enced by factors which enhance the need for nutrients, such syphilis.
as exercise growth, pregnancy, infection, or by disorders of the On admission all patients were graded into 4 groups.
gastrointestinal tract (e.g. diarrhea) and liver, which can inter- Stage I :
fere with the absorption and synthesis of essential nutrients.1 2 Motoric function :
In the low socio-economic patients food that consist mainly • Slight paresis (-1) of both dorsal flexors of the feet. Arms
of machine-milled rice (hand milled rice is now not available in are not affected.
the market) with low protein (like meat or other food), together Reflexes :
with poor sanitation and infectious diseases are the main factors • Achilles tendon reflex is slightly decreased (-1).
which enhance or precipitate nutritional polyneuropathy. Based • Knee tendon and arm reflexes are normal.
on this assumption, this study was conducted. Stage II :
Motoric function :
MATERIAL AND METHOD
• Slight paresis (-1) of both legs.
The material consisted of low-socio-economic patients admit-
• The arms are not affected.
ted to the Neurologic Department of Dr. Soetomo Hospital
Reflexes :
Surabaya and middle-socio-economic patients of the Neurologic
• Achilles & knee tendon reflexes are slightly or moderately
Pavillion of the Dr. Soetomo Hospital Surabaya, between
decreased (-1 or -2).
January 1985 until December 1985.
The criteria for inclusion of this study are : • The arm reflexes are normal.
1) Symmetrical impairment or loss of motor, sensory and reflex Stage III :
functions, usually affecting the legs earlier and more severely Motoric function :
A Slight or moderate paresis (-1 or -2) of both legs or arms.
Dibacakan pada Pertemuan Ikatan Dokter Ahli Saraf Indonesia (IDASI) Semarang,
1986

Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990 27


Reflexes : Table 2. Sex and age distribution
• Achilles & knee tendon reflexes are negative.
• Biceps & triceps tendon reflexes are slightly or moderately Age Neurology ward Neurology pavillion
decreased. years
Male Female
Stage IV : Male Female
Motoric function :
• Severe paresis (-3) or paralysis (-4) of both legs. 0 - 10 - 1 1 1
11 - 20 22 2 1 -
• Paralysis (-4), severe paresis (-3) or moderate paresis (-2)
21 - 30 8 6 - -
of both arms.
31 - 40 2 - - -
Reflexes : 41 - 50 1 - - -
• Achilles tendon and knee tendon reflexes are negative. 51-60 1 - - -
• Biceps and triceps tendon reflexes are negative. 61-70 1 - - -
Their nutritional status was based on : Total 35 9 2 1
• Body weight as percentage of their ideal body weight.
• Serum total protein and albumin in g/dl.
Table 3. Sex and mean age
• Haemoglobin in g/dl.
RESULTS Neurology ward Neurology pavillion
Out of 1015 low-socio-economic patients admitted to the Sex Mean age
Total Total Mean age
Neurologic Department of Dr. Soetomo Hospital Surabaya,
between January 1985 until December 1985, 63 (6,2%) patients
suffered from polyneuropathy, while 44 (4,3%) patients had Female 9 21,6 1 1,5
nutritional polyneuropathy (Table 1). Male 35 23,2 2 11,25
During the same period, out of 519 middle-socio-economic
patients admitted to the Neurologic Pavilion of Dr. Soetomo Total 44 22,8 3 4,25
Hospital Surabaya, 11 (2,10%) suffered from polyneuropathy,
while only 3 (0,6%) had nutritional polyneuropathy. This diffe- 1985 there were no admission of nutritional polyneuropathic
patients.
rence is statistically significant (p < 0.001).
Middle socio-economic patients (neruologic pavilion) :
They were admitted between July until September 1985.
Table 1. Incidence of polyneuropathy (1985) Table 4. Monthly distribution of admittance

Type of Poly- Neurology ward Neurology pavillion Month Neurology ward Neurology pavilion
neuropathy. (1015 patients) (519 patients)
January 1 -
Nutritional 44(4,3%) 3(0,65%) February 5 -
Guillain Barre Syndrome 12(1,2%) 6(1,1%) March 7 -
Diabetes Mellitus 6(0,6%) 2(0,4%) April 12 -
Uremia 1(0,1%) - May 6 -
June 9 -
July 1 1
Total 63(6,2%) 11(2,1%) August 1 1
i September 2 1

SEX AND AGE DISTRIBUTION


Low-socio-economic patients (neurologic ward) : Total 44 3
Men were more affected than women in a ratio of 4 : 1,
their ages ranged from 6 years - 70 years, with a peak age of
DISTRIBUTION OF PLACE OF DOMICILE
occurence between 11 - 20 years. The mean age in men were
Low socio-economic patients (neurologic ward), :
23,2 years and in women 21,6 years. They came mostly from Surabaya, followed by Lamongan
Middle socioeconomic patients (neurologic pavilion) :
and Mojokerto.
There were only 3 patients, consisted of 2 male patients
Middle socio-economic patients (neurologic pavilion) :
(6½ years and 16 years old) and one female patient of 1½ Two patients came from Surabaya and 1 patient from Situ-
years. (table 2 and 3)
bondo. (Table 5).
Monthly Distribution Of Admittance
Low-socio-economic patients (neurologic ward) :
OCCUPATION
They were admitted between January up to September 1985,
with a peak in April 1985. Between October until December Low socio-economic patients :

28 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990


Table5. Distribution of place of domicile Table 8. Clinical stage

Place Neurology ward Neurology pavillion Neurology ward Neurology pavillion


Clinical stage
Surabaya 32 2 Male Female Male Female
Mojokerto 4 -
Lamongan 5 - I 1 - - -
Malang 1 - II 2 - - -
Jompang I - III 24 5 1 1
Magetan 1 - IV 8 4 1 1
Situbondo — 1

Total 35 9 2 1
Total 44 3

Nine patients were schoolchildren, 8 were labourers, 5 were CRANIAL NERVE PALSY
peasant's labourers, 1 was a shoemaker, 1 was a boxer, 1 was
Two patients of the low socio-economic showed laryngeal
a tailor and 19 patients were unemployed or had no fixed job.
paresis (stage HI).
Middle socio-economic patients :
Three patients were school-children.
Table 8. Clinical stage
Table 6. Occupation

Occupation Neurology ward Neurology pavillion Cranial nerve Neurology ward Neurology pavillion

School children 9 3 Laryngeal paresis 2 –


Labourer 8 - (Nx)
Peasant's labourer 5 -
Shoe maker 1 -
- ASSOCIATED DISEASES
Boxer 1
Tailor 1 -
Unemployed 19 - The associated diseases were shown in table 10.

Total 44 3 Table 10. Associated diseases

Neurology Neurology ward Neurology pavillion

NUTRITIONAL STATUS Fever (unknown cause) 26 3


Low socio-economic patients Pulmonary Tuberculosis 2 -
Diarrhea 1 -
They were all below the ideal body weight, their haemo- Bronchitis 1 -
globin contents, serum total protein and albumin were all Hepatitis 1 -
within normal limits. Without symptoms 13 -
Middle socio-economic patients :
Their nutritional status were shown in table 7. Total 44 3
Table 7. Nutritional status
ELECTRO-NEUROMYOGRAPHIC (ENMG) EXAMINA-
Mean percentage of Mean Mean Mean TION
ideal body weight Haemoglobin Total protein Albumin
Electro-neuromyographic examination were done only on 21
Neurology 77 5% 13,1 7,1 4,4 low socio-economic patients.
ward In stage I the following were found :
Neurology 99% 14,1 7,2 4,7
pavilion H-reflex and distal latency time of the posterior tibial nerve
were disturbed. All other findings were normal (tabel 11).
The ENMG findings of stage II (1 patient) were shown in
table 12.
CLINICAL STAGE
Fourteen patients in stage III showed the following ENMG
Nearly all the patients (the low and middle socio-economic finding : H-reflex was 100% abnormal, followed by abnorma-
patients) came in a late stage (Stage III & IV). lities of the peroneal nerve distal latency time (92,8%). Sural
nerve distal sensoric nerve action potential was 71,4% disturbed

Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990 29


Tabel 11. ENMG result of stage I Table 14. ENMG Finding of stage IV patients (5 patients)

Abnormal Normal

- H-reflex 5(100%) -
- Distal latency time :
- Peroneal nerve 4( 80%) 1(20%)
- Posterior tibial nerve 4( 80%) 1(20%)
- Median nerve 2(40%) 3(60%)
- Motor nerve action poten-
Tabel 12. ENMG result of stage II (1 patient) tial :
- Peroneal nerve 5 (100%) -
- Posterior tibial nerve 4( 80%) 1(20%)
- Median nerve 1( 20%) 4(80%)
- Distal sensoric nerve
action potential :
- Surat nerve 5 (100%) -
- Median nerve 5(100°,x) -

Table 15. Over all ENMG findings (21 patients)

and peroneal nerve distal latency time was only 42,8% abnormal Abnormal Normal
(table 13).
H-reflex 21 (100%) -
Table 13. ENMG Finding of stage III (14 patients) - Distal latency time :
- Peroneal nerve 14 (66,7%) 7 (33,3%)
Disturbed (abnormal) Normal - Posterior tibial nerve 12 (57,1%) 9 (42,9%)
- Median nerve 3 (14,3%) 18 (85,7%)
- Motor nerve action potential :
- H-reflex 14 (100%) - - Peroneal nerve 10 (47,6%) 11 (52,4%)
- Distal latency time : - Posterior tibial nerve 7 (33,3%) 14 (66,7%)
- Peroneal nerve 10 ( 71,4%) 4 (28,6%) - Posterior tibial nerve 1 ( 4,8%) 20 (95,2%)
- Posterior tibial nerve 6 ( 42,8%) 8 (57,2%)
Distal sensoric nerve action
- Median nerve 1 ( 7,1%) 13 (92,9%)
potential :
Motor nerve conduction - Surat nerve 16 (76,2%) 5 (23,8%)
velocity : - Median nerve 8 (38,1%) 13 (61,9%)
- Peroneal nerve 5 ( 35,7%) 9 (64,3%)
- Posterior tibial nerve 3 ( 21,4%) 11 (78,6%)
- Median nerve - 14 (100%) nitrogen. (table 16)
- Distal sensoric action Table 16. Adult requirement for different nutrients
potential :
- Surat nerve 10 ( 71,4%) 4 (28,8%)
- Median nerve 3 ( 21,4%) 11 (78,8%) Adult daily requirement
in foods. Essential nutrient for man

The ENMG findings of 5 patients in stage W were shown 2-10µg Vit.D,Vit.B12,Cr,Vit.K


in table 14. 100 µg Biotin, I, Se.
200 µg Folate, Mo.
The over all ENMG findings were : H-reflex was 100%
1 - 2 mg Vit. A, Thiamin, Riboflavin,
abnormal, followed by abnormalities of the sural nerve distal Vit. B6, F, Cu.
sensoric nerve action potential (76,2%) and peroneal nerve 5 - 10 mg
distal latency time (66,7%) respectively. 5 - 10 mg Mn, Panthothenate
15 mg Niacin, Vit. E, Zn, Fe.
50 mg Vit. C.
DISCUSSION 300 mg Mg.
This study showed that nutritional polyneuropathy occured 1g ca, P.
1–5g Na, Cl, K, Essential fatty acids.
seven times more often in the low socio-economic patients 50 g Protein (8-10 essential amino acids).
than in the middle socio-economic patients. 50 -100g Available carbohydrate
Man needs oxygen and adequate food energy (calories), water, 1 kg (liter) Water
8 to 10 essential amino acids in proteins, essential fatty accids –
for example, linoleic acid – a small amount of carbohydrate, Nutritional polyneuropathy is due to lack or deficiencies
13 vitamins and 18 elements, in addition to hydrogen, carbon, of the above-mentioned nutrients and the following other
factors :

30 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990


1) Inadequate and imbalance nutrition : Classification
Dietary imbalance, for instance an excessive intake of carbo- Erbslöh and Abel classify deficiency into two distinct
hydrate relative to protein or the supply of thiamine. Takaki2 forms 5 :
found beri-beri in sailors and cadets whose diet consisted 1) Definite deficiency conditions :
almost entirely of rice, the ratio of nitrogen to carbohydrate This is caused by the lack of some important substances,
was 1 : 28. When fish, meat, barley and vagetables were added among them certain B vitamins which is conducive to specific
to this diet and the nitrogen – carbohydrate ratio changed metabolic and dystrophic disorders of the nervous system, the
to 1 : 20 or lower, the incidence of beri-beri was greatly well known example in this group is polyneuropathy due to
reduced and the disease was eventually eradicated. thiamine deficiency.
The diet of low socio-economic Indonesian people consists 2) Complex deficiency conditions :
mainly of rice with a little amount of protein, e.g. meat, eggs, This is due to external circumstances affecting nutrition or
tahu or tempe. by internal diseases, or both. In these cases, polyneuropathy
The amount of calories is also important. If the total energy derives, , not from the lack of single factor, but from several
supplied in the diet is below the body's requirement, protein concurrent metabolic disorders caused by deficiency.
administered will be broken down for its calorie value.3 It is likely that our nutritional polyneuropathy cases were
2) Vitamins in the diet : caused by complex deficiency conditions, e.g. deficient calories
The most important of the vitamins are the B-vitamins, more in their diets, ignorance, imbalance of diet, poor sanitation,
specifically thiamine, nicotinic acid, pyridoxine, pantho- lack of vitamins, infectious diseases etc.
tenic acid and vitamin B12.2 Takahashi and Nakamura4 studied Clinical stage :
nine subjects who developed typical beri-beri while subsisting on Most of our patients were admitted in a late clinical stage
a diet high in carbohydrate and low in thiamine (milled rice (stage III and IV), it is likely that more nutritional polyneuro-
and instant noodles, without supplementary vitamins) and per- pathies were found in the community, since patients with the
forming heavy physical work. According to the Food and Nutri- early stages of the disease went to the outpatient clinic or
tion Board of the National Research Council 1,2 mg thiamine they did not seek medication at all.
a day or 0,4 mg per 1000 calories suffices to ward off, a Cranial nerves palsy :
thiamine deficiency.5 As part from the nerves of the limbs, the most consistent
Burgess RC. stated that polished rice is low in essential fatty degenerative changes were found in the vagus nerve e.g. re-
acid, deficient in vitamins A and D, further, it lacks sodium, current laryngeal nerves, superior laryngeal nerves and lateral
chloride and calcium, the calcium-phosporus ratio is abnormal.' inferior branches of the vagal trunk.2 We found two cases with
It was reported that rats fed a folate-deficient diet for 11 laryngeal paresis (table IX).
months developed not only depressed serum and liver folate Deafness, numbness around the lips, weakness of the tongue,
levels but also low blood and liver thiamine concentrations, bilateral facial weakness and blindness have all been noted in
despite dietary supplements with thiamin.6 rare instances.2
3) External factors : PATHOGENESIS
Besides the host's nutritional status other aspects must also The pathogenesis of nutritional polyneuropathy is due to
be considered. In every tropical area, bacteria, fungi and parasites decreased intake of a nutrient or the effects of certain condi-
have to be given much attention, since they may enhance or tioning factors that may lead to lowered concentration of the
precipitate deficiency disease in the host. The presence of toxic particular material in the plasma, which in turn leads to lowered
factors, spoilage of food, etc., must always be borne in mind, concentrations in the intercellular fluid or in the cells, such as
so too heat, humidity and other physical factors must be erythrocytes or white blood cells; such changes may in turn
taken into account. The amount of protein and energy required be reflected by alterations in intracellular concentration of the
is affected by exercise, by digestion (particularly of protein), nutrient. One may then expect to find biochemical and physio-
by environmental temperature, by the metabolic rate and also by logical alterations, morphological changes and followed by death
growth and infection.3 of the cell7 (see fig. 1).
In this study we noted that nutritional polyneuropathy deve-
loped mostly after fever (26 cases) and after birth (1 case). Electro neuromyography (ENMG) :
Their peak age of occurence was between 10 – 20 years, i.e. The primary lesion of nutritional polyneuropathy is axonal
during the growth period. Men were more affected than women, degeneration, with myelin changes secondary in neuropathies of
because men perform heavy physical work and need more axonal degeneration, there is either no change or only a minor
calories. Deficient calories or nutrients in the diet and factors decrease in nerve conduction velocity right to the stage of
which enhance the need for nutrients, such as heavy physical complete nerve failure, though the terminal latency may be
work, growth, pregnancy, infection may provoke the develop- disproportionately increases. However, the sensory or mixed
ment of nutritional polyneuropathy. nerve action potential is markedly decreased in amplitude, indi-
Diseases such as disorders of the gastro-intestinal tract (e.g. cating a loss of myelinated fibres.8
diarrhea) and liver, can interfere with the absorption and syn-
thesis of essential nutrients. In our case we have 1 case with H-reflex
diarrhea and 1 case with hepatitis. The minimal latency of the H-reflex is usually relatively

Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990 31


Figure 1 :PATHOGENESIS OF DEFICIENCY DISEASE
(Burgess R.C.)
SUMMARY AND CONCLUSION
Deficiency diseases are rare in affluent countries, while in
developing countries these diseases are more prevalent.
From this study it is concluded that polyneuropathy due to
nutritional deficiency affected the low socio-economic class
patients 7 times more often than the middle and high socio-
economic patients. Men were affected 4 times more than women.
Their peak ages ranged from 11 - 20 years, i.e. during of rapid
growth. They came mostly from Surabaya and arid areas like
Lamongan. Since they came in a late stage, it is estimated that
more nutritional polyneuropathy were present in our commu-
nity.
In western countries protein-energy malnutrition is almost
always secondary to diseases or alcoholism. It seems likely
that nutritional polyneuropathy in our low socio-economic
patients was caused by multi-factors, among others : deficient
calories in their diets, ignorance, imbalance of diet, excessive
intake of carbohydrate with little protein and vitamins, poor
sanitation which provoked infection, gastro-intestinal and liver
diseases that influence the absorption and synthesis of essential
nutrients.
It seems that education concerning nutrition in elementary
schools and family health education must be activated, through
lectures, T.V., films, information concerning eating a healthy
varied diet and that food should be wholesome and not conta-
minated with pathogenic microorganisms or their toxins or
with other toxins.
prolonged when the ankle jerk is diminished. The abnormalities
REFERENCES :
of H-reflexes can be demonstrated in individual patients which 1. Mendell Jr, Sahenk Z, Kennedy MS. Peripheral neuropathies, in : Conn HF.
do not show any abnormality conventional methods. It is also Current therapy. Philadelphia : WB. Saunders Co. 1984. pp. 752 –
useful in early detection of peripheral nerve dysfunction (asymp- 60.
tomatic neuropathy) or monitoring the course of recovery. 2. Victor M. Polyneuropathy due to nutritional deficiency and alcoholism.
In : L Dyk PJ, Thomas PK, Lambert EH, Bunge It Peripheral Neuropathy.
Orthodromic sensory action potentional of the sural nerve vol.. II. 2nd ed. Philadelphia; WB. Saunders Co., 1984.
In metabolic neuropathy, the sensory nerve fibres are affected 3. Wright RA, Heymsfield S. Nutritional Assessment. Boston : Blackwell
earlier than the motoric nerve fibres, especially in the lower Scientific Publications, Inc. 1984.
4. Takahashi K, Nakamura H. Axonal degeneration in Beri-beri neuropathy,
extremity.9 Sensory nerve action potential of the sural nerve Arch Neurol 1976; 33 : 836.
is often more commonly or more severaly affected than the 5. Erbsloh F, Abel M. Deficiency neuropathies. In : Vinken PJ, Bruyn GW.
motor nerve action potential.9 Diseases of the nerves, part I. Handbook of Clinical Neurology, vol. 7,
The overall electroneuromyographic results of our cases are North Holland : Elsevier, 1970, pp. 558 - 663.
6. Burgess RC. Beri-beri. Federation Proceeding 1958; 17 : 3 - 56.
as follows : All of our patients (100%) showed abnormal H- 7. Bradley WC. The neuropathies. In : Walton J. Disorder of voluntary muscles,
reflex, 76,2% had an abnormality of sural nerve conduction, 4th ed, Edinburgh, London, New York; Churchill Livingstone, 1981,
whereas 66,7% showed abnormal distal latency time of the pp. 753 - 6.
peroneal nerve. Motor nerve conduction velocity was less re- 9. Djoenaidi W. Early detection of neuropathy with the aid of electro-physiologic
examination. Symposium Neuropathy (Peripheral nerve disorders and its
liable since only 47,6% showed an abnormality. management). Jakarta, April 14, 1984.

32 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990


Ulkus Dekubitus

dr. Djunaedi Hidayat, dr. Sjaiful Fahmi Daili, dr. Mochtar Hamzah
Bagian I/mu Penyakit Kulit & Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RS. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN adenosin difosfat (ADP), hidrogen dan asam laktat, diduga


Ulkus dekubitus adalah suatu keadaan kerusakan jaringan se- sebagai faktor yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah.
tempat yang disebabkan oleh iskemia pada kulit (kutis dan sub- Reaksi kompensasi sirkulasi akan tampak sebagai hiperemia dan
kutis) akibat tekanan dari luar yang berlebihan.' 2 Umumnya reaksi tersebut masih efektif bila tekanan dihilangkan sebelum
terjadi pada penderita dengan penyakit kronik yang berbaring periode kritis terjadi yaitu 1 - 2 jam.4
lama. Ulkus dekubitus sering disebut sebagai ischemic ulcer; Kosiak (1959) membuktikan pada anjing bahwa tekanan dari
pressure ulcer, pressure sore, bed sore.1 2 3Masalah ini menjadi luar sebesar 60 mm Hg selama 1 jam akan menimbulkan per-
problem yang cukup serius baik di negara maju maupun di ubahan degeneratif secara mikroskopik pada semua lapisan
negara berkembang, karena mengakibatkan meningkatnya biaya jaringan mulai dari kulit sampai tulang, sedangkan dengan
perawatan dan memperlambat program rehabilitasi bagi pen- tekanan 35 mm Hg selama 4 jam perubahan degenerātiftersebut
derita.2 4 tidak terlihat. Daniel dkk (1981) menyatakan bahwa iskemia
Insidens yang tepat penderita ulkus dekubitus sulit diketahui. primer terjadi pada otot dan kerusakan jaringan kulit terjadi
Penyelidikan menunjukkan bahwa kira-kira 28% penderita di kemudian sesuai dengan kenaikan besar dan lamanya tekanan.4
rumah sakit mungkin terkena. Penderita dengan trauma medula Dulu faktor neurotropik disebutkan sebagai faktor penyebab
spinalis, insidensnya 25 - 85% dengan angka kematian antara 7- utama ulkus dekubitus, tetapi temyata hal tersebut tidak ter-
8%.2 3 bukti.4
Faktor sekunder
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Pada dasarnya ulkus dekubitus terjadi akibat adanya faktor Faktor-faktor yang menunjang terjadinya ulkus dekubitus
primer dan sekunder. antara lain1 2 3 4 :
− gangguan saraf vasomotorik, sensorik, motorik.
Faktor primer :
− kontraktur sendi dan spastisitas.
Tekanan dari luar yang menimbulkan iskemi setempat. − gangguan sirkulasi perifer.
Dalam keadaan normal, tekanan intrakapilar arterial adalah − malnutrisi dan hipoproteinemia.
± 32 mm Hg dan tekanan ini dapat meningkat mencapai − anemia.
maksimal 60 mm Hg yaitu pada keadaan hiperemia.4 Tekanan − keadaan patologis kulit pada gangguan hormonal. edema.
midkapilar adalah ± 20 mm Hg, Sedangkan tekanan pada daerah − maserasi.
vena adalah 13 - 15 mm Hg.3 Efek destruksi jaringan yang − infeksi.
berkaitan dengan keadaan iskemia dapat terjadi dengan tekanan − higiene kulit yang buruk.
kapilar antara 32 - 60 mm Hg yang disebut sebagai tekanan
− inkontinensia alvi dan urin.
supra kapilar. Bila keadaan suprakapilar ini tercapai, akan terjadi
− kemunduran mental dan penurunan kesadaran.
penurunan aliran darah kapilar yang disusul dengan keadaan
iskemia setempat. LOKASI ULKUS DEKUBITUS
Substansia H yang mirip dengan histamin dilepaskan oleh Setiap bagian tubuh dapat terkena, tetapi umumnya terjadi
sel-sel yang iskemik dan akumulasi metabolit seperti kalium, pada daerah tekanan dan penonjolan tulang.3 4 5

Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990 33


1) Tuberositas ischii 3 - 8 minggu.
Frekuensinya mencapai 30% dari lokasi tersering. Terjadi Stadium 4 :
akibat tekanan langsung pada keadaan duduk. Juga karena Ulserasi dan nekrosis meluas mengenai fasia, otot, tulang
foot rest pada kursi roda yang terlalu tinggi, sehingga berat serta sendi. Dapat terjadi artritis septik atau osteomielitis dan
badan tertumpu pada daerah ischium. sering disertāi anemia. Dapat sembuh dalam 3 - 6 bulan.
2) Trochanter mayor
Frekuensinya mencapai 20% dari lokasi yang tersering. Ter- KOMPLIKASI
jadi karena lama berbaring pada satu sisi, kursi roda terlalu
Komplikasi sering terjadi pada stadium 3 dan 4 walaupun
sempit, osifikasi heterotropik, skoliosis, yang mengakibatkan
pindahnya berat badan ke sisi panggul yang lain. dapat juga pada ulkus yang superfisial. Komplikasi yang dapat
3) Sacrum terjadi antara lain3 4 :
Frekuensinya mencapai 15% dari lokasi tersering. Terjadi 1) Infeksi, sering bērsifat multibakterial, baik yang aerobik atau-
pada penderita yang lama berbaring terlentang, tidak mengubah pun anerobik.
posisi berbaring secara teratur, salah posisi path waktu duduk di 2) Keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis,
kursi roda juga dapat terjadi karena penderita merosot di tempat osteitis, osteomielitis, artritis septik.
tidur dengan sandaran miring, terlalu lama kontak dengan urin, 3) Septikemia.
keringat ataupun feces. 4) Anemia.
4) Tumit 5) Hipoalbuminemia.
Frekuensinya mencapai 10% dari lokasi tersering. Keadaan 6) Kematian.
spastik pada anggota gerak bawah dapat menimbulkan tekanan PENATALAKSANAAN
dan gesekan tumit pada tempat tidur atau pada foot rest kursi A. Pencegahan.
roda. Pencegahan ulkus dekubitus adalah hal yang utama karena
5) Lutut pengobatan ulkus dekubitus membutuhkan waktu dan biaya
Terjadi bila penderita lama berbaring telungkup, sedangkan
yang besar.
sisi lateral lutut terkena karena lama berbaring pada satu sisi.
6) Maleolus Tindakan pencegahan dapat dibagi atas2 3 4 6
Maleolus lateralis dapat terkena karena berbaring terlalu lama 1) Umum :
pada satu sisi, trauma pada waktu pemindahan penderita, posisi a) Pendidikan kesehatan tentang ulkus dekubitus bagi staf
foot rest kurang baik. Maleolus medialis juga dapat terkena medis, penderita dan keluarganya.
karena gesekan kedua maleolus kanan dan kiri akibat keadaan b) Pemeliharaan keadaan umum dan higiene penderita.
spastik otot aduktor. 2) Khusus :
7) Siku a) Mengurangi/menghindari tekanan luaryang berlebihan pada
Dapat terkena bila siku sering dipakai sebagai penekan tubuh daerah tubuh tertentu dengan cara :
atau pembantu mengubah posisi. z perubahan posisi tiap 2 jam di tempat tidur sepanjang 24 jam.
8) Jari kaki z melakukan push up secara teratur pada waktu duduk di kursi
Dapat terkena pada posisi telungkup, sepatu yang terlalu roda.
sempit dan sebagainya. z pemakaian berbagai jenis tempat tidur, matras, bantal anti
9) Scapulae dan Processus spinosus vertebrae dekubitus seperti circolectric bed, tilt bed, air-matras; gel flotation
Dapat terkena akibat terlalu lama berbaring terlentang dan pads, sheepskin dan lain-lain.
gesekan yang sering. b) Pemeriksaan dan perawatan kulit dilakukan dua kali sehari
KLASIFIKASI (pagi dan sore), tetapi dapat lebih sering pada daerah yang
potensial terjadi ulkus dekubitus. Pemeriksaan kulit dapat di-
Klasifikasi berdasarkan gambaran klinis yang penting ber- lakukan sendiri, dengan bantuan penderita lain ataupun ke-
kenaan dengan penatalaksanaannya 1 3 4 5
luarganya.
Stadium 1 :
Ulserasi terbatas pada epidermis dan dermis dengan eritema Perawatan kulit termasuk pembersihan dengan sabun lunak
pada kulit. Penderita dengan sensibilitas baik akan mengeluh dan menjaga kulit tetap bersih dari keringat, urin dan feces.
nyeri. Stadium ini umumnya reversibel dan dapat sembuh Bila perlu dapat diberikan bedak, losio yang mengandung
dalam 5 - 10 hari. alkohol dan emolien.
Stadium 2 :
Ulserasi mengenai epidermis, dermis dan meluas sampai ke
B. Pengobatan
jaringanadiposa.Terlihat eritema dan indurasi. Stadium ini dapat
Pengobatan ulkus dekubitus dengan pemberian bahan
sembuh dalam 10 - 15 hari.
Stadium 3 : topikal, sistemik ataupun dengan tindakan bedah dilakukan
Ulserasi meluas sampai ke lapisan lemak subkutis, dan otot sedini mungkin agar reaksi penyembuhan terjadi lebih cepat.
sudah mulai terganggu dengan adanya edema, inflamasi, infeksi Pada pengobatan ulkus dekubitus ada beberapa hal yang
dan hilangnya struktur fibril. Tepi ulkus tidak teratur dan ter- perlu diperhatkan antara lain, 2 3 4 :
lihat hiper atau hipopigmentasi dengan fibrosis. Kadang-kadang 1) Mengurangi tekanan lebih lanjut pada daerah ulkus.
terdapat anemia dan infeksi sistemik. Biasanya sembuh dalam Secara umum sama dengan tindakan pencegahan yang sudah

34 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990


dibicarakan di ātas. Pengurangan tekanan sangat penting karena epitel, menambah jaringan granulasi dan memperbaiki keadaan
ulkus tidak akan sembuh selama masih ada tekanan yang ber- vaskular. 9
lebihan dan terus menerus. c) Radiasi infra merah, short wave diathermy, dan pengurutan
2) Mempertahankan keadaan bersih pada ulkus dan sekitarnya. dapat membantu penyembuhan ulkus karena adanya efek pe-
Keadaan tersebut akan menyebabkan proses penyembuhan ningkatan vaskularisasi.
luka lebih cepat dan baik. Untuk hal tersebut dapat dilakukan d)
Terapi ultrasonik; sampai saat ini masih terus diselidiki
kompres, pencucian, pembilasan, pengeringan dan pemberian manfaatnya terhadap terapi ulkus dekubitus. 10
bahan-bahan topikal seperti larutan NaC10,9%, larutan H202 3% 6) Tindakan bedah selain untuk pembersihan ulkus juga diperlu-
dan NaC10,9%, larutan plasma dan larutan Burowi serta larutan kan untuk mempercepat penyembuhan dan penutupan ulkus,
antiseptik lainnya. terutama ulkus dekubitus stadium III & IV dan karenanya
3) Mengangkat jaringan nekrotik.
sering dilakukan tandur kulit ataupun myocutaneous flap.3 4 5
Adanya jaringan nekrotik pada ulkus akan menghambat
aliran bebas dari bahan yang terinfeksi dan karenanya juga
menghambat pembentukan jaringan granulasi dan epitelisasi. PROGNOSIS
Oleh karena itu pengangkatan jaringan nekrotik akan memper- Terjadinya proses penyembuhan ulkus tergantung faktor-
cepat proses penyembuhan ulkus. faktor primer dan sekunder serta penatalaksanaan ulkus itu
Terdapat 3 metode yang dapat dilakukan antara lain : sendiri.
a) Sharp dēbridement (dengan pisau, gunting dan lain-lain). Perlu diingat pentingnya tindakan pencegahan karena pada
b) Enzymatic debridement (dengan enzim proteolitik, kolageno- dasarnya ulkus dekubitus sesungguhnya dapat dicegah.2 3
litik, dan fibrinolitik).
c) Mechanical debridement (dengan tehnik pencucian, pembilas- KEPUSTAKAAN
an, kompres dan hidroterapi) 1. Okamoto GA Physical medical and rehabilitation. WB Saunders Co 1984,
4) Menurunkan dan mengatasi infeksi. hal. 34 - 8.
z Perlu pemeriksaan kultur dan tes resistensi. 2. Kottke FJ, Stillwell GK, Lehmann JF. Krusen's Handbook of physical
z Antibiotika sistemik dapat diberikan bila penderita meng- medicine and rehabilitation, 3rd ed, WB Saunders Co 1982, hal 881 - 8.
3. Ruskin AF. Current therapy in Physiatry, 1st ed. WB Saunders Co 1984,
alami sepsis, selulitis. hal. 410 -.20.
z Ulkus yang terinfeksi hams dibersihkan beberapa kali sehari 4. Basmajian JV, Kirby RL. Medical rehabilitation. 1st ed, Baltimore -London;
dengan larutan antiseptik seperti larutan H202 3%, povidon William & Wilkins, 1984, hal. 174 - 9.
iodin 1%, seng sulfat 0,5%. 5. Delisa JA et al. Rehabilitation medicine. JB Lippincott Co 1988, hal.
z Radiasi ultraviolet (terutama UVB) mempunyai efek 476 - 90.
6. Rusk HA. Rehabilitation medicine, Saint Louis; CV Mosby Co 1977,
bakterisidal. hal. 50 - 4.
5) Merangsang dan membantu pembentukan jaringan granulasi 7. Polano MK. Skin therapeutic. Prescription and preparation, Elsevier Publ.
dan epitelisasi. Co. 1952, hal. 110 - 1.
Hal ini dapat dicapai dengan pemberian antara lain : 8. Provost TT, Farmer ER Current therapy in Dermatology, CV Mosby Co.
a) Bahan-bahan topikal misalnya : salep asam salisilat 2%, 1985, hal 247 - 50.
9. Fischer BH Topical hyperbaric oxygen treatment of pressure sores and
preparat seng (Zn 0, Zn SO4). skin ulcers. Lancet 1969; 2 : 405 - 9.
b) Oksigen hiperbarik; selain mempunyai efek bakteriostatik 10. Mc. Diamud T, et al : Ultrasound and the treatment of pressure sores,
terhadap sejumlah bakteri, juga mempunyai efek proliferatif Physiotherapy 1985; 71 : 66 - 70.

Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990 35


Pola Preskripsi Obat yang Dikaitkan
dengan Diagnosis di Unit Rawat Jalan
Rumah Sakit Umum
Kelas C, Kelas D, dan Puskesmas

Retno Gitawati, Ellen Wijaya, Umi Kadarwati, Vincent HS Gan.


Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

ABSTRAK
Untuk mengetahui pola preskripsi yang dikaitkan dengan diagnosa, telah dilakukan
penelitian pendahuluan berupa suatu survai eksploratif dan studi kasus terhadap pola
penggunaan obat di tiga rumah sakit umum kelas C, dua rumah sakit umum kelas
D dan enam puskesmas di Jawa.
Baik di rumahsakit umum tersebut maupun puskesmas, terungkap bahwa obat
antibakteri sistemik dan vitamin-mineral merupakan jenis obat terbanyak dipreskripsi
untuk kasus rawat jalan, di samping analgetik-antipiretika.
Dikaitkan dengan diagnosis, masih banyak preskripsi antibakteri sistemik yang dapat
digolongkan irasional, misalnya cukup banyak penggunaannya untuk kasus influenza,
gejala sakit dan kasus lain dengan infeksi bakterial yang masih belum jelas. Sedangkan
tingginya frekuensi preskripsi vitamin-mineral memberi kesan pemanfaatannya lebih
cenderung sebagai terapi tambahan.

PENDAHULUAN telah dilakukan penelitian pendahuluan berupa suatu survai


eksploratif dan studi kasus terhadap Pola Penggunaan Obat di
Dalam hal penggunaan obat, banyak faktor yang mem- 3 rumahsakit umum kelas C, 2 rumahsakit umum kelas D
pengaruhi; antara lain pola penyakit, demand masyarakat ter- dan puskesmas.
hadap obat dengan tuntutan terhadap pengobatan semakin tinggi Tujuan studi ini adalah untuk mengetahui gambaran pola
sesuai dengan meningkatnya kemajuan teknologi, serta pola pe- preskripsi di ketiga unit pelayanan kesehatan tersebut dengan
nulisan resep (pola preskripsi). mengungkapkan obat apa saja yang dipreskripsi serta digunakan
Preskripsi obat pada umumnya sangat ditentukan oleh di- untuk indikasi apa saja.
agnosis penyakit yang ditegakkan. Preskripsi tersebut akan
dengan mudah ditukar dengan obat yang diperlukan di apotik- METODOLOGI
apotik swasta; namun tidal( demikian halnya dengan penukaran
obat di apotik rumahsakit atau puskesmas dengan persediaan Penelitian bersifat survai eksploratif dan studi kasus
obat yang biasanya terbatas. Terbatasnya atau bahkan kurangnya yang dilaksanakan secara retrospektif terhadap preskripsi
persediaan obat baik dalam jenis maupun jumlah di rumahsakit obat dan pola penyakit (diagnosis) pasien rawat jalan dan
umum kelas C, D dan puskesmas seperti yang masih sering rumahsakit umum kelas C, kelas D dan puskesmas.
dikeluhkan1 mengakibatkan tenaga kesehatan memberikan pre- Penelitian dilakukan di 3 rumahsakit umum kelas C, 2
skripsi yang disesuaikan dengan persediaan obat yang ada. Hal rumahsakit umum kelas D dan 6 puskesmas di wilayah DKI
ini dapat menyebabkan preskripsi obat yang tidak tepat. Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur, ketiga propinsi tersebut
Pola preskripsi obat di rumahsakit umum kelas C, D dan dipilih secara purposif.
puskesmas sekarang ini belum banyak diungkapkan. Untuk Besar sampel adalah 3239 kasus rawat jalan yang terdiri
mengetahui pola preskripsi yang dikaitkan dengan diagnosis, dari 881 kasus rawat jalan rumahsakit umum kelas C; 597
Dibacakan pada Seminar Sehari Pola: Penggunaan Obat di Beberapa kasus rawat jalan rumahsakit umum kelas D dan 1761 kasus
Unit Pelayanan Kesehatan. Jakarta, 10 Pebruari 1987. puskes-

36 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990


mas. Pengambilan sampel dilakukan secara acak-sistematik, data skripsi/kasus (Tabel 3).
pasien (kasus) diambil/diturunkan dari Kartu Status dan Catatan
Medik tahun 1983/1984. Tabel 3. Gambaran kasus yang mendapat preskripsi antibakteri sistemik di
Data yang dikumpulkan berupa data penyakit (diagnosis) Rumahsakit umum kelas C, kelas D dan Puskesmas.
dan data preskripsi yang diberikan. Data tersebut disalin ke
dalam formulir isian yang dirancang untuk keperluan tersebut. Jumlah kasus Rx - AB
No. Fasilitas pelayanan
Pengolahan data dilakukan secara manual dan elektronik dengan kesehatan
Nt Rx - AB(+) N2 rata2/kasus
komputer, dan hasilnya disajikan dalam bentuk tabel-tabel urn-
variat maupun tabel hubungan. 1. RSU kelas C 881 437 (49,6%) 518 1,2
2. RSU kelas D 597 357 (59,8%) 620 1,7
HASIL DAN PEMBAHASAN 3. Puskesmas 1761 1257 (71,4%) 1776 1,4

Dari 3 rumahsakit umum kelas C, 2 rumahsakit umum Keterangan :


kelas D dan 6 puskesmas yang diteliti, diperoleh 3239 kasus NI = Jumlah total kasus
dan 11577 preskripsi obat (Tabel 1). N2 = Jumlah preskripsi antibakteri sistemik
Pada penelitian ini baik rumahsakit umum kelas C, dan D, Rx - AB = Preskripsi anti bakteri sistemik
Rx - AB(+) = Kasus yang mendapat preskripsi a nti bakteri sistemik
maupun puskesmas menunjukkan pola preskripsi obat yang
hampir sama pada kelas-kelas terapi antibakteri 'sistemik, vita- Jenis anti bakteri sistemik yang terbanyak dipreskripsi adalah
min-mineral dan obat gizi, serta analgetik-antipiretika. Preskripsi ampisilin (47,5%) dan tetrasiklin (14,5%). Sedangkan anti bakteri
obat antibakteri sistemik merupakan yang tertinggi bila di- sistemik lainnya adalah kloramfenikol (5,2%) dan trisulfa 3,5%).
bandingkan dengan jenis obat lainnya, yaitu 23,4% di rumahsakit Jenis anti-bakteri suntikan yang sering dipres'kripsi yaitu prokain-
umum kelas C; 27,7% di rumāhsakit umum kelas D; 24,9% penisilin (7,4%). Selain itu didapatkan pula preskripsi kombinasi
di puskesmas Vitamin-mineral dan obat gizi menempati tempat ampisilin-kloksasilin yang tidak terdapat pada preskripsi obat
ke dua, yaitu masing-masing 17,3%; 22,6%; 22,2%. Sedangkan di rumahsakit umum kelas D maupun di puskesmas (Tabel 4).
pada urutan ke tiga yaitu obat analgetik-antipiretika masing- Hal ini mungkin karena adanya anggaran pengadaan obat yang
masing 16,0%; 13,2%; 17,2% (Tabel 2). cukup longgar untuk melakukan pemilihan obat yang diperlukan
Tabel 1. Jumlah kasus dan preskripsi obat di Rumahsakit umum kelas C, Rumah- di luar obat esensial (menurut DOE) maupun obat "dropping"
sakit umum kelas D dan Puskesmas. (misal obat Inpres).
Tabel 4. Jenis anti bakteri sistemik yang dipreskripsi (persentase) di unit rawat
Fasilitas pelayanan Jumlah pres- jalan Rumahsakit umum kelas C.
No. kesehatan Jumlah kasus kripsi (Rx.)
No. Jenis anti bakteri sistemik % (N — 518)
1. RSU - C (rawat jalan) 881 2213
2. RSU - D (rawat jalan) 597 2240 1, Ampisilin 4,6
3. Puskesmas 1761 7124 2. Tetrasiklin 3,5
3. Prokain-penisilin 2,9
Jumlah 3239 11577 4. Kloramfenikol 1,4
5. Kombinasi ampisilin-kloksasilin 1,4
Tabel 2. Persentase frekuensi preskripsi obat berdasarkan kelas terapi obat di 6. Amoksisilin 6,6
unit rawat jalan Rumabsakit umum kelas C, kelas D dan Puskesmas. 7. Trisulfa 47,5
8. Oksitetrasiklin 14,5
Fasilitas pelayanan kesehatan 9. Kotrimoksazol 7,7
10. Eritromisin 5.2
No. Kelas Terapi RSU - C RSU - D PKM 11. Lain-lain 4,8
Nl = 2213 N2 = 2240 N3 = 7124
Tabel 5. Jens anti bakteri sistemik yang dipreskripsi (persentase) di unit rawal
1. Anti bakteri sistemik 23,4 27,7 24,9
jalan Rumahsakit umum kelas D.
2. Vitamin, mineral, obat gizi 17,3 22,6 22,2
3. Analgeti Ica-antipireti Ica 16,0 13,2 17,2 No. Jenis anti bakteri sistemik % (N — 620)
4. Obat penyakit saluran pemapasan 7,1 2,3 5,7
5. Obat penyakit saluran pencernaan 5,2 6,7 3,7 1. Tetrasiklin 23;9
6. Anti alergi/antihistamin 4,8 8,8 13,4 2. Kloramfenikol 19,5
3. Trisulfa 16,8
Keterangan : 4. Prokain-penisilin 14,0
RSU – C = Rumahsakit umum kelas C 5. Ampisilin 11,3
RSU - D = Rumahsaldt umum kelas D 6. Oksitetrasiklin 5,2
PKM = Puskesmas 7. Penisilin-streptomisin 4,0
N 1,2,3 = Jumlah preskripsi (Rx.) di RSU - C. RSU - D don PKM. 8. Penisilin-G 2,7
9. Kotrimoksazol 0,7
Rumahsakit umum kelas C 10. Eritromisin 0,7
Pada rumah sakit ini preskripsi anti bakteri sistemik diberi-. 11. Lain-lain 1,3
kan kepada 49,6% kasus rawat jalan dengan rata-rata 1,2 pre

Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990 37


Tabel 6. Jenis anti bakteri sistemik yang dipreskripsi (presentase) di Puskesmas Tabel 8. Gambaran kasus yang mendapat preskripsi vitamin-mineral (Rx-vit) di
unit rawat jalan Rumahsakit umum kelas C, kelas D dan Puskesmas
No. Jenis anti bakterl sistemik % (N — 1776) Fasilitas pelayanan Jumlah kasus Rx — Vit
kesehatan
1. Trisulfa 26,1 Ni M'dp. Rx — vit. N2 Rata-rata/kasus
2. Tetrasiklin 21,7
1. RSU kelas C 881 295 (33,5 %) 383 1,3
3. Oksitetrasiklin 18,3
2. RSU kelas D 597 318 (53,3 %) 496 1,6
4. Ampisilin 13,9
3. Puskesmas 1761 889 (50,5 %) 1581 1,8
5. Kloramfenikol 11,8
6. Prokain-penisilin 3,6
Keterangan :
7. Sulfa-guanidin 2,9 Ni = Jumlah total kasus
8. Penisilin-G 0 ,6 ' N2 = Jumlah preskripsi vitamin-mineral
9. Kotrimoksazol 0,6 R2 — vit. = preskripsi vitamin-mineral
10. Lain-lain 0,5 M'dp. Rx — vit. = kasus yang mendapat preskripsi vitamin-mineral.

Tabel 9. Preskripsi vitamin-mineral (Rx — Vit) untuk 6 jenis diagnosa penyakit


Antibakteri sistemik ternyata banyak diberikan kepada pen- di unit rawat jalan RSU kelas C.
derita influenza (96,8% kasus) walaupun tidak jelas adanya
komplikasi infeksi bakterial. 53,3% kasus rawat jalan dengan Kasus (N—881) Rx — vit (n -383)
gejala kesakitan juga diberi antibakteri sistemik. Angka tersebut No. Diagnosis
Jumlah % Rata
menunjukkan cukup tingginya penggunaan obat antibakteri Rx — Vit.(+) Jumlah rata/kasus
sistemik tersebut untuk penanggulangan penyakit dengan gejala-
gejala umum (demam, observasi demam), gejala yang berkaitan 1. Kehamilan, pra/pasca
dengan sistim saraf/otot rangka/kepala-leher (tremor, epistaksis, persalinan 103 94 (91,3 %) 132 34,5 1,4
cephalgia) dan gejala yang berkaitan dengan sistim kardiovas- 2. Influenza & peny. sal.
napas atas 114 25 (21,9 %) 29 1,6 1,2
kuler (misalnya takikardia) serta lainnya(tabel 7).
3. Peny. sistim sal. cerna 52 21 (40,4%) 25 6,5 1,2
Pemberian antibakteri untuk gejala yang belum jelas etio-
4. Peny. sistim otot
logi penyakitnya sukar untuk dinyatakan rasional, namun path rangka & jar. Ikat 32 14 43,8 %) 23 6,0 1,6
kenyataannya banyak kasus demikian yang mendapatkan obat 5. Tbc paru 13 12 (92,3 %) 14 3,7 1,2
antibakteri. Antibakteri sistemik pada penelitian ini antara lain 6. Peny. darah & organ
juga diberikan pada kasus penyakit diare dan infeksi usus, pembentuk darah 6 5 (83,3 %) 9 2,4 1,8
penyakit saluran napas bagian atas dan bawah, penyakit rongga
mulut dan gigi, serta penyakit kulit dan jaringan bawah kulit. Keterangan :
N = Total kasus rawat jalan RSU kelas C
Tabel 7. Preskripsi Antibakteri sistemik (Rx - AB) untuk 7 jenis diagnosa pe- n = Jumlah total preskripsi vitamin-mineral.
nyakit di unit rawat jalan Rumahsakit umum kelasC.
Vitamin diberikan pada kasus-kasus kehamilan, pra dan pasca
persalinan (91,3% kasus kehamilan); dan hampir seluruh kasus
tbc paru (92,3%) (tabel 9). Tampaknya pemberian vitamin se-
bagai tambahan/suplemen telah menjadi kebijakan dalam pe-
natalaksanaan pemberian obat pada kasus-kasus tersebut.
Vitamin-mineral juga diberikan untuk penyakit-penyakit lainnya
sebagai tambahan walaupun tidak sebanyak kedua kasus pe-
nyakit di atas.
Dalam preskripsi obat analgetik-antipiretika yang diberikan
di unit rawat jalan, metampiron dan parasetamol merupakan
jenis yang terbanyak. Di samping itu, asam mefenamat (a.1.
Ponstan2) Tmpaknya banyak pula dipreskripsi walaupun efek-
tivitasnya tidak lebih baik daripada parasetamol.2(tabel 10).

Vitamin-mineral yang merupakan preskripsi kedua terbanyak Rumahsakit Umum Kelas D


pada rumahsakit ini diberikan path 33,5% kasus rawat jalan
dengan.rata-rata 1,3 preskripsi tiap kasus (tabel 8). Jumlah kasus rawat jalan yang mendapat antibakteri siste-
Dari gambaran pola penyakit yang diberi preskripsi vitamin- mik pada rumahsakit ini mencapai 59,8% dengan rata-rata 1,7
mineral tampaknya tidak banyak yang memerlukan substitusi preskripsi/kasus (tabel 3). Sedangkan bila dilihat dari jenisnya,
obat tersebut. Anemia/penyakit darah & organ pembentuk darah tetrasiklin dan kloramfenikol merupakan yang terbanyak dipre-
relatif sangat kecil pada penelitian ini, yaitu terdapat pada 6 dari skripsi yaitu 23,9% dan 19,5% (tabel 5). Hal tersebut sebenarnya
881 kasus rawat jalan atau 0,7%. Kasus avitaminosis bahkan agak kurang sejalan bila dibandingkan dengan jumlah kasus
tidak tercatat sama sekali (tabel 9). infeksi usus yang seharusnya diobati dengan obat antiinfeksi
jenis tersebut di atas. Jumlah kasus infeksi usus tercatat hanya

38 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990


Tabel 10 Jenis analgetik-antipiretika yang dipreskripsi (Rx - An.) di unit rawat jalao Rumahsakit
umum kelas C, kelas D dan Puskesmas.

Jenis analgetik- RSU - C RSU - D Puskesmas


No. antipiretika Jumlah Rx-An. % Jumlah Rx-An. % Jumlah Rx-An %

1. Metampiron 140 39,4 142 48,1 469 38,3


2. Parasetamol 89 25,1 99 33,6 408 33,4
3. As. asetil salisilat 7 2,0 3 1,0 136 11,1
4. Asam mefenamat 19 5,4 - - - -
5. Metampiron kombinasi 93 26,2 47 15,9 206 16,8
6. Parasetamol kombinasi 7 2,0 - - 3 0,2
7. Lain-lain - - 4 1,4 1 0,1

Jumlah 355 100,0 295 100,0 1223 100,0

21 dari 597 kasus rawat jalan atau sebanyak 3,5%, sehingga kasus yang tercatat mutlak memerlykan substitusi. vitamin
kemungkinan besar antibakteri tersebut juga digunakan untuk mungkin karena kesukaran mendiagnosa atau karena sebab
kasus-kasus di luar infeksi usus (tabel 5 dan 11). lain yang tidak terungkap pada penelitian ini. Seperti juga pada
Preskripsi trisulfa pada rumahsakit ini masih cukup banyak, rumahsakit umum kelas C, vitamin diberikan untuk kasus-
bahkan melebihi preskripsi ampisilin. Hal ini mungkin disebab- kasus kehamilan dan the pane. Sedangkan jenisNitamin-mineral
kan oleh perbedaan harga yang cukup mencolok. Dan seperti yang dipreskripsi umumnya golongan vitamin B, misalnya Vita-
juga di rumahsakit kelas C, antibakteri suntikan yang paling
banyak dipreskripsi adalah prokain-penisilin. Tabel 12. Preskripsi vitamin-mineral (Rx -vit.) untuk 6 jenis diagnosis penyakit
di unit swat jalan Rumahsakit umum kelas D.
Tabel 11. Preskripsi anti-bakteri sistemik (Rx-AB) untuk 6 Janis diagnosis pe-
nyakit di unit rawat jalan Rmnahsakit umum kelas D. Kasus ( N 5 9 7 ) Rx-vit (n-496)
Kasus (N - 597) Rx-AB (n -620) No. Diagnosis Jumlah % Rata-rata/
Jumlah Rx-vit.(+)
No. Diagnosis Jumlah Rx-AB(+ ) Jumlah % Rata-rata/ kasus
kasus

1. Influenza 60 55 (91,7 %) 88 14,2 1,6 1. Peny. sistim otot


2. Peny. saluran napas rangka & jar. ikat 32 29 ( 90,6 %) 69 13,9 2,4
bawah 37 33 (89,2 %) 83 13,4 2,5 2. Peny. sistim sal. cema 43 30 ( 69,8 %) 53 10,7 1,8
3. Peny. kulit & jar. 3. Peny. darah & organ
bawah kulit 49 38 (77,6 %) 80 12,9 2,1 pembentuk darah 15 14 ( 93,3 %) 47 9,5 3,4
4. Peny. saluran napas 4. Kehamilan, pra-pasca
atas 44 39 (88,6 %) 62 10,0 1,6 persalinan 18 17 ( 94,4 %) 29 5,9 1,7
5. Peny. mulut, kel. liur 5. Tbc paru 27 26 (96,3 %) 29 5,9 1,1
dan gigi 78 46 (59,0 %) 49 7,9 1,1 6. Avitaminosis 4 4 (100,0 %) 16 3,2 4,0
6. Diare & infeksi usus 21 21 (100,0 %) 37 6,0 1,8
Tabel 13. Jenis vitamin-mineral yang dipreskripsi (persentase) di unit rawat
Keterangan :
jalan Rumabsakit umum kelas D.
N = Total kasus rawat jalan RSU kelas D
n = Jumlah total preskripsi anti-bakteri sistemik
No. Jenis vitamin-mineral % (N -496)
Pada unit ini, obat antibakteri sistemik juga diberikan pada
penderita influeza sebanyak 91,7% (tabel 11). Cukup banyaknya 1. Vitamin B kompleks 32,3
kasus influenza yang mendapat antibakteri sistemik tampaknya 2. Vitamin B 1 21,4
perlu dipertanyakan kerasionalannya. Bahkan penggunaan tetra- 3. Vitamin B 12 14,1
siklin pada kasus ini perlu dipertimbangkan mengingat adanya 4. Vitamin B6 8,5
5. Fe-sulfat/preparat besi 6,5
beberapa jenis mikroba yang telah resisten, terutama mikroba
6. Kalsium laktat 6,0
penyebab 'infeksi saluran napas bagian atas.3 Penggunaan 7. Vitamin C 5,4
antibakteri sistemik pada kasus influenza memang masih me- 8. Multivitamin 4,6
merlukan kejelasan adanya infeksi ikutan yang menyertainya. 9. Lain-lain 1,2
Tampaknya pola preskripsi vitamin-mineral di rumahsakit
kelas D tidak berbeda dengan kelas C. Pada unit ini juga tidak Keterangan :
tampak adanya kasus avitaminosis dalam jumlah yang memadai, N=- Jumlah preskripsi vitamin-mineral (Rx - vit).
hanya 4 kasus avitaminosis dari 597 kasus rawat jalan, sedangkan min B kompleks, vitamin lb dan B12 (tabel 13).
anemia/penyakit darah dan organ pembentuk darah sebanyak Analgetik-antipiretika yang banyak dipreskripsi pada unit ini
15 kasus atau 2,5% dari kasus rawat jalan (tabel 12). Apabila adalah metampiron dan parasetamoi Preskripsi asetosal sangat
dilihat dari jumlah preskripsi vitamin, maka rata-rata menunjuk- sedikit ditemukan, yaitu hanya tercatat 0,1% dari seluruh pre-
kan frekuensi 1,6 preskripsi/kasus (tabel 8). Tidak banyaknya skripsi analgetika (tabel 10).

Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990 39


PUSKESMAS bakteri tidak dapat dibenarkan,(2) mengingat banyaknya ke-
Seperti halnya di rumahsakit umum kelas C dan D, pre- mungkinan yang dapat menimbulkan masalah baru.
skripsi obat antibakteri sistemik juga merupakan yang tertinggi Vitamin-mineral yang diberikan di puskesmas ini tampaknya
frekuensinya. Apabila dilihat dari jumlah kasus yang mendapat- juga tidak berbeda dengan pola yang ada di rumahsakit kelas C
kan antibakteri tersebut yaitu 71,4% dari seluruh kasus puskes- dan D. Tetapi bila melihat data pola penyakit yang ditemukan
mas, menunjukkan tingginya penggunaan antibakteri di puskes- di puskesmas tampak jenis penyakit yang mutlak memerlukan
mas; atau apabila dihitung maka setiap kasus mendapat rata- substitusi vitamin-mineral frekuensinya relatif kecil sekali.
rata 1,4 preskripsi obat anti bakteri sistemik (tabel 3). Jens anti Walaupun demikian kenyataannya 50,5% kasus puskesmas men-
bakteri sistemik yang paling banyak dipreskripsi adalah trisulfa dapat preskripsi vitamin-mineral tersebut (tabel 8). Sedangkan
dan tetrasiklin, masing-masing yaitu 26,1% dan 21,7%. Selain itu jenis vitamin-mineral yang dipreskripsi di puskesmas tidak-ber-
oksitetrasiklin sebagai obat suntik sebanyak 18,3% (tabel 6). beda dengan di rumahksakit kelas D, yaitu umumnya golongan
Bila dilihat dari jenis penyakit berdasarkan diagnosis yang di- vitamin B, misalnya vitamin-B kompleks, B1 dan B12 (tabel 15).
tegakkan, memang terlihat adanya penyakit infeksi yang cukup Tabel 15. Janis vitamin-mineral yang dipreskripsi (persentase) di Puskesmas.
prevalen, a.l. penyakit infeksi usus. Walaupun demikian pe-
nyakit-penyakit saluran napas bagian atas dan influenza di- No. Janis vitamin-mineral % (N -1581)
temukan sebagai jenis penyakit yang paling tinggi frekuensinya,
dan tidak seluruhnya merupakan infeksi bakterial (tabel 14). 1. Vitamin B kompleks 35,4
Pada penelitian ini 93,1% kasus influenza diberi anti bakteri. 2. Vitamin Bl 17,0
Keadaan ini tampakna tidak berbeda dengan pola preskripsi di 3. Vitamin B12 dan ekstrak hati 13,1
4. Vitamin B6 9,6
rumahsakit kelas C dan D. Dibandingkan dengan basil survai
5. Fe-sulfat/preparat besi 8,2
Askes (1976, Vincent dkk.) dimana 87,5% kasus influenza dari 6. Vitamin C 8,0
dokter praktek swasta mendapat anti bakteri, maka persentase 7. Kalsium laktat 7,3
kasus influenza di puskesmas relatif cukup tinggi.4 8. Multivitamin dan kombinasi
Tabel 14. Preskripsi anti bakteri sistemik (Rx-AB) untuk 8 jenis diagnōsa vitamin lain 1,5
penyakit di Puskesmas.
Keterangan :
Diagnosis Kasus (N 1761) Rx-AB (n -1776) N = Jumlah preskripsi vitamin-mineral (Rx- V it).
No. Jumlah' Rx-AB (+) Jumlah % Rata-rata/ Avitaminosis di puskesmas hanya tercatat 8 kasus atau 0,5%
kasus dari 1761 kasus yang diteliti. Anemia/penyakit darah dan organ
pembentuk darah hanya ditemukan 51 kasus atau 2,9%. Kasus-
1. Influenza 318 296 ( 93,1 %)_ 364 20,5 1,2 kasus tersebut seluruhnya mendapat vitamin dengan frekuensi
2. Peny. saluran napas rata-rata 2,5 dan 4 preskripsi/kasus (tabel 16).
atas 227 220 ( 96;9 %) 309 17,4 1,4 Tabel 16. Preskripsi vitamin-mineral (Rx-vit) untuk 10 jenis diagnosa penyakit
3. Peny. saluran napas di Puskesmas.
bawah & tbc pan 211 157 ( 74,4 %) 221 12,4 1,4
4. Peny. kulit dan jar. Kasus (N-1761) Rx-vit. ( n 1 5 8 1 )
bawah kulit 180 133 ( 73,9 %) 192 10,8 1,4
5. Gejala sakit 168 63 ( 37,5 %) 71 4,0 1,1 No. Diagnosis Jumlah Rx-vit.(+ ) Jumlah % Rata-rata/
6. Diare & infeksi usus 163 155 ( 95,1 %) 251 14,1 1,6 kasus
7. Peny. rongga mulut, 1. Peny. darah dan organ
kel. liur & gigi 34 31 ( 91,2 %) 40 2,3 1,3 pembentuk darah 51 51 (100,0 %) 204 12,9 4,0
8. Penyakit virus lain 13 13 (100,0 %) 24 1,4 1,9 2. Gejala sakit berkait dg.
saraf, otot rangka 66 66 ( 98,5 %) 185 11,7 2,9
3. Kehamilan, pra-pasca
Diagnosis influenza tidak tepat apabila digunakan sebagai persalinan 47 46 ( 94,0 %) 162 10,3 3,5
dasar pemberian antibakteri.2 5 Alasan yang paling sering di- 4. Influenza 318 126 ( 39,6 %) 162 10,3 1,3
kemukakan yaitu karena kekuatiran terjadinya infeksi sekunder 5. Peny. saluran napas
pada keadaan menurunnya daya tahan tubuh, masih memerlu- atas 227 102 ( 44,9 %) 122 7,7 1,2
kan pembuktian yang tepat. Selain untuk influenza, anti- 6. Gejala sakit lain 102 68 ( 66,7 %) 113 7,2 1,7
bakteri sistemik diberikan juga pada 91,2% kasus penyakit rongga 7. Tbc paru 50 47 ( 94,0 %) 98 6,2 2,1
8. Diare dan infeksi usus 163 87 ( 53,4 %) 97 6,1 1,1
mulut dan gigi (tabel 14). yang pada umumnya digunakan untuk
9. Peny. kulit dan
pengobatan gangren pulpa.6 ' jaringan bawah kulit 180 75 ( 41,7 %) 94 6,0 1,3
Dari penelitian ini ditemukan pula bahwa 13 kasus penyakit 10. Avitaminosis 8 8 (100,0 %) 20 1,3 2,5
infeksi viral lainnya seluruhnya diberi obat antibakteri sistemik,
yaitu dengan rata-rata 1,9 preskripsi/kasus. Sedangkan penyakit
yang dimaksud adalah a.l. cacar air (varicella), herpes zoster, Vitamin-mineral juga banyak diberikan untuk kasus ke-
campak, gondong dan lain-lain. Di samping itu, tercatat pula hamilan, pra/pasca persalinan. Antara lain 94,0% kasus kehamil-
bahwa sebanyak 37,5% kasus dengan gejala sakit (misal demam) an di puskesmas yang mendapat vitamin sebagai tambahan/
diberi antibakteri sistemik walaupun belum jelas diagnosis mau- suplemen. 79,2% kasus dengan gejala/tanda sakit dan 94%
pun etiologi penyakitnya. Pengobatan gejala sakit dengan anti penderita tbc pare juga diberi vitamin-mineral.

40 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990


Tabel 17. Gambaran kasus yang mendapat preskripsi analgetik-antipiretika KESIMPULAN
(Rx -An) di unit rawat jalan rnmahsakit ummn kiss C, kelas D dan
puskesmas.
Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas ditarik ke-
Jumlah {tams Rx—An.
simpulan sebagai berikut :
Fasilitas pelayanan
kesehatan z Pola perskripsi obat di unit rawat jalan RSU kelas C, kelas D
N1 Rx—An.(+) N2 Rata-rata/ dan puskesmas mengungkapkan hal yang sama yaitu bahwa
kasus terapi obat terbanyak dipreskripsi adalah antibakteri sistemik,
1. RSU kelas C 881 312 (35,4 %) 355 1,1 kemudian vitamin-mineral dan analgetik-antipiretika.
2. RSU kelas D 597 256 (42,9 %) 295 1,2 z Jenis preskripsi antibakteri sistemik menunjukkan pengguna-
3. Puskesmas 1761 992 (56,3 %) 1223 ..1;2 an tetrasiklin dan trisulfa cukup banyak, terutama di puskesmas
dan rumahsakit kelas D. Kemungkinan disebabkart oleh harga
Keterangan : yang relatif lebih murah atau persediaan jenis antibakteri ter-
Ni = Jumlah total kasus sebut yang relatif banyak dibandingkan jenis lain. Sedangkan
N2 = Jumlah preskrpsi analgetik-antipiretika
Rx—An = preskripsi analgetik-antipiretika
di RSU.kelas C, preskripsi ampisilin paling tinggi; di samping
Rx—An. (+) = kasus yangmendapat preskripsi analgetik-antipiretika itu ditemukan preskripsi kombinasi ampisilin-kloksasilin yang
tidak terdapat di puskesmas dan RSU kelas D. Hal tersebut
mungkin karena RSU kelas C mempunyai anggaran pengadaan
Tabel 18. Preskripsi amlgetik-antiplretika (Rx-An) untuk & Innis diagnosa pe- obat yang cukup longgar untuk melakukan pemilihan obat yang
nyakit di puskesmas.
diperlukan di samping obat dropping.
z Jenis preskripsi vitamin-mineral di ketiga fasilitas kesehatan
tersebut tidak menunjukkan banyak perbedaan. Golongan vita-
min-B, terutama B-kompleks merupakanjenis vitamin terbanyak
dipreskripsi.
z Analgetika yang terbanyak. dipreskripsi adalah metampiron
dan alternatifnya parasetamol. Asetosal relatifjarang diberikan.
Sedangkan metampiron-kombinasi temyata juga cukup banyak
dipreskripsi terutama di RSU kelas C.
z Masih ada preskripsi antibakteri sistemik yang dapat digolong-
kan irasional, misalnya penggunaannya yang cukup banyak
untuk kasus influenza, gejala sakit yang belum jelas etiologinya,
dan kasus lain dengan infeksi bakterial yang masih belum jelas.
• Preskripsi vitamin-mineral cenderung lebih dimanfaatkan
Keterangan : sebagai terapi tambahan/suplemen.
N = Total kasus puskesmas
n = Jumlah total preskripsi analgetik-antipiretika.

Jenis obat lain yang juuga banyak dipreskripsi adalah anal- KEPUSTAKAAN
getik-antipiretika. Penggunaan di puskesmas meliputi jumlah 1. Abdulchalid C dkk. Penelitian Perencanaan, Pengadaan dan Pengunaan
56,3% dari 1761 kasus yang diteliti (tabel 17). Janis yang banyak Obat Inpres di Kabupaten/Kotamadya, Rumahsakit dan Puskesmas, Laporan
digunakan adalah metampiron, parasetamol dan Aetosal yang 1981/1982. Puslit Farmasi, BPPK — Dep. Kes. RI.
2. Goodman & Gillman The Pharmacological Basis of Therapeutics, Vlth ed.
umumnya diberikan sebagai preparat tunggal, kecuali metam- London Macmillan Co., 1980.
piron yang jugs banyak diberikan dalam bentuk preparat kombi- 3. Kadarwati U dkk. Pola resistensi kuman terhadap 6 jenis antibiotika di
nasi tetap (obat jadi) (tabel 10). Frekuensi penggunaan anal- wilayah Jakarta Timur. Laporan Penelitian 1984/1985. Puslitbang Farmasi,
getika terbanyak adalah untuk penyakit influenza, yaitu 29,0% BPPK - Dep. Kes. RI.
4. Gan, Gan.Pola penggunaan antimikroba oleh Dokter Pmktek Swasta dalam
dari seluruh preskripsi analgetika di puskesmas (Tabel 18). lingkungan Asuransi Kesehatan, Mijalah Kesehatan Masyarakat 1976.
Influenza merupakan jenis penyakit terbanyak yang ditemukan 5. Ball AP et al. Antibacterial Drugs Today. ADIS Press, New York 1977.
di puskesmas, sehingga dapat dipahami bahwa penggunaan anal- 6. Burket LW. Oral Medicine Diagnosis and Treatment, Burket, LW. (ed.),
getika paling tinggi dibandingkan penggunaannya untuk pe- 1977; hal. 550 - 6.
7. Djais S. Pidato Pengukuhan Gum Besar FKG - UI, 7 Oktober 1978.
nyakit lain.

Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990 41


Kunjungan Pasien Kanker di
Unit Rawat Jalan
Beberapa Rumah Sakit di Indonesia

Reflinar Rosfein, Benyamin Lumenta


Pusat Pene/itian Penyakit Tidak Menu/ar, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan R.I., Jakarta

PENDAHULUAN BAHAN DAN CARA


Studi ini merupakan penelitian deskriptif untuk mengetahui Dari Direktorat Jenderal Pelayanan Medis diperoleh data
jumlah pasien dengan penyakit kanker berbagai jenis yang tentang jumlah pasien barn dan jumlah pasien penyakit kanker
berkunjung ke Unit Rawat Jalan beberapa Rumah Sakit Umum yang berkunjung di Unit Rawat Jalan 9 rumah sakit umum
pendidikan dan non pendidikan di Indonesia dibanding dengan pendidikan dan 15 rumah sakit umum non-pendidikan yang
kelompok penyakit lainnya. Juga untuk mengetahui jenis kanker secara teratur melapor melalui formulir RL2. Data diambil dari
terbanyak yang mengunjungi Unit Rawat Jalan dan melihat bulan Juli 1987 sampai bulan Desember 1987.
berapa banyak pasien datang langsung ke rumah sakit dibanding Untuk mengetahui perbandingan antara jumlah pasien lama
dengan mereka yang dirujuk ke rumah sakit tersebut. dan barn dengan penyakit kanker dan dengan penyakit kelompok
Besarnya kunjungan rawat jalan, baik kunjungan rujukan lainnya, diambil 10 kelompok penyakit terbanyak, yang semua-
maupun kunjungan spontan, menurut Hudenburg' bukan nya berkunjung ke 24 rumah sakit umum pada jangka waktu
hanya menunjukkan epidemiologi penyakit bersangkutan. yang sama (Tabel 1).
Namun juga menunjukkan tingkat sosial ekonomi masyarakat,
dan khususnya bagi penyakit kanker, yang lebih penting ialah Tabel 1. Jumlah kunjungan pasien lama dan bare pads Unit Rawat Jalan dari
24 Rumah Sakit Umum Juli '87 – Desember '87.
kesadaran masyarakat untuk memeriksakan dan rnengobati
diri ke rumah sakit. Kesadaran ini kita butuhkan untuk ke- No. Jens Penyakit Jumlah %
lanjutan dan kesinambungan registrasi kanker yang berorientasi
rumah sakit (hospital-based). 1. Saluran Pencernaan 27.463 13.6
Studi ini secara retrospektif menelusuri pasien dengan pe- 2. Saluran Pernafasan 24.029 11,9
nyakit kanker yang berobat jalan pada unit rawat jalan di 3. Peny. Kulit non neoplasma 22.614 11,2
beberapa rumah sakit umum pendidikan (9 buah) dan rumah 4. Peny. Kardiovaskuler 21.405 10,6
sakit non pendidikan"(15 buah) yang dilaporkan kepada Direk- 5. Neoplasma 16.153 8,0
torat Jenderal Pelayanan Medis. Yang ditelusuri hanya jumlah 6. Kecelakaan 14.943 7,4
7. Peny. Ginjal 12.721 6,3
pasien baru dan kunjungan seluruh pasien pada rumah sakit 8. Peny. THT non Neoplasma 10.905 5,4
yang secara teratur telah melaporkan ke Direktorat Jenderal 9. Kelainan Mata non Neoplasma 10.298 5,1
Pelayanan Medis. Semua ini merupakan data sekunder yang 10. Peny. Saluran Pernafasan Bawah 9.895 4,9
tidak di-cross-check. Studi ini adalah studi dengan suatu pen- 11. Lain-lain 31.501 15,6
dekatan deskriptif. Studi seperti ini, yang merupakan telaah
komparatif antara pasien rawat jalan kanker dan pasien rawat Jumlah 201.927 100
jalan kelompok penyakit lainnya, belum ditemukan dalam lite-
ratur Indonesia.
Secara deskriptif semua data ini menunjukkan tingkat ke- Untuk mengetahui perbandingan antara jumlah pasien total
sadaran masyarakat untuk memeriksakan diri terhadap kanker berdasarkan kunjungan rujukan atau kunjungan spontan, di-
secara spontan atau secara rujukan. ambil jumlah total dari semua unit rawat jalan di rumah sakit

42 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990


umum klas A, klas B2, klas B1 dan klas C masing-masing Tabel3. Jumlah kunjungan rujukan dan spontan 5 jenis penyakit kanker ter-
tersendiri (tabel 2). banyak di Unit Rawat Jalan pads Rumah Sakit Umum Klas A di
Indonesia Juli '87 – Desember '87.
Untuk mengetahui jumlah kunjungan rujukan dan kunjungan
spontan 5 jenis kanker terbanyak di Unit Rawat Jalan pada ke No. Jenis Kanker Jumlah Pasien %
24 rumah sakit itu di periode yang sama dicatat jumlah kunjung-
an dari ke 24 rumah sakit itu (Tabel3).
1. Payudara 2.810 17,4
2. Kulit 1.780 11,0
HASIL
3. Servik Uteri 1.461 9,0
Pertama-tama ditemukan bahwa jumlah kunjungan pasien 4. Nasofaring 1.321 8,2
dengan penyakit kanker ke Unit Rawat Jalan ke 24 rumah sakit 5. Jar. Limpoid 1.062 6,6
tersebut menempati urutan ke 5 terbanyak di dntara semua ke- 6. Lain-lain 7.719 47,8
lompok penyakit, yaitu sejumlah 16.153 kunjungan selama
periode Juli 1987 sampai dengan De'sember 1987 (8%). Pasien Jumlah 16.153 100
dengan penyakit pada kelompok terbanyak merupakan semua
penyakit saluran pencemaan dengan 27.463 kunjungan (13,6%)
(tabel 1). Tabel 4. Jumlab kunjungan ryjukan dan spontan pasien baru 5 jenis penyakit
Setelah semua rumah sakit umum dipisah-pisahkan atas kanker pada 2 Rumab Sakit Umum Ms A di Indonesia dad Juli '87 –
Desember '87.
variabel klasifikasi rumah sakit, diperoleh data sebagaimana
terlihat pada tabel 2. No. Jenis Kanker Spontan % Rujukan % Jumlah
RSU klas A dan RSU klas B2 semuanya rumah sakit pen-
didikan yang besar dengan jumlah tempat tidur antara 800 dan
1. Payudara 124 17,3 93 82,7 717
1300 buah, dan RSU klas B1 dan RSU klas C semuanya 2. Kulit 54 13,0 372 87,0 426
merupakan rumah sakit non-pendidikan, atau rumah sakit 3. Servik Uteri 62 16,7 310 83,3 372
umum Propinsi (yang kecil) atau Kabupaten dengan jumlah 4. Nasofaring 63 17,5 298 82,5 361
tempat tidur antara 250 dan 600 buah. 5. Jar. Limpoid 61 25,0 181 75,0 242
Tabel 2. Jumlab kuyjungan pasien lama dan baru Unit Rawat Jalan 24 Rumah
Sakit Umum Juli '87 – Desember '87. Jumlah 364 17,2 1754 82,8 2118

No. Type Rumah Sakit Jumlah Kunjungan Pasien Rujukan banyak 82,8% dan sisanya pasien kunjungan spontan (17,2%).
Dari kunjungan pasien dengan ke 5 jenis penyakit kanker
1. 2 RSU Kls A 48.077 36.284 (75%) terbanyak pada 7 RSU klas B2, ditemukan 83,9% kunjungan
2. 7 RSU Kls B2 97.456 77.812 (80%) rujukan. Pada ke 3 RSU klas B1 jumlah pasien rujukan me-
3. 3 RSU Kls B1 28.762 15.319 (53%) nurun menjadi 61,2%, sedangkan pada 12 RSU klas C, hanya
4. 12 RSU Kls C 27.632 12.437 (45%)
48,3% merupakan kunjungan rujukan. (tabel 5,6 dan 7).
24 Rumah Sakit Umum 201.927 141.852 (70,2%) PEMBAHASAN
Pada tabel 2 ini tampak bahwa ada 2 RSU klas A total Dalam literatur tidak banyak ditemukan studi mengenai
pasien yang berkunjung sebanyak 48.077. Di antaranya 36.284 kunjungan pasien rawat jalan di rumah sakit, walaupun Soetopo
merupakan kunjungan rujukan atau 75% dari seluruh kunjung- dkk meneliti masalah ini berkaitan dengan pasien rawat inap
an. Dari 7 RSU klas B2 ditemukan 97.456 kunjungan dengan di beberapa rumah sakit kabupaten.3 Dalam studi lain Soetopo
77.812 (80%) pasien rujukan. Dari 3 RSU klas B1 terdapat dkk. tidak memberikan perhatian khusus kepada jenis penyakit
28.762 kunjungan yang di antaranya 15.319 (53%) pasien dari pasien yang mengunjungi rumah sakit.4 Angka yang di-
kunjungan rujukan. Sedangkan dari jumlah 12 RSU klas C kumpulkan rumah sakit-rumah sakit besar di berbagai daerah
terdapat sejumlah 27.632 kunjungan dengan 12.437 (45%) di selama dasawarsa terakhir menunjukkan peningkatan jumlah
antaranya kunjungan rujukan. penderita kanker sampai 2 - 8% setahun.
Selama periode Juli 1987 — Desember 1987 dari kunjung- Pemerintah telah menempatkan masalah kanker pada prio-
an ke Unit Rawat Jalan 24 Rumah Sakit Umum terdapat ritas ke 6 dalam tahun 1984 setelah penyakit menular dan pe-
kunjungan rujukan dan spontan dari 5 jenis penyakit kanker nyakit yang disebabkan oleh kekurangan gizi.5
terbanyak, yaitu 2810 (17,4%) pasien dengan kanker payudara. Dalam survei rumah tangga yang dilaksanakan dalam tahun
Urutan ke dua diduduki pasien dengan kanker kulit sebanyak 1980, ditemukan 3,4% dari kematian diakibatkan oleh kanker
1780 (11,0%),- kemudian pasien dengan kanker serviks uteri dan ini menempati urutan ke 9 diagnosis sebab kematian.2
sebanyak 1461 (9,0%) dan kanker nasofaring dengan jumlah Studi yang dilakukan Asmino dkk., juga mengaitkan pe-
1321 kunjungan (8,2%). Pada tempat ke 5 neoplasma jaringan layanan kesehatan primer di rumah sakit sebagai upaya me-
limfoid sebanyak 1062 (6,6%) kunjungan. nemukan penderita dengan penyakit kanker secara dini. Namun
tidak ditemukan besarnya kunjungan pasien kanker ke unit
Pada tabel 4 terlihat bahwa kunjungan rujukan pasien ke rawat jalan di rumah sakit.6
lima jenis penyakit kanker pada ke 2 RSU klas A pada periode Jumlah kunjungan pasien pada Unit Rawat Jalan ke 24 RSU,
yang sama yaitu Juli 1987 sampai Desember 1987 adalah se- menunjukkan bahwa pasien dengan kanker berbagai jenis me-

Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990 43


Tabel 5. Jumlah kunjungan rujukan dan spontan pasien barn 5 jenis penyaldt pasien umum kanker dan pasien non-kanker, RSU kias. B2
kanker pada 7 Rumah Sakit Umum Kls B2. sama banyak digunakan sebagai rumah sakit rujukan. RSU klas A
dan klas B2 digunakan sama banyak sebagai rumah sakit rujukan
No. Jenis Kanker Spontan % Rujukan % Jumlah tanpa perbedaati bermakna (p > 0,05). Bagi rumah sakit kias B1
dan kelas C jumlah kunjungan rujukan untuk semua jenis
1. Payudara 224 18 1022 82 1246 penyakit masing-masing merupakan 53% dan 45%. Jumlah
2. Kulit 122 14,1 681 85,9 793 kunjungan rujukan khususnya untuk pasien penyakit kanker
3. Servik Uteri 121 19,5 501 80,5 622 segala jenis adalah masing-masing 61,2% dan 48,3%. Fungsi
4. Nasofaring 74 12,4 524 87,6 598
rujukan berbeda mencolok dengan rumah sakit kias A dan B2
5. Jar. Limpoid 71 14,7 411 85,3 482
(p < 0,01).
Rumah sakit klas A dan B2 merupakan rumah sakit pen-
Jumlah 602 16,1 3135 83,9 3741
didikan dokter dan rumah sakit top referral (kias A) dan rumah
sakit referra/ (kias B), sehingga sewajarnya jumlah kunjungan
Tabel 6. Jumlah kunjungan rujukan dan spontan pasien baru 5 jenis penyakit rujukan menjadi lebih tinggi. Khusus untuk semua jenis kanker,
kanker pada 3 Rumah Sakit Umum Kls B1. angka rujukan semakin meninggi, yaitu masing-masing 82,8%
(RSU klas A) dan 83,9% (RSU kias B2). Ternyata kedua rumah
No. Jenis Kanker Spontan % Rujukan % Jumlah
sakit pendidikan ini banyak digunakan sebagai rumah sakit
referral bagi penyakit kanker. Khususnya bagi kanker kulit (87%)
1. Payudara 191 47,5 211 52,5 402 di rumah sakit klas A dan kanker nasofaring (87,6%) di rumah
2. Kulit 114 48,5 121 51,5 235
sakit klas B2.
3. Servik Uteri 101 39,9 156 60,7 257
4. Nasofaring 58 25,0 174 75,0 232 Bila diperhatikan, di RSUklas B1 dan kelas Cyang merupakan
5. Jar. Limpoid 40 23,2 132 76,8 172 rumah sakit di ibukota propinsi yang kecil atau di ibukota
kabupaten, fungsi rujukan tidak berlaku sepenuhnya. RSU-RSU
Jumlah 504 38,8 794 61,2 1298 ini mirip puskesmas, dengan jumlah kunjungan spontan hampir
sama. Namun, bagi pasien dengan jenis kanker nasofaring di
RSU klas B1 jumlah rujukan masih cukup tinggi, yaitu 75,0%,
Tabel 7. Jumlah kunjungan ntjukan dan spontan pasien baru 5 jenis penyakit dan bagi kunjungan pasien dengan kanker jaringan limfoid
kanker pada 12 Rumah Sakit Umum Ms C.
76,8%. Fungsi rujukan untuk kedua jenis kanker cukup tinggi
No. Jenis kanker Spontan Mo Rujukan % Rujukan di rumah sakit klas B1 (RSU Kabupaten). Di RSU kias C,
jumlah rujukan pasien dengan kanker payudara menduduki
1. Payudara 201 46,2 234 53,8 435
tempat tertinggi di antara semua jenis kanker, yaitu 53,8%
2. Ku l i t 162 49,7 164 50,3 326 rujukan.
3. Servik Uteri 121 57,6 89 42,4 210 Kalau dilihat secara umum pada ke-3 RSU klas Bl, kunjungan
4. Nasofaring 79 60,8 51 39,2 130 pasien rujukan adalah 53% (tabel 2), dan khususnya untuk
5. Jar. Limpoid 92 55,4 74 44,6 166 kanker adalah 61,2% (tabel 6). Ini berarti bahwa fungsi rujukan
bagi pasien kanker cukup tinggi. Pada RSU klas C fungsi rujukan
Jumlah 655 51,72 612 48,3 1267 adalah 45% (tabel 2), sedangkan untuk pasien kanker berbagai
jenis hanya 48,3% (tabel 7). RSU klas C di sini pada umumnya
merupakan RSU di kabupaten sedang dan ibu kota propinsi
rupakan jumlah terbanyak yang ke 5, dengan total 16.153 kecil. Sedangkan RSU klas BI ada di kabupaten besar ibu
kunjungan atau 8%. Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa RSU kota propinsi sedang. Kondisi pendidikan dan sosial ekonomi
klas A, (RSCM di Jakarta dan RSUS di Surabaya), 75% dari masyarakat di pedesaan dan perbedaannya dengan di perkotaan,
semua kunjungan rawat jalan merupakan kunjungan rujukan, diduga ikut memberi warna pada tinggi rendahnya rujukan
sedangkan non-rujukan 25%. Ini berarti di kedua kota besar, dan khususnya kunjungan dan rujukan pasien kanker.
Unit Rawat Jalan masih merupakan suatu institusi pelayanan
kesehatan langsung bagi masyarakat, yang seharusnya merupa- KESIMPULAN
kan fungsi puskesmas. Sesuai dengan definisinya RSU kias A
merupakan top referral hospital, sehingga seharusnya semua 1) RSU klas A seharusnya merupakan top referral hospital,
kunjungan pasien merupakan kunjungan rujukan. Pada tabel 4 namun ternyata hanya sebanyak 75%dari kunjungan Unit Rawat
dapat dilihat bahwa khusus untuk pasien kanker kunjungan Jalan merupakan kunjungan rujukan. Khususnya pasien kanker,
rujukan merupakan 82,8%. Dan untuk pasien dengan kanker
82,8% merupakan kunjungan rujukan. Fungsi rujukan belum
kulit, angka tertinggi 87,0% merupakan kunjungan rujukan.
memadai.
Jadi hampir semua pasien kanker yang berkunjungan ke RSU
klas A merupakan rujukan dari tempat pelayanan lain. 2) RSU kias B2 sebagai rumah sakit pendidikan clan rumah
Pada tabel 2 terlihat untuk semua kunjungan di RSU kias B2, sakit rujukan, melayani 80% pasien rujukan total, dan khusus
kunjungan rujukan merupakan 80%, sedangkan pada Ube! 5 untuk kanker berbagai jenis, 83,9%. Fungsi rujukan sudah
tampak bahwa khususnya untuk pasien kanker, kunjungan memadai.
rujukan merupakan 83,9%. Pasien dengan kanker nasofaring 3) Pasien di pedesaan dan kota kecil masih kurang memanfaat-
melalui rujukan sebanyak 87,6%. Ini menunjukkan bahwa untuk kan Unit Rawat Jalan di rumah sakitnya, baik untuk rujukan

44 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990


umum maupun untuk rujukan pasien kanker. Regency Level Hospital Utilization in Indonesia, Bull Kesehatan Indonesia
1977; 5 (1) : 1-4.
4) Pasien dengan kanker payudara, kulit, serviks uteri, naso- 4. Soetopo MHW, Soewarna P. Analysis of the Utilization Bull. Penelit. Ke-
faring dan jaringan limfoid yang mengunjungi Unit Rawat Jalan sehatan Indonesia 1973; 2 (1) : 24-31.
di 24 RSU pendidikan dan non-pendidikan yang telah ditelusuri 5. RS Hoepoedio. Penanggulangan Kanker Terpadu. Medika 1985: 11 (4).
merupakan pasien terbanyak dengan kanker. 6. Asmino, Roem Soedoko dkk. Fight Against Cancer by the Year 2000 in
East Java, An Effort for Primary Prevention in Cancer in Asia and Pacific,
Yayasan Kanker Indonesia 1988.
KEPUSTAKAAN
1. Hudenburg R The Community Hospital 3rd Ed. Systems Press, Princeton
1983.
2. Ratna Budiarso dkk. Laporan Survai Kesehatan Ruma}l Tangga 1980. Badan UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Dep.Kes. R.I. Jakarta, 1980. Disampaikan kepada staf Sekretariat Direktorat Jenderal Pelayanan Medik,
3. Soetopo MHW, Soewarna P, Raharjo N, Soeparto H, Tjindarbumi W. Dep. Kes. RI. yang telah memberikan data dari 24 R.S. di Indonesia.

Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990 45


Purifikasi Antibiotik

Usman Suwandi
Pusat Penelitian dan Pcngembangan P.T. KALBE FARMA Jakarta

PENDAHULUAN kan. Keadaan ini memang hams sudah dimengerti dan disadari,
Sintesa senyawa kemoterapi dan bioaktif menggunakan sebelum memulai isolasi dan purifikasi produk basil fermentasi.
mikroorganisme merupakan cabang bioteknologi mikroba dan Oleh karena itu purifikasi biasanya memerlukan proses bertahap
bisnis fermentasi yang sangat penting. Ini terlihat dengan dan sangat jarang atau Akan sia-sia bila mengharapkan adanya
banyaknya berbagai aktivitas penelitian dan pengembangan suatu zat atau cara isolasi tunggal untuk melakukan purifikasi
industri fermentasi dengan bantuan mikroba untuk mempro- produk fermentasi. Sebelum menentukan cara dan bahan-bahan
duksi antibiotik, antitumor, vitamin, vaksin, asam amino dan yang digunakan, terlebih dahulu perlu mengetahui sifat-sifat
senyawa bioaktif lainnya. Antibiotik merupakan salah satu se- produk yang akan diisolasi. Sifat-sifat ini penting untuk menentu-
nyawa penting dibuat oleh sintesis mikroba dengan cara fermen- kan teknik purifikasi yang diperlukan, antara lain sifat stabilitas-
tasi. Saat ini kira-kira telah dipasarkan 150 senyawa antibiotik nya terhadap panas dan terhadap berbagai solven organik, ukur-
yang diproduksi dengan proses fermentasi dan penggunaannya an atau berat molekulnya, polaritas dan sebagainya. Selain
tersebar luas di berbagai bidang seperti medis, veteriner, industri sifat-sifat tersebut, informasi adanya senyawa lain di dalam biak-
makanan dan pertanian. Antibiotik digunakan karena aktivitas an juga akan membantu untuk mengeliminasi zat-zat yang tak
yang dimilikinya antara lain sebagai antibakteri, antifungi, anti- diinginkan tersebut dan lokasi produk intrasel atau ekstrasel
koksidial, antiprotozoa, anthelmintik, pestisida, antivirus, anti- akan menentukan tahap proses purifikasi.
tumor, atau insektisida. Teknik isolasi dan purifikasi produk fermentasi sering tidak
Antibiotik secara langsung atau tidak langsung meningkat- sama antara senyawa satu dengan yang lain dan masing-masing
kan taraf hidup manusia dan menambah harapan hidup rata- mempunyai metode spesifik tergantung pada sifat produknya.
rata manusia. Indonesia sebagai negara berkembang di mana Namun demikian ada prinsip umum dan kesamaan mengenai
penyakit infeksi masih relatif tinggi, kebutuhan antibiotik tak teori dan model untuk isolasi dan purifikasi produk fermentasi.
dapat dihindarkan. Sejauh ini kebutuhan antibiotik masih di- Belter (1979) telah membagi proses isolasi produk fermentasi
impor dan belum ada yang memulai bisnis fermentasi untuk menjadi 4 bagian.2
memproduksi antibiotik. Padahal negara kita dengan kekayaan 1) Removal of insolubles
alamnya sangat berpotensi untuk mengembangkan fermentasi 2) Primary isolation of product
antibiotik. 3) Purification
Dalam industri fermentasi, isolasi produk yang dikehendaki 4) Final product isolation.
kadang-kadang menimbulkan masalah dan sering memerlukan Setiap tahap isolasi dan purifikasi tersebut mempunyai fungsi
banyak alat, tenaga dan waktu. Masalah utama untuk purifikasi berlainan tetapi tujuannya sama yaitu untuk mengeliminasi
produk fermentasi adalah karena konsentrasi produk sangat zat-zat lain yang ada dalam biakan dan meningkatkan konsen-
rendah dan kompleksnya unsur-unsur yang ada dalam biakan trasi serta kualitas produk. Untuk mendapatkan gambaran per-
fermentasi. Campuran heterogen ini mengandung organisme, an setiap tahap dapat dilihat pada tabel 1. 2
sisa-sisa media, senyawa antara dan lain-lain dengan konsentrasi
mungkin lebih besar daripada produknya sendiri. Selain itu
dalam biakan fermentasi tersebut mungkin terdapat senyawa- PEMISAHAN PADATAN DARI CAIRAN.
senyawa yang mempunyai ukuran, muatan, struktur atau sifat- Tahap penting untuk mendapatkan antibiotik dari substrat
sifat lain yang sama dengan produk yang akan diisolasi, sehingga fermentasi ialah pemisahan sel, bagian sel atau zat-zat tak larut
lainnya dari cairan medium. Produk mungkin
akan lebih mempersulit proses purifikasi produk yang diingin-

46 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990


Tabel 1. Typical Processing Profile. Sentrifugasi
Sekarang telah banyak dikembangkan centrifi/ge berkecepat-
Step
Product an tinggi untuk memisahkan cairan dan padatan. Alat ini sangat
berguna di dalam laboratorium, karena persiapannya relatip
Conc. (gm/1) Quality (%)
lebih mudah dibandingkan dengan filtrasi.
Untuk meningkatkan laju filtrasi dan sentrifugasi dapat di-
Harvest broth 0,1 — 5 0,1 - 2,0 lakukan koagulasi dan flokulasi terlebih dahulu, terutama untuk
Filtration 0,1 - 5 0,1 - 2,0 mengubah koloid menjadi partikel yang mudah mengendap.
Primary isolation 5 — 10 1 - 10
Koagulasi dan flokulasi dapat dilakukan dengan menambah
Purification 50 - 200 50 - 80
Crystalization 90 - 100
elektrolit-elektrolit sederhana seperti asam, basa, garam dan
ion multivalen maupun polielektrolit.
berada di dalam sel atau di luar sel. Bila produk tidak disekresikan ISOLASI DAN PURIFIKASI.
ke dalam medium (intrasel), maka produk ada di bagian padatan
dan harus dikeluarkan dari sel. Cara untuk memecah sel dapat Sesudah bagian larut dan tak larut dari biakan fermentasi
secara kimia atau mekanis, antara lain dengan ultrasonic disrupter dipisahkan, lokasi produk sangat menentukan proses berikut-
untuk memecah dinding sel skala kecil, osmotic shock, ensimatis, nya. Beberapa antibiotik terletak di bagian tak larut, sehingga
high-pressure homogenizer dan sebagainya. Cara mekanis lebih bagian cairan dapat dibuang. Setelah produk dilepaskan dari sel,
lazim digunakan karena lebih efisien dan mudah digunakan tahap selanjutnya dilakukan seperti pada produk ekstrasel.
dalam skala besar. Namun kemajuan teknologi seperti DNA Kebanyakan antibiotik terletak di bagian cairan biakan
rekombinan memungkinkan pemecahan dinding sel menjadi fermentasi. Sesudah dipisahkan dengan filtrasi atau sentrifugasi,
lebih mudah yaitu dengan memasukkan gen pembawa sifat me- produk ada di bagian supernatan bercampur dengan senyawa
lemahkan dinding sel bakteri, sehingga lisis dinding sel akan ter- lain. Untuk mengeliminasi zat-zat tersebut dari produk dapat di-
jadi lebih mudah. Bila produk disekresikan ke dalam medium gunakan liquid extraction atau adsorption.
(ekstrasel), bagian cairan dapat langsung diambil dan diekstraksi
pada proses berikutnya, atau ekstraksi dapat langsung dilakukan Liquid Extraction
tanpa memisahkan padatan dan cairan seperti pada ekstraksi Ekstraksi solven organik merupakan salah satu tahap awal
streptomisin. yang sangat penting dalam mengisolasi produk fermentasi. Peng-
Sebelum pemisahan produk dari biokatalis, perlu diperhati- gunaan solven yang tidak larut air sangat membantu meng-
kan patogenitas biokatalis. Bila mempunyai sifat patogenik, eliminasi air dari produk, terutama untuk produk lipopilik.
langkah pertama yang hams dilakukan adalah menginaktivasi Pada prinsipnya bila senyawa organik dipapar dengan dua
organisme tersebut. Inaktivasi dapat dilakukan dalam bejana sistem solven yang tidak saling larut, senyawa tersebut akan ter-
reaktor yaitu dengan menggunakan panas bila produk yang di- distribusi di antara dua sistem dengan perbandingan tertentu,
kehendaki stabil terhadap panas. Jika labil terhadap panas, Sifat ini dimanfaatkan untuk mengekstraksi produk dalam filtrat
dapat digunakan zat-zat kimia yang tidak mempengaruhi kualitas fermentasi dengan solven organik. Pada waktu ekstraksi dengan
produk atau dengan cara lain. Pada beberapa produk, selama solven organik, senyawa ionik akan cenderung lebih larut dalam
proses isolasi hams terlindung dari kontaminasi. Untuk pem- air daripada senyawa nonionik. Sedangkan senyawa lipopilik
rosesan produk ini diperlukan fasilitas, peralatan dan operasi akan terekstraksi dalam solven organik. Untuk senyawa lipo-
yang berlangsung dalam ruang steril atau bertekanan positip pilik akan terekstraksi dalam solven organik. Untuk senyawa
sehingga terhindar dari kontaminasi. lipopilik ekstraksi paling efektif pada pH hampir netral, sedang-
Tahap pertama mengisolasi produk fermentasi ialah me- kan senyawa yang mengandung gugus asam atau basa dapat
misahkan biakan menjadi dua bagian yang larut dan tidak diekstraksi ke dalam air dengan mengatur pH sehingga gugus
larut. Untuk maksud ini dapat dilakukan dengan filtrasi atau fungsionil terionisasi.
sentrifugasi. Jenis solven organik yang digunakan perlu diseleksi dan pe-
milihan dapat dilakukan berdasarkan sifat distribusinya, volati-
Filtrasi litas, kemudahan recovery dan biayanya. Selanjutnya basil eks-
traksi dapat dipekatkan, biasanya dilakukan pada temperatur
Filtrasi banyak digunakan baik dalam skala laboratorium
rendah yaitu kurang dari 400 C dan tekanan juga perlu di-
maupun skala besar, meskipun kadang-kadang mengalami ber- kurangi. Kondisi demikian diperlukan untuk menghindari per-
bagai kesukaran. Faktor-faktor penyebabnya antara lain sifat, ubahan kimia produk yang dikehendaki, alat yang biasa diguna-
ukuran dan morfologi mikroba; pH dan kepekatan biakan;
kan untuk pemekatan basil ekstraksi adalah rota/ evaporator.
kontaminasi mikroba yang tak diinginkan dan sifat residu sub- Alat ini dapat menguapkan solven dengan cepat dan dapat men-
strat yang tak larut. Untuk skala laboratorium biasanya diguna- jaga distribusi panas lebih merata. Kapasitas alat ini bervariasi,
kan vacuum filter yang terdiri dari Buchner funnel dan Buchner
dari beberapa ml sampai lebih dari 501. Demikian juga fungsi-
vacuum flask. Pemisahan dapat dilakukan dengan kertas saring nya, ada yang hanya digunakan per batch, ada pula yang di-
atau dengan bantuan bahan diatomaceous. Dalam skala industri, gunakan secara terus menerus. Kemampuan untuk menguapkan
rotary vacuum precoat filter merupakan alat filtrasi yang banyak
solven juga bervariasi, tetapi pada dasarnya lebih dipengaruhi
digunakan. Alat lain yang dapat digunakan untuk filtrasi yaitu oleh kondisi operasinya seperti temperatur, besarnya vacuum dan
Zeitz filter, membrane filter dan lain-lain. jenis solven yang digunakan dan diuapkan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990 47


Adsorpsi. cara yang dapat digunakan untuk mengeringkan produk fermen-
Adsorpsi pada prinsipnya merupakan adsorpsi permukaan dan tasi, masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugiannya
merupakan cara yang sangat berguna untuk mengisolasi sendiri. Pemilihan cara pengeringan yang tepat harus memper-
metabolit mikroba. Bahan adsorpsi mempunyai area permukaan hatikan faktor-faktor yang dapat menpengaruhi produk akhir
yang luas dan biasanya digunakan untuk mengabsorpsi senyawa seperti sifat fisika produk, kepekaan terhadap panas dan lain-
dengan berat molekul rendah. Selain itu bahan ini juga berguna lain. Nonhebel dan Moss (1971) telah merinci 34 parameter yang
untuk mengabsorpsi senyawa non-polar dari larutan polar. dapat mempengaruhi proses pengeringan.
Adsorben yang lazim digunakan antara lain silika, alumina, Cara yang biasa digunakan untuk pengeringan antibiotik basil
karbon dan polistiren. fermentasi antara lain kristalisasi, spray drying dan freeze drying.
Pembentukan garam suatu produk juga merupakan s, ilah satu Proses kristalisasi merupakan metode pemurnian yang efektip
cara untuk mengisolasi antibiotik, sebagai contoh garam laktat dan efisien. Degradasi bahan yang peka terhadap panas dapat
dan oksalat eritromisin. Teknik ini pada prinsipnya memanfaat- dihindari dengan mengoperasikan pada temperatur rendah.
kan kurangnya daya larut garam produk fermentasi, sehingga Namun demikian tidak semua produk dapat dilakukan kristali-
digunakan untuk mengisolasi dan memumikan produk tersebut. sasi, neomisin dan ensim tertentu tidak 4ikristalisasi. Kristalisasi
biasanya mempunyai unit cost rendah karena biasanya dioperasi-
PURIFIKASI kan pada konsentrasi tinggi.
Hasil isolasi pada tahap awal biasanya masih mengandung Proses spray drying dilakukan untuk produk yang tidak di-
kotoran atau senyawa dari biakan fermentasi yang mempunyai proses dengan kristalisasi. Proses ini pada prinsipnya
sifat fisika-kimia sama dengan produk yang dikehendaki, se- menyemprotkan larutan ke dalam ruangan yang dilewati udara
hingga proses isolasi menjadi lebih sulit. Oleh karena itu hams panas, sehingga cairan menguap dan produk mengering sebagai
dilakukan purifikasi lagi dengan teknik yang dapat memisahkan bulatan-bulatan kecil (bubuk kering). Cara ini kurang efisien
senyawa-senyawa tersebut, sehingga diperoleh produk berkuali- terutama dalam penggunaan panas.
tas tinggi. Proses freeze drying juga dikenal sebagai lyophilization, me-
Kromatografi merupakan cara purifikasi yang dapat diandal- rupakan metode menghilangkan cairan yang sangat khusus
kan untuk mengeliminasi zat-zat yang masih ada bersama- karena cairan biasanya dihilangkan dengan penguapan yaitu dari
sama dengan produk. Berdasarkan sifat-sifat bahan yang akan bentuk cair menjadi uap. Metode ini dapat menghilangkan cairan
dieliminasi dan diisolasi, produk dapat dipisahkan dengan ber- dengan sublimasiyaitu langsung membekukan cairan. Proses ini
bagai macam cara kromatografi seperti adsorpsi, partisi, ion berlangsung pada temperatur sangat rendah, sehingga tidak
exchange dan lain-lain. Selain adsorpsi, ion exchange sangat luas terjadi perubahan ensimatis atau kimia. Oleh karena itu proses
digunakan untuk purifikasi antibiotik, baik pada tahap awal ini sangat berguna untuk mengeringkan bahan-bahan biologis
atau pada tahap akhir proses. Bahan ion exchange pada dasarnya seperti anti biotik, ensim, bakteri dan lain-lain. Proses sublimasi
terdiri dari grup fungsionil yang berikatan secara kimia dengan cara ini berlangsung lapis demi lapis, sehingga bahan beku yang
suatu penopang. Grup fungsionil dapat bersifat asam atau tipis akan tersublimasi lebih cepat. Alat-alat yang biasa diguna-
basa. Sedangkan penopangnya terbuat dari berbagai bahan kan untuk memperluas area permukaan tersebut antara lain
misalnya polistiren yang berikatan dengan diviny/benzene. shell freezing, spin feezing atau rotation freezing.
Pemisahan menggunakan ion exchange didasarkan pada per- Mengenai kebaikan dan kerugian masing-masing alat pe-
bedaan muatan molekul. Ion exchange mampu memisahkan ngering tersbut, Antonio (1987) pernah melakukan penelitian
molekul yang mempunyai perbedaan muatan sangat kecil, oleh pada proses pembuatan antibiotik dan hasilnya dalam banyak
karena itu teknik ini banyak digunakan. Bila suatu filtrat biakan hal freeze drying merupakan proses pilihan dan menghasilkan
fermentasi yang mengandung senyawa asam dilewatkan pada kualitas produk paling tinggi.
kolom ion exchange yang mempunyai gugus fungsionil basa Selain ketiga alat tersebut, masih banyak alat-alat yang dapat
maka senyawa tersebut akan diikat oleh penukar ion dalam digunakan untuk mengeringkan produk fermentasi antara lain
kolom sampai jenuh, sedangkan metabolit lain yang bersifat vacuum tray dryer sering digunakan untuk produk farmasi ter-
basa akan berlalu dari kolom, tanpa diikat oleh penukar ion utama dalam skala kecil, drum dryer, fluidized bed dryer dan
tersebut. Senyawa asam yang tertahan dalam kolom tersebut lain-lain.
dapat dieluasi dengan eluen yang sesuai. Tempat senyawa
asam terikat, selanjutnya digantikan oleh grup ionik eluen dan PENUTUP.
senyawa asam tersebut akan keluar dari kolom. Demikian juga Aspek yang sangat penting dan harus diperhatikan dalam
untuk isolasi metabolit basa, mempunyai prinsip sama tetapi ekstraksi atau purifikasi antibiotik yaitu setiap tahap bertujuan
menggunakan resinkation exchange yang mempunyai gugus mengeliminasi senyawa yang tak diinginkan. Sebaliknya juga
funsionil asam. akan memekatkan senyawa yang tak tereliminasi, terutama yang
mempunyai sifat sama dengan produk yang diisolasi; sehingga
PENGERINGAN pemisahan dan eliminasi senyawa tersebut akan menjadi lebih
Tahap akhir pembuatan produk basil fermentasi ialah meng- sukar. Jadi pada prinsipnya untuk mengeliminasi sebagian besar
hilangkan cairan dari produk yang dimurnikan. Namun pe- zat-zat lain pada tahap awal mungkin akan berlangsung dengan
ngeringan bahan-bahan biologis sering menimbulkan masalah, mudah, tetapi untuk menghilangkan sisanya mungkin akan
karena kebanyakan bahan biologis labil terhadap panas. Banyak sangat sulit.

48 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990


Purifikasi produk fermentasi memerlukan banyak biaya, 2. Better PA. General procedures for isolation of fermentation products. In :
Microbial Technology : Fermentation Technology 2nd ed. vol. II, London.
tenaga dan waktu, oleh karena itu telah banyak dilakukan pen- Academic Press Inc. : 403-432.
dekatan dengan teknik baru sehingga lebih efisiēn. Misalnya 3. Box Si. Approaches to the isolation of an unidentified microbial product.
purifikasi streptomisin akhirnya dapat dilakukan secara langsung In : Discovery and isolation of microbial products. Society of Chemical
dengan resin cation exchange. Belter et al (1973) juga telah Industry. 1985 : 35-51.
4. Brunner KH. Whole broth solvent extraction. In : Discovery and isolation of
mengembangkan teknik untuk mendapatkan novobiosin. microbial products. Society of Chemical Industry. 1985 : 182-194.
Purifikasi merupakan bagian penting untuk mendapatkan 5. Calton GJ, Cobbs CS, Hamman JP. Product Recovery. In : Manual of
antibiotik. Kuantitas dan kualitas antibiotik sangat dipengaruhi Industrial Microbiology and Biotechnology. American Society For Micro-
dan ditentukan oleh keberhasilan purifikasi. Qleh karena itu biology. Washington DC. 1986 : 436-445.
6. Liberman DF, Fink R, Schaefer F. Biosafety and Biotechnology. In : Manual
penelitian dan pendekatan baru untuk purifikasi anti biotik sangat of Industrial Microbiology and Biotechnology. American Society For Micro-
perlu, sehingga kuantitas dan kualitas produk menjadi lebih baik biology. Washington DC. 1986 : 402-409.
serta akan dapat mengurangi waktu, tenaga dan biaya. 7. Solomon GL. Materials and Methods in Fermentation. Academic Press
London and New York. 1969 : 292-319.
KEPUSTAKAAN 8. Thomson AR. Integration of fermentation and recovery processess. In :
1. Barberio Al. An industrial survey on sterile antibiotics powder manufacturing Disco-very and Isolation of Microbial Products. Society of Chemical
processess. Pharmaceutical Engineering 1987; 7(4) : 28-30. Industry. 1985 : 182-194.

Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990 49


Identifikasi Tipe Lepromatous Leprosy (LL)
pada Pasien Lepromatosa
Secara Tes Transformasi Limfosit

Robert Widjaja*, Rudyanto Hartodibyo**, Basundari Sri Utami*


* Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitiandan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan R.I. Jakarta
** Rumah Sakit Kusta Sitanala, Tangerang.

ABSTRAK

Pasien-pasien penderita lepra tipe Lepromatosa didiagnosis secara klinis, histopato-


logis dan diklasifikasikan menurut Ridley dan Jopling- sel-sel mononuklearnya diperiksa
dengan tes transformasi limfosit, dengan menggunakan antigen Purified Protein Derivative
(PPD) yang berasal dari Mycobacterium tuberculosis yang bereaksi silang dengan M.
leprae.
Dengan pemeriksaan histopatologis dan tes transformasi limfosit, Indeks Stimulasi
tipe LL tidak berbeda dengan tipe BL; tetapi setelah ditentukan kriteria tertentu
Indeks Stimulasi pasien tipe LL lebih rendah bermakna dari tipe BL. Indeks Stimulasi
pasien lepromatosa lebih rendah secara bermakna dibandingkan kontrol orang sehat.

PENDAHULUAN

tidak berfungsi sehingga Indeks Bakteri = 5+/6+.


Lepra merupakan penyakit infeksi kronis pada manusia Basil M. leprae termasuk basil intraseluler, maka sistem
yang disebabkan oleh basil Mycobacterium leprae. Penyakit imunitas seluler sangat berperan terutama dalam menghambat
ini mengakibatkan lesi pada saraf, jaringan dan organ tubuh infeksi taraf dini, sedangkan sistem imunitas humoral hampir
kecuali susunan saraf pusat. Di negara berkembang penyakit tidak berperan bahkan menimbulkan reaksi kompleks imun
ini masih merupakan kesehatan masyarakat yang cukup (ENL). Sistem imunitas seluler yang penting ialah sel-sel mono-
serius.1 Diagnosis penyakit lepra didasarkan atas pemeriksaan nuklear yang terdiri dari monosit/makrofag dan limfosit
klinis, bakterioskopi, histopatologi, imunologi dan genetika. (sel-T, B dan null), sedangkan yang berperan terutama sel
Manifestasi klinis dan histologis berhubungan erat dengan monosit/makrofag dan sel limfosit-T. Basil lepra hidup di
status imunitas pasien, yang juga menentukan prognosis dan dalam makrofag bila sel-sel mononuklear berfungsi baik, dan
menjadi dasar klasifikasi 5 tipe spektrum penyakit ini. 2 sel-T akan mengeluarkan limfokin yang mengaktifkan sistem
TT = Tuberkuloid polar, stabil, imunitas seluler berfungsi enzim makrofag yang dapat menghancurkan basil lepra.2
baik sehingga Indeks Bakteri = 0/1+, Tujuan utama penelitian ini ialah membedakan tipe LL dari
BT = Borderline tuberkuloid. tipe BL dengan menggunakan tes transformasi limfosit pada
BB = Mid-borderline pasien lepromatosa yang telah didiagnosis secara klinis, bakteri-
BL = Borderline lepromatosa. oskopis dan histopatologis, karena tipe LL mempunyai prog-
Borderline merupakan bentuk antara, imunitas selulernya nosis terburuk dan sangat menular. Pedley menemukan 72%
labil, dapat saling bertukar tipe. sekret hidung pasien tipe LL mengandung basil lepra, sedang-
LL = Lepromatosa polar, stabil,, immunitas seluler hampir kan hanya 2% sekret hidung pasien tipe BL yang mengandung
basil tersebut.3

50 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990


Hal-hal tersebut di atas disebabkan karena tipe LL imunitas • Adanya tipe LL sub-polar (LLs), bentuk antara tipe BL
selulernya lumpuh, sehingga basil lepra dapat berkembang dengan tipe LL. Tipe LLs berasal dari fase borderline yang
biak dengan baik dan sewaktu-waktu dapat kambuh lagi mengalami downgrading akibat tidak mendapat pengobatan.
meskipun telah diberikan kemoterapi adekuat. Perbedaan antara tipe LLs dengan tipe LLp :
• Histologis : LLs terdapat lebih banyak limfosit dan hampir
METODOLOGI
tidak ada perubahan berbuih pada makrofag, kadang-kadang
Berdasarkan diagnosis klinis dan bakteriologis dipilih tiga
masih terlihat sel epitheloid yang berasal dari fase borderline.
puluh enam (36) pasien lepromatosa (tipe BT 1 orang dan LL
35 orang), setelah diperiksa histopatologisnya temyata tipe BL • Imunologis : LLs imunitas selulernya tidak stabil, bila men-
10 orang dan LL 26 orang. Pasien-pasien ini Jerasal dari RS dapat kemoterapi, imunitas selulernya dengan cepat meningkat
Kusta 'Sitanala' Tangerang yang dirawat pada tahun 1981-82. (upgrading), sedangkan pada LLp imunitas selulemya lumpuh.
Sebagai kontrol dipilih 10 orang dewasa sehat (nonkontak) • Bakteriologis : B.I. LLs lebih cepat menurun bila diberl
berumur rata-rata sama dengan pasien di atas (± 30 tahun). kemoterapi.
Tes transformasi limfosit menggunakan antigen Purified Tabel 3. Penentuan tipe BL dan LL dengan tes transformasi limfosit*
Protein Derivative (PPD) 10 mcg/ml diinkubasi dengan sel-sel
mononuklear 2 x 106 ml pasien dan kontrol,4 dengan meng-
gunakan 10% serum AB Rh+ untuk menghilangkan faktor-
faktor supresi dari antigen M. leprae, sel T supressor dan anti-
bodi yang terdapat dalam plasma penderita.5

Secara histologis pada lesi tipe BL terdapat granuloma


PPD merupakan fraksi protein yang dapat larut berasal dari makrofag dengan limfosit yang cukup padat, hal ini menunjuk-
M. tuberculosis; PPD mempunyai satu komponen antigen yang kan adanya- korelasi dengan SI yang cukup tinggi, pada tipe
bereaksi silang sangat kuat dengan antigen ML7 berasal dari LL granuloma makrofag dengan sedikit limfosit sesuai dengan
bagian dinding MLW1 M. leprae.6 SI rendah. Kemungkinan sel-sel limfosit pada granuloma ter-
sebut adalah sel T yang telah tersensitisasi dengan basil lepra2 .
Tes transformasi limfosit hanya dapat mengetahui limfosit
HASIL DAN PEMBAHASAN
T yang telah tersensitisasi/respons sekunder oleh antigen ter-
Tabel I. Penentuan tipe BL dan LL dengan berbagai cara pemeriksaar.
untuk pasien lepromatosa yang sama. tentu, tetapi tidak dapat membedakan pengaruh mana yang
lebih besai; reaksi imunitas seluler protektif (macrophage-
Tipe Klinis & Histopatologis Trans. limfosit
Bakterioskopis
induced cellular immunity) atau reaksi hipersensitivitas tipe
lambat yang bersifat destruktif (lymphocyte-induced cellular
BL 1 10 14 immunity) sebab reaksi ini selalu terjadi bersama-sama, misal-
LL 35 26 22 nya pada penyakit lepra dan tuberkulosis9.
Faktor genetik juga mempengaruhi spektrum penyakit
* Keterangan : tipe BL bila respons seluler SI > 2 lepra, ada golongan high responder, sebaliknya ada golongan
tipe LL bila respons seluler SI <21 5 7 8
low responder dalam imunitas selulemya. Pasien lepromatosa
mempunyai limfosit T rendah karena makrofagnya penuh
Tabel ini menunjukkan adanya perbedaan klasifikasi dengan basil lepra. sehingga fungsi sel ini turun, karena makro-
melalui berbagai cara pemeriksaan. fag mengeluarkan suatu zat yang mengatur proliferasi limfosit
T,10 perbandingan sel T helper (OKT 4) : sel T supressor
Tabel 2. Penentuan tipe BL dan LL secara histopatologis dengan hasil
tes transformasi limfosit. (OKT 8) menurun kecuali bila terjadi reaksi ENL, per-
bandingan meningkat. Bila sel T supressor disingkirkan dan sel-
Tipe Jumlah Indeks Stimulasi dengan PPD (X ± SD) sel yang tertinggal (sel T helper dan monosit) distimulasi
dengan lepromin in vitro, akan menghasilkan proliferasi limfo-
BL 10 6.5 ±9.3
p>0.1 sit yang tinggi; peningkatan ini hanya terjadi pada tipe BL,
LL 26 5.7 ± 8.3 tidak pada tipe LL. Peristiwa ini menunjukkan bahwa sel T
helper dan makrofag/monosit tipe BL masih imunokom-
S . I . tipe BL dibandingkan dengan tipe LL tidak berbeda peten.1
bermakna (p > 0,1). Hal ini mungkin disebabkan : Sistem imunitas humoral meskipun hampir tidak berperan
• Pemeriksaan histopatologis dari bagian tubuh dapat ber- untuk menghancurkan basil lepra dan juga menimbulkan reaksi
lainan, bahkan clan satu lesipun dapat berlainan. tipe (kurang kompleks imun ENL yang mengakibatkan kerusakan jaringan,
uniformis). berguna untuk serodiagnostik. Young dkk.12 telah menemu-

Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990 51


kan antigen phenolic glycolipid hasil purifikasi basil lepra yang 5. Oppenheim JJ, Schechter B. Lymphocyte Transformation. Manual
spesifik untuk tes serologi penyakit lepra, sehingga fase of Clinical Immunology. Rose NR, Friedman H (eds). Am Soc for
subklinik dapat diketahui. Antigen spesifik ini mungkin dapat Microbiol. Washington DC : 1976; hal. 8 1 - 9 4 .
6. Closs O. In vitro stimulation on lymphocyte in leprosy patient and
dibuat menjadi vaksin sehingga pencegahan primer dapat subject not exposed to leprosy. Scand J Immunol 1982; 16 :
terlaksana. 103-15.
7. Ridley DS. Histological classification and the immunological
KESIMPULAN spectrum of Leprosy. WHO Bull 1974; 51 : 4 5 1 - 6 5 .
Tes transformasi limfosit relatif lebih dinamis dan uniformis 8. Ridley DS, Jopling WH. Classification of leprosy according to
dibandingkan dengan pemeriksaan histopatologis, tetapi tes immunity, a five groups system. Internet J Leprosy. 1966; 34
255-73.
ini seperti tes lepromin tidak untuk diagnostik, melainkan 9. Handojo RA, Liunanda S. Cell Mediated Immune Response
untuk mengetahui imunitas seluler penderita. Diagnosis lepra terhadap Mycobacterium tuberculosis dan kaitannya dengan
ditentukan secara klinis, histopatologis dan bakteriologis. penggunaan kemoterapi anti tuberkulosa Medika. 1982; 11:
Untuk membedakan tipe LL dari tipe BL perlu dibuat kri- 872-8.
1 0 . Ciba Foundation Symposium 18 (New series). Immunopotentia-
teria tertentu dibantu dengan pemeriksaan lainnya termasuk tion. Elsevier. Excerpta Medica. North-Holland. Associated Scien-
genetika, atau tes transformasi limfosit perlu dilakukan tific Publisher. Amsterdam London New York. 1 9 7 3 .
beberapa kali. 11. Young DB, Buchanan TM. A serological test for Leprosy with
a glycolipid specific Mycobacterium leprae. Science 1983; 221
4615.
12. WHO. A Guide to Leprosy Control. Second edition. Geneva, 1988.
KEPUSTAKAAN

1. UNDP/World Bank/WHO. Leprosy. Special programme for re-


search and training in tropical diseases. Sixth Programme Report,
Ch. 8. TDR/PR-6/83.8-Lep.
2. Tjokronegoro A, Mochtar H, Kosaslh A. Aspek-aspek immunologi
pada penyakit lepra. Laporan Penelitian Fakultas Kedokteran UCAPAN TERIMA KASIH
Universitas Indonesia, 1973. Kami sampaikan kepada Dr. Berbudi dan Dr. M.R. Teterissa, MPH.
3. Pedley X . The nasal mucus in leprosy. Lepr Rev. 1973. yang telah memberi dukungan dan keterangan yang sangat berharga
4. Piessens WF et al. Immune response in human infections with mengenai penyakit lepra, serta staf dan pasien-pasien RS Kusta 'Sita-
B. malayi. J Clin Invest. 1980; 65 : 1 7 2 - 7 9 . nala' Tangerang y a n g sangat kooperatif.

52 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990


Kegiatan Ilmiah
Simposium Peranan Akupunktur
dalam Dunia Kedokteran
Akupunktur merupakan ilmu dan seni pengobatan Timur dari pengobatan terpadu dengan pengobatan konvensional.
yang mempunyai landasan teori berbeda dari cara-cara peng- Penyakit-penyakit tersebut antara lain sinusitis/rinitis akut,
obatan Barat. Ilmu ini telah dikenal sejak ribuan tahun, dan asma bronkial, miopia pada anak-anak, nyeri gigi, faringitis,
kenyataan bahwa ilmu ini masih terus digunakan dart, ber- gastritis, kolitis, disentri basiler akut, nyeri kepala, enuresis,
kembang, menandakan bahwa akupunktur memang merupa- skiatika dan osteoartritis.
kan cara pengobatan yang bermanfaat. Kendati demikian, Selain itu terdapat keadaan-keadaan -yang merupakan
adanya perbedaan teori dan terminologi antara akupunktur kontraindikasi bagi tindakan akupunktur, yaitu kehamilan
dengan ilmu kedokteran menyebabkan ilmu ini kurang ber- (relatif), keadaan yang terbukti akupunktur tidak efektif,
kembang, meskipun usaha-usaha ke arah pengertian antara keganasan, penyakit akut dan infeksi aktif serta pada pasien
kedua ilmu tersebut tents dilakukan. Perkembangan peneliti- yang belum diteliti secara medik; juga tidak dianjurkan pada
an ilmiah yang berkaitan dengan akupunktur tents diusahakan pemakai alat-pacu-jantung dan penusukan di daerah-daerah
agar ilmu ini dapat berkembang sebaik-baiknya untuk mem- yang mungkin dapat mengenai organ vital. Penggunaan aku-
bantu mencapai tingkat kesehatan yang lebih tinggi bagi semua punktur juga jangan sampai menutupi gejala atau memper-
orang. lambat diagnosis dan pengobatan, terutama pada kasus-kasus
Untuk lebih memperluas pengertian ilmu akupunktur di tumor.
kalangan kedokteran, pada hari Sabtu 4 Agustus 1990, UPF Berbagal penyakit telah dicoba diobati dengan akupunktur;
Akupunktur RS Cipto Mangunkusumo telah menyelenggara- M. Martelete (1988) mencobanya pada berbagai penyakit
kan Simposium Peranan Akupunktur dalam Dunia Kedokter- dengan penjaruman 1—2 kali/minggu dengan rata-rata 10
an, bertempat di Aula FKUI, Jakarta. Pada kesempatan ini kali kunjungan; hasilnya berkisar dad sangat memuaskan
diajukan enam makalah yang membahas manfaat akupunktur untuk tortikolis, memuaskan untuk berbagai nyeri dan trauma
dan kedudukannya dalam ilmu kedokteran modem. muskuloskeletal, sampai kurang memuaskan pada neuralgia
Perkembangan ilmu akupunktur diuraikan oleh dr. Har- trigeminal. Akupunktur telah pula dicoba untuk mengobati
yanto Budi — pjs. Kepala UPF Akupunktur RSCM. Ilmu ini kasus-kasus depresi, menghentikan kebiasaan merokok dan
sudah mulai dikenal sejak 4 — 10 ribu tahun yang lalu di ber- menurunkan berat badan.
bagai daerah di Cina; secara tertulis diuraikan dalam buku Selanjutnya dr. Husniah M. Akib dkk. dari UPF Akupunk-
‘The Yellow Emperor's Classic of Internal Medicine' yang tur RSCM mencoba efektivitas akupunktur analgesi pada
terbit pada sekitar 500 — 300 sM. Ilmu ini mulai dikenal di 100 kasus minilaparotomi; titik-titik yang digunakan ialah
dunia Barat sejak abad 17, ketika beberapa buku mengenai BI B3 modifikasi, GV2, GV4, Zhaguan modifikasi, lokal
akupunktur mulai diterbitkan di Perancis dan Jerman. Di St 36, Sp 6 serta titik telinga Sen Men dan Pam. Titik-titik
Indonesia, buku pertama mengenai akupunktur diterbitkan itu distimulasi listrik dengan menggunakan alat khusus. Dari
pada tahun 1973 oleh bagian Akupunktur RSCM. 100 kasus tersebut temyata 78 kasus berhasil balk sekali
Ilmu akupunktur didasarkan atas teori Yin—Yang, teori (nyeri singkat dan ringan, pasien tenang), 13 kasus berhasil
Lima Unsur dan teori Meridian. Teori Meridian merupakan (nyeri sedang), 2 kasus cukup (nyeri jelas tetapi operasi
pedoman titik-titik akupunktur pada tubuh manusia yang dapat diselesaikan) dan 7 kasus gagal (nyeri sekali dan di-
secara histologis tidak berbeda dari jaringan di sekitarnya, alihkan ke anestesi obat-obatan).
tetapi secara listrik mempunyai tahanan yang lebih rendah; Manfaat akupunktur pada migren dibicarakan oleh Firdaus
meridian mungkin merupakan proyeksi serebrum pada per- Slamat dari RS Persahabatan. Dikatakan bahwa nyeri migren
mukaan tubuh,, atau merupakan batas antara dermatom, terutama di daerah temporal dan oksipital, berhubungan
miotom atau hidrotom. Selain itu penjaruman di titik-titik dengan meridian Hati dan Kandung Empedu; selanjutnya
tersebut menyebabkan perubahan biokimia dan/atau bio- dikutip lima penelitian yang telah dilakukan di berbagai
fisika berupa aktivasi VIP (vasoactive intestinal polypeptides) negara, yang rata-rata memberikan basil yang memuaskan.
— suatu vasodilator yang merangsang mikrosirkulasi. Terdapat
Srikandi Dja'far Said dari RSP Pertamina mencoba efek
tiga efek umum akupunktur, yaitu: efek analgesi, efek imu-
akupunktur pada 40 kasus nyeri kepala yang disertai dengan
nomodulasi/antiinflamasi/vasoaktif dan efek sedasi sentral.
berbagai gejala kejiwaan yang dirujuk dari bagian Psikiatri.
Peranan akupunktur pada berbagai penyakit dijelaskan
Penjaruman dilakukan di tempat titik utama, yaitu Pai Hui
oleh dr. Shinta Sukandar dari UPF Akupunktur RSCM.
(XIV, 20), Ya Men (XIV, 15), Sin Su (VII, 15) dan Sen Su
WHO Interregional Seminar yang diadakan pada tahun 1979
(VII, 23), selain itu bila perlu dilakukan juga pada titik-titik
membuat daftar berbagai penyakit yang dapat diobati dengan
tambahan.
akupunktur, dengan catatan harus tetap merupakan bagian

Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990 53


Pengobatan dilakukan tiap hari untuk pasien rawat nginap Pembicara terakhir pada simpoisum ini — dr. Dharma K.
dan selang sehari untuk pasien rawat jalan; ternyata hanya Widya dari UPF Akupunktur RSCM — menguraikan penerapan
10 kasus yang memerlukan terapi seri ke dua — 12 kali pen- akupunktur dalam praktek sehari-hari. Sebelum digunakan,
jaruman dua kali seminggu. Penelitian berkesimpulan bahwa faktor sterilitas jarum harus diperhatikan; bila mungkin se-
akupunktur dapat menghilangkan berbagai keluhan subyektif tiap pasien mempunyai jarumnya sendiri. Penjaruman di-
dan menyebabkan pasien merasa Iebih nyaman. lakukan sampai terasa sensasi penjaruman, bila perlu dengan
manipulasi; sensasi tersebut dapat berupa rasa ngilu, pegal
Dr. Zuraida Zulkarnaen dad bagian Ilmu Kesehatan Anak atau terkena listrik. Efek samping yang perlu diperhatikan
FKUI/RSCM meneliti manfaat akupunktur pada 276 anak ialah jarum bengkok, macet atau patah akibat otot terlalu
dengan kelumpuhan sebagai gejala sisa poliomielitis; usia tegang, kualitas jarum yang buruk atau manipulasi yang
mereka berkisar antara 3 bulan sampai 12 tahun. kasar; kadang-kadang timbul hematom dan nyeri setelah
Titik-titik yang digunakan disesuaikan dengan kelumpuh- penjaruman.
an yang diderita; untuk ekstremitas atas digunakan titik- Untuk keluhan-keluhan yang sering ditemukan, misalnya
titik meridian Yang tangan (Usus Besar/II, Usus Kecil/VI, nyeri kepala, dapat dilakukan penjaruman di titik-titik Pai
San Ciao/X) dan untuk ekstremitas bawah digunakan titik- Hui (XIV, 20), Tai Yang (M-HN-9), dan Fung Ce (XI, 20);
titik meridian Yang kaki (Lambung/III, Kandung Kemih/ untuk asma dapat digunakan titik-titik Tiang Cuan (M-BW-1),
VII, Kandung Empedu/XI). Penjaruman dilakukan 2—3 Fei Su (VII, 13), He Ku (II, 4) dan Cu San Li (III, 36). Sedang-
kali seminggu selama 3 bulan, diulang setelah masa istirahat kan penderita nyeri lambung dapat ditolong dengan penjarum-
2 minggu. Pada kasus berat pengobatan diulang 4 — 8 kali. an di titik-titik Cung Wan (XIII, 12), Cu San Li (III, 36) dan
Penilaian dilakukan secara klinis dan elektromiografs. Dad Nei Kuan (IX, 6).
146 anak yang dapat dievaluasi penuh, perbaikan nyata dilihat
Simposium ini jelas telah memperluas pengertian akan
pada 78 (53,4%) kasus, perbaikan tersebut umumnya
akupunktur di kalangan para dokter, sehingga dapat terjalin
sudah dapat dilihat dalam waktu kurang dari satu bulan
kerjasama yang baik dalam rangka mencapai tingkat kesehatan
(71 kasus).
masyarakat yang setinggi-tingginya, sesuai dengan harapan
Peneliti berkesimpulan bahwa saat dimulainya pengobat-
an merupakan faktor yang penting; akupunktur yang di- dr. Hidayat Hardjoprawito — Direktur RS Cipto Mangun-
lakukan dalam waktu satu bulan sejak timbulnya kelumpuh- kusumo pada sambutannya di awal simposium.
an, memeberikan hasil yang lebih baik. Brw

Kalender Kegiatan Ilmiah

September 22, 1990 — Simposium Pemakaian Antihistamin secara Rasional


Hyatt Bumi, Surabaya
Secr. : Lab/UPF Ilmu Penyakit Kulit dan Kalamin
Fakultas Universitas Airlangga/RSUD. dr. Soetomo
J1. Dharmahusada 6—8
Surabaya, INDONESIA
Oktober 25-28, 1990 — Pertemuan Nasional Dwiwarsa II Ikatan Dokter Ahli Saraf
Indonesia (IDASI).
Gedung Mandala Bhakti Wanitatama, Yogyakarta.
Secr.: Lab./UPF Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Keedokteran Universitas Gajahmada/RSU
Dr. Sardjito
J1. Kesehatan
Telp. 87333 psw. 336, 338
Yogyakarta, INDONESIA

r
54 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990
Informasi Obat

Facid®
Composition 3. Safety and effectiveness in children have not been esta-
Each tablet contains : blished.
Famotidine 20 mg or 40 mg Drug Interactions
Each ampoule of 2 ml contains : Facid® at usual therapeutic doses do not interfere with the
Famotidine 20 mg elimination of drugs that are metabolised by the mixed-
Pharmacology function oxidase system in the liver, such as warfarin, pheny-
Facid® is a new histamine 112-receptor antagonist. It is toin. propranolol, diazepam, chlordiazepoxide and others.
highly potent in inhibiting basal and pentagastrin-gastric acid Adverse reactions
secretion, and has a long duration for the treatment of gastro- Headache, dizziness, constipation, diarrhoea, thrombo-
intestinal ulcers and related disorders. Facid® decreases basal cytopenia and arthralgia.
and pentagastrin-stimulated pepsin output. Facid® does not
have antiandrogenic effects in animals or humans, and does Dosage & Administration
not affect hepatic metabolism of drugs. 1. Active duodenal ulcer
The oral bioavailability of Facid® is about 45% and is not − Acute therapy : 40 mg once daily at bedtime or
dose-dependent. After a 20 mg oral dose, mean peak plasma 20 mg twice daily for 4 to 8 weeks. However, the
concentrations are between 50 and 60 mcg/L. A plasma con- duration of treatment may be shortened if endoscopy
centration of 13 mcg/L was required for 50% inhibition of reveals that the ulcer has healed.
tegragastrin-stimulated gastric acid secretion. The elimination − Maintenance therapy : 20 mg once daily at the bed-
half-life is between 2.5 and 4 hours, but the duration of time.
action is up to 12 hours after a 40 mg oral dose. The apparent 2. Pathological Hypersecretory Conditions (such as Zollinger-
volume of distribution is 1.1 to 1.4 L/kg, and protein binding Ellison syndrome) : start with 20 mg 6-hourly and dosage
is relatively low (15 to 22%). Facid® is excreted in the urine adjusted to individual patient needs.
by both glomerular filtration and tubular secretion and in the 3. Dosage in impaired renal function :
faeces. From 25 to 30% of orally administered doses are 60 ≥ C1CR ≥ 30 : half normal dose.
recovered unchanged in the urine. C1CR < 30 : one-quarter normal dose.
Indications Presentation
1. Short-term treatment of active duodenal ulcer. Tablet 20 mg : Box of 3 strip of 10 tablets.
2. Maintenance therapy for duodenal ulcer patients at reduced Reg. No.: DKL 8911610010 Al
dosage after healing of acute ulcers. Box of 10 strips of 10 tablets.
3. Treatment of pathological hypersecretory conditions (e.g. Reg. No.: DKL 8911610010 Al
Zollinger-Ellison syndrome, systemic mastocytosis). Tablet 40 mg : Box of 3 strips of 10 tablets.
Contraindications No. Reg. : DKL 8911610010 B1
Hypersensitivity to famotidine. Box of 10 strips of 10 tablets.
Warning & Precautions No. Reg. : DKL 8911610010 B 1
1. Dosage should be adjusted in patients with impaired renal Store below 30° C. Protect from light.
function. P.T. Kalbe Farma, Jakarta, Indonesia
2. Safety for use in pregnancy and nursing mothers has not VSO
been established.

Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990 55


PENGALAMAN PRAKTEK

Nyaris Makan Tanah


Ketika kami mengadakan penelitian cacing tambang di sebuah desa di Bali, terjadi
peristiwa yang cukup menggelikan. Dalam penelitiān itu, setiap pasien yang sudah di-
periksa dan diwawancarai, diberi bingkisan : 1 kilogram gula pasir, 4 buah sabun
mandi, dan 10 biji vitamin yang semuanya dimasukkan ke dalam tas plastik. Sementara
itu, untuk keperluan pemeriksaan laboratorium, salah seorang teman sejawat me-
ngumpulkan tanah yang diambil dari pekarangan rumah penderita. Tanah itu di-
tampung dengan kantong-kantong plastik kecil, kemudian dimasukkan ke dalam tas
plastik yang ukuran dan warnanya sama dengan tas plastik bingkisan tersebut.
Pasien yang datang di balai desa cukup banyak. Para petugas pun sibuk dengan
tugasnya masing-masing, yaitu memeriksa, mewawancarai dan membagikan obat serta
bingkisan. Menjelang pukul 12.00 Wita, datang seorang pasien yang sudah diperiksa.
Dengan nada lugu si pasien bertanya kepada teman sejawat saya yang bertugas mem-
bagikan obat dan bingkisan. "Bu Dokter, bagaimana caranya minum obat yang seperti
tanah itu?"
"Diminum satu sehari bersama air teh, kopi atau pisang juga boleh!"
Si pasien tampak kebingungan, tetapi segera memperlihatkan bungkusan kantong
plastik kecil sambil bertanya lagi. "Jadi, satu bungkus ini diminum sekaligus, Bu
Dokter?"
Melihat bungkusan itu, teman sejawat saya tersentak kaget bercampur geli. Rupa-
nya bungkusan-bungkusan tanah tadi tercampur dengan bingkisan-bingkisan yang
berisi gula pasir, sabun, serta obat, dan tertukar sewaktu memberikannya kepada
pasien. Masih untung pasien itu tidak sampai makan tanah.
Dr. Ketut Ngurah
Lab. Parasitologi FK Unud. Denpasar

Sampah
Dalam rangka "bersih itu sehat dan bersih itu indah", Bapak Pembantu Bupati
dan aparat kesehatan di Labuhan Baji giat memerangi sampah.
Tetapi yang mengherankan beliau adalah masih ditemukannya kaleng atau dus
bekas minuman, plastik-plastik, bekas sandal jepit dan lain-lain, walaupun di sepanjang
jalan daun-daun atau ranting-ranting pohon yang gugur tak ditemukan lagi. Setiap
beliau mengambil sendiri sampah-sampah tersebut dan diletakkan di tempat sampah,
penduduk terheran-heran dan bertanya apakah itu juga sampah? Agaknya selama ini
mereka tidak menganggapnya sebagai sampah. Baru setelah setiap jenis sampah yang
baru ditemukan, dipamerkan di papan pengumuman desa dengan judul "bentuk- bentuk
sampah", terciptalah Labuhan Bajo menjadi derah yang bersih dan indah.
Dr. Emiliana Tjitra
Jakarta

56 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990


HUMOR
ILMU KEDOKTERAN

TENSI DIARE
Seorang ibu tergopoh-gopoh membawa anaknya balita yang diare dengan dehi-
Seorang mahasiswa kedokteran drasi sedang ke R.S.
mendapat kesempatan pertama untuk Ibu : "Tolong dokter, masih cor terus walaupun sudah diberi obat dua kali dari A
melakukan pemeriksaan terhadap se- (sambil menunjukkan bekas bungkus oralit untuk 200 cc air)."
orang pasien, didampingi oleh senior- Dokter : "Kenapa baru dua kali? Sedangkan anaknya mencret terus."
nya. Beberapa lama dia melakukan pe- Ibu : "Biasanya A memberi obat 3 kali sehari, wajar kalau baru bisa saya beri dua
ngukuran tekanan darah. kali karena belum sehari diberi obat."
Setelah selesai, dia ditanya oleh Dokter : ????? (cepat mengetahui permasalahannya). "Apakah ibu diberi petunjuk
seniornya, “Berapa tensinya, Dik?” cara memberi obat ini?"
Dengan agak gugup dia menjawab, Ibu : "Ya, 1 bungkus diminum untuk 200 cc air masak."
“Lumayan, Dok!” Dokter : "Benar ibu, tapi obat ini bukan seperti obat lainnya. Harus diminum terus
sesuai dengan cairan yang ke luar dan kemampuan anak. Jadi tidak benar
Hadi C hanya 3 kali sehari. Pantas jadi begini! Beruntung ibu cepat membawa ke-
Yogyakarta mari!"
SAKIT MAAG Ibu : "Oh ......................(menyadari kekeliruannya)."
Pasien : “Saya sakit apa dokter ?” Dr. Emiliana Tjitra
Dokter : “Nggak apa-apa. Anda Cuma Jakarta
sakit maag. Anda segera sembuh jika
makan teratur dan minum obat yang NOSTALGIA INPRES
akan saya berikan resepnya nanti seca- Waktu masih bertugas di pedalaman Kalimantan Timur 6 — 9 tahun yang lalu
ra teratur pula. Dan ingat, jangan ma- bila ada seseorang sakit sampai tidak kuat berjalan, saya sering dipanggil ke rumah
kan makanan yang mengiritasi”. penduduk. Maklum tranportasi masih susah. Sebelum saya memeriksa dan memberikan
Pasien : “Selama ini makan saya ter- injeksi/obat-obatan mereka umumnya akan bertanya dulu berapa ongkosnya. Setelah
atur lho dok. Pagi, saya makan nasi. Si- saya berikan penjelasan semampunya atau bila tidak punya tidak perlu membayar,
ang makan hati, dan malam makan mereka banyak yang memilih prodeo.
angin”. Selesai memberikan injeksi dan obat-obatnya saya segera pulang dengan lebih
Dokter : ?????? dahulu berjalan kaki menuju ke sepeda motor yang diparkir kurang lebih 50 meter
Imtikhananik dari rumah-rumah penduduk. Maklum hams lewat jalan setapak dan kadang-kadang
Yogyakarta lewat sebatang kayu bila air pasang.
Suatu ketika tetangga sisakit meneriaki saya dimuka pintu rumahnya : “Pak
DIALOG mantri!” “Punya obat cacing?” “Berapa bayarnya?”
Dari balik tirai kamar periksa Dr. Eko Hartono
terdengar pembicaraan sbb. : Klaten
Dokter : “..... jadi sudah tahu ya, ma- KEMANA SAJA ?
kan harus bergizi memenuhi syarat Suatu ketika, seorang hipokondriak (yang selalu ke dokter dengan bermacam-
empat sehat, lima sempurnya !” macam keluhan,) ditanya oleh dokter 'langganan'nya :
Pasien : “Kurang dok, empat sehat, "Wah pak, kemana saja sudah dua bulan kok tidak kunjung datang di tempat praktek
lima sempurna, dan enam....... tekor!” saya ?"
Dokter : . . . . . ? ! ? . . . . . . . . Jawabnya : "Anu dok, .........sedang sakit!"
Juvelin Juvelin
Jakarta Jakarta
ABSTRAK
SITUASI OBAT DI INDONESIA SKRINING CA SERVIKS GOLONGAN DARAH DAN PENYA-
Nilai pemasaran produk farmasi di Penelitian di salah satu rumah sakit KIT JANTUNG ISKEMIK
Indonesia selama tahun 1989 diperkira- di Australia menunjukkan bahwa 138 Untuk melihat apakah golongan da-
kan sekitar $ 390 – 450 juta; nilai ini di antara 1044 (13,2%) wanita yang rah seseorang mempengaruhi risiko
cenderung statis, diduga disebabkan didiagnosis karsinoma serviks selama penyakit jantung iskemik, 7662 orang
oleh lemahnya daya beli masyarakat tahun 1982-1986, hasilusap serviks- dari 24 orang di Inggris diikuti selama
dan terbatasnya dan pemerintah. nya (yang diambil dalam 36 bulan 8 tahun.
Perusahaan yang terbesar – Kalbe sebelum diagnosis) ternyata negatif.
Farma – nilai penjualannya sebesar Ternyata kota-kota yang mem-
Wanita dengan ‘interval cancer’ ini punyai prevalensi golongan O tinggi,
$ 10,7 juta atau Rp. 19.222 juta, atau lebih banyak ditemukan pada golong-
sekitar 4,4% dari pasaran total; disusul mempunyai angka kejadian penyakit
an usia muda (35-69 tahun). jantung iskemik yang juga tinggi.
oleh Squibb dan yang ke tiga ialah
Sanbe Farma dengan nilai penjualan Pada penelitian kembali atas se- Tetapi secara individual, kejadian pe-
sebesar Rp. 15.682 juga (3,6% dari pa- diaan usap serviks pasien-pasien ter- nyakit jantung iskemik lebih tinggi
saran total). sebut di atas, sebagian besar disebab- pada orang-orang yang bergolongan
Perusahaan multinasional – meski- kan oleh pengambilan sampel yang darah A (relative risk 1,21 ; 95%
pun mengalami penurunan sebesar 70% tidak optima, yang tidak memper- confidence limit 1,01 – 1,46). Angka
dibandingkan dengan pada awal tahun lihatkan sel-sel endoserviks, sel meta- kejadian ini tidak tergantung pada
1970-an, tetap dominan dengan me- plastik, atau keduanya. status sosial, tekanan darah dan ke-
nguasai + 40% dari total pasar dan tujuh Oleh karena itu, bila ternyata se- biasaan merokok; sedangkan kadar
di antaranya tercatat dalam se- diaan usap vagina tidak mengandung kolesterol darah sedikit lebih tinggi
puluh perusahaan farmasi terbesar di sel-sel endoserviks, pemeriksaan ulang di kalangan golongan darah A.
tahun 1989. dianjurkan dalam waktu satu tahun. BMJ 1990; 300 : 1679-82
Bila nilai dilihat dari jenis obat, anti- BMJ 1990; 300 : 1622-6 Brw
biotika masih menduduki tempat utama Brw PISANG UNTUK DISPEPSIA
dengan + 25% total pasar; Amcillin
(ampisilin, Dumex) menduduki tempat Dispepsia merupakan keluhan yang
pertama dengan penjualan sebesar relatif sering dijumpai. Peneliti di India
RISIKO OVULASI SELAMA LAK-
Rp.3.500 juta, disusul dengan Erythro- mencoba memberikan tepung pisang
cin (eritromisin, Abbott) dengan TASI
pada kasus-kasus dispepsia non ulkus,
Rp. 3.131 juta dan Rimactane (rifampi- Enampuluh wanita di Baltimore (AS)
dan ternyata setelah 8 minggu, 15 di
sin, Ciba-Geigy) dengan Rp.3.020 juta. dan 41 wanita di Manila (Filipina) di- antara 20 pasiennya melaporkan per-
Ponstan (asam mefenamat, Warner- minta mencatat pola menyusui bayinya; baikan gejala, dibandingkan dengan
Lambert) merupakan produk yang kemudian dibandingkan dengan aktivi-
hanya 4 dari 20 pasien yang mendapat-
paling tinggi lonjakan penjualannya, tas hormonalnya. kan plasebo.
dengan peningkatan sebesar 30% di- Wanita di Baltimore rata-rata lebih Lancet 1990; 335 : 612-3
bandingkan tahun sebelumnya. jarang menyusui bayinya, tetapi lebih Hk
S crip 1990; 1483 : 17
lama dan ternyata waktu sampai terjadi DETEKSI ENSEFALITIS HERPES
kembalinya ovulasi ialah rata-rata 27 SIMPLEX
Brw minggu pada wanita di Baltimore, dan
38 minggu pada wanita di Manila. Herpes-simplex-virus DNA (HSV-
KAFEIN DAN FERTILITAS DNA) dalam cairan serebrospinal dapat
Pada 6 bulan pertama postpartum,
Penelitian atas 2817 wanita me- ibu yang amenorrhoe mempunyai ke- dideteksi melalui reaksi berantai poli-
nunjukkan bahwa kafein yang terkan- mungkinan ovulasi < 10% bila me- merase dan hibridisasi.
dung dalam teh, kopi dan minuman nyusui sebagian, dan 1-5% bila me- Cara ini positif pada seluruh empat
kola tidak mempengaruhi fertilitas; lagi- nyusui penuh bayinya. pasien ensefalitis herpes simplex, dan
pula konsumsi kafein bukan meerupa- negatif pada seluruh enam pasien in-
kan faktor penyebab pada 1818 wanita Lancet 1990; 335 : 25-9 feksi susunan saraf pusat lain.
infertil yang diselidiki. Hk Lancet 1990; 335 : 440-41
Lancet 1990; 335 : 136-7 Hk
Hk

58 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990


ABSTRAK
PENYEKAT BETA UNTUK ATE- PARKINSONISME Usaha penurunan berat badan.
ROSKLEROSIS Lundwell dan kawan-kawan telah N engl J Med 1990; 322 : 1051-9
Hk
Meskipun golongan penyekat beta berhasil mengobati pria 49 tahun yang
cenderung meningkatkan kadar koles- menderita Parkinsonisme melalui trans-
terol dalam darah, tampaknya justru plantasi sel saraf embrionik manusia ke DIAGNOSTIK APENDISITIS AKUT
mempunyai efek yang menguntung- dalam putamen. Salah satu usaha untuk memastikan
kan pada aterosklerosis. Faktor yang mendukung sukses ini diagnosis apendisitis akut ialah dengan
Percobaan binatang menunjukkan ialah pemilihan sel ventral mesensefalik membandingkan suhu kulit di daerah
bahwa golongan penyekat beta (beta- yang berusia gestasi 8-9 minggu, teknik McBurney dengan di lokasi serupa di
blockers) rnengurangi permeabilitas operasi yang menjamin sel-sel tersebut sisi yang berlawanan; diagnosis ditegak-
endotel pembuluh darah terhadap tetap vital dan pemilihan putamen - kan bila selisih suhunya lebih dari 10C.
lipoprotein dan menghambat pe- tempat defisiensi dopamin yang ter- Penelitian yang diaakukan atas se-
nyerapan kolesterol ke dinding arteri. parah - bila dibandingkan dengan kelompok pasien menghasilkan hasil se-
Selain itu, golongan ini juga ber- nukleus kaudatus. Lagipula pasien telah bagai berikut :
manfaat pada silent myocardial is- diawasi dengan ketat selama hampir
chemia. Pada percobaan acak buta- setahun sebelum dan sesudah operasi. Hasil (+) Hasil (-) Total
ganda atas 56 pasien angina dan Lancet 1990; 335 : 445 Pasien
'silent ischemia , hanya propranolol Hk apendisitis 14 8 22
yang menghasilkan perigurangan is- bukan apendisitis 3 3
kemi secara bermakna, dibandingkan Kontrol 25 25
SIPROFLOKSASIN
dengan nifedipin dan diltiazem.
Adanya data baru telah mengubah isi Jumlah 14 36 50
Scrip 1990; 1520 : 29
Brw
data sheet siprofl okkasi n di Inggris. Obat
ini tidak dianjurkan pada kasus tonsilitis
akut karena pilihan utama pada kasus Hasil tersebut menunjukkan sensitivitas
ini ialah golongan penisilin. Selain itu sebesar 64% dan spesifisitas 100%; posi-
SINDROM OVARIUM POLIKISTIK tive predictive value sebesar 100% dan
juga agar obat ini digunakan berhati-
Sebelas pasien sindrom ovarium negative predictive value 68%; bila basil
hati pada pasien epilepsi dan kelainan
polikistik (hirsutisme dan oligome- kelompok kontrol juga diperhitungkan,
susunan saraf pusat lainnya.
norrhea) tanpa defisiensi 21-hidroksi- maka negative predictive value naik men-
Efek samping lain yang dapat terjadi
lase atau 3 beta - hidroksisteroid dehi- jadi 76% dan akurasinya menjadi 78%.
ialah pusing, kekacauan mental dan
drogenase, mempunyai metabolisme Meskipun hasil negatif tidak me-
gangguan kesadaran, oleh karena itu
kortisol yang abnormal. nyingkirkan kemungkinan apendisitis,
tidak dianjurkan digunakan bersama
Tingginya perbandingan metabolit 5 hasil positif selalu memastikan diagnos-
alkohol dan oleh orang yang menjalan-
alfa- terhadap 5 beta-kortisol menun- tis.
kan mesin, termasuk mengendarai
jukkan peningkatan aktivitas 5 alfa-
mobil. BMJ 1990; 300 : 722
reduktase. Metabolit kortisol total Brw
dalam urin pasien lebih tinggi di- Scrip 1989; 1468 : 24
bandingkan kontrol. Peningkatan akti- Brw
vitas 5 alfa-reduktase di hepar dan kulit
meningkatkan metabolisme kortisol MANFAAT DIET PADA OBESITAS
dalam hepar yang mengakibatkan ekses
androgen. Tindakan menurunkan berat badan
Hal ini mungkin yang merupakan melalui diet pada orang-orang kegemu-
penyebab abnormalitas pada sindrom kan (obese) ternyata merangsang aktivi-
tersebut. tas lipoprotein lipase, sehingga dapat
Lancet 1990; 335 : 431-33.
meningkatkan proses penimbunan lipid
dalam tubuh dan makin menyulitkan
Hk
* Para pembaca berminat mendapatkan naskah lengkapnya – dalam jumlah terbatas – dapat diminta melalui
alamat redaksi.

Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990 59


RUANG PENYEGAR DAN
PENAMBAH ILMU KEDOKTERAN

Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini ???

1. Filariasis terutama ditemukan di daerah : e) Duapuluhlima mg. Dosis tunggal untuk anak selama 4
a) Perkotaan di dataran tinggi. hari dilanjutkan dengan dosis standar.
b) Perkotaan di dataran rendah. 7. Kegiatan pemberantasan filariasis dapat diserahkan pada
c) Pedesaan di dataran tinggi. puskesmas setempat bila :
d) Pedesaan di dataran rendah. a) M -f rate kurang dari 2%.
e) Di semua daerah. b) ADR kurang dari 2%.
2. Vektor filariasis terpenting di daerah perkotaan : c) ER kurang dari 2%.
a) Culex pipiens fatigans d) Telah tersedia DEC di puskesmas.
b) Culex quinquefasciatus. e) Semua salah.
c) Anopheles maculatus. 8. Ulkus dekubitus tersering ditemukan di daerah :
d) Anopheles whartoni. a) Tuberositas ischii.
e) Mansonia uniformis. b) Trochanter major.
3. Binatang yang tidak dapat berperan sebagai reservoir c) Sacrum.
filaria : d) Maleollus.
a) Kera. e) Tumit.
b) Kucing. 9. Ulserasi yang mulai mengenai otot diklasifikasikan ke
c) Nyamuk, dalam stadium :
d) Cacing. a) 1.
e) Semua dapat. b) 2.
4. Hal yang tidak dilakukan pada pemeriksaan darah filaria : c) 3.
a) Darah diambil malam hari. d) 4.
b) Darah diambil dari vena. e) 5.
c) Dibuat sediaan darah tebal. 10. Pembentukan jaringan granulasi dan epitelialisasi dapat
d) Diwamai dengan Giemsa. dirangsang dengan cara :
e) Semuanya dilakukan. a) Preparat seng.
5. Faktor-faktor di bawah ini menghambat pemberantasan b) Radiasi inframerah.
filariasis, kecuali : c) Short-wave diathermy
a) Lingkungan yang berawa-rawa. d) Oksigen hiperbarik.
b) Dianggap penyakit keturunan. e) Semua benar.
c) Penduduk menolak diambil darahnya.
d) Efek samping pengobatan.
e) Semua benar.
6. Cara pengobatan dietilkarbamazin yang tidak
dianjurkan :
a) Lima mg./kgbb. dosis tunggal selama 15 hari untuk
filariasis bancrofti.
b) Lima mg./kgbb. dosis tunggal selama 10 had untuk
filariasis malayi.
c) Lima mg./kgbb. dosis tunggal selama 5 hari untuk
filariasis timori.
d) Limapuluh mg. dosis tunggal untuk dewasa selama 4
hari dilanjutkan dengan dosis standar.

60 Cermin Dunia Kedokteran No. 64, 1990

Anda mungkin juga menyukai