Anda di halaman 1dari 7

INFRASTRUKTUR PERADABAN Kateg Lainnya ori: Dari Blog PKS Kota Tangerang

Mar 4, '08 2:36 AM untuk semuanya

Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah ada di Indonesia sekalipun merupakan model peradaban yang lengkap dari segi struktur, gagal untuk bertahan lama, dan gagal untuk memberi pengaruh yang luas kepada manusia. Padahal kita berhasrat agar peradaban baru Islam ini dapat bertahan relatif sangat lama dan memberi pengaruh yang luas-dalam kepada manusia. Kita berambisi peradaban Islam ini akan bertahan lebih lama dari peradaban Islam sebelumnya. Membangun peradaban dengan kriteria seperti ini membutuhkan sejumlah perangkat, yaitu: RENTANG KEDAULATAN. Ya, peradaban ini butuh rentang kedaulatan yang luas, atau terus bertambah luas. Inilah yang menyebabkan kenapa kebudayaan Sunda tidak memberi pengaruh yang besar di nusantara, sementara kebudayaan Jawa bisa. Kerajaan Pajajaran tidak terlalu punya hasrat memperluas wilayah kerajaannya seperti ambisi kerajaan Majapahit untuk mengikat seluruh wilayah nusantara. Semangat ekspansi sangat penting dalam upaya membangun peradaban besar manapun. Bukan hanya ekspansi wilayah, tapi juga diikuti dengan ekspansi pemikiran, karakter, dan budaya. Ini pula jalan yang ditempuh Muhammad, Abu Bakar, dan Umar. Ini pula jalan bagi Romawi, Persia, Cina, dan Inggris Raya. Amerika Serikat masih berpengaruh salah satunya karena rentang kedaulatannya yang luas. (dalam tulisan-tulisan awal, telah saya uraikan syarat yang dibutuhkan suatu bangsa untuk membangun peradaban masa depan, dan mengapa Indonesia menjadi bangsa yang paling layak untuk itu) Karena ekspansi dengan agresi tidak lagi akan membuat segenap manusia bersimpati -padahal simpati ini sangat penting bagi ekspansi pemikiran, karakter, dan budaya- maka langkah yang penting untuk mewujudkan rentang kedaulatan yang terus bertambah luas ini di masa depan adalah dengan unifikasi negara-negara muslim. Upaya ini diawali-ditandai dengan unifikasi negaranegara muslim yang ada dalam satu kawasan atau bertetangga dekat. Lebih mudah bagi negara yang sejak awal memiliki kedaulatan yang luas untuk mengajak negara-negara yang lebih kecil untuk bergabung. Adanya zona-zona ekonomi eksklusif dan pakta-pakta pertahanan yang banyak tersebar di berbagai kawasan dunia saat ini bisa menjadi senjata awal untuk proses unifikasi ini. Dalam konteks realitas masa kini, aktifitas ke arah mewujudkan infrastruktur ini

adalah dalam bentuk peran aktif negara dalam menyelesaikan aneka masalah internasional di lembaga-lembaga dunia; peran aktif dalam pergaulan dan diplomasi antar negara; dan membangun pengaruh yang kuat dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya terhadap negara-negara di dalam satu kawasan. Perspektif ini memaksa kita untuk memperkuat tentara dan segala unsur kekuatan pertahanan kita. Cina diprediksi akan menggantikan hegemoni AS bukan semata karena didukung oleh kekuatan ekonomi, tapi juga oleh kekuatan tentara. Tak ada peradaban besar kecuali didukung oleh kekuatan tentara yang besar. Tentara sekuat peuyeum hanya pantas dimiliki oleh kedaulatan seluas kelurahan dengan struktur yang sangat minim. Semakin luas struktur peradaban yang dibangun semakin besar kebutuhan untuk memperkuat tentara dan segala unsur pertahanan negara. KREATIFITAS DAN DAYA REKA CIPTA. Majapahit gagal menyamai Cina, pun Cirebon gagal menyamai Turki karena kreatifitas yang tidak berkembang. Kreatifitas mereka itu terhenti hanya sampai tataran tradisi. Tradisi jadi terlalu agung untuk digugat, diperbarui, dan dibuang jika perlu. Tentu bukan hanya kreatifitas di bidang sains dan tehnologi yang dibutuhkan. Bukan pula semata kreatifitas dalam menggali sumber-sumber ekonomi baru. Sejatinya adalah kreatifitas di bidang budaya. Jepang gagal menjadi pemimpin peradaban dunia, walaupun didukung kekuatan ekonomi dan tehnologi, karena di segi budaya masih jadi buntut Barat. Barat terus bertahan hingga sekarang karena kreatifitasnya di segala bidang tidak terhenti. Indonesia tetap tertinggal jauh di belakang karena hanya mampu menyontek dan menjiplak. Unsur-unsur peradaban harus terus menerus diperbarui agar dapat bertahan lama. Ini membutuhkan kreatifitas dan daya cipta yang tinggi. Akan selalu muncul masalah-masalah baru yang butuh pendekatan dan solusi kreatif baru. Ada saja kejenuhan dihadapi manusia yang membutuhkan aktifitas kreatif baru. Laju waktu akan menuntut adanya inovasi dan invensi baru. Tanpa kemampuan menjawab tantangan zaman, maka peradaban manapun akan mudah hancur. Tanpa terus menerus menggali kreatifitas dan daya cipta, peradaban agung yang kedaulatannya luas tidak akan pernah tercapai. PEMIMPIN BESAR. Kejayaan bangsa-bangsa ditandai dengan kemunculan seorang pemimpin besar. Pencapaian peradaban agung selalu diawali dengan hadirnya orang-orang besar dengan prestasi dan dedikasi yang tinggi. Seorang pemimpin besar bukan saja menginspirasi orang-orang untuk mempersembahkan yang terbaik yang mereka punya dan bisa, juga membuat kerja jadi sangat efektif dan efisien. Dengan keberadaan mereka, akselerasi pencapaian semua struktur peradaban mencapai tingkat yang tinggi. Kita tidak akan terjebak pada dialektika tentang apakah pemimpin besar itu diciptakan, atau terlahir karena situasi, atau semata bakat. Yang pasti kita butuh pemimpin yang cakap, yang berkemampuan, yang tidak hanya ditopang oleh kharisma semata. Pemimpin yang berwawasan luas, yang faqih tentang banyak

hal, yang dapat menyelesaikan banyak tugas dan masalah sekaligus dalam satu satuan waktu. Ya, karena dia harus menjamin semua infrastruktur peradaban tersedia. Ya, karena dia mesti membangun semua unsur struktur peradaban secara lengkap. Ya, karena dia mesti menjamin seluruh alur peradaban akan terus bergulir. Ya, karena dia harus menghasilkan pemimpin besar berikutnya. Ya, karena dia mesti membangun sistem yang dapat memaksimalkan kerja pemimpin besar setelah dia. Untuk itu (lagi-lagi) kita sangat butuh sistem pendidikan yang baik. Sistem pendidikan yang dapat menggali semua unsur kecerdasan manusia secara optimal. Sistem pendidikan yang dapat menghasilkan empat lokomotif peradaban. Sistem pendidikan yang membuat orang-orang dapat berperan optimal sebagai arsitek, tehnisi, dan pekerja peradaban. (waks, kata redaksi kompas sih, ini gaya bahasa pidato. Bertele-tele. Ga cocok buat koran. Hehehe, mereka bener, tapi jadi terasa kurang nyeni kalo ga begini. Semoga redaksi situs ini bisa mengerti.) ADAPTASI DAN AKULTURASI. Setiap bangsa memiliki ego tersendiri. Ego itu salah satunya tergambar dari upaya yang keras untuk mempertahankan tradisi dan budaya unik yang dimiliki. Ada sekian banyak bangsa dan suku di bumi ini dengan aneka ragam budayanya, maka unifikasi sebagaimana disyaratkan pada poin pertama, membutuhkan kemampuan beradaptasi dan berakulturasi secara seimbang. Dalam konteks masa depan, konfrontasi kebudayaan jadi tidak relevan. Jalan menuju akulturasi kebudayaan akan menjadi semakin mudah ketika ada kesatuan ideologi. Inilah tugas besar yang sebenarnya. Ini membutuhkan gerakan pemikiran yang intensif. Ketika kesatuan ideologi itu tidak (belum) tercapai, akulturasi budaya dapat diawali dari sikap saling pengertian, dan saling menghargai antar kebudayaan yang ada. Pertukaran budaya dapat diawali dari sisi-sisi yang paling tidak prinsipil, dan memiki ikatan nilai-nilai yang relatif serupa. Biasanya antar pemilik budaya akan saling mempelajari dan mengagumi unsur-unsur yang terdapat pada budaya pihak lainnya. Kemudian dari sana mulai membangun bentuk-bentuk kebudayaan baru. Bisa benar-benar baru, bisa juga merupakan perpaduan dari unsur-unsur kebudayaan yang berbeda. Sejarah telah memberi bukti bahwa peradaban Islam adalah peradaban yang luwes, mudah menyerap kekuatan dan hikmah yang dimiliki oleh peradaban lainya. Karakter turunan inilah yang akan kita gunakan untuk membangun akulturasi dengan berbagai peradaban yang ada di dunia untuk membentuk peradaban Islam baru di masa depan. Di atas semua perangkat inilah dibangun enam struktur peradaban (1. nilai-nilai dan karakter individu; 2. seni dan tradisi masyarakat; 3. pencapaian ekonomi dan sosial; 4. inovasi dan cipta tehnologi; 5. sistem politik dan tata negara; dan 6. tata hubungan internasional). Ketika infrastruktur yang ada lemah, maka strukturnya pun menjadi rapuh. Bagaimana akan dihasilkan seni dan tradisi masyarakat yang unik, ketika kreatifitas kita setaraf dengan manusia zaman

prasejarah. Bagaimana akan dihasilkan pencapaian ekonomi dan sosial, pun inovasi dan cipta tehnologi yang tinggi ketika kita gagal menjaga kesinambungan upaya menghasilkan para pemimpin besar. Wallahu alam asep setiawan fantasidedi@yahoo.com

Prof DR Din Syamsuddin MA: 'Bangun Infrastruktur Peradaban Islam' Selasa, 16 Desember 2008 07:08 WIB Ada kebanggaan dalam diri Prof Dr Din Syamsudin MA usai mengikuti Konferensi Pembentukan Kampanye Global Anti-Permusuhan di Doha, Qatar 23 Februari lalu. Bukan karena ia diundang atas nama pribadi dan berbicara di sesi pertama, tentu saja. Namun, alumni Pondok Modern Gontor ini mengaku berbunga-bunga melihat semangat yang sangat tinggi di kalangan para cendekiawan dan ulama Islam Dunia yang hadir pada konferensi tersebut. ''Mereka menginginkan peradaban Islam bisa bersaing dengan peradaban Barat,'' ujarnya yang yang kini dipercaya sebagai Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia dan Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Menurut Din, untuk bisa bersaing, maka kita harus membangun infrastruktur peradaban seperti media masa, sains, sistem ekonomi, dan lainnya. Untuk itu, harus ada persamaan langkah di dunia Islam baik dari pemerintah maupun masyarakatnya dan antarnegara. ''Lembaga baru ini menjanjikan harapan baru,'' tandasnya. Kepada Damanhuri Zuhri dari Republika, Din bercerita banyak tentang konferensi itu. Berikut ini petikannya: Siapa saja yang terlibat dalam konferensi Pembentukan Kampanye Global Anti Permusuhan di Doha, Qatar baru-baru ini? Konferensi Pembentukan Kampanye Global Anti Permusuhan diprakarsai oleh sejumlah akademisi Muslim dari beberapa negara yang selama ini oleh dikoordinasi oleh sebuah LSM di Swiss. Acara kemarin difasilitasi oleh sebual LSM di Qatar, Arabic Center for Studies and Researches. Dihadiri sekitar tiga ratus tokoh dari berbagai negara. Dari Indonesia saya diundang, DR Ahzami Djajuli dari Komite Pembebasan Al-Aqsa, dan satu lagi dari Universitas Indonesia (UI) Program Timur Tengah. Apa saja yang dibahas dalam konferensi tersebut? Muktamar ini membahas problematik dunia Islam dan anatomi tantangan terhadap Islam dan apa strategi menghadapinya. Selama tiga hari dan saya berkesempatan untuk berbicara pada upacara pembukaan dengan beberapa tokoh lain diantaranya dari Hamas, Aljazair, Maroko, Mufti Palestina, Lebanon, Saudi Arabia, Uni Emirat, dan Qatar. Pada perhelatan ini, kaum akademisilah yang bersemangat untuk menghadapi tantangan zaman. Konferensi ini sangat penting untuk menghadapi tantangan globalisasi dengan gaya imperialisme baru dan hegemoni Amerika Serikat. Dunia Islam memang harus bangkit dengan strategi penghadapan. Ini baru pembentukan nanti akan ada langkah-langkah dan stategi dalam bidang pendidikan, keluarga, ekonomi, media, dan politik. Saya sendiri ceramah pada pembukaan. Ada sembilan tokoh lainnya yang menyampaikan pidato. Saya katakan, tantangan yang kita hadapi sekarang adalah neo imperialisme yang tampil dalam bentuk liberalisme ekonomi, politik, budaya, dan unilateralisme dalam hubungan internasional. Kalau begitu apa yang harus dilakukan? Gaya Amerika Serikat menyelesaikan masalah itu unilateral dengan mengabaikan lembaga internasional seperti PBB. Menurut saya, dalam menghadapi ini harus disusun strategi peradaban bahwa umat Islam tidak boleh semata-mata berjuang melawan itu. Tapi, ada konsep yang jelas yang intinya

tidak memadukan berjuang melawan dengan marah dan emosi tapi dipadukan dengan aljihad lil muwajahah dan siap bertanding di arena peradaban. Itu poin yang saya sampaikan. Seperti ditulis Harian Gulf Times, Mufti Libanon Muhammed Ali Al Jozo mengatakan pentingnya umat Islam memiliki media. Sepenting apa peran media ini menurut Anda? Karena itu kalau kita ingin bersaing maka harus membangun infrastruktur peradaban seperti dalam hal media. Kalau kita tidak puas dengan pemberitaan media Barat kita harus munculkan. Dan di Qatar itu dicontohkan Al-Jazeera. Oleh karena itu harus ada persamaan dunia Islam baik pemerintah maupun masyarakatnya untuk secara konkrit membangun infrastruktur peradaban. Media, ilmu pengetahuan lewat universitas, sistem ekonomi, semua itu amat penting. Adakah kendala dalam pembangunan jaringan media ini? Saya kira keprakarsaan saja, menyangkut inisiatif dan kekuatan ekonomi. Di dalam negeri kita mau coba juga. Nanti akan ada dua stasiun televisi termasuk salah satunya TV Dakwah. Artinya sudah waktunya kita punya televisi dakwah? Ya. Nah itu nanti secara khusus dibicarakan di kongres umat Islam. Pikiranpikiran ini kita kembangkan dan khusus di Indonesia semua agenda tadi itu dibicarakan kembali pada kongres umat Islam untuk merumuskan strategi kebudayaan bagaimana program-program nyata dalam bidang prioritas seperti pendidikan, ekonomi, media. Selama ini ada kesan kalau konferensi umat Islam hanya sekadar omong di atas kertas, apa komentar Anda? Memang itu kelemahan mendasar. Karena itu harus dicari cara untuk mengkonkretkan. Tapi, ini satu harapan baru karena lembaga-lembaga internasional seperti OKI di tingkat pemerintah hampir tidak berkutik. Kenapa bisa begitu? Pertama, mungkin karena kepemimpinan. Kepemimpinan yang lembek yang tidak menggerakkan. Kedua dibatasi oleh kepentingan global. Maka, melalui forum yang digagas para akademisi ini diharapkan ada harapan baru dan aliansi dari kelompok kritis ini. Saya salah seorang pendiri dari 21 orang. Sepertinya acaranya mendadak sehingga luput dari publikasi? Tidak juga. Awalnya, ada pertemuan yang mengambil tema 'Kampanye Global Anti Permusuhan' berapa bulan yang lalu di Jeddah, Saudi Arabia. Tapi, karena ada pelaksanaan ibadah haji sempat tertunda. Dan penundannya bukan di Jeddah tapi di Doha, Qatar. Pemikirannya saat itu, kita ingin memberikan satu respons konkret terhadap permusuhan atas Islam dalam berbagai aspek. Sempat bertemu siapa saja di sana? Saya sempat bertemu Muhammad Basyar Al Faidy, rais (pimpinan-red) Hay-at Ulamail Muslimin dari Irak. Dia itu seorang ulama besar Irak -- kalau di kita seperti MUI, begitu. Saya bertemu dia untuk mengucapkan terima kasih atas pembebasan wartawan Metro TV, Meutya Hafid dan Budianto. Beliau ulama Sunni. Kesan Anda sendiri terhadap pertemuan tersebut? Bagus dan bersemangat. Saya justru tertarik dan optimis karena ini koalisi antara akademisi yang bisa berpikir strategis dengan aktivis di lapangan. Seperti Hamas, Hizbullah, Abbas Madani, karena itu orang di lapangan dan akademisi jadi rancangan yang sangat bagus. Saya gembira dan bahagia. Anda datang atas nama MUI? Tidak. Atas nama pribadi sebagai intelektual. Dalam pembukaan itu masing-

masing selama tujuh menit berbicara. Saya tidak memakai teks. Waktu panitia meminta makalah, saya bilang, 'Enggak ada cuma coret-coretan ini saja.' Penulis : dam REPUBLIKA - Jumat, 18 Maret 2005

Anda mungkin juga menyukai