Anda di halaman 1dari 2

Perjanjian Bukan Permainan

Pada tanggal 29 November 2004, negara-negara ASEAN dan China menandatangani perjanjian perdagangan barang. Perjanjian ini disusun untuk menyelenggarakan wilayah perdagangan bebas di antara negara-negara ASEAN dan China. Dampak penyelenggaraan ASEAN-China Fair Trade Area (ACFTA) dirasakan semakin signifikan oleh Indonesia selama dua tahun terakhir. Pada bulan April 2011, media massa marak oleh perdebatan mengenai kondisi industri nasional pasca-ACFTA. Sejumlah pihak melaporkan kerugian yang diderita oleh para produsen lokal akibat serangan produk China yang sangat murah. Sementara itu, pihak-pihak lain berargumen bahwa ACFTA akan memberikan dampak positif kepada Indonesia meski tidak dalam waktu dekat. Dari sudut pandang seorang siswi SMA yang menekuni program ilmu sosial, saya berpendapat bahwa Indonesia masih belum siap untuk ikut serta dalam program perdagangan bebas. Daya saing produk dalam negeri masih lemah sehingga belum bisa mengungguli produk luar negeri, terutama produk-produk China yang sangat murah. Terlebih lagi, pemerintah tidak memberikan bantuan yang berarti bagi para produsen kecil sehingga menyulitkan mereka untuk menyaingi harga barang-barang impor yang sangat murah. Seperti yang telah kita ketahui, sebagian besar kebutuhan pokok masyarakat Indonesia disediakan oleh pemerintah dengan sistem impor. Kebanggaan Indonesia sebagai negara agraris tidak lagi nyata. Bahkan beras, sebagai makanan pokok nasional, dipasok dari negeri Thailand. Indonesia memiliki reputasi sebagai negara demokratis yang terbuka dan bersahabat, namun ada baiknya jika pemerintah memilah-milah proposal kerja sama internasional dengan lebih cermat. ACFTA, misalnya, dapat mengakibatkan ketergantungan terhadap impor sehingga melemahkan ketahanan dan kemandirian negara. Sebelum membuka diri, sebaiknya pemerintah terlebih dahulu membenahi perekonomian dan infrastruktur dalam negeri. Hal ini memang tidak semudah sekedar mengimpor barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi akan membangun pilarpilar yang kokoh bagi kelangsungan negara. Seiring dengan bencana alam yang melanda negara-negara di dunia, Indonesia juga harus berjaga-jaga. Jika bergantung kepada negara lain untuk memenuhi kebutuhan nasional, lantas bagaimana jika negara tersebut terserang bencana dan memutuskan untuk menghentikan ekspor ke Indonesia?

Selain itu, perilaku para pejabat pemerintah yang selalu mencari jalan termudah dan menguntungkan sebaiknya diperbaiki. Pejabat seharusnya tidak mencari untung dalam menjalankan tugasnya, melainkan berupaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Budaya korupsi sudah sepantasnya diberantas dan dibersihkan dari badan-badan pemerintah. Dalam pelaksanaan program ACFTA, bukti-bukti kasat mata tidak menampakkan peningkatan kinerja pemerintah dalam pembangunan nasional untuk membantu para produsen lokal bersaing dengan luar negeri. Hal ini memperlihatkan ketidakseriusan Indonesia dalam menanggapi persaingan internasional yang sedang terjadi. Malah, banyak rakyat kecil yang menjadi korban dalam pelaksanaannya. Dalam lingkup hukum internasional, perjanjian sama sekali bukan permainan. Indonesia harus lebih serius lagi dalam menanggapi tantangan dan kesempatan yang tercipta selama penyelenggaraan ACFTA. Meski kini banyak pihak yang berpendapat bahwa Indonesia harus mundur dari ACFTA untuk menghindari kerugian yang lebih besar, tidakkah sebaiknya kita mencoba lebih keras lagi untuk bersaing dengan luar negeri? Seperti teori yang diungkapkan oleh sejarawan Arnold J. Toynbee bahwa peradaban tercipta dari tindakan manusia untuk merespons tantangan, saya harap Indonesia dapat merespons tantangan-tantangan yang berdampak dari tiap-tiap kerja sama internasional yang telah disetujui sehingga dapat mencapai kemajuan yang dicita-citakan.

Anda mungkin juga menyukai