Kebijakan yang disusun secara sentralisasi-otoriter tanpa memperhatikan aspirasi arus bawah disadari atau tidak, telah menumbuhsuburkan virus sindrom yang antidemokrasi dalam bentuk indoktrinasi dan tekanan-tekanan terhadap praktisi pendidikan di lapangan. Beda pendapat diharamkan, daya inisiatif dimatikan. Sikap kritis pun ditabukan. Semua harus mendongak dan menanti petunjuk dari atas. Sistem pendidikan berikut perangkat regulasinya telah dipola dan dikemas demi kepentingan kekuasaan an-sich. Sikap demokratis pun luput dari jangkauan pasal 4 UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Adakah di sana sikap demokratis menjadi salah satu aspek yang hendak dicapai dalam tujuan pendidikan naisonal? Sementara itu, mulai dari tingkat SD hingga SLTA, peserta didik telah dibiasakan untuk menjadi anak Mami yang manis, manutan, dan dilarang bertanya. Ruang belajar telah berubah fungsi menjadi tembok pemasung yang membelenggu kebebasan berpikir, berkreasi, bernalar, berinisiatif, dan berimajinasi. Beratnya beban kurikulum yang mesti dituntaskan telah membuat proses belajar-mengajar menjadi kehilangan ruang berdiskusi, berdialog, dan berdebat, guru menjadi satu-satunya sumber belajar. Sedangkan, di tingkat perguruan tinggi, mahasiswa dibutakan dari persoalan-persoalan politik praktis, mesti berkutat memburu ilmu di puncak menara gading yang hendak dijadikan robot penguasa dalam mengejar ambisi pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Akibatnya, setelah lulus mereka menjadi asing ditengahtengah rakyat, tidak paham bahasa rakyat. Dalam kondisi demikian, mana mungkin out-put pendidikan kita mampu menginternalisasi dan mengapresiasi nilai-nilai demokrasi kalau otak dan emosi mereka dijauhkan dari ruang berdialog? Mustahil mereka bisa menghargai perbedaan pendapat sebagai salah satu esensi demokrasi kalau iklim belajarnya berlangsung monolon. Boleh jadi, memang sudah harus menjadi keniscayaan sejarah (historical necessity) jika dunia pendidikan kita selama ini tertidur pulas di atas ranjang rezim Orde Baru. Nasi telah menjadi bubur, kata orang. Belajar dari pengalaman buruk semacam itu, kini tiba saatnya dunia pendidikan diberi ruang yang cukup untuk membangun budaya demokrasi bagi peserta didik, sehingga kelak mereka sanggup menjadi demokrat sejati yang punya rasa malu, rendah hati, berjiwa besar, toleran, memiliki landasan etik, moral, dan spirituaJ yang kokoh ketika bertarung dalam rimba polilik. Apalagi, era millenium ketiga yang diyakini akan menghadirkan banyak tantangan krusial dan perubahan global seiring dengan akselerasi keluar-masuknya berbagai kultur dan peradaban baru dari berbagai bangsa di dunia akan segera kita masuki, ranah demokrasi jelas akan ikut menjadi penentu citra, kredibiltias, dan akseptabilitas bangsa kita sebagai salah satu komunitas masyarakat dunia. Itu artinya, mau atau tidak, dunia pendidikan sebagai kawah candradimuka dalam mencetak sumber daya manusia yang bermutu dan profesional harus mempersiapkan generasi yang demokratis, sehingga memiliki sikap resistence yang kokoh di tengah-tengah konflik peradaban (clash of civilization), di antaranya, pertama, sikap demokratis harus menjadi salah satu aspek yang hendak dicapai dalam tujuan pendidikan nasional. UU No. 2/1989 yang rnengebiri makna demokrasi bagi anak bangsa perlu direvisi dan dirumuskan kembali secara utuh dan komprehensif. Kedua, kurikulum yang diberlakukan harus memberikan ruang yang ukup bagi peserta didik untuk belajar menginternalisasi dan mengapresiasi nilai-nilai demokrasi. Mereka harus diberi kemerdekaan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan lewat debat, diskusi, dan adu argumentasi dengan tetap mengacu pada nilai kebenaran dan nilai luhur baku. Dan ketiga, para birokrat dan praktisi pendidikan dituntut good-will-nya untuk memberikan teladan cara-cara berdemokrasi yang sehat. Dalam iklim masyarakat kita yang masih cenderung paternalistik, contoh dan tindakan nyata akan lebih bermakna ketimbang retorika maupun ucapan verbal lainnya. Tidak kalah pentingnya, iklim demokrasi pun harus sudah mulai ditumbuhkan dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat, sehingga institusi pendidikan lebih maksimal mengembangsuburkannya. Apabila iklim demokrasi tumbuh secara kondusif yang pada gilirannya akan menjadi sebuah budaya, maka rasa sakit hati, dendam, mencari-cari kambing-hitam akibat kekalahan dalam sebuah demokrasi tak akan terjadi. Yang menang pun tidak akan selalu menepuk dada. Dalam sebuah demokrasi, kalah dan menang adalah wujud dinamika yang indah dan niscaya. *** (Suara Karya, 5 Agustus 1999) by Sawaliin Budaya, Refleksi Tulisan lain yang berkaitan:
Tulisan berjudul "Membangun Budaya Demokrasi melalui Pendidikan" dipublikasikan oleh Sawali Tuhusetya (Sunday, 15 July 2007 @ 12:45) pada kategori Budaya, Refleksi dan telah dibaca oleh 4,994 views. Anda bisa mengikuti respon terhadap tulisan ini melalui feed komentar RSS 2.0. Anda juga dapat ikut serta memberikan respon atau memberikan trackback dari web atau blog Anda. Jika tertarik dengan tulisan ini, silakan di-share/bookmark melalui jejaring berikut ini: Digg This! :: Share on Facebook :: Stumble Upon :: Bookmark on Del.icio.us :: Tweet This! :: Reddit :: Bookmark on Google :: Yahoo Buzz Up! :: Bookmark on Yahoo :: Blink This :: Share on Facebook :: Friend Feed :: Share on MySpace :: Blogmarks :: Add to Live Favorites :: Bookmark on Squidoo :: Newsvine :: Mixx :: Submit to Propeller :: Slashdot
Prev Memaksimalkan Peran Ibu sebagai Pencerah Peradaban Next MEMBANGUN OTONOMI PEMBELAJARAN SASTRA
1.
vony
Aug 13, 2008 @ 01:32:36
saya vony rachamasari umur 16 th sekolah : SMU N 41 Jak-Ut saya mau nanya, demokrasi lewat pendidikan itu seperti apa ? sekiranya hanya itu saja sebelumnya terima kasih dan wassalamualaikum.wr.wb vonys last blog post..Spam Karma Memang Sadis! hehehe :lol: salam juga, mbak vony. sebenarnya demokrasi di sekolah bisa langsung diterapkan dalam praktik, mulai pemilihan pengurus kelas hingga osis. dalam praktik pembelajaran, siswa lebih banyak berdiskusi dan bercurah pikir. perlu ada budaya utk menghargai perbedaan pendapat. selamat berdemokrasi, mbak vony. makasih kunjungannya :idea: