Anda di halaman 1dari 3

TITIPAN BUMI UNTUK HUJAN Twitter: @annisarahmah Aku akui, kau adalah manusia terumit yang gagal ku telaah.

Hidupmu yang kau nyatakan sederhana, bagiku adalah kesempurnaan yang sulit ku jamah. Bahkan, untuk sekedar mengakui kau sebagai suatu keindahan saja aku tak mampu. Atau mungkin aku yang belum mampu menguraikan apa keindahan itu sebenarnya. Entah kapan persisnya waktu dan takdir mempertemukan kita. Pun aku tak ingat kapan kau mulai mencuri ketenanganku. Sebuah kenyataan yang tak pernah bisa ku terima saat itu. Kau biasa. Terlalu biasa bahkan. Kau bukan wanita yang harus kuperhitungkan; kau tidak tahu bagaimana caranya berdandan, kau tidak tahu bagaimana caranya bersikap manis di depan kaum adam, kau jauh dari kata menawan. Kau hanyalah objek celaan dan tertawaan teman-temanmu termasuk aku, dan yang jelas, kau tidak cantik! Titik. --Rinai. Keajaiban dunia yang ku temukan dalam hidupku adalah ketika orang tua mu menamai dirimu Rinai. Bagimana mungkin rintik disembatkan dalam makna namamu. Kau lebih mirip seperti badai! Awal kehadiran mu selalu ditandai perasaan tak tentram. Hancur sudah ketenangan tepat ketika kau datang. Sungguh kau ulung dalam mengacaukan harapan. Saat ku duduk sendiri berharap sosok rupawan berkaki jenjang berjalan melintasiku, kau datang dengan kegaduhan. Kakimu yang pendek dengan cara jalanmu yang lebih seperti kangurusetengah berlari dan melompatsungguh sempurna mengacak-acak hariku. Bidadari berkaki jenjangku mendadak terpeleset ke jurang rasanya! Atau saat aku diberi kesempatan oleh Tuhan untuk memandang keindahan wujud para bidadari bumi. Semuanya berubah aberasi ketika wajahmu terpakir mendadak tepat di hadapanku. Sambil menunjukan seringai-setan-mu lengkap dengan gigimu yang penuh dengan pasta coklat. Demi uang bulanan dan IPK yang kuperjuangkan, itu sungguh menghancurkan setengah masa depan yang ku impikan. Dasar pengacau! Rinai. Saat aku mengenal sosok mu, kebahagianku berubah makna. Bahagia adalah ketika aku bisa melihatmu dengan bodohnya memakai helm ke kelas karena kepanikan dungu mu terlambat masuk kelas. Atau saat kau harus berjalan lambat sambil menutupi sepatumu dengan tas karena kau memakai dua sepatu yang tidak saling berpasangan. Dan tentunya, bahagia adalah melihat mu menjadi bulanan teman-temanku saat jempol kakimu harus diperban entah karena operasi apakau didakwa cantengan oleh satu angkatan! Entah kutukan apa yang melekat pada dirimu wahai kanguru berperilaku anak setan, kau lahir memang untuk dihina rupanya. Tapi dengan mental baja, kau malah menerima dengan wajah penuh suka cita. Kau ini bodoh atau apa?! Aku memang tidak mampu memahami mu. Tidak pernah mampu menjangkau asal muasal pemikiran yang lahir dari otak yang kau pelihara di dalam kepala batu itu. Kadang aku bertanya dalam hati, apa yang kau lakukan dengan rasa sedih mu. Hidupmu hanya tertawa dan tertawa. Selebihnya ya tertawa. Semakin aku mengenal sosokmu, semakin banyak pertanyaan tercipta yang meletup-letup di kepala dan di dadaku. Kau pasti satu dari sekian juta jiwa yang tidak mendapatkan air mata saat pembagian di surga karena asik berbagi tawa dengan setan. Sungguh, merupakan kesedihan tersendiri aku mengetahuinya.

Rinai. Tahukah dirimu bahwa doa utama yang kupanjatkan ketika aku ingat sholat adalah Ya Tuhan, jauhkanlah aku dari sosok wanita bernama Rinai. Sungguh, itu yang kupinta. Sampai akhirnya aku sadar bahwa Tuhan cukup adil untuk tidak mengabulkan doa umatNya yang sholatnya tidak konsisten seperti aku. Kenyataan pahit yang kuterima adalah kita masuk dalam organisasi kampus yang sama. Mungkin di titik inilah aku harus rela belajar pasrah. Setelah doa yang tidak dikabulkan itu, aku semakin jarang menyapa Tuhan. Sepertinya namaku sudah masuk dalam golongan umat-yang-doa-nya-tak-perlu-di-dengar. Jadi untuk apa aku berdoa. Satu tahun kita dalam sebuah organisasi yang sama, aku sudah tidak peduli dengan dirimu. Entah apa yang kau lakukan, hidup kita memang terpisah dengan keegoan rasional yang kupunya dan ketidakteraturan imajinasi yang kau miliki. Aku tidak peduli saat kau membuat gaduh ruangan 3x4 meterruangan sekretariatdengan suara mu yang ku yakin tak mengenal apa itu do-re-mi-fa-sol-la-si-do. Aku tidak peduli saat sepatu jorok mu disembunyikan di dahan tertinggi pohon belimbing yang tumbuh di samping ruang sekretariat. Aku tidak peduli saat melihat kaki kiri mu dibungkus gips putih dengan rapi paska kecelakaan motor yang kau alami, ajaibnya kau masih saja bisa berlari. Sungguh Rinai, aku tidak peduli. Seperti aku yang tak pernah mempedulikan mu dengan segala ide aneh yang kau susun. Aneh. Sekali lagi, A-NEH. Aneh karena kemudian semua orang setuju dan mengagumi pemikiranmu, termasuk aku. Kemudian aku mulai terbiasa dengan keberadaan mu. Ternyata kau diberkahi otak yang luar biasa. Kau bisa menampung gossip kampus maupun pelajaran dengan sangat apik. Kau mempunyai kemampuan otak yang memberimu nilai A untuk setiap mata kuliah. Bagimu, nilai B adalah GAGAL. Aku cukup sakit hati dengan kenyataan ini. Walau tak jarang ku rasa ini tak adil. Terlalu berat, toh aku terbiasa terperangkap di ruangan 3x4 itu bersama mu. Banyak perbincangan bodoh atau mungkin lebih tepatnya perbincangan yang membodohiku. Kamu masih ingat perbincangan ini: Kamu percaya peri? tiba-tiba wajahmu berada tepat di hadapanku. Enggak! jawabku singkat. Aku pernah baca kalau peri itu ada Bum! dulu aku pernah lihat! ujarmu penuh antusias berlebih seperti biasanya. Serius kamu pernah lihat peri?! Dimana? penasaran juga aku dibuatmu. Kemudian kamu menjawab pasti, Di dalam MIMPI!! Ahahhaahahaa. Saat itu aku ingin bunuh diri rasanya. Akhirnya. Di beberapa waktu yang kita miliki karena alasan karma untuk ku atau mungkin memang takdir kita berdua, kita bertemu dalam sebuah ruang dialektika. Kau membawa imajinasimu dan aku membawa rasionalitasku. Kita terjebak dengan apa yang kita simpan dalam kepala kita masing-masing. Kita terjebak waktu. Kita terjebak dalam sebuah ruang dimana hujan yang mengawal untuk memastikan kita tidak saling berpisah sebelum kita menemukan sebuah jawaban yang diinginkan. Waktu yang menyediakan ruang untuk kita. Kita berbicara tentang manusia, kemudian kita berbicara tentang Tuhan. Kita bicara tentang hidup, kemudian tentang kematian. Hujan yang turun deras memecah sedih yang kita pendam. Entah atas garansi apa, semua rahasia hidup yang selama ini aku simpan mengalir begitu saja dari mulutku. Saat itu, untuk pertama kalinya aku melihat mu menangis. Suara tangisanmu tersamar hujan, namun air mata mu mengalir menghangatkan hingga dasar hati yang terdalam. Air mata mu, membuat diriku merasa berharga. Terima kasih Rinai. ---

Rinai. saat kau baca surat ini percayalah bahwa aku sudah berjuang melawan tumao ini seperti apa yang kau perintahkan kala hujan saat itu. Aku tak takut mati Rinai. Karena kalaupun aku harus merenggang jiwa dari ragaku, aku akan segera bertemu Tuhanku, Tuhan yang mempertemukan ku dengan dirimu. Itu hadiah yang sangat berarti di kehidupan singkatku. Rinai. Kau hujan untuk seorang Bumi yang payah. Kau air dari langit yang turun lewat celah awan hitam yang ku kira hanya akan memberi kelam. Tapi aku tak pernah sadar bahwa ketika kau menyentuh tanahku maka kehidupan baru akan lahir. Aku mati dengan segala ego dan keangkuhanku. Kemudian aku hidup kembali dengan semangat dan harapan yang kau berikan padaku. Soal aku akan mati lagi, itu urusan lain. Terimakasih Rinai. Terimakasih sudah menjadi hujan untuk Bumi yang gersang. -Bumi-

Rinai hanya diam. Untuk menghapus air mata pun ia tak kuasa. Baju yang ia kenakan sepulang pemakaman belum sempat ia tanggalkan. Ia mendekap erat beberapa kertas yang baru saja selesai ia baca dengan air mata. Pagi ini ia kehilangan Bumi. Ia kehilangan tempat untuk menjatuhkan mimpinya dalam rintik. Ia kehilangan dasar untuk terserap dan menjadi sari kehidupan. Ada seribu kata dan perasaan yang ia jabarkan hanya dengan air mata. Namun selepasnya, seandainya Bumi mendengar, ia hanya berbisik dalam hati:

Selamat jalan Bumi. Terima kasih atas titipan yang jujur ini.

Anda mungkin juga menyukai