Anda di halaman 1dari 7

1

Mengapa Islam Politik Menang di Timur Tengah Tapi Kalah di Indonesia?


31 Januari 2012

http://salihara.org/community/2012/01/31/mengapa-islam-politik-menang-di-timur-tengah-tapi-kalah-diindonesia
INDONESIA adalah negara dengan pemeluk Islam terbesar di dunia. Namun, Indonesia jelas bukan negara Islam. Tidak pernah pula partai Islam pernah berkuasa di nusantara layaknya partai serupa di negara-negara berpenduduk Islam Timur Tengah. Keunikan antara Islam di Indonesia dan Timur Tengah layak mendapat perhatian. Hal ini pula yang menjadi bahasan dalam diskusi "Islam Politik" di Timur Tengah dan Indonesia di Komunitas Salihara Rabu (25/01) lalu. Luthfi Assyaukanie dari Freedom Institute dan Faisal Assegaf seorang wartawan dan pengamat politik Timur Tengah menjadi pembicara dalam diskusi itu. Pertanyaan mendasar dari diskusi ini adalah mengapa Islam Politik di Timur Tengah menang, namun Islam Politik di Indonesia selalu kalah?

Menurut Luthfi, kekalahan partai-partai politik Islam di Indonesia dan kemenangan partai-partai serupa di Mesir tak bisa dijelaskan dengan perspektif jangka pendek di kedua negara, tapi harus melihat latar belakang historis dan budaya politik yang berkembang di masing-masing negara itu. Kendati memiliki kesamaan sebagai negara berpenduduk Muslim mayoritas, heterogen, dan pernah dikuasai pemimpin otoriter dari latar belakang militer, Indonesia memiliki sejarah dan budaya politik yang berbeda dari Mesir. Perbedaan sejarah dan latar belakang budaya politik ini mempengaruhi karakter dan trajektori masing-

2
masing negara, khususnya dalam menangani isu agama dan politik. Indonesia lebih berpengalaman dan lebih kaya dalam perdebatan dan interaksi dengan isu Islam dan politik. Dialog agama dan politik di Indonesia tak pernah berhenti, sejak sebelum kemerdekaan hingga hari ini. Sementara di Mesir, yang terjadi bukanlah dialog tapi ketegangan terus-menerus antara kelompok sekular dan kelompok Islamis. Pada satu sisi, Islam diakomodasi secara penuh dalam konstitusi, tapi pada praktiknya, pemerintahan selalu dipegang oleh kelompok sekuler yang mengabaikan aspirasi kelompok-kelompok Islam. Di tingkat wacana, upaya-upaya mendamaikan dua kubu ini hampir tak pernah terjadi.

"Saya melihat setidaknya ada tiga sebab mengapa partai-partai Islam di Mesir mengalami kemenangan sedangkan di Indonesia mengalami kekalahan," katanya. Pertama, kekalahan/kemenangan partai-partai Islam terkait erat dengan karakter dan trajektori gerakan pembaruan Islam di kedua negara. Bagaimanapun, selain alasan-alasan pragmatis, pilihan orang terhadap suatu partai dipengaruhi oleh latar belakang kultural yang besifat ideologis. Orang memilih partai politik agama tidak terjadi begitu saja, tapi karena ada dorongan ideologis yang membuatnya melakukan pilihan itu. Ideologi tidak datang sendiri, tapi merupakan pemahaman yang disebarkan dan terus-menerus dipromosikan. Ideologi juga memerlukan argumen untuk mendukungnya. Semakin bagus sebuah argumen, semakin besar kemungkinannya bisa diterima di tengah masyarakat. Argumen-argumen Islam tentang politik bisa meyakinkan masyarakat di Mesir tapi tidak demikian halnya dengan di Indonesia.

Di Mesir, pembaruan Islam dipelolori oleh tokoh-tokoh yang relatif tidak mengakar. Meskipun mereka adalah tokoh-tokoh besar seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Thaha Husein, Ali Abd alRaziq, dan Qassim Amin, mereka tak memiliki wadah untuk menyebarluaskan pemikirannya dan tak memiliki organisasi untuk merekrut pengikut. Satu-satunya lembaga yang dipimpin Abduh adalah al-Azhar yang sebetulnya cukup berpengaruh. Tapi, keberadaannya yang cukup singkat di lembaga itu tak cukup baginya menanamkan pengaruh. Bahkan, Abduh cenderung menjadi tokoh antagonis pada masa-masa akhir jabatannya ketika ia mengeluarkan sejumlah fatwa kontroversial, seperti soal bunga bank dan busana Muslim. Pola seperti ini terus berlanjut dalam gerakan pembaruan pemikiran Islam di Mesir pada generasigenerasi selanjutnya. Baik Hassan Hanafi maupun Nashr Hamid Abu Zayd adalah pemikir soliter yang tak memiliki massa. Mereka berusaha melakukan pembaruan Islam lewat jalur akademis yang meski canggih tapi tak memiliki pengikut yang cukup.

Di Indonesia, gerakan pembaruan pemikiran Islam selalu dijalankan secara berjamaah. Sejak gerakan pembaruan Islam muncul pertamakali di Minangkabau, karakter pembaruan Islam bersifat organisatoris

3
dan institusional. Para pembaru awal seperti Thahir Djalaluddin, Abdullah Ahmad, dan Karim Amrullah, mendirikan lembaga pendidikan dan organisasi seperti Adabiyat, Thawalib, dan Djembatan Besi, untuk menyebarluaskan gagasan mereka. Lembaga-lembaga ini bahkan bukan hanya dimaksudkan sebagai wadah untuk mendidik kaum Muslim, tapi juga untuk merektur pengikut dan menciptakan kelompok pembaru. Pola seperti ini terus berlanjut hingga ke generasi-generasi pembaru berikutnya. Pada tahun-tahun yang sangat menentukan dalam mendefinisikan hubungan Islam dan negara, para tokoh Muslim seperti Abdurrahman Wahid, Ahmad Syafii Maarif, dan Nurcholish Madjid, melontarkan gagasan pembaruan mereka lewat gerbong besar yang didengar dan diikuti banyak orang. Gus Dur melakukannya lewat NU, Syafii Maarif lewat Muhammadiyah, dan Cak Nur melakukannya lewat HMI dan Paramadina.

Perbedaan karakter pembaruan ini sangat penting dalam melihat dampak dari pembaruan di masingmasing negara. Di Mesir, pembaruan pemikiran Islam terbatas di kelas-kelas akademis dan ruang-ruang seminar, sementara di Indonesia, pembaruan Islam disebarkan secara massif lewat organisasi-organisasi besar itu. Gus Dur berbicara tentang kompatibilitas Islam dan Pancasila tak hanya di kampus-kampus, tapi juga pengajian-pengajian NU. Begitu juga, Syafii Maarif dan Nurcholish Madjid mengkampanyekan tidak perlunya negara Islam --dan juga partai Islam-- tak hanya di jurnal-jurnal ilmiah, tapi juga di hadapan pengikut mereka yang jumlahnya cukup besar. Setiap tokoh pembaru di masing-masing negara mengalami kontroversinya sendiri-sendiri dan masing-masing tokoh itu mengalami kecaman dari kelompok konservatif akibat ide-ide pembaruan yang mereka lontarkan. Namun, berbeda dari Mesir, para pembaru Muslim di Indonesia relatif aman dan tak menerima ancaman kekerasan yang bisa mengakibatkan kematian seperti umum terjadi di Mesir. Penjelasannya tak lain dan tak bukan karena tokoh-tokoh pembaru di Indonesia memiliki lembaga yang besar untuk berlindung.

Kedua, kekalahan/kemenangan partai-partai Islam terkait erat dengan sejarah kaum Muslim di masingmasing negara, khususnya dalam menyikapi isu-isu politik. Meski Indonesia berada di pinggiran jantung Islam, pengalaman kaum Muslim dalam berinteraksi dengan isu-isu politik boleh dibilang lebih tua dan lebih intensif ketimbang saudara-saudara Muslim mereka di Timur Tengah. Sebagai contoh, seperti sudah disinggung di atas, kaum Muslim Indonesia termasuk yang pertama mendirikan organisasi Islam untuk kepentingan politik kaum Muslim, yakni Sarekat Islam. Di Mesir, organisasi Islam yang murni sebagai wadah politik tak pernah muncul hingga tahun 1940an, ketika Ikhwanul Muslimin bertransformasi dari organisasi dakwah menjadi organisasi politik. Sarekat Islam memiliki pengalaman bergabung sebagai

4
anggota parlemen dalam pemerintahan kolonial dan memainkan peran yang sangat penting dalam membentuk sikap politik kaum Muslim pada masa itu.

Sejak awal, SI bersikap akomodasionis dengan menerima pemerintahan kolonial dan tunduk pada aturan main yang diterapkan. Para pemimpin SI merupakan tokoh yang cukup religius dengan latar belakang pendidikan Belanda yang kental. Agus Salim (1884-1954), misalnya, adalah sarjana Islam asal Minangkabau yang fasih berbicara bahasa Belanda dan Inggris. Begitu juga, Abdul Muis (1883-1959), juga seorang alim berasal dari Minangkabau, merupakan tokoh yang pandai berbicara tentang sastra dan sejarah. Muis juga sempat mengecap pendidikan Belanda, di samping belajar tentang Islam. Para tokoh awal Muslim ini tahu bagaimana berpolitik dan mengerti bagaimana menempatkan agama dalam urusan politik. Ketika kaum Muslim sedunia ribut soal Khilafah akibat ditutupnya lembaga ini oleh Mustafa Kamal Ataturk pada 1924, kaum Muslim di Indonesia menyikapinya dengan cukup dingin. Sebagai perbandingan, di Turki, Mesir, dan India, reaksi terhadap isu penutupan Khilafah dilakukan lewat demonstrasi dan pendirian gerakan pro-Khilafah. Di India, Khilafat Movement, melakukan kampanye restorasi khilafah selama tak kurang dari empat tahun. Di Mesir, isu khilafah semakin mempertajam ketegangan antara kelompok pembaru Muslim dengan kaum konservatif.

Ketiga, kekalahan/kemenangan partai-partai Islam terkait erat dengan perubahan perilaku kaum Muslim dalam melihat fungsi partai. Poin ini ada kaitannya dengan kampanye depolitisasi yang dilakukan para pembaru Muslim yang saya jelaskan di poin pertama. Sesuatu yang terjadi di Indonesia tidak terjadi di Mesir dan negara-negara Muslim di Timur Tengah lainnya, yakni kesalinguntungan (mutual benefit) yang tak disengaja antara para pembaru Muslim dan rezim yang berkuasa. Salah satu agenda penting para pembaru adalah menyadarkan kaum Muslim tentang perlunya memisahkan urusan agama dari politik. Sejak tahun 1970an, para pembaru Indonesia tidak mendukung gagasan negara Islam dan kurang setuju dengan partai-partai Islam. Pada awal dekade itu, Nurcholish Madjid menyuarakan sekularisasi dan pentingnya kaum Muslim menghentikan cara lama mereka dalam berpolitik, yakni menonjol-nonjolkan identitas Islam dan menggunakan simbol-simbol Islam secara berlebihan. Bagi Cak Nur, yang lebih penting adalah menjalankan politik substansialis dengan menekankan isu-isu yang memberi dampak luas bagi kaum Muslim, seperti pendidikan dan kesejahteraan.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Gus Dur, ketika secara terbuka dan terang-terangan, mendukung Pancasila sebagai satu-satunya azas. Gus Dur juga berperan besar dalam mendeligitimasi satu-satunya partai Islam di zaman Soeharto, yakni PPP. Secara demonstratif, Gus Dur mengecam kepemimpinan PPP

5
dan menerima tawaran Golkar untuk menjadi anggota MPR, mewakili partai berkuasa itu. Setelah Reformasi, Gus Dur melanjutkan agenda depolitisasi Islam dengan mendirikan partai terbuka, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Meski sebagian besar konstituennya adalah orang-orang NU, Gus Dur tak tertarik mengadopsi Islam sebagai dasar partai. Sebagai gantinya, ia mengumumkan PKB sebagai partai terbuka di mana para pengurusnya bukan hanya dari kelompok sekular, tapi juga dari kalangan nonMuslim.

Berbeda dari Indonesia, wacana tentang hubungan Islam dan negara di Mesir tak pernah benar-benar serius disuarakan para pembaru Muslim. Wacana ini bahkan cenderung menjadi milik kaum Islamis yang diwakili oleh organisasi-organisasi seperti Ikhwanul Muslimin. Tentu saja, di tangan kaum Islamis, wacana Islam dan politik tak banyak berkembang. Pandangan umum yang dianut kalangan Islamis adalah kebersatuan agama dan negara dan pentingnya memperjuangkan aspirasi politik lewat partai-partai Islam. Tidak ada counter-argumen yang dikembangkan kaum pembaru di sana. Tidak ada tokoh seperti Gus Dur yang terus-menerus dan secara konsisten mendeligitimasi partai Islam.

Terlepas dari perbedaan nasib partai Islam dalam Pemilu di kedua negara, Indonesia dan Mesir sebetulnya sama-sama sedang menghadapi suatu perubahan karakter pada masing-masing partai politiknya. Bukan hanya partai-partai Islam yang perlu didefinisikan ulang, partai-partai sekular juga memerlukan redefinisi. Dengan semakin kompleks dan terbukanya dunia, partai-partai Islam di Mesir memiliki tantangan yang tidak mudah. Sebagai partai pemenang, tugas PKK bukan hanya merawat konstituennya dengan memuaskan keinginan-keinginan mereka, tapi juga harus berhadapan dengan realitas politik, berupa problem ekonomi, politik, dan hubungan internasional.

Mengkombinasikan dua tuntutan ini sama sekali tidak mudah. Partai-partai Islam dipaksa untuk menjadi pragmatis dan memuaskan semua pihak agar tidak kehilangan semuanya. Jika tren ini yang terjadi, maka karakter Islamis PKK lambat-laun bakal luntur dan menjadi partai modern yang pragmatis, tak beda dengan partai-partai agama yang ada di Eropa. Pada sisi lain, partai-partai non-agama (sekular) di Indonesia akan semakin akomodatif dengan isu-isu keagamaan. Dengan semakin banyaknya kelompok santri yang masuk ke partai itu, semakin pudar karakter sekular dalam partai tersebut.

Dalam catatan Faisal Assegaf yang menjadi pembicara kedua dalam diskusi ini, politik Islam di Timur tengah pada dasarnya kini tengah mengalami perubahan besar bersama tantangan barunya. Dia mencatat

6
datangnya momentum penting di Timur Tengah beberapa waktu terakhir terkait kebangkitan Islam Politik di Timur Tengah.

Momentum adalah soal penting dalam panggung politik. Ia bisa dikatakan sebuah keajaiban karena mampu mengubah sesuatu yang rasanya tidak mungkin menjadi kenyataan. Termasuk perubahan yang terjadi di Tunisia.

Di tengah kekecewaan sebagian besar rakyat atas kenaikan harga bahan pangan, seorang pedagang buah bernama Muhammad Buazizi melancarkan protes dengan membakar diri dan akhirnya meninggal 18 hari kemudian. Peristiwa ini menyulut kemarahan rakyat yang sebelumnya sudah ber unjuk rasa menentang Presiden Zainal Abidin bin Ali.

Momentum ini pula yang memunculkan partai-partai Islam di Timur Tengah sebagai pemenang pada pemilihan umum setelah revolusi bergulir. Mereka berhasil memanfaatkan situasi di mana rakyat tidak ingin lagi melihat orang-orang lama yang pernah menjadi kroni penguasa memimpin lagi.

Partai Annahda di Tunisia meraup 41 persen dari 217 kursi di dewan perwakilan rakyat pada pemilihan akhir Oktober tahun lalu. Mereka menarik suara pemilih dengan konsep rekonsiliasi. Annahda mengajak elite-elite dari bekas partai penguasa masuk dalam pemerintahan koalisi.

Partai Kebebasan dan Keadilan (Ikhwanul Muslimin) serta Partai Nur (kelompok Salafi) meraih suara mayoritas (sekitar 67 persen) dalam tiga tahap pemilihan di Mesir, yang pertama dalam 32 tahun sejak rezim Mubarak berkuasa. Kedua partai ini berhasil meraup suara terbanyak dengan mengajukan program. Pemilihan umum yang digelar di Maroko November lalu juga memunculkan Partai Keadilan dan Pembangunan sebagai pemerintahan Islam pertama. Partai yang dipimpin Abdillah Benkirane meraup 107 dari 325 kursi di parlemen.

Pertanyaan besar yang menggelayuti banyak pihak adalah sampai kapan pemerintahan partai-partai Islam itu dapat bertahan. Meski pemilu sudah digelar dengan sukses di Tunisia, konflik sosial masih berlanjut di Tunisia.

Ekonomi menjadi tantangan terbesar di negara bekas jajahan Prancis itu. Demonstrasi-demonstrasi kecil masih berlangsung di pusat Ibu Kota Tunis. Mereka menuntut perbaikan ekonomi: ketersediaan lapangan kerja dan harga bahan pokok yang terjangkau.

7
Di Mesir, Kubu Islam yang akan berkuasa mesti menghadapi persoalan kemiskinan. Sekitar 40 juta hanya hidup dengan US$ 2 per hari. Belum lagi sentimen anti-Israel yang terus meningkat pasca kematian lima polisi perbatasan Mesir dalam baku tembak dengan tentara negara Zionis itu. Kekerasan antara Islam dan Kristen juga makin meningkat.

Pengangguran dan kemiskinan juga menjadi tantangan besar yang mesti dibereskan pemerintahan baru di Libya. Belum lagi konflik antarsuku yang menjadi api dalam sekam selama Qaddafi berkuasa. Suku-suku yang tidak menikmati kesejahteraan saat Qaddafi berkuasa selama 42 tahun menunjukkan kebenciannya terhadap kelompok yang dulu bekerja untuk rezim lama.

Partai Keadilan dan Pembangunan di Maroko juga menghadapi persoalan pengangguran tingginya harga kebutuhan dasar, dan besarnya angka buta huruf.

Bagaimana dengan masa depan revolusi Timur Tengah? Pertanyaan ini terkait soal apakah revolusi di negara-negara Arab bakal terus berlanjut dan seperti apa konstelasi politik Timur Tengah pasca-revolusi. Contoh lain juga terjadi di Bahrain. Negara-negara Barat tidak menyokong kaum Syiah yang mayoritas berupaya mendongkel lesultanan Bahrain yang beraliran Sunni. Mereka bahkan menutup mata dengan kehadiran tentara Arab Saudi untuk membantu menumpas demonstran Syiah. Maklum saja, negara-negara Barat tidak ingin Bahrain dikuasai kelompok Syiah yang tentunya bakal berafiliasi dengan Iran.

Alhasil, gelombang demokratisasi yang kini sedang melanda dunia Arab akan berhenti di Suriah. Suriah tidak memiliki potensi ekonomi yang menguntungkan. Sebab itu, negara-negara Barat hanya menonton saja kebrutalan tentara Assad.(*)

Hendromasto, Salihara

Anda mungkin juga menyukai