Anda di halaman 1dari 16

I. PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Istilah kebijakan perberasan pertama kali muncul dalam Instruksi Presiden (Inpres) No 9 Tahun 2001 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2002, sedangkan Inpres sebelumnya dikenal dengan Kebijakan Harga Dasar Gabah. Kebijakan tersebut telah dimulai sejak tahun 1968/69 dengan ditentukannya harga dasar pembelian gabah (Darwanto, 2001). Kebijakan perberasan pada dasarnya berbicara terhadap tindakan yang dipilih pemerintah mempengaruhi aspek perberasan dalam perekonomian termasuk di dalamnya tujuan dan cara mencapai tujuan kebijakan perberasan. Merujuk Sawit (2009), dasar pertimbangan pemerintah mengeluarkan Inpres Kebijakan Perberasan dimasukkan sebagai tujuan kebijakan perberasan. Tujuan kebijakan perberasan dalam Inpres Kebijakan Perberasan yang dikeluarkan pemerintah dalam kurun waktu 2005-2008 antara lain meningkatkan pendapatan petani, pengembangan ekonomi pedesaan, peningkatan ketahanan pangan dan stabilisasi ekonomi nasional, seperti yang terlihat pada Lampiran 1. Pemerintah menetapkan instrumen kebijakan untuk mencapai tujuan kebijakan diatas. Instrumen kebijakan dalam kurun waktu 2005-2008 secara eksplisit lebih spesifik dibandingkan dengan Inpres sebelumnya, antara lain kebijakan saprodi, kebijakan teknologi, kebijakan perbaikan sistem jaringan irigasi, kebijakan harga, kebijakan Raskin dan bantuan untuk rawan pangan, dan kebijakan impor/ekspor beras, seperti yang terlihat pada Lampiran 3. Kehadiran Inpres Kebijakan Perberasan tahun 2005-2008 merupakan bentuk campur tangan pemerintah dalam ekonomi perberasan. Kondisi tersebut

mendukung pernyataan Hakcroe et al (1994) yang mengemukakan bahwa pemerintah memiliki keterikatan dengan sektor pertanian dalam mencapai kesejahteraan pelakunya. Pada kenyataannya, pasar gagal mencapai food price dilemma yang dikemukakan oleh Barrett (1999), dimana konsumen

menginginkan harga pangan yang rendah sedangkan produsen menginginkan harga pangan yang tinggi. Kegagalan pasar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena adanya barang publik, faktor eksternalitas, kekuatan pasar yang memiliki karateristik monopoli, biaya transaksi dan informasi tidak sempurna,

menyebabkan pemerintah campur tangan dalam perekonomian (Pogue dan Sgontz, 1978; Stiglizt dalam Sadaoulet dan Janvry, 1995). Campur tangan pemerintah menimbulkan sikap pro dan kontra, diungkapkan Pal et al (1993), karena menciptakan inefisiensi dalam sumberdaya, disisi lain campur tangan pemerintah menyebabkan harga pangan menjadi stabil (Sawit, 2001). Campur tangan pemerintah dalam ekonomi perberasan karena beras merupakan komoditi strategis di Indonesia antara lain, Pertama, komoditi beras merupakan kebutuhan pokok, dimana besarnya pengeluaran rata-rata per kapita sebulan di desa dan kota pada kurun waktu 2006-2008 mencapai 19.07- 21.04 persen dari total anggaran untuk makanan, seperti yang terlihat pada Tabel 1. Kedua, komoditi beras penting dalam perdagangan Indonesia, khususnya perdagangan impor. Efek samping (side effects) impor beras akan merugikan produsen meskipun kebijakan tarif impor diberlakukan sebesar Rp 430 per kg, aktivitas perdagangan beras antar daerah dan antar waktu menurun, beras setiap saat mudah diperoleh, harga dasar gabah terperangkap dalam masalah price

overhang secara berkelanjutan, dan

konsumen dianggap mampu untuk

menghadapi fluktuasi harga beras. Disisi lain, fungsi Bulog yang sudah berubah, antara lain tidak lagi memperoleh fasilitas kredit murah dan tidak memiliki lagi captive market yang memadai untuk penyaluran stok beras yang dibelinya (Surono, 2001; Pranolo, 2001; Simatupang, 2001; dan Kariyasa 2003). Tabel 1.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Pengeluaran Rata-Rata Per Kapita Sebulan Kota dan Desa Untuk Makanan di Indonesia Tahun 2006-2008
2006 Rp/Bln % 33 314 21.44 1 739 1.11 13 832 8.90 5 420 3.48 8 677 5.58 12 939 8.32 4 780 3.07 6 161 3.96 5 762 3.70 7 327 4.71 4 015 2.58 3 719 2.39 30 169 19.41 17 508
155 362

Kelompok Barang Padi-padian Umbi-umbian Ikan Daging Telur dan susu Sayur-sayuran Kacang-kacangan Buah-buahan Minyak dan lemak Bahan minuman Bumbu-bumbuan Konsumsi lain Makanan dan minuman jadi Tembakau dan sirih
Jumlah

2007 Rp/Bln % 35 874 20.61 2 322 1.33 13 822 7.94 6 898 3.96 10 497 6.03 13 690 7.86 5 207 2.99 9 055 5.20 5 959 3.42 7 799 4.48 3 900 2.24 4 736 2.72 37 030 21.27 17 570
174 028

2008 Rp/Bln % 36 970 19.07 2 040 1.05 15 315 7.90 7 104 3.66 12 048 6.21 15 539 8.01 5 978 3.08 8 779 4.52 8 336 4.30 8 221 4.24 4 312 2.22 5 356 2.76 44 193 22.80 19 636
193 828

11.26
100.00

10.09
100.00

10.13
100.00

Sumber: BPS, 2006; 2007; 2008 (diolah)

Efek samping lain karena impor beras, diungkapkan Harianto (2001) dimana penurunan harga beras akan menguntungkan konsumen yang berada di pedesaan. Elastisitas harga di pedesaan lebih besar daripada elastisitas harga di kota. Elastisitas harga di pedesaan dan di kota masing-masing adalah - 0.707 dan 0.504. Konsumen di pedesaan juga adalah petani padi akan menghadapi dilemma. Turunnya harga akan menguntungkan jika konsumen adalah petani subsisten yang menjadi net buyer, sebaliknya, turunnya harga beras akan merugikan petani konsumen yang net seller.

Dasar

pertimbangan

pemerintah

mengeluarkan

Inpres

Kebijakan

Perberasan Tahun 2005-2008 sebagai akibat perkembangan perekonomian nasional, perkembangan nasional dan global di bidang pangan, khususnya perberasan. Kondisi diatas dikemukakan antara lain oleh Suryana dan Murdianto, 2001; Simatupang, 2001; Pranolo, 2001; Cramer dan Jensen, 1991; Sawit, 2001, 2007; Saragih, 2001 yaitu : (1) pasar beras dunia hanya sekitar 4-5 persen dari total produksi dunia sehingga tidak dapat diandalkan sebagai pengadaan beras domestik (2) beras sebagai bahan makanan pokok, (3) produk musiman, (4) kondisi excess supply pada musim panen raya yang merugikan produsen dan musim panceklik yang merugikan konsumen, (5) perubahan lingkungan strategis domestik, dengan berlangsungnya proses desentralisasi dan otonomi daerah, dan (6) pergerakan harga gabah antar musim. Perkembangan nasional dan global di bidang perberasan diatas akan mempengaruhi ketahanan pangan nasional, disisi lain produksi padi dalam negeri akan mempengaruhi ketahanan pangan nasional. Petani sebagai pelaku utama dalam mendukung keberhasilan ketahanan pangan, menghadapi kendala untuk meningkatkan produksi padi. Disisi lain, untuk meningkatkan produktifitas sektor padi, tidak dapat dipisahkan dari sektor perekonomian lainnnya. Sektor padi mempunyai keterkaitan langsung ke belakang (direct backward linkage) dengan dua belas sektor perekonomian lainnya, yang menyediakan input terhadap sektor padi. Lima sektor yang menyediakan input terbesar bagi sektor padi untuk kegiatan proses produksinya yaitu sektor kimia dasar dan pupuk, padi, perdagangan, perbankan dan barang-barang dari logam, masing-masing 49.34; 24.72; 9.45; 9.45, dan 1.64 persen (Sembiring (2002 b).

Data tersebut mengindikasikan, Pertama, kontribusi sektor kimia dasar/ pupuk dan sektor padi terhadap sektor padi sebesar 74.06 persen artinya ketersediaan sarana produksi (benih dan pupuk) merupakan syarat mutlak bagi sektor padi. Kedua, sektor padi berkembang apabila tersedia dukungan sektor perdagangan, lembaga perbankan dan mekanisasi pertanian. Kaitan antara pupuk dengan perdagangan akan menentukan harga pupuk di tingkat usahatani padi. Dukungan lembaga perbankan yang menyediakan kredit merupakan syarat pelancar bagi sektor padi sehingga petani padi memiliki akses terhadap teknologi. Sektor logam mewakili pentingnya kehadiran mekanisasi penting bagi sektor padi, akan meningkatkan produktifitas padi. Hasil penelitian Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Institut Pertanian Bogor menunjukkan bahwa insentif berupa fee atau margin keuntungan bagi distributor maupun pengecer pupuk urea bersubsidi adalah relatif kecil. Hal ini perlu diperhatikan, karena dengan kondisi tersebut ada dua kemungkinan yang dapat ditimbulkan yaitu: (1) distributor atau pengecer melakukan penjualan di luar ketetapan harga yang ditentukan atau menjual

dengan cara curah, dan (2) distributor maupun pengecer tidak tertarik untuk menjadi mitra PT. Pusri dalam mendistribusikan pupuk urea bersubsidi. Kedua hal ini akan berdampak kepada keberlangsungan distribusi pupuk yang dapat menimbulkan permasalahan kelangkaan atau kenaikan harga pupuk. Tabel 2 menunjukkan biaya distribusi pupuk urea bersubsidi per kg dari Lini III ke Lini IV ditentukan oleh jarak, dimana biaya produksi terbesar terdapat di propinsi Kalimantan Barat, Jawa Barat dan Riau, masing-masing 596.472 + 25.333 S, 375.106 + 19.207 S dan 375.513 + 14.845 S, terendah dijumpai di

propinsi Sumatera Selatan. Sarana dan prasarana pengangkutan berpengaruh dengan biaya distribusi per kg, dimana dukungan sarana dan prasarana pengangkutan menyebabkan biaya distribusi semakin rendah sebaliknya keadaan transportasi yang kurang memadai menyebabkan biaya distribusi pupuk menjadi besar, seperti di propinsi Kalimantan Barat, dimana biaya distribusi per kg sebesar 85.21 + 3.62 S, dengan kata lain semakin jauh jarak angkut pupuk urea bersubsidi maka biaya yang dikeluarkan semakin besar. Tabel 2. Biaya Distribusi Pupuk Urea Bersubsidi dari Lini III ke Lini IV di Beberapa Provinsi Indonesia Tahun 2006 No 1 2 3 4 5 6 7 8 Propinsi Jawa Barat Jawa Tengah Regional Jawa Kalimantan Barat Sumatera Selatan Lampung Riau Regional Sumatera Biaya Distribusi D= TFC + b* S 375.106 + 19.207 S 256.161 + 24.555 S 293.641 + 23.100 S 596.472 + 25.333 S 299.749 + 8.688 S 315.075 + 11.018 S 375.513 + 14.845 S 321.171 + 10.959 S Biaya Distribusi per Kg 55.02 + 2.74 S 36.59 + 3.49 S 41.95 + 3.30 S 85.21 + 3.62 S 42.82 + 1.24 S 45.01 + 1.57 S 53.64 + 2.12 S 45.88 + 1.57 S

Sumber : LPPM IPB, 2006. Keterangan : TFC : Total Fix Cost (Rp) b: biaya angkut per km; S: Jarak angkut (km)

Produktifitas potensial tercapai apabila petani mampu melakukan teknik budidaya yang relatif sama dengan yang dilakukan pada penelitian lapangan (Irawan, 2004). Di sisi lain, kendala petani sehingga terjadi gap antara produksi potensial dengan produksi aktual menurut Herdt dan Wickham ( 1978): (1) ada tidaknya irigasi, (2) musim, (3) faktor-faktor ekonomi, (4) kerusakan karena serangan hama dan penyakit, dan (5) tidak adanya adopsi teknologi baru oleh petani. Secara berturut-turut besarnya perbedaan produksi potensial dengan aktual dari lima kendala tersebut yaitu: (1) pengaturan air 23 persen, (2) tidak

mengadopsi teknologi baru 22 persen, (3) serangan hama penyakit 19 persen, dan

(4) faktor ekonomi sebesar 17 persen. Dari kelima kendala diatas maka ada tidaknya irigasi dan kendala teknologi merupakan kendala terbesar sehingga terjadi gap antara produksi potensial dan aktual. Kendala faktor ekonomi

menyebabkan petani kesulitan mengadopsi teknologi baru. Sembiring (2002 a; 2002 c) melakukan studi dengan menggunakan model Hayami dan Herdt, diperoleh bahwa perkembangan teknologi menghasilkan penurunan harga beras sebesar 13.51 sampai 25.00 persen dan diikuti dengan meningkatnya permintaan beras dari 2.94 sampai 6.75 persen. Penurunan harga beras di pasar menyebabkan surplus konsumen meningkat sebesar 5.40 sampai 11.76 persen. Kemajuan teknologi menyebabkan penurunan biaya produksi antara 1.30 sampai 5.12 persen sehingga menghasilkan peningkatan surplus produsen dari 0.01 sampai 2.65 persen. Hasil studi tersebut mendukung teori Mosher, 1966; Ruttan, 1978; Doll dan Orazem, 1984. Dengan kata lain, teknologi mempunyai peranan sangat penting dalam meningkatkan produsen dan konsumen. Penggunaan teknologi pasca panen berguna untuk mengurangi kehilangan pasca panen padi. Bachruddin (2008) menyebutkan ada tiga permasalahan dalam pengembangan penanganan pasca panen, yaitu masalah teknis dan manajemen, sosial dan ekonomi. Permasalahan dari sisi petani antara lain tingkat pengetahuan, ketrampilan dan kesadaran petani terhadap penerapan mekanisasi pasca panen masih terbatas, introduksi mekanisasi pasca panen belum sesuai dengan kebutuhan petani/kelompok tani, dan daya beli petani/kelompok tani untuk kesejahteraan masyarakat baik

menyewa atau menerapkan alat mesin pasca panen masih relatif rendah. Selanjutnya, rendemen penggilingan tahun 2007 sebesar 62.60 persen, menurun

0.60 persen dibandingkan tahun 1995/1996 sebesar 63.20 persen. Penurunan ini diduga karena banyaknya mesin penggilingan yang sudah relatif tua dan adanya tuntutan kebutuhan konsumen akan kualitas beras yang lebih baik. Tabel 3 menunjukkan bahwa setiap pengadaan satu unit jenis alat mesin akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan produksi beras. Semakin besar kapasitas dari jenis alat mesin, semakin besar kontribusi beras yang diberikan. Sabit bergerigi dengan kapasitas dua hektar per tahun hanya memberikan kontribusi peningkatan produksi beras sebesar 63 kg per tahun, sebaliknya pengadaan alat pasca panen dengan kapasitas yang lebih besar memberikan kontribusi peningkatan beras yang lebih besar yaitu Vertical Dryer dan RMU 2 phase, masing-masing 136 080 dan 181 440 kg per tahun. Tabel 3. Analisis Kontribusi Pengadaan Alsin Pasca Panen terhadap Peningkatan Produksi Beras
No 1 2 3 4 5 6 7 Jenis alat mesin Sabit Bergerigi Terpal Power Thresher Box Dryer Vertical Dryer RMU 1 phase RMU 2 phase Kap (Ha/th) 2 12 60 192 1 440 576 1 152 Produksi (Ton/Ha) 10 60 300 960 7 200 2 880 5 760 % Susut (GKG) Ton 1.0 3.0 2.5 2.0 3.0 4.0 5.0 0.1 1.8 7.5 19.2 216.0 115.2 288.0 Rendemen (%) 63 63 63 63 63 63 63 Kontribusi Beras (Kg/thn) 63 1 134 4 725 12 096 136 080 72 576 181 440

Sumber: Bachrudin, (2008) Keterangan: Produktifitas 5 ton/ha . Menurut Sumodiningrat (2004) subsidi pupuk bertujuan menurunkan beban salah satu komponen biaya produksi tetapi dalam kenyataannya menimbulkan kelangkaan dan mendorong kenaikan harga pupuk. Pemerintah mengucurkan bantuan subsidi pupuk melalui pabrik pupuk urea, yang besarnya tahun 2004 mencapai Rp 1.3 triliun, tetapi petani sulit memperoleh pupuk.

1.2 Permasalahan Penelitian Pada kenyataannya, tidak mudah menerapkan kebijakan perberasan karena adanya kendala, baik dari sisi petani dan pemerintah. Kendala yang dihadapi petani: (1) rata-rata skala penguasaan lahan usahatani padi hanya 0.3 hektar, (2) sekitar 70 persen petani padi (khususnya buruh tani dan petani skala kecil) termasuk golongan masyarakat miskin atau berpendapatan rendah, (3) sekitar 60 persen petani padi adalah net consumer beras, dan (4) rata-rata pendapatan rumah tangga petani padi dari usahatani padi hanya sekitar 30 persen dari total pendapatan keluarga. Kendala lain yang dihadapi petani yaitu: (1) petani umumnya menghadapi keterbatasan akses pembiayaan usahatani atau kredit, (2) keluarga petani hampir selalu membutuhkan dana tunai segera setelah panen, untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga maupun mengganti pinjaman biaya produksi, dan (3) petani padi sulit keluar dari usahatani padi untuk mengusahakan kegiatan pertanian lain karena berbagai faktor, termasuk kondisi infrastruktur (pengairan). Pemerintah menetapkan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Kering Panen (GKP), Gabah Kering Giling (GKG) dan harga beras di Bulog. Tabel 4 menunjukkan bahwa instrumen kebijakan harga HPP GKP, HPP GKG dan harga beras di Bulog menunjukkan kecenderungan naik (flex up), masing-masing 12.30, 12.60, 15.10, dan 11.20 persen. . Hasil kajian Kariyasa dan Andyana, dalam Kariyasa (2003) di tiga provinsi (Sumatera Barat, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan) menunjukkan bahwa harga gabah yang diterima petani mendekati harga dasar gabah (HDG), artinya, realisasi HDG tersebut di tingkat petani, masih jauh dari yang diharapkan

10

Tabel 4. Perkembangan Harga Pembelian Pemerintah Terhadap Harga Gabah dan Beras Tahun 2001-2009
Harga Gabah Kering Giling Harga Beras di Bulog Penggilingan Penyimpanan Rp/Kg (%) Rp/Kg (%) Rp/Kg (%) Rp/Kg (%) 1 No 9/2001 1 500 1 519 2 470 2 No 9/2002 1 230 1 725 15.00 2 700 9.31 3 No 2/2005 1 330 8.16 1 740 0.90 1 765 2 790 3.30 4 No 13/2005 1 730 30.10 2 250 29.30 2 280 29.20 3 550 27.30 5 No 3/2007 2 000 15.60 2 575 14.40 2 600 14.00 4 000 12.70 6 No 1/2008 2 200 10.00 2 800 8.70 2 840 9.20 4 300 7.50 7 No 8/2008 2 400 9.90 3 000 7.10 3 070 8.10 4 600 7.00 Rerata 12.30 12.60 15.10 11.20 Sumber: Inpres tentang Kebijakan Perberasan Tahun 2001-2008 Keterangan : Inpres No 2/2005 menyebutkan harga beras di penggilingan Rp 2.790. (%) diperoleh dari Harga T1 T0 /T0 x 100 % . (Data diolah ) N o Intruksi Presiden Harga GKP

Pembelian gabah oleh pemerintah di daerah, selain dilakukan oleh perum Bulog, juga dapat dilakukan oleh badan pemerintah atau badan usaha di bidang pangan. Gabah yang dibeli Bulog harus memenuhi kualitas yang ditetapkan dalam Inpres. Efektifitas kebijakan harga berjalan apabila harga gabah yang diterima petani sesuai dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah, disisi lain gabah petani harus memenuhi persyaratan kualitas gabah seperti yang tertera pada

Lampiran 3 Kendala yang dihadapi pemerintah dalam mencapai tujuan kebijakan antara lain keterbatasan anggaran. Anggaran pemerintah untuk subsidi dialokasikan untuk pupuk, benih, kredit program dan pangan. Alokasi subsidi terbesar diperuntukkan untuk subsidi pupuk, sedangkan alokasi subsidi terendah dialoaksikan terhadap kredit program, dimana besarnya anggaran pemerintah terhadap subsidi pupuk tahun 2007 sebesar Rp 6 260.5 milyar, meningkat tajam menjadi Rp 15 181.5 milyar dan Rp 17 537.0 milyar pada tahun 2008 dan 2009. (Gambar 1). Meskipun pemerintah meningkatkan anggaran untuk subsidi pupuk,

11

tetap ditemukan kelangkaan pupuk, sehingga harga pupuk bersubsidi lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi.

Sumber : Departemen Keuangan, 2010 Gambar 1. Anggaran Pemerintah Untuk Subsidi Dari sisi konsumsi pangan, terdapat perbedaan diantara negara berkembang dengan negara maju. Di negara maju, konsumsi pangan relatif lebih datar dibandingkan dengan negara berkembang. Konsumsi pangan/beras di negara maju yang terjadi pada perubahan kualitas bukan kuantitas. Hukum Engel menyebutkan bahwa semakin naik pendapatan rumah tangga, maka persentase pendapatan yang dialokasikan untuk pangan/beras semakin menurun. Sedangkan di negara berkembang, elastisitas pendapatan positip, sehingga dengan kenaikan pendapatan diikuti dengan naiknya permintaan padi/beras. Disisi lain, pemerintah mengalami kesulitan untuk menurunkan konsumsi beras. Bagi keluarga miskin di Indonesia, sumber protein berasal dari beras, apabila beras dikurangi maka subtitusi beras sebagai sumber protein tidak ada.

12

Di negara maju, perubahan pangan (food) ke pakan (feed) akan mempengaruhi perberasan nasional. Perubahan tersebut menyebabkan permintaan pakan naik. Peningkatan permintaan pakan dunia mendorong produsen di Indonesia meningkatan luas areal tanaman subtitusi padi (jagung), sehingga luas areal tanaman padi berkurang selanjutnya produksi padi/beras nasional turun, stok beras menurun, sehingga mendorong pemerintah mengimpor beras dari pasar dunia. Disisi lain, harga beras di pasar internasional naik karena excess demand. Perubahan dampak global excess demand menjadi global excess supply secara siginifikan mempengaruhi kebijakan perberasan nasional. Apabila pemerintah tidak campur tangan, maka harga beras domestik naik sehingga merugikan konsumen, sedangkan produsen padi/beras diuntungkan. Efek samping yang timbul karena implementasi kebijakan perberasan nasional: (1) instrumen kebijakan dengan naiknya Harga Pembelian Pemerintah (HPP), akan mendorong inflasi sehingga upah buruh, harga saprodi dan barang yang dikonsumsi petani juga naik, (2) instrumen kebijakan impor dan Raskin cenderung menyebabkan harga beras turun dan diikuti dengan penurunan harga gabah petani, (3) kegiatan operasi pasar Bulog menurunkan harga beras, (4) keputusan Bulog menghentikan pembelian gabah di tingkat petani karena gudang Bulog untuk pengadaan cadangan pangan nasional sudah terpenuhi menyebabkan harga gabah turun, dan (5) kebijakan pemerintah meningkatkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) menyebabkan kenaikan biaya pasca panen. Disisi lain, pemerintah memiliki keterbatasan menjalankan dan mengawasi kebijakan perberasan pada tingkat implementasi. Hilman (2003) menyebut government failure disebabkan adanya keterbatasan informasi, kemampuan

13

pemerintah untuk mengontrol dan mengawasi pelaku birokrat, pangawasan yang terbatas dan hambatan dalam proses politik antara lembaga legistatif dan eksekutif (pemerintah). Dengan kata lain, implementasi kebijakan perberasan tidak selalu akan meningkatkan kesejahteraan petani. Pemerintah memiliki keterbatasan

menjalankan dan mengawasi kebijakan perberasan pada tingkat inplementasi1. Keterbatasan tersebut adalah: (1) harga jual gabah petani lebih rendah dibandingkan harga yang ditentukan oleh pemerintah, dimana 52 persen panen petani tidak mendapat harga yang sesuai dengan ketentuan Inpres, (2) harga beli pupuk subsidi oleh petani diatas Harga Eceran Tertinggi (HET) (3) terjadi kelangkaan pupuk disisi lain ada petani yang menggunakan pupuk secara berlebihan, (4) dampak kenaikan harga BBM mengakibatkan kenaikan jumlah warga miskin sekitar 10 persen, sehingga jatah beras raskin untuk setiap keluarga menurun dari 20 kg menjadi 10 kg, (5) operasi pasar menyebabkan harga gabah anjlok, (6) ketidak-mampuan Bulog menyerap 10 persen gabah petani, dan (7) lambatnya inovasi hasil pertanian Permasalahan utama penelitian apakah instrumen kebijakan perberasan mampu mencapai tujuan kebijakan perberasan: (1) meningkatkan pendapatan petani, (2) meningkatkan ketahanan pangan dan (3) stabilisasi ekonomi ? Perumusan masalah kebijakan perberasan nasional yaitu: (1) bagaimana

implementasi kebijakan bantuan benih, pupuk bersubsidi, rehabilitasi jaringan irigasi dan harga pembelian pemerintah terhadap petani dan perspektif ke depan ?, (2) bagaimana implementasi kebijakan perberasan tingkat nasional ?, (3)
1

Kompas, 11 Agustus 2004; 1 Maret 2005; 16 Desember 2004; 3 Agustus 2004; 13 Mei 2004; 19 Agustus 2004; Media Indonesia, 4 April 2004

14

bagaimana model ekonometrika kebijakan perberasan dan dampak kebijakan pemerintah terhadap tujuan kebijakan perberasan?, dan (4) bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat ?. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk: 1. 2. 3. Mendeskripsikan implementasi kebijakan perberasan dari perspektif petani. Mengevaluasi implementasi kebijakan perberasan pada tingkat nasional. Menganalisis dampak kebijakan perberasan terhadap tujuan kebijakan perberasan dan kesejahteraan produsen dan konsumen. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi berbagai pihak baik dalam lingkup akademis (keilmuan) maupun lingkup praktis. 1.4.1 Kegunaan dalam Lingkungan Akademis/Keilmuan 1. Memperkaya khasanah keilmuan tentang pemahaman implementasi kebijakan perberasan pada tingkat produsen/petani padi. 2. Memperkaya khasanah keilmuan tentang pemahaman kendala-kendala yang dihadapi pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan perberasan. 3. Memperkaya khasanah keilmuan tentang pemahaman menyusun dan menganalisis model persamaan simultan kebijakan perberasan. 4. Memperkaya khasanah keilmuan tentang pemahaman dampak kebijakan perberasan terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen. 5. Memberikan informasi bagi penelitian yang serupa agar dapat melakukan penyempurnaan demi kemajuan ilmu pengetahuan tentang implementasi kebijakan di tingkat petani, penyusunan model persamaan simultan kebijakan

15

perberasan melalui regulasi yang dikeluarkan pemerintah dan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat. 1.4.2 Kegunaan dalam Lingkungan Praktis 1. Hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan untuk tambahan informasi sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam menyusun dan

mengimplementasikan kebijakan perberasan yang memberikan dampak terhadap kesejahteraan masyarakat. 2. Hasil penelitian diharapkan menjadi tambahan informasi bagi semua pelaku Instruksi Presiden kebijakan dalam mendukung kebijakan pemerintah khususnya kebijakan perberasan. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Dalam kurun waktu delapan tahun dari 2000-2008, pemerintah mengeluarkan delapan Instruksi Presiden tentang kebijakan perberasan.

Pemerintah memiliki respon yang positif dalam menghadapi perubahan domestik dan global yang mempengaruhi perberasan nasional. Fakta ini mengindikasikan bahwa diktum kebijakan dalam menghadapi perubahan lingkungan domestik dan global berbeda. Konsekwensi kebijakan perberasan dikeluarkan secara periodik menyebabkan analisis kebijakan perberasan dalam suatu kurun waktu yang panjang tidak mudah dilakukan. Penelitian ini fokus terhadap kebijakan perberasan yang dikeluarkan pemerintah tahun 2005-2008. Dasar pertimbangan menentukan Inpres tentang Kebijakan Perberasan tahun 2005-2008, yaitu: (1) dasar pertimbangan pemerintah menetapkan kebijakan perberasan diantara Inpres tidak berbeda, kecuali Inpres Tahun 2005, seperti terlihat pada Lampiran 1, (2) persyaratan kadar kualitas

16

gabah dan beras yang harus dipenuhi tidak berbeda diantara Inpres, kecuali Inpres Tahun 2005, seperti terlihat pada Lampiran 3, (3) pengelompokan gabah terdiri dari Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling, seperti terlihat pada Lampiran 3, (4) pelaku yang ditugasi membeli gabah dan beras pada tingkat nasional yaitu perum Bulog, sedangkan pembelian di daerah dilakukan oleh perum Bulog, badan pemerintah atau badan usaha bidang pangan, seperti terlihat pada Lampiran 2, (5) instrumen kebijakan dalam Inpres tidak memiliki perbedaan yang berarti, kecuali instrumen kebijakan pada Inpres No 8 Tahun 2008, yaitu penggunaan pupuk anorganik dan organik yang berimbang, seperti terlihat pada Lampiran 5, dan (6) pelaksana Inpres tidak berbeda berarti, kecuali Inpres No 2 dan 13 Tahun 2005, dimana Badan Pertanahan Nasional belum bagian dari pelaksana Inpres, seperti terlihat Lampiran 4.

Anda mungkin juga menyukai