Anda di halaman 1dari 3

Si Kancil dan Siput

Pada suatu hari si kancil nampak ngantuk sekali. Matanya serasa berat sekali untuk dibuka. Aaa....rrrrgh, si kancil nampak sesekali menguap. Karena hari itu cukup cerah, si kancil merasa rugi jika menyia-nyiakannya. Ia mulai berjalan-jalan menelusuri hutan untuk mengusir rasa kantuknya. Sampai di atas sebuah bukit, si Kancil berteriak dengan sombongnya, Wahai penduduk hutan, akulah hewan yang paling cerdas, cerdik dan pintar di hutan ini. Tidak ada yang bisa menandingi kecerdasan dan kepintaranku. Sambil membusungkan dadanya, si Kancil pun mulai berjalan menuruni bukit. Ketika sampai di sungai, ia bertemu dengan seekor siput. Hai kancil !, sapa si siput. Kenapa kamu teriakteriak? Apakah kamu sedang bergembira?, tanya si siput. Tidak, aku hanya ingin memberitahukan pada semua penghuni hutan kalau aku ini hewan yang paling cerdas, cerdik dan pintar, jawab si kancil dengan sombongnya. Sombong sekali kamu Kancil, akulah hewan yang paling cerdik di hutan ini, kata si Siput. Hahahaha......., mana mungkin ledek Kancil. Untuk membuktikannya, bagaimana kalau besok pagi kita lomba lari?, tantang si Siput. Baiklah, aku terima tantanganmu, jawab si Kancil. Akhirnya mereka berdua setuju untuk mengadakan perlombaan lari besok pagi. Setelah si Kancil pergi, si siput segera mengumpulkan teman-temannya. Ia meminta tolong agar teman-temannya berbaris dan bersembunyi di jalur perlombaan, dan menjawab kalau si kancil memanggil. Akhirnya hari yang dinanti sudah tiba, kancil dan siput pun sudah siap untuk lomba lari. Apakah kau sudah siap untuk berlomba lari denganku, tanya si kancil. Tentu saja sudah, dan aku pasti menang, jawab si siput. Kemudian si siput mempersilahkan kancil untuk berlari dahulu dan memanggilnya untuk memastikan sudah sampai mana si siput. Kancil berjalan dengan santai, dan merasa yakin kalau dia akan menang. Setelah beberapa langkah, si kancil mencoba untuk memanggil si siput. Siput....sudah sampai mana kamu?, teriak si kancil. Aku ada di depanmu!, teriak si siput. Kancil terheran-heran, dan segera mempercepat langkahnya. Kemudian ia memanggil si siput lagi, dan si siput menjawab dengan kata yang sama.Aku ada didepanmu! Akhirnya si kancil berlari, tetapi tiap ia panggil si siput, ia selalu muncul dan berkata kalau dia ada depan kancil. Keringatnya bercucuran, kakinya terasa lemas dan nafasnya tersengal-sengal. Kancil berlari terus, sampai akhirnya dia melihat garis finish. Wajah kancil sangat gembira sekali, karena waktu dia memanggil siput, sudah tidak ada jawaban lagi. Kancil merasa bahwa dialah pemenang dari perlombaan lari itu. Betapa terkejutnya si kancil, karena dia melihat si siput sudah duduk di batu dekat garis finish. Hai kancil, kenapa kamu lama sekali? Aku sudah sampai dari tadi!, teriak si siput. Dengan menundukkan kepala, si kancil menghampiri si siput dan mengakui kekalahannya. Makanya jangan sombong, kamu memang cerdik dan pandai, tetapi kamu bukanlah yang terpandai dan cerdik, kata si siput. Iya, maafkan aku siput, aku tidak akan sombong lagi, kata si kancil.

Ikan dan Burung Di sebuah hutan hiduplah dua binatang yang saling bersahabat. Binatang itu adalah burung dan ikan. Keduanya sangat dekat dan selalu saling membantu. Kedekatan keduanya ini tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui suatu kejadian yang mengubah mereka. Waktu itu ikan sedang beristirahat di pinggiran sungai. Ia memandangi biji-bijian di pohon tepat di atasnya. Kelihatannya biji-bijian itu enak dimakan kata ikan dalam hati. Ia lalu berusaha meloncat setinggi-tingginya untuk mendapatkannya. Berkali-kali ia meloncat, namun tidak berhasil mencapai biji-bijian itu. Ia hanya bisa memandangi biji-bijian itu. Saat sedang memandangi biji-bijian itu, perhatiannya teralihkan oleh seekor burung yang berterbangan ke sana-kemari. Tuhan, kenapa Engkau tidak memberiku sayap untuk terbang agar aku bisa meraih biji-bijian itu? Kata si ikan dalam hati. Kita tinggalkan si ikan dan beralih ke burung. Setelah beterbangan, burung lalu hinggap di salah satu dahan pohon di pinggir sungai untuk beristirahat. Saat itu ia melihat ke air. Di dasar air sungai itu ia melihat banyak sekali cacing bergeliatan. Kelihatannya cacing-cacing itu enak dimakan. Kata burung dalam hati. Ia lalu berusaha masuk ke dalam air untuk menyelam dan menangkap cacingcacing itu. Namun, ia tidak berhasil karena ia tidak bisa berenang. Ia lalu hanya bisa memandangi cacing itu dari atas pohon. Saat sedang memandangi cacingcacing di dalam air, perhatiannya teralihkan pada ikan yang sedang berenang di dalam air. Tuhan, kenapa Engkau tidak memberiku ekor dan sirip untuk berenang agar aku bisa meraih cacing-cacing dalam air itu? kata si burung dalam hati. Akhirnya ikan dan burung saling tahu kesulitan masing-masing. Berkali-kali si ikan melihat burung menyelam ke air untuk mendapatkan cacing. Demikian pun si burung berkali-kali melihat ikan meloncat-loncat untuk mendapatkan biji-bijian. Lalu mereka berkenalan. Hei ikan, apakah kau menginginkan biji-bijian ini? kata burung. Benar, tapi aku tidak punya sayap sepertimu sehingga tidak bisa terbang mendapatkan biji-bijian itu. jawab si ikan. Aku juga menginginkan cacing di dasar sungai, tapi aku idak punya sirip sepertimu sehingga tidak bisa mendapatkan cacing-cacing itu. balas si burung. Gimana jika kau membantuku mengambil biji-bijian itu dan aku akan membantumu mendapatkan cacing-cacing di dasar sungai. Ajak si ikan. Wow ide bagus, aku setuju. Sahut si burung. Akhirnya ikan dan burung menjadi sahabat dan saling membantu.

Misteri Apel
Sella namanya. Ia sangat suka apel. Malah, dia memiliki sebatang pohon apel yang ranum. Batangnya kokoh dan tebal. Ia selalu menantikan musim panen apel, di mana pohon apelnya bertambah rimbun akan buah-buah apel yang merah, lezat, dan segar.

Hari ini, Sella terburu-buru memasuki pagar rumahnya yang terbuat dari kayu jati dan tingginya hanya sebahunya. Lalu, ia menatap pohon apelnya dengan senyuman lebar. Ya, waktunya pesta apel malam ini! Hari ini, Jumat, adalah awal musim apel yang amat dinantikan Sella. Sella segera memasuki pintu dapur dan menyapa Ibunya, Assalamualaikum! Waalaikum salam. Kok, buru-buru gitu, Sella? tanya Ibu lembut. Sella segera masuk ke dalam kamarnya dan mengganti seragamnya dengan baju lengan panjang sesiku warna biru cerah dan celana jins selutut dengan bordir di pinggirannya. Ayo pesta apel, Bu! sahut Sella sembari membawa keranjang rotan kecil. Ia memetik lima buah apel. Setelah dihitungnya dengan ekstra teliti, buah apel di pohonnya ada 26 buah. Setelah dipetiknya lima, tentu saja apelnya tinggal 21 buah! Sella sudah tidak sabar untuk mengunyah pai apel dan meneguk jus apel yang super duper lezatnya. Sella duduk di bangku kayu panjang yang menghadap kebunnya. Kebun mini yang isinya : sebatang pohon apel, deretan bunga kamboja jepang, dua pot bunga tulip, dan lima jemani yang harganya masih membumbung tinggi. Sella menggigit apelnya. Hmm... lezat! pikirnya. Sella, kok makan apel, sih. Makan dulu, dong. Ibu sudah siapkan cap cay kesukaanmu. Terus ada telur orak arik juga! Favoritmu kan, wortel yang diiris tipis-tipis, panggil Ibu dari dapur yang jaraknya dekat. Oke, Bu! Sella segera membawa keranjang rotannya ke dalam rumah. Ibu memasukkan apel yang dipetik Sella ke dalam kulkas. Sella duduk di kursi meja makan menghadap piring berisi nasi dengan lauk telur orak-arik yang menggiurkan. Sella makan dengan lahap. Setelah itu, ia membaca buku yang tadi diajarkan dan belajar untuk pelajaran esok. Setelah mengerjakan PR-nya, Sella mandi, sholat, lalu menonton teve sampai adzan magrib berkumandang. Esoknya, Sella bersiap-siap. Ia mengecek tasnya, kalau-kalau ada yang lupa. Ibu menyiapkan sarapan dengan lauk ayam goreng, sayur sop, dan semangkuk kecil sambal terasi. Sella makan dengan lahap, lalu menyikat gigi sebentar dan mengenakan kaus kaki dan sepatunya. Lho, kok, buah apelku tinggal 15? Bukankah kemarin 21? gumamnya. Ibu, Ayah, apakah Ibu atau Ayah memetik enam buah apelku? Tidak. Coba teliti lagi, atau hanya halusinasimu saja. Kamu kadang kurang teliti! kata Ibu. Sella bergidik ketakutan. Apa yang mencuri apelku itu hantu, ya? Hush! Tidak ada yang namanya hantu. Mungkin bukan hantu yang mencuri, tapi anak-anak nakal. Pasti suatu hari mereka minta maaf padamu, jawab Ibu tegas. Selama di sekolah, Sella merasa tidak enak. Ia terus memikirkan apelnya. Kalau hanya sebuah tidak apa-apa. Tapi, ini enam, pikirnya dengan jantung berdebar kencang. Malamnya, Sella sengaja ingin tidur lebih malam, karena ini malam Minggu. Ayah dan Ibu menonton film di tv. Sella membuka sedikit gorden jendela di kamarnya. Lalu, ia melihat kirakira sepuluh ekor burung sedang mendekati pohon apelnya. Burung-burung itu sangat cantik. Lalu, mereka memakan buah apel Sella. Sella membelalak melihatnya. Ternyata yang memakan buah apelku itu para burung, gumam Sella. Ayah mengintip Sella. Sebenarnya Ayah dan Ibu ingin menghadiahkan burung untuk Sella karena ia telah masuk tiga besar di kelas. Lalu, Ayah masuk ke garasi dan mengambil kotak yang tertutup kain lusuh warna putih yang sudah pudar. Sella... KEJUTAN!!! seru Ayah dan Ibu mengejutkan Sella. Sella menoleh. Lalu, Ayah memberikan kotak itu pada Sella. Sella takut membukanya. Cuit! Cuit! Sella menatap takjub apa isi kotak berwarna hijau itu. Seekor burung parkit berwarna hijau yang sangat manis. Terima kasih, Ayah, Ibu! seru Sella gembira.

Anda mungkin juga menyukai