Anda di halaman 1dari 11

REFERAT

EKSTUBASI

Disusun oleh : Astari A.C.Goller ,S.Ked Pembimbing: dr. Sylvia Sukma Dewi, Sp.An
SMF ANASTESI RSUD dr. M. SALEH KOTA PROBOLINGGO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA 2010

05.70.0058

KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala Berkat dan Karunia-Nya makalah yang berjudul EKSTUBASI ini dapat diselesaikan. Makalah ini merupakan tugas dari SMF Bedah di RSUD dr. Moh. Saleh Probolinggo. Dalam menyelesaikan makalah ini, tentu tak lepas dari bantuan berbagai pihak, maka tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada : 1. Dr.Sylvia Sukma Dewi, Sp.An 2. Teman - teman sejawat 3. Berbagai pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini Penulis telah berupaya semaksimal mungkin untuk meyelesaikan makalah ini, namun penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, sehingga kritik dan saran akan selalu kami terima dengan senang hati demi mencapai kesempurnaan. Atas perhatiannya penulis ucapkan terimakasih.

Probolinggo, 20 Desember 2010

penulis

BAB I PENDAHULUAN

Pengelolaan jalan nafas menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan napas untuk berjalan dengan baik. Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan melakukan tindakan intubasi endotrakheal, yakni dengan memasukkan suatu pipa ke dalam saluran pernapasan bagian atas. Karena syarat utama yang harus diperhatikan dalam anestesi umum adalah menjaga agar jalan napas selalu bebas dan napas dapat berjalan dengan lancar serta teratur. Tahap akhir dari pelaksanaan intubasi adalah ekstubasi. Dalam pelaksanaan ekstubasi dapat terjadi gangguan pernapasan yang merupakan komplikasi yang sering kita temui pasca anestesi. Komplikasi bisa terjadi setelah dilaksanakannya ekstubasi seperti : pengeluaran sekret dari mulut yang menyumbat jalan napas, edema laring, dan bisa terjadi spasme laring. Komplikasi pernapasan pasca anestesi bisa menyebabkan hipoventilasi dan hipoksemia. Gejala komplikasi kadang-kadang datangnya tidak diduga kendatipun tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik. Keberhasilan dalam mengatasi komplikasi tergantung dari deteksi gejala dini dan tindakan koreksi untuk mencegah keadaan yang lebih buruk. Tulisan ini akan membahas tentang ekstubasi endotrakheal, komplikasi yang terjadi dan cara penanganannya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI Definisi ekstubasi adalah mengeluarkan pipa endotrakheal setelah dilakukkan intubasi. II.2 TUJUAN Tujuan dilakukan ektubasi adalah untuk: 1. Untuk menjaga agar pipa endotrakheal tidak menimbulkan trauma. 2. Untuk mengurangi reaksi jaringan laringeal dan menurunkan resiko setelah ekstubasi. II.3 KRITERIA EKTUBASI Kriteria ekstubasi yang berhasil bila : 1. Vital capacity 10 15 ml/kg BB. 2. Tekanan inspirasi diatas 20 cm H2O. 3. PaO2 diatas 80 mm Hg. 4. Kardiovaskuler dan metabolic stabil. 5. Tidak ada efek sisa dari obat pelemas otot. 6. Reflek jalan napas sudah kembali dan penderita sudah sadar penuh.

II.4 PELAKSANAAN EKTUBASI Sebelum dilakukan ekstubasi, terlebih dahulu rongga mulut dibersihkan, memastikan efek obat pelemas otot sudah tidak ada dan ventilasi sudah adequate. Melakukan pembersihan mulut sebaiknya dengan kateter yang steril. Walaupun penting untuk membersihkan trachea atau faring dari sekret sebelum ekstubasi, hendaknya tidak dilakukan secara terus menerus bila terjadi batuk dan sianosis. Sebelum dan sesudah melakukan pengisapan, sebaiknya diberikan oksigen. Apabila plester dilepas, balon sudah dikempiskan, lalu dilakukan ekstubasi dan 4

selanjutnya diberikan oksigen dengan sungkup muka. Pipa endotrakheal jangan dicabut apabila sedang melakukan pengisapan karena kateter pengisap bisa menimbulkan lecet pita suara, perdarahan, atau spasme laring. Untuk mencegah spasme bronchus atau batuk, ekstubasi dapat dilakukan pada stadium anestesi yang dalam dan pernapasan sudah spontan. Spasme laring dan batuk dapat dikurangi dengan memberikan lidokain 50 100 mg IV (intra vena) satu menit atau dua menit sebelum ektubasi. Kadang-kadang dalam melakukan ekstubasi terjadi kesukaran,

kemungkinan kebanyakan disebabkan oleh balon pada pipa endotrakheal besar, atau sulit dikempiskan, atau pasien menggigit pipa endotrakheal. Ekstubasi jangan dilakukan apabila ada sianosis, hal ini disebabkan adanya gangguan pernapasan yang tidak adequate atau pernapasan susah dikontrol dengan menggunakan sungkup muka pada saat pembedahan. Pada pasien dengan lambung penuh, ekstubasi dilakukan apabila pasien sudah bangun atau dilakukan ekstubasi pada posisi lateral. Pada pembedahan maxillofacial daerah jalan napas, bila perlu

dipertimbangkan untuk melakukan trakheostomy sebelum ekstubasi. Apabila pasien mengalami gangguan pernapasan atau pernapasan tidak adequate pipa hendaknya jangan dicabut sampai penderita sudah yakin baik, baru ke ruang pemulihan dengan bantuan napas terus menerus secara mekanik sehingga adequate.

Pengisapan Trakhea Pengisapan orotrakheal atau nasotrakheal hanya dilakukan apabila pada auskultasi terdengar adanya bunyi yang ditimbulkan oleh retensi sekret dan tidak dapat dibersihkan dengan batuk. Pengisapan trachea sebaiknya tidak dilakukan sebagai pencegahan atau secara rutin. Hal ini menyebabkan iritasi oleh kateter selama pengisapan trachea, serta dapat pula menyebabkan trauma pernapasan, dan hal ini merupakan predisposisi untuk terjadinya infeksi. Selain itu pengisapan trachea atau karina oleh kateter dapat menimbulkan reflek vagal, dapat berupa bradikardi dan hipotensi. Pengisapan trachea juga dapat menimbulkan hipoksemia karena aspirasi gas pada paru-paru yang menyebabkan penutupan small air way dan kolapnya alveoli. Penilaian Hipoksemia Hipoksemia pasca bedah yang terjadi pada pasien sangat sulit terdiagnosa atau dinilai secara klinik. Terutama sianosis, sukar diketahui dan tidak mungkin menilai kuantitasnya. Takikardi sulit dipakai sebagai indikator dari hipoksia, irama pernapasan yang dalam tidak seluruhnya dapat membantu, pernapasan yang lambat dan dangkal dapat mengakibatkan depresi pusat pernapasan, penilaian frekuensi tidak bisa dipakai ukuran untuk mengetahui hipoksemia pada masa pembedahan, pengukuran saturasi oksigen dapat dipercaya untuk mengetahui keadaan dan nilai status hipoksia. Dengan menggunakan pulse oksimeter monitor dapat diketahui saturasi oksigen, sangat diutamakan penggunaannya terutama pada fase awal pasca bedah. Penilaian dari analisa gas darah juga diperlukan dan mungkin lebih tepat pemeriksaannya pada fase lanjut, nilai dari analisa tersebut sebagai gambaran klinik prediksi pemeriksaan dimana pulse oksimeter yang menetap. Standar analisa gas darah selama anestesi jangan dijadikan patokan pada pasca anestesi, 6

dan pemeriksaan gas darah sebaiknya dilakukan di ruang pemulihan. Dengan penggunaan pulse oksimeter sangat mudah utnuk mengetahui hipoksemia secara dini.

Pulse oksimeter Pulse oksimeter adalah alat yang digunakan untuk mengukur kejenuhan HbO2 pada pembuluh darah tepi secara elektro-fotometri. Pengindera alat ini biasanya diletakkan pada jari atau daun telinga. Prinsip dasar kerja alat ini adalah membandingkan penyerapan cahaya yang memiliki panjang gelombang tertentu oleh HbO2 dengan Hb total (HbO2 + Hb). Pada alat ini digunakan cahaya dengan dua panjang gelombang yang berbeda, yaitu dengan panjang gelombang dimana molekul HbO2 dan Hb mempunyai nilai penyerapan yang sama (850 nm) dan cahaya dengan panjang gelombang dimana molekul HbO2 dan Hb mempunyai nilai selisih penyerapan terbesar (660 nm) dimana perbandingan nilai penyerapan oleh dua molekul ini diketahui. Pada pulse oksimeter penyerapan cahaya yang dipancarkan ini disebabkan oleh dua unsur yaitu jaringan ketebalan (ketebalan dan pigmentasi) yang merupakan komponen statis darah arterial yang berdenyut dan merupakan komponen pulsatil. Rangkaian elektronik pada alat ini dirancang untuk mampu membedakan antara cahaya yang diserap oleh komponen statis dengan cahaya yang diserap oleh komponen pulsatil, pada kedua panjang gelombang diatas dan hanya komponen pulsatil yang ditampilkan oleh alat ini. Perbandingan komponen pulsatil pada kedua panjang gelombang cahaya diatas dibandingkan secara imperis dengan pemeriksaan SaO2 yang dilakukan secara non invasif sehingga nilai SaO2 pada pulse oksimeter tidak memerlukan kalibrasi. Pulse oksimeter mempunyai keungulan karena mudah digunakan, non invasif, respon cepat, mampu menilai keutuhan penyaluran oksigen mulai dari sumbernya sampai jaringan dan tidak dipengaruhi oleh pigmentasi kulit selain dari pada itu ia memiliki ketepatan yang cukup tinggi. Kekurangannya adalah 7

pengukuran yang tidak tepat apabila perfusi jaringan rendah, adanya cahaya luar yang ikut terukur, adanya gerakan tubuh, adanya pigmen dalam darah misalnya metelin blue dan bilirubin, kadar methemoglobin dan karbo Hb yang tingi : selain dari pada itu karena bentuk kurva disosiasi oksigen maka perubahan PaO2 yang besar hanya sedikit merubah SaO2 selama PaO2 berada diatas 75 mmHg dan apabila PaO2 berada dibawah 75 mmHg perubahan PaO2 yang besar, secara kasar dapat dipegang sebagai patokan pada SaO2 90% - 75% maka PaO2 SaO2 30. Penggunaan pulse oksimeter bermanfaat saat melaksanakan anestesi apabila terjadi perubahan saturasi selama pemulihan dan kejadian hipoksemia dapat ditegakkan secara dini, pada pasca bedah sampai beberapa hari setelah pembedahan.

Kriteria hipoksemia : saturasi oksigen (SaO2) 86 90% merupakan hipoksemia ringan. saturasi oksigen (SaO2) 81 85% merupakan hipoksemia sedang. Saturasi oksigen (SaO2) < 81 merupakan hipoksemia berat. Hipoksemia selama pengisapan trachea dapat dikurangi dengan cara : 1. Pemberian oksigen 100% sebelum pengisapan. 2. Diameter kateter pengisap tidak lebih dari setengah diameter trachea. 3. Lama pengisapan tidak lebih dari 15 detik. 4. Setelah melakukan pengisapan, dilakukan pemompaan secara manual untuk mengembangkan alveoli kembali.

II.5 PENYULIT EKTUBASI Hal-hal yang dapat terjadi setelah ektubasi : 1. Spasme laring. 2. Aspirasi. 3. Edema laring akut karena trauma selama ekstubasi

Penyulit lanjut setelah dilakukan ekstubasi : 1. Sakit tenggorokan 2. Stenosis trachea dan trakheomolasia 3. Radang membran laring dan ulserasi 4. Paralisis dan granuloma pita suara 5. Luka pada saraf lidah.

II.6 KOMPLIKASI EKSTUBASI Komplikasi setelah dilaksanakan ekstubasi antara lain: 1. Trauma jalan napas : edema dan stenosis (glotis, subglotis, atau trakea), suara serak/parau (granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan aspirasi laring. 2. Gangguan refleks : spasme laring

BAB III KESIMPULAN 1. Definisi ekstubasi adalah mengeluarkan pipa endotrakheal setelah dilakukkan intubasi. 2. Tujuan dilakukan ektubasi adalah untuk menjaga agar pipa endotrakheal tidak menimbulkan trauma dan untuk mengurangi reaksi jaringan laringeal serta menurunkan resiko setelah ekstubasi. 3. Sebelum ekstubasi dilakukan, terlebih dahulu membersihkan rongga mulut agar efek obat pelemas otot sudah tidak ada dan ventilasi sudah adequate. 4. Pipa endotrakheal jangan dicabut apabila sedang melakukan pengisapan karena kateter pengisap bisa menimbulkan lecet pita suara, perdarahan, atau spasme laring. 5. Untuk mencegah spasme bronchus atau batuk, ekstubasi dapat dilakukan pada stadium anestesi yang dalam dan pernapasan sudah spontan. 6. Pulse oksimeter adalah alat yang digunakan untuk mengukur kejenuhan HbO2 pada pembuluh darah tepi secara elektro-fotometri. 7. Penggunaan pulse oksimeter bermanfaat saat melaksanakan anestesi apabila terjadi perubahan saturasi selama pemulihan dan kejadian hipoksemia dapat ditegakkan secara dini, pada pasca bedah sampai beberapa hari setelah pembedahan. 8. Hal-hal yang dapat terjadi setelah ektubasi adalah spasme laring, aspirasi dan edema laring akut karena trauma selama ekstubasi. 9. Penyulit lanjut setelah dilakukan ekstubasi adalah Sakit tenggorokan, Stenosis trachea dan trakheomolasia, radang membran laring dan ulserasi, paralisis dan granuloma pita suara, serta luka pada saraf lidah. 10. Komplikasi setelah dilaksanakan ekstubasi antara lain trauma jalan napas dan 10

gangguan refleks. DAFTAR PUSTAKA 1. Mansjoer,Arif dkk. Kapita selekta kedokteran. Penerbit: media aesculapius FKUI. Jakarta, 2000 2. Staf Pengajar Bagian Anesteiologi dan Terapi Intensif FK UI Jakarta, Anestesiologi, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, FK UI, Jakarta, 1989 3. http://forbetterhealth.wordpress.com/2009/02/04/pengeluaran-pipaendotrakeal/ 4. http://www.oborku.com/index.php? lang=IN&mib=articles.detail&id=2009101914020101/2009102314571001/20 09111408392201/2010100814084101

11

Anda mungkin juga menyukai