Anda di halaman 1dari 24

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Salah satu faktor yang dapat mengubah hukum dapat terlihat dari beberapa faktor adalah faktor aparat penegak hukum, baik itu hakim, jaksa, polisi, dan advokat. Di era reformasi polisi dituntut oleh rakyat supaya mandiri. Polisi bukan cuma pisah dari TNI, tapi juga berada di bawah pResiden secara langsung. Di bawah jenderal polisi Dai Bachtiar, polisi juga sudah memperlihatkan kinerja yang baik, masalahnya tingggal kita masyarakat memberi dukungan kepada mereka. Penangkapan tommy soeharto harus dianggap prestasi prestisius polisi. 1 Tuntutan reformasi juga mengkehendaki penegakan supremasi hukum sekaligus fenomena globalisasi yang menuntut adanya keterbukaan dan demokrasi serta penghargaan kepada HAM. Reformasi total di bidang hukum, politik dan ekonomi memiliki esensi ke arah perubahan yang lebih baik. Demokrasi merupakan pilihan yang lebih realistis, yang akan memberi peluang dan kesempatan yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam mencapai tujuan pembangunan. Tuntutan demikian juga akan secara langsung melibatkan petugas polisi selaku aparat penegak hukum sebagai garda terdepan untuk menegakkan supremasi hukum. Diperlukan upaya operasional polisi yang penuh kearifan dan partisipatif yang didukung oleh partisipasi masyarakat yang patuh pada hukum. Mengkontraskan polisi pada suasana demokratis adalah merefleksikan atensi sekaligus pemahaman tentang bagaimana membangun masyarakat madani (civil society) lengkap dengan perangkat-perangkat yang ada di dalamnya, khususnya penegakkan hukum oleh karenanya polisi pada masyarakat demokrasi harus mengggunakan paradigma persuasif ketimbang paradigma yang represif. Perubahan

Effendi Naibaho, Bila Para Bandit Bersatu, Makalah, Hotel Dirga Surya, Medan, 27 Maret 2002, Hal. 2.

ini tentunya akan membawa konsekuensi pada kelembagaan, organisasi, sistem perekrutan dan pendidikan kepolisian. 2 Era reformasi menggugah semangat pembaharuan, semangat perbaikan, penataan, pembenahan yang secara sadar menyoroti berbagai penyimpanganpenyimpangan dalam hal-hal yang tidak proporsional. Kepolisian merupakan cerminan masyarakatnya terutama cerminan dari tuntutan masyarakat akan keutuhan hakikinya mengenai ketertiban, keamanan dan ketentraman. Perkembangan kepolisian seyogyanya sejalan dengan aspirasi yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat khususnya mengenai persepsi masyarakat tentang penegakan hukum dan kepolisiannya, berdasarkan latar belakang diatas maka penulis mengambil judul mengenai Peran Polisi sebagai Pengubah Hukum di Indonesia B. Persamalahan Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis mengambil permasalahan tunggal yaitu bagaimana Peran Polisi Sebagai Pengubah Hukum Di Indonesia?

Subhilhar, Pengembangan SDM Dan Proses Perekrutan POLRI, Makalah, Hotel Dirga Surya, 27 Maret 2002, Medan Hal. 1.

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Polisi Para ahli di bidang kepolisian memberikan 3 (tiga) pengertian tentang Polisi yang dalam penggunaan sehari-hari sering tercampur aduk dan melahirkan berbagai konotasi. Adapun tiga arti Polisi tersebut adalah : (1). Polisi sebagai fungsi, (2). Polisi Sebagai organ Kenegaraan dan (3). Polisi sebagai Pejabat atau petugas.3 Buku Politea mengajarkan bahwa semua fungsi kenegaraan yang ada sekarang ini dahulu hanya satu yaitu Polisi. Jadi fungsi polisi pada saat itu mewadahi fungsi apa saja sepanjang menyangkut tanggung iawab dan kewajiban negara atau Polis. Bisa dimengerti karena waktu itu fungsi-fungsi Polis itu masih sangat sederhana dan hanya meliputi wilayah yang tidak luas. Di dalam Undang-undang No. 2 tahun 2002 pasal 2 dikatakan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Berdasarkan hal itu disisni sangat terlihat dengan jelas bagaimana luasnya fungsi kepolisian itu di dalam suatu negara. Rasanya kita akan menagatakan bahwa taanpa kehadiran pihak kepolisian maka kehidupan kita akan kacau balau. Contoh kecil saja bagimana jika kita memakai kenderaan di jalan apabila listrik padam dan traffic light padam maka akan terjadi kemacetan namun dengan kehadiran anggota kepolisian yang mengamankan jalannya lalu lintas itu maka kemacetan akan berkurang. Memang ironi yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia selain kehadiran polisi dibutuhkan didalam kehidupan namun kadang-kadang kehadiran polisi juga semakin memperpanjang permasalahan yang dihadapi. Hal ini merupakan tindakan sebagian oknum saja yang tuidak dapat dikatakan sebagai refresentasi dari
3

Kunarto, Etika Kepolisian, Cet. Pertama, PT. Cipta Manunggal, Jakarta, 1966, hal 56.

organisasi kepolisian sebagai organ negara yang merupakan pengayom, pelindung masyarakat terhadap tindakan sewenang-wenang. Di negeri Belanda terdapat pemikiran pengembangan terhadap Trias Politica yang di kembangkan oleh Mr. C. Van Vollenhoven yang kita kenal dengan Catur Praja Vollenhoven, yang membagi Kekuasaan Negara dalam 4 (empat) kekuasaan : Regeling (pembuat UU), Bestuur (pelaksana UU), Rechspraak (pengadilan) dan Polisi (Penegak UU). Polisi dikeluarkan dari Bestuur karena tugasnya yang khas.4 Fungsi polisi ini kemudian banyak dianalisa secara mendalam. Tetapi sebagian besar para cendikiawan berpendapat bahwa tugas polisi itu digolongkan dalam 2 kategori : pertama, tugas preventip atau mencegah terjadinya kejahatan dan kedua, tugas represip atau tindakan setelah terjadi kejahatan (pemberantasan kejahatan). Para cendikiawan itu ada yang menyebut tugas preventip sebagai tugas dalam arti luas atau menjamin tata tertib dan keamanan. Menyelenggarakan tata tertib dan keamanan berarti juga mencegah kejahatan. Sedang tugas represip diberi sebutan tugas dalam arti sempit karena bersifat penegakan hukum yang berlaku bagi rakyat atau berarti menindak setiap pelanggar hukum. Kedua macam jenis fungsi Polisi itu nyata sekali mengandung perbedaan. Para pakar sependapat bahwa perbedaannya terutama pada 2 (dua) hal; pertama dalam sifatnya dan kedua dalam luas kewenangannya. Dalam sifatnya tugas preventip hampir tidak terbatas karena usaha mencegah terjadinya kejahatan bisa dilakukan tindakan apa saja asal tidak melanggar hukum itu sendiri, jadi bersifat menjauhkan masyarakat dari pelanggaran hukum. Sedang tugas represip sifatnya terbatas, karena hanya meliputi tindakan mencari, menemukan dan menindak pelanggar hukum. Sedang ditinjau dari luas kewenangan, tugas preventip hampir tidak terikat oleh aturan-aturan tertentu. Sedang tugas represip tindakan dan kewenangannya dibatasi dengan peraturan yang ketat berupa Hukum Acara tertentu (di Indonesia harus berdasarkan KUHAP).
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 34.
4

Sering orang berpendapat bahwa tindakan preventip itu merupakan tindakan kepolisian yang utama, karena masyarakat selalu menghendaki hilangnya tindakantindakan melanggar hukum, atau menghendaki angka/jumlah kejahatan yang sekecil mungkin. Bahkan orang-orang yang nyata-nyata lemah rohaninya harus dididik dengan lebih baik dalam usaha pencegahan. Utamanya pada manusia yang berusia muda yang masa depannya masih jauh, mereka harus dapat dijauhkan dari bibit-bibit kejahatan, kalau menghendaki masyarakat yang sehat yang bebas dari pelanggaran hukum. Dan tidak justru dengan kesalahan yang kecil sekalipun anak-anak itu diperlakukan sama dengan dewasa, harus dijerumuskan ke penjara. Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Polisi di dalam menjalankan tugasnya mengenal 2 (dua) asas yaitu : pertama, asas legalitas yang berarti semua tindakan polisi harus didasarkan pada aturan-aturan/perundangan yang berlaku. Setiap tindakan yang setelah dikaji tidak berdasarkan perauran adalah tindakan yang tidak sah dan karenanya polisi dapat ditindak. Kedua, asas opurtunitas atau asas utilitas yang berarti setiap tindakan polisi yang sesuai dengan kewajiban dan tanggung jawabnya maka semua dianggap sah. Biasanya polisi-polisi yang memegang teguh asas legalitas akan selalu terlambat dalam mengantisipasi situasi yang berkembang cepat. Polisi jadi terasa lamban. Karenanya sulit untuk melakukan tindakan-tindakan pencegahan. Namun sebaliknya melakukan asas opurtunitas tanpa batas sangat berbahaya, karena jika tidak dikenal batasan, pedoman dan pengawasan yang jelas maka tidak menutup kemungkinan tindakan polisi akan melanggar hukum. Sebelum diuraikan mengenai tugas POLRI, terlebih dahulu perlu untuk memberikan arti tentang tugas dan fungsi.

Di dalam kamus Poerwadarminta, tugas berarti :

1. 2. 3.

Kewajiban, sesuatu yang wajib dikerjakan atau ditentukan untuk Suruhan (perintah) untuk melaksanakan sesuatu ; Fungsi (jabatan).5 Sedangkan Fungsi mempunyai arti :

dilakukan;

1. Jabatan (yang dilakukan), pekerjaan yang dilakukan. 2. Faal (kerja sesuatu bagian tubuh). 3. Pas, kebesaran (quantity) yang berhubungan, dan jika kebesaran yang satu berubah juga.6 Dari pengertian ketiga fungsi diatas, tidak menunjukkan apa yang dimaksud dalam tulisan ini. Sebab itu perlu diberikan pengertian tentang fungsi lebih lanjut. Menurut kamus WEBSTER, Function berarti : performance; the special work done by an structure.7 Sedangkan menurut H.AK. Mochamad Anwar di dalam bukunya Tanggapan atas RUUHAP yang disitirnya dari R. Dean Smith dalam karangannya organization dikatakan bahwa tugas adalah suatu kegiatan dalam hubungannya terhadap keseluruhannya. Pengertian polisi ini selalu berubah dari masa kemasa menurut perkembangan sifat dan bentuk Negara serta pemerintahan. Dikalangan para sarjanapun terdapat perbedaan pendapat tentang arti tugas polisi, seperti dikatakan menurut Kist : Polisi adalah bagian daripada kekuasaan eksekutif yang bertugas melindungi Negara, alat-alat Negara, demi kelancaran jalannya roda pemerintahan, rakyatnya dan hak-haknya terhadap penyerangan dan bahya dengan selalu waspada, dengan pertolongan dan paksaan.8 B. Peran Polri Sebagai Pengubah Hukum di Indonesia
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. IV P.N. Balai Pustaka, Jakarta, 1983, hal. 1094. 6 Ibid., hal 283. 7 Djoko Prakoso, Polri Sebagi Penyidik Dalam Penegakan Hukum, Cet. Pertama, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 135. 8 Ibid, hal 136.
5

Dalam penggunaan wewenang dalam penerapan hukum yang dapat mengakibatkan perubahan aspek hukum, Polri berdasarkan kepada beberapa asas: 1. Asas Legalitas Legal berati sah menurut undang-undang. Asas legalitas ialah asas dimana setiap tindakan polisi harus berdasarkan kepada undang-undang/peraturan perundangundangan. Tindakan yang tidak didasarkan kepada peraturan perundang-undangan, adalah tindakan yang melawan hukum (onrechtmating). Asas ini menuntut agar segala tindakan didasrkan ketentuan undfasng-undang yang mengatakan jelas. Setiap tindakan yang dapat dilakukan atau diharuskan, dinyatakan secara harfiah dalam undang-undang itu. Tindakan yang tidak disebut dalam undang-undang itu adalah tidak sah dan salah, setiap tindakan yang diharuskan dalam undang-undang tidak boleh diabaikan. Sebetulnya legalitas berarti sesuai dengan hukum termasuk hukum yang tidak tertulis. Kemudian pengertian legalitas berubah menjadi sesuai dengan undangundang (hukum yang tertulis). Hukum tidak tertulis dapat menimbulkan ketidakpastian dalam kehidupan masyarakat, sedangkan masyarakat menghendaki rasa kepastian. Untuk itu masyarakat harus mengetahui perbuatan apa yang menjadi larangan dan apa yang menjadi kewajiban dalam pergaulan masyarakat. Bangsa di Eropa beberapa abad yang lalu mempunyai anggapan bahwa satusatunya sumber hukum adalah undang-undang yang dinyatakan sebagai hukum yang lengkap dan sempurna. Anggapan ini terus berkembang hingga mempengaruhi para ahli hukum sampai saat ini. Jadi legalitad berarti sesuai dengan hukum yang tertulis. 2. Asas Oportunitas Oportunitas berarti waktu yang tepat atau kesempatan yang baik untuk berbuat sesuatu atau peluang. Menurut kamus hukum opportuniteits principe (Belanda) atau prinsip opurtunitas, ialah :

Suatu prinsip yang mengizinkan penuntut umum untuk tidak melakukan tuntutan terhadap seorang tersangka pun dalam hal akan dapat dibuktikan seandainya tersangka benar telah melakukan suatu tindak pidana. Dikatakanlah, bahwa penuntut umum berhak men-dep ialah mendeponir suatu perkara apabila kepentingan umum, menuntut pendapatnya menghendaki pendeponiran itu.9 Sehubungan dengan asas opurtunitas, terdapat beberapa pendapat, antara lain: Soeparno Soeriaatmadja mengatakan bahwa Polisi di dalam pelaksanaan tugasnya, kecuali sendi legalitas menganut pula sendi oportunitas yang didasarkan atas pertimbangan kepentingan umum. Dalam hal ini Polri mengambil kebijaksanaan untuk tidak melakukan tindakan, sedangkan polri seharusnya melakukan tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Andaikata Polri melakukan tindakan, tindakan tersebut hanya ringan sekali seperti peringatan dan sebagainya, sesuai dengan situasi dan kondisi yang meliputi kasus tersebut. Dalam praktek kepolisian hal tersebut dilakukan oleh para petugas polri tanpa menyebut undang-undang yang melandasinya. Soebroto Brotodiredjo mengatakan bahwa Polri juga memakai asa opurtunitas dalam pelaksanaan tugasnya sebagaimana dalam Undang-undang No. 8 tahun 1981. KUHAP pasal 7 ayat (1) sub i : penyidik mempunyai wewenang mengadakan penghentian penyidikan. Ketentuan ini dihubungkan dengan pasal 109 ayat (2), yang berbunyi dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Pasal 14 sub h : penuntut umum mempunyai wewenang menutup perkara demi kepentingan hukum. Atas dasar ketentuan itu dapat disimpulkan bahwa penggunaan asas oportunitas dalam Hukum Acara Pidama bagi Polri dimungkinkan sebagai penyimpangan ketentuan dalam undang-undang.
9

Surbekti & R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Pradnyab Paramita, Jakarta, 1983, hal 88.

R. Soesilo, instruktur pada Sekolah Angkatan Kepolisian di Sukabumi berpendapat asas opotunitas sebagai paham karena kewajiban. Paham yang timbul karena pesatnya perkembangan masyarakat, berdasarkan bahwa pelaksanaan tugas Kepolisian sebagai kewajiban, sebagau akibat dari wajib terhadap Negara. Paham yang berlaku di dalam praktek kepolisian memungkinkan polisi bertindak apabila suatu kepentingan atau hak seseorang terancam langsung oleh suatu bahaya pelanggaran atau jika keadaan mendesak polisi bertindak demi menjaga keamanan dan ketertiban umum. Meskipun tidak ada peraturan yang memberikan kewenangan tindakan, namun polisi dapat bertindak dalam batas-batas tertentu yang tidak boleh dilampui. Momo Kelana tidak memasukkan asas oportunitas kedalam wewenang tindakan polisi. Ia hanya mengemukakan 2 (dua) asas wewenang polisi yaitu asas legalitas dan asas plicht matigheid. R. Seno Soehardjo, bekas guru Sekolah Polisi Negara Mertojudan di Magelang, di dalam serba-serbi tentang Polisi menulis mengenai paham oportunitas dan menganggap semua tindakan jabatan yang dijalankan menurut keadaan adalah sah karena memang perlu untuk memenuhi suatu kewajiban (plichtmatigheid principe). M. Karjadi, di dalam POLISI (status, Tugas, Kewajiban dan Wewenang), menulis tentang asas oportunitas sebagai berikut : selanjutnya dalam penyidikan perkara perlu dicatat bahwa dalam praktek kepolisian (menurut hukum yang tidak tertulis) pihak Polri berdasarkan kepentingan umum dapat menyampingkan suatu perkara yang serba ringan, sehingga perkara itu tidak sampai pada tingkat penuntutan oleh Jaksa. Praktek yang demikian itu dapat berlangsung terus dan hal ini disebutkan dengan tegas di dalam Penjelasan dari Undang-undang Kepolisian Republik Indonesia. Berdasarkan pandangan mengenai azas oportunitas tersebut di atas dapat disimpulkan ada tiga pendapat tentang azas oportunitas di dalam pelaksanaan tugas Polri yaitu: 9

a. Yang berpendapat bahwa dalam pelaksanaan tugasnya Polri tidak mengenal azas plichtmatigheid/ azas kewajiban (seperti yang dikemukakan oleh MOMO KELANA). b. Yang berpendapat bahwa azas oportunitas diartikan sama dengan azas plichtmatigheid/ azas kewajiban (seperti yang dikemukakan oleh R. SOESILO dan R. SENO SOEHARJO). c. Yang berpendapat bahwa azas oportunitas berarti sebagai penyimpangan dari peraturan-peraturan demi kepentingan umum (seperti yang dikemukakan oleh SOEPARNO, SOEBROTO BROTODIREDJO dan KARJADI). Dari pendapat tersebut di atas, pendapat ketiga yang paling tepat yaitu setiap tindakan Polri berlaku azas oportunitas yang memungkinkan penyimpangan dari ketentuan dalam Undang-undang, tindakan mana dihubungkan dengan hakikat tugas Polri di dalam membina keamanan dan ketertiban masyarakat serta hakikat daripada tujuan pembentukan hukum (Undang-undang). Baik hakikat tugas Polri maupun tujuan pembentukan hukum adalah untuk memelihara ketertiban dan keamanan umum. Polri bukan hanya semata-mata sebagai alat Negara Penegak Hukum saja yang harus menindak semua bentuk pelanggaran hukum, tetapi yang diutamakan adalah terciptanya suasana tertib dan aman di dalam masyarakat. Untuk hal-hal yang ringan, polisi dapat saja menyampingkan perkara demi ketertiban dan keamanan umum. Juga pembentukan hukum betujuan untuk pengaturan ketertiban dan pencegahan gangguan keamanan. Lebih baik tidak melakukan tindakan represif yustisiil daripada melakukannya asalkan tercipta suasana tertib dan aman. Penyelesaian perkara di luar Pengadilan dimungkinkan untuk perkara-perkara yang ringan sepanjang dimaksudkan untuk terciptanya ketertiban dan keamanan umum. Untuk menghindarkan salah tafsir ataupun ketiadaan kepastian hukum tindakan seperti tersebut harus dilakukan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu.

10

3. Azas Plichtmatigheid (Azas Kewajiban). Azas Plichtmatigheid ini adalah azas yang memberikan keabsahan bagi tindakan Polri yang bersumber kepada kekuasaan atau kewenangan umum. Kewajiban untuk memelihara ketertiban dan keamanan umum memungkinkan melakukan tindakan berdasarkan azas kewajiban, apabila tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Namun demikian polisi dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri asalkan untuk memelihara ketertiban dan keamanan umum. Sebaliknya dari azas kewajiban adalah azas oportunitas yang memberikan wewenang untuk tidak bertindak terhadap perkara-perkara tertentu demi kepentingan umum, walaupun bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tersebut mewajibkan untuk bertindak. Sedangkan azas kewajiban memungkinkan untuk dapat bertindak terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai kelanjutan dari azas legalitas maka azas plichtmatigheid memungkinkan suatu tindakan oleh polisi, tetapi dengan pembatasan yaitu tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang. Sama halnya dengan azas oportunitas, maka pada azas kewajiban tindakan Polri harus merupakan tindakan yang bersifat preventif dan atau represif non yustisiil. Untuk penjelasan mengenai wewenang Kepolisian yang berdasarkan kepada azas kewajiban, dikemukakan beberapa yurisprudensi Belanda, pendapat para sarjana dan dari Undang-undang Jerman. ARREST HOGE RAAD tanggal 25 Januari 1892 dan tanggal 11 Maret 1914, menyatakan bahwa: . . . untuk sahnya segala tindakan-tindakan Kepolisian (rechtmatig) tidak selalu harus berdasarkan peraturan Undang-undang (wettelijk voorschrift) akan tetapi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Tindakan-tindakan polisi itu tidak bertentangan dengan poeraturan undang-undang.

11

b. Bahwa tindakan itu untuk melindungi hak-hak seseorang (ieders recht). c. Bahwa tindakan itu adalah untuk mempertahankan (. . .) ketertiban, ketentraman dan keamanan umum. ARREST HOGE RAAD tanggal 19 Maret 1917, menyatakan bahwa: Suatu tindakan dapat dianggap rechtmatig (sah, sesuai dengan hukum) sekalipun tanpa pemberian kuasa secara khusus oleh Undang-undang asalkan berdasarkan kewajiban menurut Undang-undang. HAARTMAN berpendapat sebagai azas yang menyatakan suatu tindakan sah menurut hukum apabila kewenangan umum si petugas yang bertindak karena berdasarkan kewajibannya untuk bertindak. Pasal 14 daripada Preussisches Polozeiverwaltungsgesetz tahun 1931 di Jerman, menentukan bahwa: Para anggota Kepolisian harus mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan menurut ukuran kewajibannya (nachpcht-massigem Armessen) dalam batasbatas Undang-undang yang berlaku, guna menolak secara umum maupunh secara tersendiri bahaya-bahaya yang mengancam keamanan atau ketertiban umum. Sejauh mana tindakan yang dilakukan memerlukan azas kewajiban harus dapat menilai sendiri secara pribadi. Penilaian pribadi itu bukan merupakan secara bebas melainkan terikat pada batas-batas kewajibannya, agar tindakannya masih dalam lingkungan kewajibannya. Untuk dapat menentukan batas-batas kewajiban dan sekaligus untuk membatasi tindakan-tindakan kepolisian, maka dipergunakan empat azas yang semuanya merupakan sub azas daripada azas kewajiban itu. Keempat azas itu adalah: a. Azas Keperluan (Notwendig; Noodzakelijk) Azas ini menentukan bahwa tindakan hanya dapat diambil apabila memang diperlukan untuk meniadakan suatu gangguan atau untuk mencegah terjadinya suatu 12

gangguan. Karena kalau tindakan yang diperlukan tidak dilakukan, maka gagguan tersebut akan berlangsung terus-menerus atau ancaman bahaya gangguan akan terjadi. Kemudian tindakan tersebut tidak boleh kurang atau berlebihan. Suatu azas melarang tindakan kepolisian yang berlebihan, terutama yang menyangkut hak azasi manusia, yang di Jerman dinamakan Ubermassverbot (larangan untuk berlebihan). b. Azas Masalah Sebagai Patokan (Sachlich; Zakelijk). Azas ini menghendaki bahwa tindakan yang diambil akan dikaitkan dengan masalah yang perlu ditangani. Ini berarti bahwa tindakan kepolisian harus memakai pertimbangan-pertimbangan yang objektif, tidak boleh mempunyai motif pribadi. Petugas Polisi tidak boleh bertindak terhadap seseorang hanya karena benci atau karena persoalan pribadi. Petugas polisi tidak boleh bertindak terhadap seseorang hanya karena benci atau karena persoalan pribadi. Rasa simpati atau antipati tidak boleh mempengaruhi pengambilan tindakan yang diperlukan, dan yang pasti tindakan yang membawa keuntungan pada penindak atau teman-temannya bertentangan dengan azas ini. c. Azas Tujuan Sebagai Ukuran (Zweckmassig; Doelmatig) Azas ini menghendaki tindakan yang betul-betul bertunangan untuk mencapai sasaran, yaitu hilangnya suatu gangguan atau tidak terjadinya suatu gangguan. Ini berarti bahwa sarana yang dipergunakan dalam alat-alat atau sarana yang lebih tepat, umpamanya semprotan air/ gas. Sebaliknya, apabila suatu tindakan ringan seprti perintah lisan sudah cukup untuk meniadakan sesuatu yang tidak diinginkan maka tidak bijaksana kalau dipergunakan tindakan keras. d. Azas Keseimbangan (Everedig). Azas ini menghendaki bahwa dalam suatu tindakan kepolisian harus dipelihara suatu keseimbangan antara sifat keras lunaknya tindakan atau sarana yang

13

dipergunakan pada satu pihak, dan besar kecilnya suatu gangguan atau berat ringannya suatu objek yang harus ditindak pada pihak lain. Suatu gangguan ketertiban yang kecil tidak perlu ditindak atau dicegah dengan laranga-larangan yang mengurangi kebebasan bergerak bagi orang-orang di sekitar tempat gangguan itu.10 Menurut Pasal 15 ayat (1) UU Kepolisian Republik Indonesia No. 02 Tahun 2002, maka dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dala Pasal 13 dan 14, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang: a. b. menerima laporan dan/ atau pengaduan; membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian; f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i. mencari keterangan dan barang bukti; j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan melaksanakan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. Dalam Pasal 15 ayat (2) juga diatur tentang wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya yaittu: a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya. b. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; c. memberikan izin mengemudi kendaraan bermotor; d. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;

10

Djoko Prakoso, Op. Cit, hal: 146.

14

e. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam; f. memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan; g. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian; h. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional; i. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait; j. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional; k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian. Di bidang proses pidana, Kepolisian Negara republik Indonesia yang diatur dalam pasal 16 UU No.02 tahun 2002 berwenang untuk: a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dalam pemeriksaan perkara; g. mengadakan penghentian penyidikan; h. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; i. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; j. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan k. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Dalam peraturan perundang-undangan tidak dicantumkan dengan tegas bahwa Polri dalam melakukan tindakannya berdasarkan azas kewajiban, tetapi peraturan perundang-undangan seakan-akan memberikan wewenang tindakan berdasarkan azas kewajiban.

15

Hal ini dapat dijumpai dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai berikut: a. Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Menurut Pasal 4 (empat) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disingkat dengan KUHAP, setiap pejabat Polri adalah penyidik, sedangkan menurut pasal 5 KUHAP, karena kewajibannya maka setiap anggota Polri mempunyai wewenang: 1. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindakan pidana; 2. mencari keterangan dan barang bukti; 3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; 4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang betanggung jawab. Butir 4 (empat) tidak memuat perincian dari jenis tindakan lain dalam melaksanakan wewenang-wewenangnya. Tetapi penjelasan pada butir 4 ayat (1) pasal 5 (lima) KUHAP memberikan syarat-syarat dari jenis-jenis tindakan tersebut di atas sebagai berikut: Yang dimaksudkan dengan tindakan lain adalah tindakan dari penyidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat: a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan c. tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya d. atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa menghormati hak azasi manusia.

16

Berdasarkan keempat syarat tersebut di atas seorang anggota Polri dalam pelaksanaan tugas penyelidikan harus mampu mengambil keputusan untuk memilih dan menerapkan jenis tindakan lain yang paling tepat. Tindakan lanjut dari suatu penyelidikan adalah penyidikan. Untuk melaksanakan suatu penyidikan, maka penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang: a. menerima leporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seorang; g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. mengadakan penghetian penyidikan j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. (KUHAP pasal 7 ayat 1). Dari berbagai wewenang di atas kembali dijumpai istilah tindakan lain, yang menurut penjelasan pasal 7 KUHAP harus dipenuhi syarat-syarat yang sama dengan penjelasan pasal 5 (1) butir 4 KUHAP. Ketentuan ini juga memberikan kesempatan kepada para pejabat Polri untuk melakukan suatu jenis tindakan yang diperlukan karena ketiadaan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan dalam tindakan tersebut. Kedua pasal dala KUHAP itu yaitu pasal 5 ayat (1) butir 4 dan pasal 7 ayat (1) butir j serta penjelasannya menurut kata tindakan lain menurut hukum yang betanggung jawab seakan-akan memberikan kewenangan kepada pejabat Polri untuk melakukan tindakan berdasarkan azas kewajiban. Karena tindakan tersebut hanya dilakukan untuk melaksanakan tugas penyidikan, maka azas kewajiban tidak termuat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.11 BAB III PENUTUP

11

Djoko Prakoso, Ibid, , hal 156

17

A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang diuraikan diatas maka dapat diperoleh Kesimpulan Polisi memiliki kesadaran dan kebanggaan bahwa ditangannyalah kualitas baik-buruk kehidupan masyarakat. Polisi macam ini dengan penuh keyakinan dan percaya diri mengatur masyarakat. Ia paham pada tugas dan pekerjaannya selaku pelindung, pengayom, pembimbing, pelayan hukum dan pengatur ketertiban umum di masyarakat serta penegak hukum yang tegas dan berwibawa, sadar akan kewenangan umum, kewajiban umum dan diskresi kepolisian tanpa ragu. Contoh : kewenangan umum polisi, ketika ia melihat kelompok orang main dadu (judi) atau ketika melihat sekelompok pemuda begadang sampai larut malam. Seorang polisi yang sadar akan kewenangan umum setidaknya akan mengawasi dua kasus tersebut dengan teguran. Lalu contoh kewajiban umum polisi. Misal, ketika seorang polisi melihat seseorang akan bunuh diri. Kewajiban umum seorang polisi harus melakukan berbagai upaya untuk menggagalkan bunuh diri tersebut. Padahal kalau dirunut, kenapa mesti repot-repot?. Bukankah bunuh diri itu masalah privacy? Itulah pekerjaan polisi yang harus melindungi jiwa, harta benda, kehormatan perorangan dalam masyarakat demi ketentraman warga dan ketertiban umum. Inilah kewajiban umum polisi. Bisa keskala yang lebih fokus. Ketika polisi terpaksa membubarkan rapat. Suatu kegiatan masyarakat kalau dibiarkan bisa mencelakakan orang lain. Itu semua contoh oportunitas action. Sedangkan diskresi action adalah kewenangan polisi yang kadang dengan terpaksa harus melawan UU demi ketertiban umum atau keselamatan umum. Itulah diskresi Kepolisian. Contoh paling mudah dan sering kita saksikan ketika seorang polisi memerintahkan pengendara mobil untuk melajukan kendaraannya padahal lampu lalu lintas sedang menyala merah karena untuk pengaturan lalu lintas. Diskresi Kepolisian adalah keputusan seorang polisi sesaat yang harus segera diambil meski harus melanggar hukum demi ketertiban umum yang lebih besar.12
Anton Tabah, Membangun POLRI Yang Kuat (Belajar Dari Macan-Macan Asia), PT.Sumbersewu Lestari, Jakarta, 2002, hal, 67.
12

18

Undang-undang memberikan kewenangan dan kekuasaan luas kepada polisi, agar ketertiban dan ketentraman masyarakat terjaga. Polisilah yang berwenang mengatur masyarakat di jalanan, di tempat-tempat umum, dan lainnya, sekaligus mengawasi dan memaksa mereka untuk patuh pada aturan, sehingga undang-undang berjalan sebagaimana-mestinya. Jaksa atau Hakim tidak dapat berbuat demikian. Seorang bupati atau walikota bahkan gubernur, tidak akan bisa berbuat apa-apa ketika ada seorang pendorong gerobak membandel merintangi jalannya. Tetapi seorang polisi meski hanya berpangkat Kopral, dapat memerintahkan pendorong gerobak tersebut untuk tak menghalangi jalan, dan perintah polisi tersebut wajib ditaati karena polisi adalah wujud dari undang-undang.13 B. Saran Polri memang masih sulit untuk mengubah dirinya dalam perkembangan politik dan sosial yang menghendaki adanyanya perubahan mendasar, sehingga polisi harus mengubah sikap mereka seperti: 1. Memperbaiki jati diri Polri karena terkesan militeristik dan materialistik yang terlihat dari sikap dan perilaku pelayanan yang diberikan kepada masyarakat masih terkesan kaku. 2. Mengubah Struktual kepolisian yang selama ini masih mengesankan gemuk di atas seperti piramida terbalik. Misalnya, personel yang ada di Mabes Polda lebih lebih banyak dibandingkan dengan tingkat PolsekPolsek atau Polres

Daftar Pustaka A. Buku


13

Kunarto, Merenungi Kritik Terhadap Polri, Cipta Manunggal, Jakarta, 1995, hal: 317.

19

Anton Tabah, 2002, Membangun POLRI Yang Kuat (Belajar Dari Macan-Macan Asia), PT.Sumbersewu Lestari; Jakarta. Djoko Prakoso, 1987, Polri Sebagi Penyidik Dalam Penegakan Hukum, Cet. Pertama, Bina Aksara; Jakarta Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Konstitusi Press, Jakarta, 2006. Kunarto, 1995, Merenungi Kritik Terhadap Polri, Cipta Manunggal; Jakarta. Kunarto, 1996, Etika Kepolisian, Cet. Pertama, PT. Cipta Manunggal; Jakarta. Surbekti & R. Tjitrosoedibio, 1983, Kamus Hukum, Pradnya Paramita; Jakarta W.J.S. Poerwadarminta, 1983, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. IV P.N. Balai Pustaka; Jakarta.. B. Makalah Effendi Naibaho, 2002, Bila Para Bandit Bersatu, Makalah, Hotel Dirga Surya, Medan, 27 Maret 2002. Subhilhar, Pengembangan SDM Dan Proses Perekrutan POLRI, Makalah, Hotel Dirga Surya, 27 Maret 2002.

KATA PENGANTAR

20

Assalamualaikum Wr.Wb. Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat-Nya penulis dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini, serta shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga dengan risalah yang dibawanya penulis memperoleh pedoman dalam hidup ini. Makalah ini berjudul Peran Polisi Sebagai Aspek Pengubah Hukum Di Indonesia yang diajukan untuk melengkapi tugas Mata Kuliah Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun bagi penulis untuk kemajuan makalah yang akan datang. Akhir kata, kami mengharapkan semoga makalah ini berguna bagi penulis dan bagi semua pembaca.

Medan, Desember 2008

Penulis

Daftar Isi i

21

Kata Pengantar ...................................................................................................... Daftar Isi ............................................................................................................... BAB I Pendahuluan .........................................................................................

i ii 1

A....................................................................................................Latar Belakang........................................................................................ 1

B...............................................................................Peru musan Masalah ............................................................................. BAB II Pembahasan .......................................................................................... 2 3

A................................................................................Penge rtian Polisi ...................................................................................... 3

B................................................................................Peran Polri Sebagai Pengubah Hukum di Indonesia................................. BAB III Penutup ................................................................................................ A. Kesimpulan .................................................................................... B. Saran .............................................................................................. Daftar Pustaka 7 15 21 22

22

ii PERAN POLRI SEBAGAI PENGUBAH HUKUM

DI INDONESIA
Disusun Untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Aspek Pengubah Hukum Dosen Prof. Dr. H. Abdul Manan, SH., S.IP., M. HumFarid Wajdi, SH., M. Hum) D I S U S U N Oleh ERDI 0820010034

23

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA MEDAN 2008

24

Anda mungkin juga menyukai