Anda di halaman 1dari 4

DEMI KTT APEC; RTRW TERANCAM

I Wayan Gendo Suardana, S.H. *

Ditengah gempuran terhadap Perda RTRW Propinsi Bali oleh beberapa pemerintah daerah kabupaten/kota atas keinginan mereka untuk merevisi Perda tersebut, guncangan terhadap penataan ruang kembali menghantam pulau Bali.Kalau sebelumnya upaya revisi terhadap RTRW itu berasal dari pemerintah kabupaten/kota di Bali, kali ini gempuran itu berasal dari pemerintah pusat , tidak tanggung-tanggung berasal dari perrmintaan Presiden RI; Tuan Susilo Bambang Yudhoyono. Hal ini terkait dengan agenda penyelenggaraan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) Summit 2013 di Bali pada November 2013. Dengan alasan untuk memberi kenyamanan kepada para kepala negara yang hadir serta meningkatkan citra Indonesia di mata intenasional sebagai negara yang punya kekayaan, destinasi wisata yang menarik pemerintah pusat berencana membangun kawasan wisata terpadu Convention Bali International Park sebagai lokasi pertemuan APEC di daerah Bukit Jimbaran. Keberadaan sarana akomodasi yang selama ini sering digunakan bagi penyelenggaraan pertemuan internasional dianggap sudah tidak layak, sehingga pembangunan sarana akomodasi dengan fasilitas mirip istana presiden dibutuhkan. Dalam realisasinya pembangunan ini didanai sepenuhnya oleh pihak swasta dan pemerintah hanya memfasilitasi perijinan dan infrastuktur yang dibutuhkan bagi kelancaran megaproyek tersebut. Lahan yang digunakan untuk pembangunan tersebut seluas sekitar 250 hektar dengan rincian pembangunan tahap awal hanya menggunakan lahan seluas 54 ha dan sisanya dibiarkan untuk kawasan hijau. Memperhatikan daya dukung lingkungan Bali, rencana ini sungguh tidak mengejutkan. Ditengah upaya mewujudkan Propinsi Bali sebagai propinsi hijau yang dalam setiap proses pembangunnanya memperhatikan kelangsungan ekologis, ide pembangunan megaproyek ini tentu saja bertentangan dengan gagasan Bali sebagai propinsi hijau. Selaras dengan itu, rencana pembangunan megaproyek ini berpotensi menghancurkan tata ruang yang telah diatur

sedemikian rupa secara visioner didalam Perda RTRW Propinsi bali. Ada beberapa hal yang melandasi argumentasi ini: Pertama; Penghancuran tata ruang Bali. Daerah Bali Selatan adalah daerah yang termasuk dalam rencana moratorium investasi. Namun permintaan permerintah pusat atas pembangunan ini terkesan dipaksakan bahkan ada upaya mendesak revisi RTRW untuk mengakomodir pelaksanaan megaproyek. Perda RTRW Propinsi Bali dipandang sebagai sebuah dokumen yang dapat direvisi begitu saja untuk memuluskan megaproyek sebagaimana keinginan Tuan Presiden. Tentunya pembangunan megaproyek ini akan menghancurkan kembali tata ruang yang telah dikonsep sedemikian rupa dengan landasan Tri Hita Karana dalam penyusunannya Kedua; Megaproyek ini semata-mata dibangun atas nama pencitraan agar Indonesia dipandang sebagai negara yang negara yang punya kekayaan, destinasi wisata yang menarik. Tentu saja alasan ini alasan klise mengingat, Bali sudah digunakan ratusan kali untuk pertemuan internasional dan lokasi yang digunakan selama ini tidak pernah kurang serta belum pernah ada complain dari peserta atas penyelengagaraan dan sarana yang ada. Selain itu sebagai daerah pariwisata yang telah mendunia, tidak perlu dikampanyekan atau dipromosikan dengan cara-cara yang tidak elegan apalagi sampai menerabas Perda RTRW. Seyogyanya pencitraan tidak mengorbankan kelangsungan ekologis. Ketiga; Rencana ini mengabaikan daya dukung lingkungan Pulau Bali, sebagai pulau kecil dengan gugusan Pulau, beban pulau Bali sudah teramat berat. Dapat dibayangkan pembangunan megaproyek tersebut memakan lahan yang sangat luas. Walaupun pemodal menyatakan akan memanfaatkan 54 ha saja, tapi tidak ada jaminan bahwa di masa depan seluruh kawasan akan didirikan bangunan. Lahan serapan akan berkurang, kawasan hijau berkurang, sementara sumberdaya alam akan makin terkikis dan pembangunan megaproyek tersebut juga akan menyerap penggunaan air secara berlimpah sehingga di kemudian hari konflik air akan makin meningkat. Keempat: Pembangunan Megaproyek tersebut hanyalah menguntungkan investor. Dengan pola pendanaanya dari Swasta, terlihat secara jelas bahwa pemodal sedang berdiri dibalik penguasa untuk memuluskan investasinya dan menggunakan power pemerintahan pusat untuk menerabas Perda RTRW Propinsi Bali. Penyelenggaraan APEC hanyalah kedok untuk memuluskan

investasinya karena selanjutnya yang pengelolaannya pasti akan ditangan swasta secara penuh. Hambatan pembanguan megaproyek tersebut adalah Perda RTRW, maka pemodal menggunakan power pemerintah pusat untuk menyediakan akses termasuk menekan agar perda RTRW diubah selanjutnya pemodal akan melakukan kegiatan investasi tanpa hambatan. Kelima: Preseden buruk bagi konsistensi penegakan Perda RTRW Bali. Apabila megaproyek ini dibangun, maka ini adalah preseden buruk dimana RTRW dengan gampang direvisi untuk sebuah agenda yang tidak begitu urgent dan instant. Agenda yang mengorbankan kepentingan lingkungan dan keberlanjutan pulau Bali sebagai sebuah pulau yang eksotik serta mengabaikan masa depan generasi berikutnya yang akan semakin hidup berhimpitan. Berdasarkan paparan diatas, sesungguhnya rencana pembangunan megaproyek bagi akomodasi KTT APEC adalah rencana yang tidak berpihak kepada kelestarian dan kelangsungan ekologis di Bali. Pembangunan tersebut hanyalah bagian dari upaya memuluskan keinginan investor untuk melakukan kegiatan investasi dengan menggunakan kekuasaan pemerintah pusat untuk melawan Perda RTRW. Pada akhirnya Bali akan menikmati potensi kehancuran ekologis, dengan daya dukung lingkungan yang semakin menurun dampak lingkungan pasti akan menyertai. Hal ini berarti bom waktu ekologis bagi generasi berikutnya. Terkait dengan keadaan tersebut, secara struktural rencana itu hanya bersandar kepada konsistensi Pemerintah Propinsi Bali dalam mempertahankan kebijakannya. Mengingat dalam konteks otonomi daerah, kewenangan utama dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah termasuk pengelolaan lingkungan dan kelangsungan ekologis terletak ditangan pemerintah propinsi. Dokumen Perda RTRW Propinsi Bali 2009-2029 adalah kebijkan publik yang telah dibuat dengan visioner demi kelangsungan generasi berikutnya. Sehingga penataan ruang dengan dasar TRI Hita Karana adalah keniscayaan untuk dipertahankan dari dominasi apapun, terlebih dalam perencanaan pembangunan megaproyek ini hanya mengedepankan logika ekonomi pariwisata dibanding keuntungan publik. Investor dengan ideologi kapitalisme saat ini sedang berdiri dan digandeng pemerintah pusat. Semoga saja pemerintah Propinsi Bali berada di garis depan untuk menjaga kelestarian Bali. Astungkara.

*Penulis adalah Ketua Dewan Daerah- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Daerah Bali dan Majelis Anggota Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Bali

Anda mungkin juga menyukai