Anda di halaman 1dari 20

ALIRAN AL-ASY'ARIYAH BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, umumnya dikenal adanya dua corak pemikiran kalam, yakni pemikiran kalam yang bercorak rasional serta pemikiran kalam yang bercorak tradisional. Pemikiran kalam yang bercorak rasional adalah pemikiran kalam yang memberikan kebebasan berbuat dan berkehendak kepada manusia, daya yang kuat kepada akal, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang terbatas, tidak terikat pada makna harfiah, dan banyak memakai arti majazi dalam memberikan interpretasi ayat-ayat Al-Quran. Pemikiran ini akan melahirkan paham rasional tentang ajaran Islam serta menumbuhkan sikap hidup yang dinamis dalam diri manusia. Paham ini terdapat dalam aliran Mutazilah[1] dan Maturidiyyah Samarkand.[2] Sebaliknya, pemikiran kalam yang bercorak tradisional adalah pemikiran kalam yang tidak memberikan kebebasan berkehendak dan berbuat kepada manusia, daya yang kecil bagi akal, kekuasaan kehendak Tuhan yang berlaku semutlak-mutlaknya, serta terikat pada makna harfiah dalam memberikan interpretasi ayat-ayat Al-Quran. Pemikiran kalam ini akan melahirkan paham tradisional tentang ajaran Islam serta akan menumbuhsuburkan sikap hidup fatalistik dalam diri manusia. Paham ini terdapat dalam aliran Asyariyyah dan Maturidiyyah Bukhara.[3] Kalau kaum Mutazilah banyak percaya pada kekuatan akal manusia, kaum Asyariah banyak bergantung pada wahyu. Sikap yang dipakai kaum Mutazilah ialah mempergunakan akal dan kemudian memberikan interpretasi pada teks atau nas wahyu sesuai dengan pendapat akal. Kaum Asyariah sebaliknya, terlebih dahulu kepada teks wahyu dan kemudian membawa argumen-argumen rasional untuk teks wahyu itu. Kalau kaum Mutazilah banyak memakai tawil atau interpretasi dalam memahami teks wahyu, kaum Asyariah banyak berpegang pada arti lafzi atau letterlek dari teks wahyu. Dengan kata lain Mutazilah membaca yang tersurat dalam teks, kaum Asyariah membaca yang tersurat.[4] Asyariah merupakan aliran yang hidup hingga sekarang, berumur hampir sepuluh abad. Aliran ini tumbuh pada tahun-tahun pertama abad ke-4 H, hingga sekarang masih ada, walaupun harus menghadapi tekanan kira-kira 1 abad. Satu saat bertarung melawan kaum rasionalis, yang

diwakili khususnya oleh Mutazilah, tetapi kadang juga melawan naqliyyin (tekstualis) yang diwakili oleh Salaf [5] ekstrim dari kalangan Hanabilah dan Karamiah. Baru kemudian ajaran-ajaran aliran ini bisa mendominasi dan menjadi mazhab resmi Negara di dunia Sunni yang dalam rangka itu ia ditopang oleh kondisi social-politik.[6] Pada akhir abad ke-3 H muncul dua tokoh yang menonjol, yaitu Abu al-Hasan al-Asyari di Bashrah dan Abu Manshur al-Maturidi di Samarkand. Mereka bersatu dalam melakukan bantahan terhadap Mutazilah, meskipun sedikit banyak mereka mempunyai perbedaan.[7] Al-Asyari dilahirkan di Bashrah pada tahun 260 H dan wafat pada tahun 330 H. Ia mempelajari ilmu kalam dari seorang tokoh Mutazilah Abu Ali al-JubbaI. Karena kemahirannya, ia selalu mewakili gurunya dalam berdiskusi. Meskipun begitu, pada perkembangan selanjutnya ia menjauhkan diri dari pemikiran Mutazilah. Selanjutnya ia condong kepada pemikiran para fuqaha dan ahli hadis, padahal ia sama sekali tidak pernah mengikuti majelis mereka dan tidak pernah mempelajari aqidah berdasarkan metode mereka.[8] Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa dalam perkembangan pemikiran Islam ada dua aliran yang mempunyai corak pemikiran yang kontradiktif. Aliran Muktazilah mempunyai pemikiran bercorak rasional atau pemikiran yang bertumpu pada logika, sedangkan aliran al-Asyariah mempunyai pemikiran bercorak tradisional, dan aliran ini muncul sebagai sanggahan atas pemikiran Mutazilah. Abu al-Hasan al-Asyari sebagai penggagas dan pendiri aliran al-Asyari ini pada mulanya adalah pengikut setia ajaran Mutazilah, namun karena disebabkan beberapa hal yang bertentangan dengan hati nurani, pemikirannya dan kondisi social masyarakat (ia merasa perlu meninggalkan ajaran itu) di zaman itu yang menyebabkan ia berpaling meninggalkan ajaran Mutazilah, dan bahkan memunculkan aliran teologi baru sebagai reaksi perlawanan terhadap ajaran Mutazilah, ini akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dalam pembahasan makalah ini, penulis merumuskan beberapa permasalahan, yaitu : 1. Sejarah timbulnya aliran Al-Asyariah 2. Abu Hasan al-Asyari (Biografi dan Karya-karyanya).

3. Pokok-pokok ajarannya.

BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah Timbulnya Aliran Al-Asyariah. Ada beberapa kemungkinan alasan yang menyebabkan al-Asyari meninggalkan Mutazilah sekaligus merupakan penyebab timbulnya aliran al-Asyariah, berikut ini dipaparkan : Al-Asyari sungguhpun telah puluhan tahun menganut paham Mutazilah, akhirnya meninggalkan ajaran Mutazilah. Sebab yang bisaa disebut, yang berasal dari al-Subki dan Ibn Asakir, ialah bahwa pada suatu malam al-Asyari bermimpi; dalam mimpi itu Nabi Muhammad SAW, mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli Hadislah yang benar, dan mazhab Mutazilah salah.[9] Cerita yang paling umum disebut sebagai penyebab keluarnya al-Asyari dari Mutazilah ialah kisah perdebatan antara alAsyari dengan gurunya al-Jubbaiy, tentang tempat untuk anak kecil di akhirat. Menurut al-Jubbaiy, tempat anak kecil di akhirat bukanlah di bagian tertinggi surga, karena anak kecil belum punya amal saleh sebagai tanda ketaatan yang patut diberi pahala. al-Asyari bertanya, bagaimana kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: Itu bukan kesalahanku; sekiranya Engkau memanjangkan umurku tentu aku beramal baik seperti yang dilakukan oleh orang mukmin dewasa. Jawab al-Jubbaiy; Tuhan akan berkata: Aku tahu bahwa jika terus hidup niscaya engkau akan berbuat dosa dan pasti masuk neraka, maka demi kepentinganmu sendiri , Aku cabut nyawamu sebelum engkau menjadi orang dewasa mukallaf. al-Asyari bertanya selanjutnya, sekiranya yang kafir mengatakan: Engkau mengetahui masa depanku, sebagaimana Engkau mengetahui masa depan anak kecil, maka apa sebabnya Engkau (membiarkan aku hidup) tidak menjaga kepentinganku?. Di sinilah al-Jubbaiy terpaksa diam.[10] Menurut suatu riwayat, ketika ia mencapai usia 40 tahun, ia mengangkat diri dari orang banyak di rumahnya selama 15 hari, di mana ia kemudian ia pergi ke masjid besar Basrah untuk menyatakan di depan orang banyak, bahwa ia mula-mula memeluk paham aliran Mutazilah, antara lain. Al-Quran itu makhluk, Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala, manusia sendiri yang menciptakan pekerjaan-pekerjaan dan keburukan. Kemudian ia mengatakan sebagai berikut : Saya tidak lagi mengikuti paham-paham tersebut dan saya harus menunjukkan keburukankeburukan dan kelemahan-kelemahannya.[11]

Pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun[12] serangan Mutazilah terhadap para fuqaha dan muhaddtisin semakin gencar. Tak seorang pun para fiqh yang populer dan pakar hadis yang masyhur luput dari gempuran mereka. Serangan dalam bentuk pemikiran, disertai dengan penyiksaan fisik oleh penguasa dalam bentuk suasana al-Mihnah (inkuisisi). Akibatnya timbul kebencian masyarakat terhadap Mutazilah, dan berkembang menjadi permusuhan. Masyarakat tidak senang dengan hasutan-hasutan mereka untuk melakukan inkuisisi (mihnah) terhadap setiap imam dan ahli hadis yang bertakwa.[13] Politik kekerasan yang ditempuh oleh Mutazilah dalam menyampaikan ajarannya itu berkurang setelah al-Mamun meninggal tahun 833 M, bahkan akhirnya paham Mutazilah sebagai mazhab resmi Negara dibatalkan oleh Khalifah Al-Mutawakkil pada tahun 856 M. Sejak itu, kaum Mutazilah kembali pada posisinya semula, menjadi lemah, bahkan menghadapi lawan-lawan yang tiada sedikit dari Islam. Tentu saja lawan yang paling keras dihadapinya ialah golongan Hanbaliy, pengikut dari imam yang pernah menjadi korban mihnah di zaman al-Mamun. Perlawanan dari golongan ini akhirnya mengambil bentuk aliran teologi baru yang bertumpu secara tekstual pada sunnah (tradisi) yang bersumber dari Nabi dan sahabat-sahabatnya. Aliran ini kemudian dikenal dengan aliran tradisional dengan sebutan Ahl al-Sunnah,[14] atau Asyariyah.[15] Sekarang timbul persoalan, apa sesungguhya yang menyebabkan alAsyari keluar dari Mutazilah? Rasanya tidaklah mungkin al-Asyari yang pernah menganut Mutazilah puluhan tahun dan menjadi juru debatnya, tiba-tiba meninggalkan aliran itu hanya karena tidak puasnya menerima jawaban al-Jubbaiy. Patut kiranya dipertimbangkan jika dalam hal ini Harun Nasution menunjukkan adanya kemungkinan baru, bahwa al-Asyari meninggalkan Mutazilah karena ia melihat bahwa aliran ini tidak dapat diterima oleh umumnya umat Islam yang masih sederhana cara berpikirnya. Apalagi ketika itu Mutazilah telah berada kembali pada posisi lemah, sebaliknya Ibn Hanbal dan para pengikutnya dari kalangan muhaddisin semakin kuat di bawah lindungan penguasa baru Abbasiyah. Khalifah al-Mutawakkil. Dengan kata lain, mungkin saja al-Asyari melihat betapa bahayanya jika umat Islam dibiarkan hidup tanpa pegangan teologi formal sebagai pengganti teologi Mutazilah yang telah ditinggalkan itu.[16]

Kemungkinan lain juga mungkin disebabkan seperti pendapat berikut bahwa : Sebagai seorang muslim yang gairah akan keutuhan umat muslimin, ia sangat mengkhawatirkan, kalau al-Quran dan hadis-hadis Nabi menjadi korban faham-faham aliran Mutazilah yang menurut pendapatnya tidak dapat dibenarkan karena didasarkan atas pemujaan akal pikiran, sebagaimana dikhawatirkan juga menjadi korban sikap ahli hadis anthropomorphist (al-hasywiah-the gross anthropomorphist of some of the traditionalist) yang hanya memegangi lahir (bunyi) nas-nas agama dengan meninggalkan jiwanya yang hamper menyeret Islam ke lembah kebekuan yang tidak dapat dibenarkan.[17] Secara faktual hal ini juga disebabkan adanya inkuisisi pada masa pemerintahan al-Mamun yang memicu kebencian sebagian besar umat Islam kala itu terhadap orang-orang Mutazilah. Adanya al-mihnah yang dilakukan oleh kaum Mutazilah terhadap kelompok lain yang tak sepaham dengannya, ternyata menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan bagi perkembangan aliran Mutazilah selanjutnya. Mereka mendapat tantangan keras dari umat Islam lain. Setelah adanya peristiwa ini kaum Mutazilah tidak lagi mempunyai peranan politik yang berarti, dan menyebabkan timbulnya aliran oposisi yang kuat dan siap sedia untuk menciptakan alasan guna memojokkan kaum Mutazilah. Perlawanan tersebut kemudian mengambil bentuk aliran teologi baru yang bercorak tradisional yang dimajukan oleh Abu al-Hasan al-Asyari (W.935 M). [18] Dia menghabiskan waktunya untuk berdebat melawan teori-teori Mutazilah, mempertahankan keyakinan barunya, dan menggunakan senjata yang sama dengan Mutazilah_yaitu pembuktian melalui akal, yang sangat tidak disukai oleh mazhab Hanbali. Pada hakikatnya al-Asyari mengambil jalan tengah di antara dua titik ekstrem yang sangat mengandalkan akal, seperti para pengikut Ibn Hanbal.[19] Meskipun demikian al-Asyari tetap mengaku sebagai pengikut Hanbali. Dalam tulisannya, dia berkata, Ucapan kami yang terucapkan dan agama yang kami anut berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, riwayat sahabat, tabiin, dan para imam hadis. Kami sangat memegang teguh hal-hal tersebut, serta apa yang disampaikan oleh Ibn Hanbal (semoga Allah mencerahkan wajahnya, mengangkat derajatnya, meninggikan kedudukannya). Orang-orang yang menentang pendapatnya

menjauh, karena itu adalah imam yang memiliki kelebihan, sempurna, dan diberi kebenaran oleh Allah swt, ketika muncul kesesatan.[20] Berdasarkan uraian di atas, penulis mempunyai pemikiran bahwa latar belakang timbulnya aliran al-Asyariah dipengaruhi beberapa faktor, antara lain yang paling krusial kekhawatiran Abu al-Hasan al-Asyari bahwa al-Quran dan Hadis Nabi akan diabaikan oleh umat Islam. Kemudian dalam pengembaraan dan pengalaman spiritualnya tidak menutup kemungkinan telah menemukan kebenaran yang hakiki yang terpancar dalam hatinya, ketika hal itu telah ditemukan yang menurut dia itulah suatu kebenaran yang harus dimunculkan kepada umat Islam kala itu. B. Abu al-Hasan al-Asyari (Biografi dan Karya-Karyanya). Dalam Shorter Encyclopaedia of Islam karya H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers disebutkan bahwa Al-Asyari, Abu al-Hasan, famous theologian, born at Basra in the year 260 H / 873 M. The complete genealogy is : Ali b. Ismail b. Ishak b. Salim b. Ismail b. Abd. Allah b. Musa b. Bilal b. Abi Burda.[21] Abu Hasan al-Asyari nama lengkapnya adalah Ali bin Ismail bin Basyr Ishak bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal Abi Bardah bin Abdullah bin Abi Musa al-Asyari.[22] Adapun masa hidupnya, al-Asyari terlahir pada tahun 260 H (873 M) dan wafat pada tahun 524 H (935 M). Berarti dia hidup di dunia selama 64 tahun Qomariyah/Hijriyah atau selama 62 tahun Syamsiyah/Masehi.[23] Kehidupan al-Asyari kesil tidak seberuntung masa kanak-kanak pada umumnya. Karena sejak kecil dia telah ditinggalkan oleh ayah kandungnya, Ismail. Dan ibunya kemudian dipersunting oleh Abu Ali al-Jubai, seorang tokoh kenamaan Mutazilah. Maka dalam pelukan ayah tiri inilah al-Asyari dididik dan dibesarkan.[24] Seorang ahli hukum Islam (fiqih) terkenal, pemuka teolog Islam dan pendiri aliran Asyariyah. Ia mempunyai hubungan nasab dengan sahabat Nabi s.a.w, yaitu Abu Musa al-Asyari r.a yang banyak meriwayatkan hadis beliau. [25] Pada bidang teologi beliau banyak berguru pada Ali alJubbai; demikian juga beliau belajar fiqhi Syafii kepada seorang faqih yaitu Abu Ishak al-Maruzi seorang tokoh Muktazilah di Basrah.[26] Adapun karya-karyanya, di antaranya beberapa judul yang sampai kepada kita ialah :

1. Al-Ibanah an Ushul al-Diyanah (Dalam kitab ini memaparkan berbagai hal pokok keagamaan yang didasarkan pada pemikiran kalamnya dan kemudian menjadi acuan bagi kaum Sunni). 2. Al-Luma (Kitab ini lebih menyoroti argumen-argumen lawan atau aliran kalam yang dianggapnya tidak benar, dan memberikan dalil-dalil naql (alQuran dan al-Sunnah) serta argumen akal yang relevan. 3. Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin. (Pokok-pokok kitab ini menguraikan tentang bermacam-macam golongan Islam beserta pendapat masing-masing dan lebih merupakan kajian comparative (perbandingan). Sehingga terlihat jelas mana kelompok Alussunnah Waljamaah berada).[27] C. Pokok-Pokok Ajaran al-Asyariah. Formulasi pemikiran al-Asyariah, secara essensial menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan Muktazilah di sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualisasi formulasinya jelas menampakkan sifat yang reaksionis terhadap Muktazilah, sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya.[28] 1). Zat dan Sifat Tuhan. Menurut al-Asyari, Zat Tuhan tidak bisa disamakan dengan zat (esensi) makhluk. Maka apabila dalam al-Quran disebutkan kata-kata wajh (muka), yad (tangan), dan ain (mata) yang dinisbatkan kepada Tuhan, seperti yang tersebut dalam ayat-ayat yang berbunyi : - QS. al-Rahman ayat 27 : Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. - QS. al-Fath ayat 10 : b) %!$# y7tRq $t6 $yJR) !$# m ?s |s # _r&$VJ t Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka, Maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar. - QS. at-Thuur ayat 48 :

Dan Bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, Maka Sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri. tidak bisa disamakan dengan wajah, tangan, dan penglihatan manusia atau dengan apa yang ada pada makhluk-Nya. Hal itu bila kaifa (tidak bisa ditanyakan bagaimananya).[29] Nama-nama Allah tidak dapat disebut bukan Allah, dan Allah swt yang mempunyai Ilmu, Mendengar dan Melihat merupakan sifat yang ditetapkan kepada-Nya, dan tidak dapat dinafikan dari-Nya.[30] Jadi menurut al-Asyari, Allah tidak memiliki tangan, wajah, singgasana dalam bentuk materil_seperti kata Ahlussunnah_meskipun hal ini berbeda dengan yang ada pada makhluk. Namun menurutnya seorang muslim wajib mengimani bahwa Allah memiliki tangan, wajah dan singgasana tanpa usah bertanya-tanya bagaimana adanya sifat-sifat ini bagi Allah.[31] 2). Kekuasaan Tuhan dan Perbuatan Manusia. Menurut al-Asyari, Kekuasaan Tuhan (predestination) adalah mutlak. Dia Mutlak Berkehendak dan Berbuat. Maka tidak ada sesuatu pun yang terjadi pada manusia dengan kekuatannya sendiri, melainkan dengan Kehendak-Nya dan Kekuasaan Mutlak-Nya. Dengan demikian, maka perbuatan manusia tidaklah diciptakan oleh manusia itu sendiri, melainkan diciptakan oleh Tuhan. Sedangkan bersamaan dengan wujud perbuatan itu, manusia memiliki andil yang disebut Kasb (usaha).[32] Perbuatan manusia menurut al-Asyari disebut al-Kasb dan tidak ada fiil bagi kasb kecuali Allah. Demikian juga tidak ada khaliq kecuali Allah. Tidak ada orang yang mampu menciptakan secara hakiki kecuali Allah. Perbuatan mesti fail secara hakiki. Karenanya, Kasbi mestilah dari muktasib yang memberi kasb secara hakiki. Perbuatan baik seperti iman, dan perbuatan jahat seperti kufur, sebenarnya Allah yang menciptakannya.[33] Tampaknya al-Asyari ingin mengkompromikan antara paham Qadariah dan Jabariah tentang perbuatan manusia, usaha mengkompromikan ini dikenal dengan konsep al-kasb. Berdasarkan teori ini mereka memandang bahwa perbuatan manusia baik yang dilakukannya secara terpaksa atau atas ikhtiarnya adalah ciptaan Allah, qudrat manusia tidak bisa memberikan pengaruh pada perbuatannya, tetapi ia memiliki apa yang disebut Kasb yang selalu mengiringi qudrat

yang terjadi pada manusia untuk perbuatan tanpa ada pengaruh pada qudrat itu.[34] 3). Kalam Tuhan. Pemikiran kalam al-Asyari tentang Kalam Tuhan ini dibedakannya menjadi dua, yakni adanya Kalam Nafsi dan kalam Lafzi Kalam Nafsi adalah kalam dalam artian abstrak, ada pada Zat (Diri) Tuhan. Ia bersifat qadim dan azali serta tidak berubah oleh adanya perubahan ruang, waktu dan tempat. Maka al-Quran sebagai kalam Tuhan dalam artian ini bukanlah makhluk. Sedangkan kalam Lafzii adalah kalam dalam artian sebenarnya (hakiki). Ia dapat ditulis, dibaca atau disuarakan oleh makhlukNya, yakni berupa al-Quran yang dapat dibaca sehari-hari. Maka kalam dalam artian ini bersifat hadis (baru) dan termasuk makhluk.[35] 4). Tentang Ruyah kepada Tuhan. Pemikiran kalam al-Asyari tentang ruyah kepada Tuhan (melihat Tuhan di Akhirat) adalah hal yang mungkin terjadi karena Tuhan berfirman dalam QS. al-Qiyamah ayat 22-23 : Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri (23) Kepada Tuhannyalah mereka Melihat(24). Argumen logika yang dikemukakan ialah bahwa Tuhan itu ada, maka melihat-Nya pada hari kiamat dengan mata kepala adalah hal yang mungkin. Karena sesuatu yang tidak bisa dilihat dengan mata kepala, itu tidak bias diakui adanya, sama seperti sesuatu yang tidak ada. Padahal Tuhan pasti ada.[36] Pada hari kiamat, Allah dapat dilihat seperti melihat bulan purnama. Dia dapat dilihat oleh orang yang beriman, dan bukan oleh orang kafir. Sebab mereka dihalangi untuk melihat-Nya. Musa pernah meminta agar diperkenankan melihat Allah di dunia, kemudian gunung pun bergetar sebagai penjelmaan kekuasaan-Nya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Dia tidak dapat dilihat di dunia, sebaliknya di akhirat dapat.[37] 5). Tentang Pelaku Dosa Besar. Tentang pelaku dosa besar, pemikiran al-Asyari terlihat jelas penolakannya terhadap pemikiran kalam Mutazilah yang menyatakan bahwa seorang mukmin yang berdosa besar dan mati sebelum bertobat nasuha ia kekal di neraka. Menurut al-Asyari, pendapat Mutazilah yang demikian itu jelas-jelas bertentangan dengan al-Sunnah serta hak pengampunan Tuhan. Dalam keterangan beberapa al-Sunnah, dinyatakan

bahwa kalaupun berdosa besar, selama di hatinya masih ada iman, seseorang tidak kekal di neraka. Dan dalam keterangan beberapa ayat alQuran, ditegaskan bahwa hanya orang-orang yang musyrik dan kafirlah kekal di neraka.[38] Imam Asyari tidak mengkafirkan seorang muslim atau dosa yang telah diperbuatnya, seperti zina, mencuri, dan minum khamer, karena orang yang melakukan dosa besar tersebut pasti meyakini dan percaya bahwa sebenarnya perbuatan yang dilakukannya merupakan perb uatan haram.[39] Sementara itu Tuhan adalah berkuasa dan Berkehendak Mutlak. Sehingga menjadi hak mutlak-Nya pula untuk mengampuni atau tidaknya dosa para hamba-Nya yang beriman. Sehubungan dengan ini, maka yang pasti, menurut al-Asyari, pelaku dosa besar yang beriman tidaklah kekal di neraka. Yang kekal di neraka haruslah orang musyrik dan kafir. Dan berkaitan dengan pengampunan Tuhan, maka terserah Dia, apakah dosa besarnya itu diampuni langsung masuk surga, ataukah disiksa terlebih dahulu di neraka, kemudian diampuni dan dimasukkan ke surga; hal ini mutlakl urusan Tuhan.[40] Menyangkut masalah Kekuasaan Tuhan Beliau berpendapat bahwa tidak ada sesuatupun yang bias menghalangi kekuasaan Tuhan dan menolak keberadaan dari semua penyebab. Kalau siang mengikuti malam, maka itu hanya karena Tuhan dengan kasih-Nya memudahkan pengulangannya. Dalam hal ini tidak ada kekekalan. Tuhan menciptakan dunia baru setiap saat. Meskipun beliau menerima takdir yang telah ditentukan sebelumnya, namun beliau juga memakai konsep perolehan (kasb), yang akan membuat manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.[41] Berdasarkan uraian di atas, penulis memberikan kesimpulan bahwa Abu al-Hasan al-Asyari mempunyai pokok-pokok ajaran yang menekankan kepada konsep pemikiran tentang Zat (esensi) Allah swt yang merupakan sifat-sifat yang melekat pada zat Allah. Al-Asyari mengakui eksistensi sifat-sifat Allah seperti yang termaktub dalam al-Quran (Asmaul Husna), namun dalam pemikirannya, sifat-sifat tersebut tidak bias disamakan dengan sifat-sifat yang ada pada makhluknya karena Allah berbeda dengan makhluk, tak sesuatupun yang menyerupai-Nya. Tentang Perbuatan Tuhan dan kebebasan manusia berbuat dikenal dengan teori kasb. Al-Asyari juga meyakini bahwa kalam Allah itu terdiri

dari dua; kalam Nafzi dan kalam Lafzi. Kalam Nafzi itu ada pada diri Allah yang bersifat qadim dan azali, dan ini bukan makhluk. Sedangkan kalam Lafzi adalah susunan huruf, bunyi yang disuarakan ketika kita membaca alQuran, itulah yang bersifat baru dikategorikan makhluk. Menurut al-Asyari, orang-orang beriman itu dapat melihat Allah di akhirat, tapi di dunia mustahil, seperti cerita tentang Nabi Musa yang digambarkan tadi di atas. Tentang pelaku dosa besar, al-Asyari berpendapat bahwa; orang mukmin melakukan dosa besar selama di hatinya masih ada iman akan mendapat pengampunan dari Allah.

BAB III KESIMPULAN Dari pembahasan makalah ini, penulis menarik suatu kesimpulan, bahwa secara histories timbulnya aliran al-Asyariah disebabkan oleh karena kuatnya keinginan untuk kembali pada pemahaman yang semula yaitu pemikiran Ahlussunnah Waljamaah, tapi juga dalam pemikirannya al-Asyari masih menggunakan metode yang digunakan oleh kaum Mutazilah, yaitu menggunakan kemampuan akal menganalisis nas-nas alQuran. Kaum Mutazilah selalu mengedepankan akal pikiran untuk memahami wahyu, berangkat dari akal kemudia wahyu. Tapi al-Asyari sebaliknya mengedepankan wahyu disbanding akal, menggunakan akal seperlunya saja. Sehingga tidak heran al-Asyari dalam pemikirannya selalu mengkompromikan pemahaman Ahlussunnah Waljammah dengan kaum rasionalis tersebut. Hal tersebut dapat dilihat pada setiap pokokpokok pemikirannya.

DAFTAR PUSTAKA A. Hanafi, Pengantar Theology Islam. Cet.VII; Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 2001. Abbas. Nukman, Al-Asyari (874-935 M) Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan. Jakarta: Erlangga, t.th. Abdul Azis, Ahmad, Ensiklopedia Islam, Alih Bahasa : Drs. Bahrul Ulum, M.Pd. Cet.I; Jakarta: PT. Prestasi Pustakarya, 2006. Abu Zahrah. Imam Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Judul Asli : Tarikh alMazahib al-Islamiyyah diterjemahkan oleh : Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib. Cet.I; Jakarta: Logos, 1996. Ahmad Amin. Husayn, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam Judul Asli : Al-Miah alAzham fi Tarikh al-Islam. Cet.IV; Bandung,: PT. Remaja Rosdakarya, 1999. Al-Asyari. Al-Imam Abul Hasan, Risalah lla Ahli Ats-Tsaghri, diterjemahkan oleh Muhammad Dawam Sukardi-Humavie, dengan judul: Serat-serat Aqidah Ahlu as-Sunnah wal Jamaah, Cet. I; Jakarta: Pustaka Azzam, 2001. Al-Asyari, al-Ibanah an Ushul ad-Diyanah. Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah, tt. al-

Al-Usairy. Ahmad, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX , Penerjemah : Samson Rahman. Cet.I; Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003. Amin. Ahmad, Dhuha Islam. Kairo: Dar al-Misriyah, 1946. Amin. Ahmad, Zuhr Islam, Jilid IV. Beirut: Dar al-Fikr, 1969. Farid Ismail. Fuad dan Abdul Hamid Mutawalli, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat, Diterjemahkan dari buku : Mabadi al-Falsafah wa al-Akhlaq. Penerjemah oleh Didin Faqihuddin, S.Ag. dkk. Cet.II; Yogyakarta: IRGSoD, 2005. Gibb. H.A.R. and J.H. Kramers, Shorter Encyclopaudia of Islam, London: Luzac and Co, 1961. Haq. Hamka, Dialog: Pemikiran Islam. Makassar: Yayasan Al-Ahkam, 2000. Iskandar Al-Barsany. Noer, Biografi dan Garis Besar Pemikiran Kalam Ahlussunnah Waljamaah. Ed.I, Cet.I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001. Madkour. Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Penerjemah; Drs. Yudian Wahyudi Asmin. Bumi Aksara, t.th. Maghfur W. Muhammad, Koreksi Atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam. Cet.I; Bangil: Al-Izzah, 2002.

Muchofir. Ali, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi. Cet.I; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996. Nasution. Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II. Cet.I; Jakarta: UIPress, 2002. _____________, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran. Cet.IV; Bandung: Mizan, 1996. _____________, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Cet.V; Jakarta: UI-Press, 1986. Nata. Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf Dirasah Islamiyah IV. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, t.th.. Shihab, M. Quraisy, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran. Cet.II; Jakarta: Lentera Hati, 2007. Tholhah Hasan. Muhammad, Ahlussunnah wal Jamaah dalam Persepsi dan Tradisi NU. Cet.III; Jakarta: Lantabora Press, 2005. Yatim,. Badri, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2006. Yusuf. M. Yunan, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar Sebuah Telaah Atas Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam. Cet.II; Jakarta: Penamadani, 2003. Khalid ibn Abd. Latif ibn Muhammad Nur, Manhaj Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah wa Manhaj al-Asyairah. Cet. I; Madinah: Maktabah al-Ghurabah alAtsariyah, 1995.

SEJARAH PEMIKIRAN ISLAM Oleh : M. Ja'far Nashir, M.A

A. PENDAHULUAN
Didalam memahami ajaran agama Islam, setiap muslim amat tergantung pada kemampuan para ulama dalam menggali dan menarik kesimpulah hulum-hukum Islam dari sumbernya Al-Qur an dan AsSunnah. Dalam perkembangannya pemikiran Islam tidak saja hanya berkisar tentang hukum-hukum Islam, akan tetapi sudah berkembang sampai dengan Teologi, dan Filsafat. Bahkan dewasa ini sudah berkembang sampai dengan pemikiran Liberalis. Untuk lebih memahami bagaimana perkembangan pemikiran dalam Islam mulai dari masalah Hukum (Fiqh), Teologi, sampai dengan Filsafat, berikut akan kami jabarkan sedikit tentang perkembangan tersebut.

B. PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM


Perkembangan pemikiran dalam Islam, dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : (1) Pemikiran Ahl Fiqh, (2) Pemikiran Teologi Islam, (3) Pemikiran Filsafat Islam., dan (4) Pemikiran Islam Indonesia 1) PERKEMBANGAN CORAK FIKR AHL FIQH Perkembangan fiqh dimulai sejak zaman Rasulullah saw masih hidup, pada masa ini tidak ada masalah yang berarti dimana hal tersebur dikarenakan Nabi saw langsung menjasi pembuat fiqh dan melakukan ijtihad sendiri. Pada masa Sahabat perkembangan fiqh terbagi menjadi dua, yaitu : kelompok alh an-Nash (seperti abuu huraurah & Anas), dan ahl al-Rayi (seperti Umar bin Khattab as). Setelah berakhirnya kepemimpinan Ali bin Abi tholib perkembangan fiqh dinamakan Fiqh Tabi in, yang mana pada masa ini fiqh terbagi menjadi dua kelompok, yaitu : Ahl an-Nash (para Fuqoha al-Saba ah / Madinah), dan Ahl al-Ra yi (Fuqoha al-Shittah / Kuffah). Lebih lanjut berikut perkembangan fiqh serta corak yang mempengaruhinya :

a. Manhaj al-Fikr Fikih Ahl al-Madinah

Corak pemikiran banyak dipengaruhi oleh kebuadayaan syiria dan kekuasaan Umayyah. Tokoh-tokohnya antara lain : al-Awzai. Sedang sifat pemikiran fikiq ahl al-madinah adalah thesa atau dalam arti bahwa fikih ahl al-madinah masih murni yang bersumberkan dari Al-Quran dan Hadits.

b. Manhaj al-Fikr Fikih Asy-Syafi i

Corak pemikirannya lebih banyak dipengaruhi (didominasi) al-Quran dan As-Sunnah. Toko-tokohnya antara lain : Asy-Syafii, Ibn Hambali, dan Malik Ibn Abbas / Dawud Ibn Khalaf (keduanya cenderung juga kepemikiran Fikih al-Madinah). Sedang sifat pemikiran fikiq Asy-Syafii adalah anti-thesa. Ini berarti juga bahwa pemikiran ahl asy-

Syafii sudah mengarah pada penggabungan antara fikih ahl al-madinah (murni) dengan fikih ahl al-Iraq (yang sudah menggunakan rasional).

c.

Manhaj al-Fikr Fikih Ahl al-Iraq

Corak Pemikiran yang digunakan adalah dengan menggunakan analogi dan dipengaruhi oleh kekuasaan Abbasyiyah. Tokoh-tokohnya antara lain : Abu Hanifah, Asy-Syaibani (cendrung juga ke pemikiran As-Syafii). Sedang sifat pemikiran fikiq ahl al-Iraq adalah sinthesa. Pemiiran ahl al-Iraq sudah mengarah kepada penggunaan akal secara berlebihan walau tidak mengenyampingkan Al-Quran dan As-Sunnah.

2) PERKEMBANGAN GOLONGAN TEOLOGI ISLAM Tumbuh dan berkembangnya golongan-golongan teologi Islam, muncul setelah peran kepemimpinan (Kekhalifahan) dalam Islam pindah dari Rasullah saw ke para Sahabat (Khulafaur Rasyidin). Dan pembembangannya semakin bertambah besar setelah terbunuhnya Ali bin Abi Tholib dan pindahnya kepemimpinan kepada Muawiyyah (yang menerapkan sistem kepemimpinan dengan model monarkhi/kerajaan) Theologi merupakan usaha pemahaman yang dilakukan para ulama (teolog muslim) tentang akidah Islam yang terkandung dalam naqli (al-Qur an dan As-Sunnah). Tujuan usaha pemahaman tersebut adalah menetapkan, menjelaskan atau membela akidah Islam, serta menolak akidah yang salah dan atau bertentangan dengan akidah Islam. Dengan demikian fungsi Teologi adalah bertugas menjelaskan dan memberikan pemahaman terhadap kebenaran parrenial Islam dengan bahasa Kontekstual. Adapun aliran-aliran Teologi Islam dapat dijabarkan antara lain sebagai beikurt : a. Golongan Khowarij (Teologi Eksklusif)

Khowarij ini muncul setelah perang siffin antara Ali dan Muawiyyah. Inti dari pokok pikirannya adalah : (1) Bahwa, Ali, Usman dan orang-orang yang turut dalam peperangan Jamal, dan orang-orang yang setuju adanya perundingan antara Ali dan Muawiyyah, semua dihukumkan orang-orang Kafir, (2) Bahwa, setiap umat Muhammad yang terus-menerus membuat dosa besar, hingga matinya belum taubat, orang itu dihukumkan kafir dan akan kekal di neraka, dan (3) Bahwa, boleh keluar dan tidak mematuhi aturan-aturan kepala negara, bila ternyata kepala negara itu seorang yang zalim atau khianat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teologi golongan khowarij bahwa orang yang berdosa besar dicap sebagai orang kafir, lawan dari orang kafir adalah orang yang beriman, orang yang beriman wajib berijtihad memerangi orang kafir, karena orang kafir halal darahnya. (yang disebutkan orang kafir disini adalah sebagaimana disebutkan diatas).

b. Golongan Murji ah (Teologi Inklusif)

Aliran ini timbul di Damaskus pada akhir abad pertama Hijrah. Aliran ini berpendapat bahwa, orang-orang yang sudah mukmin yang berbuat dosa besar, hingga matinya tidak juga taubat, orang itu belum dapat dihukum sekarang. Terserah atau ditunda serta dikembalikan saja urusannya kepada Allah kelak setelah hari kiamat. Pendapat ini adalah kebalikan dari faham Khawarij. Selain itu faham ini berpendapat bahwa Tidak akan memberi bekas dan

memudaratkan perbuatan maksiat itu terhadap keimanan.Demikian pula sebaliknya, Tidaklah akan memberi manfa at dan memberi faedah ketaatan seseorang, terhadap kekafirannya (artinya : tidaklah akan berguna dan tidaklah akan memberi pahala perbuatan baik yang dilakukan oleh orang yang telah kafir).

c.

Golongan Khowarij (Teologi Rasional) Tokohnya adalah Abu Huzdaifah washil bin Atha Al-Ghazali. Aliran ini berpendapat bahwa, manusia adalah merdeka dalam segala perbuatan dan bebas bertindak. Sebab itu mereka diazab atas perbuatan dan tindakannya. Tentang ketauhidan, mereka menafikan dan meniadakan sifat-sifat Allah. Artinya Tuhan itu ada bersifat. Karena seandainya bersifat yang macam-macam, niscaya Allah Ta ala berbilang (lebih dari satu). Inilah yang dimaksud mereka Ahli Tauhid, menafikan sifat-sifat Allah.

d. Golongan Asy ariyah Golongan ini muncul pada abad ke 11, yang berkembang di Baghdad dengan salah satu tokohnya adalah : Hakim al-Baqailani dan al-Juwaini. Pokok pemikirannya cenderung pada pemikiran Rasional, hampir sama dengan pemikiran golongan Mu tazilah.

3) PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM (TOKOH-TOKOH FILSAFAT ISLAM) a. Pemikiran Filsafat Al-Ghazali / 1050-1111 M (Tahafutut al-Falasifah) Pokok pemikiran dari al-Ghozali adalah tentang Tahafutu al-falasifah (kerancuan berfilsafat) dimana al-Ghazali menyerang para filosof-filosof Islam berkenaan dengan kerancuan berfikir mereka. Tiga diantaranya, menutur al-Ghazali menyebabkan mereka telah kufur, yaitu tentang : Qadimnya Alam, Pengetahuan Tuhan, dan Kebangkitan jasmani. b. Pemikiran Filsafat Ibn Rusyd 520 H/1134 M (Teori Kebenaran Ganda) Salah satu Pemikiran Ibn Rusyd adalah ia membela para filosof dan pemikiran mereka dan mendudukkan masalah-masalah tersebut pada porsinya dari seranga al-Ghazali.Untuk itu ia menulis sanggahan berjudul Tahafut al-Tahafut. Dalam buku ini Ibn Rusyd menjelaskan bahwa sebenarnya al-Ghazalilah yang kacau dalam berfikirnya. c. Pemikiran Filsafat Suhrawardi / 1158-1191 M (Isyraqiyah / Illuminatif) Pokok pemikiran Suhrawardi adalah tentang teori emanasi, ia berpendapat bahwa sumber dari segala sesuatu adalah Nuur An-Nuur (Al-Haq) yaitu Tuhan itu sendiri. Yang

kemudian memancar menjadi Nuur al-Awwal, kemudian memancar lagi mejadi Nuur kedua, dan seterusnya hingga yang paling bawah (Nur yang semakin tipis) memancar menjadi Alam (karena semakin gelap suatu benda maka ia semakin padat). Pendapatnya yang kedua adalah bahwa sumber dari Ilmu dan atau kebenaran adalah Allah, alam dan Wahyu bisa dijadikan sebagai perantara (ilmu) oleh manusia untuk mengetahui keberadaan Allah. Sehingga keduanya, antara Alam dan Wahyu adalah sama-sama sebagai ilmu. d. Pemikiran Filsafat Islam Lainnya.

Disanping ketiga tokoh pemikir filsafat Islam tersebut diatas, berikut tokoh-tokoh pemikir filsafat Islam lainnya, antara lain : 1) Al-Kindi (806-873 M) Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : Relevansi agama dan filsafat, fisika dan metafisika (hakekat Tuhan bukti adanya Tuhan dan sifat-sifatNya), Roh (Jiwa), dan Kenabian. 2) Abu Bakar Ar-Razi (865-925 M) Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : Akal dan agama (penolakan terhadap kenabian dan wahyu), prinsip lima yang abadi, dan hubungan jiwa dan materi. 3) Al-Farabi (870-950 M) Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : kesatuan filsafat, metafisika (hakekat Tuhan), teori emanasi, teori edea, Utopia jiwa (akal), dan teori kenabian. 4) Ibnu Maskawih (932-1020 M) Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : filsafat akhlaq, dam filsafat jiwa. 5) Ibnu Shina (980-1036 M) Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : fisika dan metafisika, filsafat emanasi, filsafat jiwa (akal), dan teori kenabian. 6) Ibnu Bajjah (1082-1138 M) Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : metafisika, teori pengetahuan, filsafat akhlaq, dan Tadbir al-mutawahhid (mengatur hidup secara sendiri). 7) Ibnu Yaufal (1082-1138 M) Pemikiran filsafatnya berikisar tentang masalah : percikan filsafat, dan kisah hay bin yaqadhan.

4) PERKEMBANGAN PEMIKIRAN MODERN 1. Islam Tekstual

Corak pemikirannya masih bersifat fundamental, Tekstualis, dan Skeptis. Dalam hal ini antara Islam dengan Modernitas masih dipertentangkan belum ada titik temu dan modernitas belum bisa menyatu dengan Islam.
2. Islam Revivalism

Pemikir Islam Revivalism sudah mengkombinasikan antara Islam dengan Modernitas walau masih sedikit, dan masih dikuatkan nilai-nilai Ke-Islamanya.
3. Islam Modern

Corak pemikiran dari tokoh Islam modern sudah memasukkan lebih banyak modernitas kedalam nilai-nilai Islam. Sehingga pemikirannya sudah dapat dikatakan liberal walaupun masih ada kendali Fundamentalisnya (Ke-Islamannya). Tokohnya antara lain Nurcholis Madji, Abdurrahman Wahid, dll.
4. Islam Neo-Modernis

Dalam hal ini tokoh pemikir Islam, pemikirannya sudah mengarah kepada Liberalis, Kontektual, dan Substantive. Salah satu tokoh Pemikir Islam Neo-Modernis adalah Ulil Absor Abdala. Dalam hal ini antara Islam dengan modernitas sudah tidak ada pemisahnya, artinya sudah menyatu.

C. PENUTUP
Demikian sekilas tentang pemetaan Pemikiran dalam Islam mulai dari masa Klasik (zaman sahabat) sampai dengan zaman modern khususnya di Indonesia. Semoga dengan ini kita dapat memperoleh gambaran tentang Sejarah Pemikiran Islam.

Anda mungkin juga menyukai