Anda di halaman 1dari 3

Model Keberagamaan Orang Eksakta

Posted on Agustus 4, 2007

0
Dalam realitas pendidikan umum kita saat ini, ada sebuah pemahaman tentang adanya pemisahan konsep ilmu pengetahuan dalam dikotomi IPA dan IPS. Mungkin hal ini terjadi sejak Sekolah Dasar dimana ketika SD ada pendidikan IPA dan IPS yang kemudian di SMP IPS memiliki varian Geografi, Sejarah dan Ekonomi sedangkan IPA memiliki varian Fisika dan Biologi. Di SMA kemudian dikembangkan lagi yang puncaknya menjadi penjurusan-penjuruan dalam bentuk IPA dan IPS. Bahkan di SMA ada penjurusan bahasa. Dan puncak rekayasa sistematis untuk menanamkan doktrin pada anak didik bahwa sejatinya pengetahuan itu terbagi dalam kelompok IPA dan IPS (dan Bahasa) ada ketika tes masuk di perguruan tinggi. Dimana ada jurusan-jurusan/ Program Studi yang syarat masuknya terbagi dalam kelompok IPA , IPS dan Bahasa. Agaknya dalam realitas, pemisahan IPS dan Bahasa tidak begitu dirasakan. Keduanya masih sering dianggap sebagai kelompok IPS saja. Sehingga kemudian yang berkembang adalah pemisahan dalam dua kelompok besar IPA dan IPS yang juga dikenal dalam kelompok Eksakta dan Sosial. Ternyata, model pilihan keberagamaan orang Eksakta memiliki kecenderungan yang khas. Model keberagamaan orang eksakta biasanya cenderung positifis atau menekankan sebuah kepastian dalam sebuah tafsir yang cenderung tunggal. Hal ini mungkin bisa terjadi karena kebanyakan teori yang berkembang dalam ilmu-ilmu eksakta yang mereka dapat sejak kecil menyatakan bahwa teori-teori alam itu adalah sebuah kepastian. Ketika apel jatuh dari pohonnya itu dianggap hanya terpengaruh oleh grafitasi semata. Dan tidak ada faktor lain yang signifikan mempengaruhi. Atau karena sebuah doktrin matematis linier dimana satu ditambah satu pasti dua. Dari model pemahaman para saintis dan teknolog yang seperti itu, ternyata mempengaruhi model keberagamaan mereka. Kita bisa meilihat bagaimana seorang eksakta lebih suka mendatangi pengajian dalam bentuk pengajian yang memberikan kepastian fiqh bukan dalam bentuk wacana atau stimulant berfikir. Mereka lebih suka mengikatkan diri pada sebuah jamaah tertentu karena pertimbangan kesejukan dan siraman ruhiyah semata bukan dalam konteks keinginan mereka untuk mendalami agama dan suatu saat kelak mereka bisa memiliki kemampuan untuk menyikap permasalahan keagamaan mereka sendiri . Sehingga dalam pemikiran mereka seorang ahli agama yang mereka anut sama dengan sabda Newton, Einstein, Heisenberg yang mereka anut. Hal ini karena mayoritas dalam pengajaran eksakta seperti bersifat pasti dan mutlak kebenarannya. Atau paling tidak tidak banyak membuka ruang diskusi atau tidak bisa menarik siswa/mahasiswa untuk diskusi tentang ilmunya secara lebih bebas. Hal inilah mengapa banyak kalangan profesional yang berbasis pengetahuan eksakta memiliki ketertarikan terhadap jamaah-jamaah yang menekankan keterikatan kekeluargaan dan ikatan jamaah bahkan kalau perlu ada semacam baiat. Simbol-simbol keagamaan juga sangat mereka agungkan. Bahkan kadang tanpa sadar mereka sulit membedakan mana pengetahuan, mana simbol, mana produksi budaya dan mana substansi. Ketika memiliki masalah kejiwaan yang mereka pilih biasanya adalah langkah-langkah yang berbau eskatologis seperti dzikir bersama, ruqyah (semacam pengobatan dengan bacaan-bacaan Al Quran untuk mengusir Jin dengan seorang kyai yang dipercaya) dan model pengajian manajeman kalbu. Hal ini mungkin saja terjadi karena permasalahan dalam ilmu yang mereka pelajari. Kita tahu, dalam arus besar pendidikan ilmu eksakta dan teknik, masih jarang dikembangan model pendidikan kritis. Juga karena jauhnya jarak antara Islam dan ilmu yang mereka pelajari. Atau karena trauma terhadap fenomena ateisme yang terjadi pada banyak saintis dunia. Sehingga karena mereka pada dasarnya pernah mengenal Islam sebelumnya memiliki kebutuhan untuk melakukan balas dendam intelektual dengan meneggelamkan diri mereka kedalam sesuatu yang diajarkan jamaahnya tanpa reserve (mentaati Allah SWT tanpa reserve adalah harus, karena itu bagian dari Tauhid Uluhiyah. Namun mentaati ajaran sebuah jamaah tanpa reserve adalah sesuatu yang salah, karena sesungguhnya yang berlaku di jamaah walaupun tetap bersumber dari Al Quran dan Sunnah tetap merupakan produk manusia yang memiliki ruang-ruang yang masih bisa dicari otentitasnya). Mungkin belum ada masalah bila pengertian tersebut yang mereka anut, namun akan mejadi masalah ketika mereka tidak bisa membedakan mana agama, mana organisasi keagamaan dan mana ahli keagamaan. Sehingga kadang upaya mereka untuk menenggelamkan diri kedalam agama tanpa reserve ini malah menjadi menegelamkan diri mereka kepada organisasi keagamaan tertentu. Dan ironisnya organisasi keagamaan tersebut malah semakin

bangga bila dapat pengikut yang memiliki kesetiaan tanpa reserve. Bagi golongan ini, kebanyakan ilmu agama dalam konsep mereka adalah yang didapat dari jamaahnya saja , karena mereka sangat menggantungkan dalam sebuah sistem lisensi tentang kesahihan sebuah referensi terhadap yang dianggap imam dalam jamaahnya. Golongan ini biasanya sudah meninggalkan sebuah model jamaah tradisional yang mengantungkan pada seorang figur kyai dalam manajemen jamaah mereka. Pemimpin bagi mereka kadang tidak perlu memiliki pengetahuan cukup tinggi, cukuplah bila ada restu dari sistem mereka, seseorang akan bisa menjadi pemimpin. Bahkan kadang dalam pilihanpolitik pun mereka menggantungkan kepada fatwa yang dihasilkan oleh pemimpin tertinggi mereka dan didistribusikan melalui sistem mereka. Kebanyakan mereka memiliki kesulitan yang luar biasa bila harus dihadapkan dalam pilihan-pilhan keagamaan tanpa mengantungkan system fatwa dalam jamaahnya. Bahkan yang berhubungan dengan profesi merekapun, mereka seakan tidak memiliki daya untuk menentukan sikap. Hal itu karena memang mereka terbiasa hidup dalam sebuah sistem pemikiran mono tafsir. Permasalahan Dalam realitas seperti ini adalah sebuah kesyukuran yang besar bagi kita bahwa ternyata generasi muslim saat ini memiliki akses yang cukup besar untuk mencari kehausan keberagamaan mereka. Tidak bisa dinafikkan peran Sie Kerohanian Islam di Organisasi Intra Kampus atau Jamaah Musholla di Kampus memiliki andil besar dalam realitas ini. Bahkan pengalaman kehidupan berjamaah mereka ketika kuliah seringkali tetap menjadi pilihan mereka ketika mereka dalam kehidupan professional mereka. Bila dikantornya tidak tersedia jamaah sejenis yang mereka butuhkan, mereka biasanya akan mencari di masjid-masjid terdekat atau aktif di mailing list atau surfing di situssitus Islam. Namun fenomena ini akan menyimpan potensi bom waktu yang akibatnya cukup besar. Jembatan antara pengetahaun eksakta dan pemahaman keberagamaan mereka bila tidak segera terhubung akan berpotensi menimbulkan apa yang disebut scizoprenia. Otak mereka seakan berjalan kearah yang bertentangan. Dan ketika menjadi profesional, mereka akan terus merasakan kegelisahan yang cukup mendalam ketika mereka seakan hidup dalam dua dunia yang saling bertentangan. Seandainya jamaah mereka bisa memberikan alternatif tempat bekerja mungkin akan memberikan solusi kepada mereka tentang kehidupan dua dunia tersebut. Namun pemikiran mereka tetap memerlukan jembatan yang secepatnya. Padahal selama ini model keberagamaan mereka sangat menggantungkan fatwa, ketika tidak tersedia fatwa yang bisa menghubungkan kompetensi mereka dengan pemahaman keagamaan mereka maka akan terjadi kekecewaan yang mendalam dalam diri mereka. Karena mereka selama ini menganggap agama adalah sama dan sebangun dengan organisasi keagamaan yang mereka ikuti maka kekecewaan mereka yang sejatinya adalah kekecewaan terhadap organisasi agama dalam pemahaman mereka adalah kekecewaan terhadap agama. Inilah yang mungkin bisa menerangkan tingginya potensi futur yang terjadi pada para profesional berbasis ilmu eksakta. Bahkan mungkin saja konsep ateisme yang terjadi pada para saintis terjadi bukan karena mereka anti Tuhan dalam konsep Tuhan yang sejati, namun mereka ateis terhadap konsep Tuhan yang mereka fahami dari tafsir tentang Tuhan yang mereka fahami dari otoritas-otoritas agama atau organisasi Keagamaan yang selama ini mereka definisikan sebagai agama. Mungkin yang perlu diingat bagi para ulama dan aktifis organisasi keagamaan (baik Ormas maupun Parpol berbasis Islam), sebelum memberikan pemahaman tentang konsep-konsep keberagamaan yang berkembang dalam organisasinya terlebih dahulu harus memberikan pengetahaun Aqidah yang kuat. Pengetahuan aqidah yang kuat berarti ketika seseorang bisa kritis terhadap pengetahuan manusia termasuk pemahaman keagamaan yang berkembang dalam organisasi tersebut. Kritis bukan berarti menafikkan. Kritis bukan berarti anti. Kritis adalam menempatkan pengetahuan seseorang yang berupa tafsir tersebut dalam posisi yang semestinya. Yaitu karya manusia yang bisa memiliki kebenaran dan juga kesalahan. Kebenaran adalah karena petunjuk Allah semata sedangkan kesalahan adalah berasal dari manusia yang merupakan tempat salah dan lupa. Paling tidak kita harus ingat filosofi kata wallahu alam bissawab. Juga bila melakukan rekriuitmen terhadap orang-orang ekakta harus dilihat apakah mereka dalam konteks benarbenar dalam kondisi kehausan atau tidak. Sebaiknya ketika dalam kondisi kehausan berilah minum namun secukupnya jangan banyak-banyak. Kehausan mereka biasanya terjadi akibat doktrin kepastian ilmu dalam ilmu eksakta yang mereka fahami dan dianggap bertentangan dengan doktrin keagamaan yang mereka fahami. Taruhlah seorang Darwinian yang yakina kan evolusi Darwin dan kemudian bertemu dengan CD dan buku Harun Yahya yang menganut teori Generatio Spontaneae dengan rujukan ayat-ayat Al Quran. Hal ini bisa membuat seseorang merasa sangat haus agama. Yang harus diingat. Komunikasi antara manusia dan manusia hanya bisa terjadi dengan baik bila keduanya dalam kondisi rasional. Karena pada hakekatnya apa yang keluar dari mulut dan juga tulisan seseorang adalah sesuatu yang rasional semata. Sesuatu yang bersifat ruhiyah adalah nyata, namun ketika harus diterangkan dalam bentuk kata-kata

tetap memerlukan sebuah mekanisme rasionalisasi. Karena pengontrol kata-kata (lidah dan tulisan) adalah otak rasional.

Anda mungkin juga menyukai