Anda di halaman 1dari 49

BAB I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia telah menyebabkan permintaan kayu sebagai bahan baku industri dan pengolahan kayu juga meningkat dengan pesat. Peningkatan permintaan kayu tersebut menimbulkan eksploitasi besar-besaran sehingga berpotensi menyebabkan berkurangnya pasokan kayu di hutan alam. Hal ini menjadi salah satu faktor terjadinya kerusakan hutan di Indonesia karena penggunaan kayu secara besar-besaran yang berimplikasi terhadap pembukaan wilayah hutan. Salah satu sektor pengguna kayu dalam jumlah yang besar adalah industri penggergajian. Industri penggergajian di Indonesia merupakan industri yang bergerak dalam bidang pengolahan kayu. Komponen limbah dari industri ini adalah kayu yang tersisa akibat proses penggergajian yang menurut bentuknya berupa serbuk gergaji, sabetan, dan potongan-potongan kayu. Untuk menampung limbah tersebut pihak industri telah memberi tempat khusus di luar area, namun bila dibiarkan begitu saja secara terus menerus, maka akan memenuhi area industri dan mengganggu lingkungan di sekitarnya. Serbuk gergaji merupakan bahan yang banyak tertimbun dan cenderung menjadi sampah karena kurang dimanfaatkan. Dewasa ini serbuk gergaji dimanfaatkan untuk sebagian kecil kebutuhan saja, misalnya sebagai bahan bakar batu bata. Potensi limbah memberikan inspirasi kepada para peneliti untuk memanfaatkan limbah serbuk gergaji sebagai bahan bakar alternatif dan juga sebagai
1

salah satu cara pemulihan lingkungan. Saat ini banyak energi alternatif yang dapat digunakan dan salah satunya adalah pellet. Sejak abad ke-20, sebagian Negara Uni Eropa dan Amerika telah menggunakan pellet kayu sebagai bahan pemanas ruangan dan pembangkit tenaga listrik. Pellet kayu ini berasal dari bahan-bahan biomassa yang kemudian mengalami pengempaan khusus sehingga terbentuk sebuah padatan. Pellet kayu mampu menjadi solusi terbaik dalam hal pengurangan emisi karbon dan juga menjadi energi alternatif pengganti minyak dan gas (Leaver, 2008). Sampai tahun 2008, beberapa Negara Uni Eropa tercatat memiliki konsumsi pellet sebesar 8 juta ton/tahun, di mana Swedia, Denmark, Belanda, Belgia dan Italia menjadi konsumen terbesar di benua itu. Swedia adalah produsen dan konsumen terbesar di dunia dengan total produksi sekitar 1,7 juta ton/tahun. Negara ini juga mengimpor 400.000 ton/tahun untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sebesar`2,1 juta ton untuk pembangkit listrik dan rumah tangga, kemudian Jerman 900.000 ton/tahun dan Austria dengan 800.000 ton/tahun. Harga pellet kayu di Eropa pun cenderung terus naik selama enam tahun terakhir. Peningkatan tersebut diakibatkan oleh karena adanya kebutuhan selama musim dingin tahun 2007/2008 di Jerman dan Austria serta permintaan ekspor ke Italia (Woodpellets, 2000). Saat ini Indonesia hanya mampu memproduksi pellet kayu sebesar 40.000 ton/tahun. Ini merupakan nilai yang sangat minim jika dibandingkan dengan produksi dunia yang telah mencapai 10 juta ton. Pengembangan pellet kayu di Indonesia memiliki peluang yang sangat besar. Terlebih lagi dengan melihat kondisi permintaan pellet kayu di beberapa negara maju. Hal ini juga merupakan salah satu cara

peningkatan devisa negara dan juga dapat meminimalisir ketergantungan terhadap bahan bakar fosil yang diketahui dapat merusak lingkungan. Di negara Eropa khususnya, penjualan pellet kayu pinus telah meningkat pesat pada saat harga minyak mulai naik. Hal ini diakibatkan karena kurangnya pasokan kayu lunak di beberapa industri. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai karakteristik pellet yang dibuat dari serbuk kayu pinus.

A. Tujuan dan Kegunaan Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui karakteristik pellet kayu yang terbuat dari serbuk kayu pinus (Pinus mercusii) pada perlakuan suhu 90oC, 110oC, dan 130oC. Kegunaan dari penelitian ini yaitu untuk memberikan informasi dasar tentang potensi pellet yang dapat dihasilkan dari limbah penggergajian.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Gambaran Umum Kayu Pinus (Pinus mercusii)

Menurut Buckman (1999), tanaman

pinus (Pinus mercusii) yang dikenal

dengan nama tusam secara sistematika dan morfologi dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Divisio Sub Divisio Class Ordo Famili Genus Spesies : Spermatophyta : Gymnospermae : coniferae : Pinales : Pinaceae : Pinus : Pinus mercusii

Pinus mercusii merupakan salah satu jenis pinus yang banyak tumbuh di Indonesia. Pinus termasuk dalam jenis pohon serbaguna yang terus-menerus dikembangkan dan diperluas penanamannya pada masa mendatang untuk penghasil kayu, produksi getah dan konservasi lahan. Hampir semua bagian pohonnya dapat dimanfaatkan, antara lain bagian batangnya dapat disadap untuk mengambil getahnya. Getah tersebut diproses lebih lanjut menjadi gondorukem dan terpentin. Gondorukem dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat sabun, resin dan cat. Terpentin dapat digunakan untuk bahan industri, parfum, obat-obatan dan desinfektan. Hasil kayunya bermanfaat untuk konstruksi, korek api, pulp dan kertas serat panjang. Selanjutnya, Dahlian dan Hartoyo (1997) juga menyatakan bahwa bagian kulit pinus dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar dan abunya dapat digunakan untuk bahan campuran pupuk, karena mengandung kalium. Kayu pinus

mengandung kadar lignin sebesar 24,3%, selulosa 54,9%, abu 1,1% dan silika sebesar 0,2%. Kayu pinus dimasukkan ke dalam kelas awet IV. Pinus atau sering disebut tusam merupakan salah satu jenis kayu yang mempunyai nilai produksi tinggi dan merupakan salah satu prioritas jenis untuk reboisasi terutama di luar pulau Jawa. Di Pulau Jawa, pinus dikenal sebagai penghasil kayu, resin dan gondorukem yang dapat diolah lebih lanjut sehingga mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi. Kelemahan dari pinus adalah peka terhadap kebakaran karena menghasilkan serasah daun yang tidak mudah membusuk secara alami (Komarayati, 1996). Menurut Khaeruddin (1999), tinggi pinus dapat mencapai 20 40 m dengan diameter 100 cm dan batang bebas cabang 2 23 m. Pinus tidak berbanir, kulit luar kasar berwarna cokelat kelabu sampai cokelat tua, tidak mengelupas dan beralur lebar serta dalam. Kayu pinus berwarna cokelat-kuning muda, berat jenis rata-rata 0,55 dan termasuk kelas kuat III serta kelas awet IV. Pohon pinus berbunga dan berbuah sepanjang tahun, terutama pada bulan Juli November. Biji yang baik warna kulitnya kering kecokelatan, bentuk bijinya bulat, padat dan tidak berkerut. Pinus termasuk famili Pinaceae dan mempunyai sifat pioner, yaitu dapat tumbuh baik pada tanah yang kurang subur seperti padang alang-alang. Di Indonesia, Pinus mercusii dapat tumbuh pada ketinggian antara 200-2000 mdpl. Pertumbuhan optimal dicapai pada ketinggian antara 400-1500 mdpl. Serasah pinus akan terkomposisi secara alami dalam waktu 8-9 tahun. Serasah pinus merupakan serasah daun jarum yang mempunyai kandungan lignin dan

ekstraktif tinggi serta bersifat asam. Hal ini mengakibatkan serasah pinus sulit untuk dirombak oleh mikroorganisme (Mindawati dkk, 1998). B. Limbah Penggergajian dan Pemanfaatannya Limbah yang dihasilkan dalam aktivitas industri perkayuan sebagian besar merupakan limbah padat berupa serpihan-serpihan kayu, potongan-potongan kayu berukuran kecil (chips wood) dan serbuk kayu atau butiran-butiran halus yang terbuang saat kayu dipotong dengan gergaji. Sebagaimana diketahui limbah kayu adalah bahan organik yang terbentuk dari senyawa-senyawa karbon seperti holoselulosa, lignin dan sedikit senyawa karbohidrat, sehingga sangat berpotensi dijadikan sumber energi. Biasanya pengolahan limbah padat lebih difokuskan pada proses pemanfaatannya baik secara langsung maupun setelah melalui proses daur ulang (Kurniawan dan Marsono, 2008). Secara tradisional sejak dahulu, limbah kayu sudah dimanfaatkan sebagai bahan bakar di rumah-rumah tangga untuk keperluan memasak. Limbah kayu berupa serpihan dapat langsung dijadikan kayu bakar, sedangkan limbah kayu berupa serbuk biasanya dijadikan bahan bakar setelah dipadatkan. Caranya, setelah dikeringkan, serbuk kayu dimasukkan ke dalam cetakan kemudian dipadatkan dan selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar (Kusuma, 2006). Menurut Yandi (2007), serbuk gergaji dan serpihan kayu dari proses produksi saat ini, pada umumnya dimanfaatkan oleh pabrik sebagai bahan tambahan untuk membuat plywood dan lembaran lain. Sebagian pula dimanfaatkan oleh masyarakat

sekitar sebagai bahan bakar untuk industri yang lebih kecil seperti batu bata dan dapur rumah tangga. Limbah serbuk gergaji juga biasanya dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuat pupuk kompos, setelah dicampur dengan limbah-limbah lain seperti sampah organik, daun-daunan, sisa-sisa makanan dan lumpur organik pada unit pengolahan limbah. Umumnya bahan-bahan pencampur di atas mempunyai kadar air cukup tinggi, sehingga serbuk kayu di samping berfungsi sebagai sumber karbon juga sebagai media penyerap air. C. Pellet Kayu Pellet kayu adalah jenis bahan bakar kayu yang biasanya terbuat dari sisa-sisa produksi kayu yang kemudian dipadatkan melalui proses pengepresan. Pellet kayu biasanya berukuran diameter 6 8 mm dan panjang 10 30 mm. Pellet kayu dapat terbentuk dalam kondisi padat karena adanya lignin yang terkandung dalam kayu. Lignin ini dapat berfungsi sebagai perekat alami sehingga tidak memerlukan lem sebagai bahan rekatnya. Pellet kayu memiliki kadar air yang rendah, biasanya 6 10% (Woodpellet, 2000). Bahan penyusun yang terkandung dalam kayu untuk membentuk sebuah pellet, terdiri atas bahan polimer (lignin). Bahan ini yang berfungsi sebagai perekat dalam proses pengepresan. Lignin kemudian terekstrak dan menyebar ke setiap partikel partikel serbuk kayu yang akhirnya dapat mengikat partikel satu dengan partikel lainnya. Hal inilah yang kemudian menjadikan serbuk kayu tadi berbentuk

padat. Pellet kayu nyaman untuk digunakan karena jumlah abu atau sisa pembakaran dari pellet kayu sangat sedikit (kurang dari 1%). Oleh karena itu penggunaan pellet kayu tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Pellet kayu juga merupakan bahan bakar yang aman, tidak mengakibatkan ledakan seperti minyak ataupun gas. Pellet kayu memiliki nilai thermal yang lebih besar jika dibandingkan dengan kayu chip atau kayu log. Selain itu, pellet juga cukup mudah dalam hal penyimpanan dan memerlukan biaya transportasi yang relatif sedikit (Cornburning, 2010).

Menurut Anonim (2008), ada beberapa kelebihan dari pellet kayu sebagai bahan bakar alternatif jika dibandingkan dengan BBM : 1. Pellet menghasilkan tingkat pemanasan yang sangat tinggi dan menghasilkan abu yang sangat sedikit. Sisa-sisa pembakaran dapat dibuang di tempat sampah tanpa ada kekhawatiran merusak lingkungan

2. Pellet dapat dengan mudah disimpan, praktis dan tidak memerlukan ruangan yang luas.
3. Hasil pembakaran pellet tidak menambah kadar CO2 di udara, karena pellet hanya

membakar CO2 yang diambil oleh pohon selama masa pertumbuhan. Oleh karena itu, pellet dikenal dengan CO2 netral. 4. Transportasi dari pellet tidak beresiko dan ramah lingkungan. 5. Jika dibandingkan dengan BBM, pellet masih membutuhkan kuantitas dua kali lebih besar untuk menghasilkan panas yang sama. Namun, meskipun demikian, harga pembelian pellet tetap jauh lebih murah dibandingkan dengan BBM. Pembakaran pellet kayu lebih ramah lingkungan. Bahan bakar ramah lingkungan ini dapat lebih mudah dinyalakan jika dibandingkan dengan kayu-kayu konvensional. Pembakaran bahan bakar 2000 kg pellet menghasilkan energi panas yang sama jika dibandingkan dengan pembakaran kayu 3.200 kg, 957 m3 gas, 1.000 liter solar, dan 1.370 liter bahan bakar minyak (Gardner, 2009). Potensi yang dimiliki pellet juga dilirik oleh negara lain, yaitu Korea. Pebisnis Republik Korea rupanya telah benar-benar ingin mengembangkan potensi pellet yang ada di Indonesia. Terbukti, investasi terus dikucurkan ke sektor ini. Terakhir, para pemilik modal asal negeri ginseng tersebut siap membangun industri pellet kayu dan memperluas investasi hutan tanaman yang sudah ada di Indonesia. Untuk selanjutnya, perkembangan pellet kayu di targetkan pada pemasaran ekspor, khususnya di negara Eropa.

D. Karakteristik Pellet Yandi (2007) menyatakan bahwa sifat-sifat dari pellet kayu didasarkan atas sifat fisik dan kimianya antara lain kadar air, kadar abu, kepadatan, diameter,

panjang, dan nilai kalor. Untuk menjamin kualitas pellet yang dihasilkan perlu adanya suatu standar penilaian kualitas pellet seperti pada Tabel 1.

10

Tabel 1. Karakteristik Pellet Kayu Buatan Austria, Selandia Baru, dan Swedia Standar Austria
maks12

Karakteristik pellet Kadar Air (moisture content) % Panjang (mm) Kadar abu (ash content) % Kepadatan (bulk density) kg/m3 Diameter (mm) Nilai Kalor (calorific value) MJ/kg Sulphur (%)

Selandia Baru
maks 8 10 - 20 maks 1 Min 641 6-10 Min 19.1

Swedia
maks 10

Maks 5 x diameter
Maks 0,5

10 30
Maks 0,7

4 - 10 Min 18 0,04

Min 600 4 - 10 minimum 16,9 0,08

0,08

Sumber : Yayasan Energi Nasional, 2009 dalam Yandi (2007)

Persyaratan kualitas pellet kayu mengacu pada sifat fisik dan sifat kimia. Sifat fisik dan kimia berupa nilai kalor, kadar air dan abu yang dihasilkan dari pellet, dimana nilai kalor adalah jumlah satuan panas yang dihasilkan per satuan bobot bahan yang mudah terbakar pada proses pembakaran yang cukup oksigen. Nilai kalor dinyatakan dalam satuan BTU (British Thermal Unit). Kadar air pellet kayu sangat mempengaruhi nilai kalor atau nilai panas yang dihasilkan. Tingginya kadar air akan menyebabkan penurunan nilai kalor. Hal ini disebabkan oleh karena panas yang tersimpan dalam pellet terlebih dahulu digunakan untuk mengeluarkan air yang ada sebelum kemudian menghasilkan panas yang dapat dipergunakan sebagai panas pembakaran (Comburning, 2010).

11

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu dari bulan Oktober sampai dengan Desember 2010. Pembuatan serbuk dan pengujian karakteristik pellet kayu dilakukan di Laboratorium Pemanfaatan dan Pengolahan Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makassar. B. Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah desikator, oven, kuas, timbangan analitik, stop watch, cawan porselin, bomb kalori meter, furnace, hummer mill, termometer, alat cetak (ring sampel), alat press (Hot press), korek api, ayakan 22 mesh dan ayakan 40

12

mesh. Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk kayu pinus C. Prosedur Penelitian
1. Persiapan Bahan Baku

Bahan baku kayu pinus yang digunakan sebagai sampel dipotong kecil selanjutnya dibuat serbuk dengan menggunakan hummer mill kemudian diayak dan dikeringudarakan. Serbuk disaring menggunakan saringan yang berukuran 22 dan 40 mesh. Serbuk yang digunakan sebagai sampel adalah yang lolos saringan 22 mesh dan tertahan pada saringan 40 mesh. 2. Cara Pembuatan Pellet
a. Sampel ditimbang dengan berat 1,5 gram kemudian dimasukkan ke setiap

lubang alat cetak yang terdiri atas 9 lubang dengan diameter masing-masing lubang adalah 0,8 cm dan tinggi alat cetak adalah 6 cm, sehingga pellet yang dihasilkan dapat mencapai diameter 0,8 cm.
b. Alat cetak dipanaskan dengan menggunakan kompor sebelum dimasukkan ke

dalam alat press hingga mencapai suhu yang dikehendaki (90oC, 110oC dan 130oC). Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan thermometer.
c. Kemudian alat cetak dimasukkan ke dalam alat pres. Penyangga setinggi 2 cm

diletakkan di antara plat press dan alat cetak untuk memberikan sandaran bagi alat pres pada saat pengepresan terjadi. Hal ini juga dilakukan untuk mendapatkan ukuran panjang pellet sebesar 2,5 cm.

13

d. Setelah sampel dipres, sampel tersebut didiamkan sekitar 20 menit agar serbuk

dapat terikat satu dengan yang lainnya dan kemudian alat cetak dikeluarkan dari alat press.
e. Setelah itu sampel dikeluarkan dari alat cetak. f. Pembuatan pellet tersebut diulang masing-masing sebanyak 3 kali untuk setiap

suhu pengamatan.

A. Variabel Pengamatan
1. Kadar Air (Mosture Content)

Penentuan kadar air dilakukan dengan menimbang pellet pada sebuah cawan porselen yang telah diketahui beratnya. Sampel dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105 0C 1100 C selama 24 jam. Sampel didinginkan dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang. Kadar air dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Ba Bkt Bkt

KA = Dimana: KA Ba = Kadar Air

x 100%

= Berat sampel sebelum pengovenan (g)

14

Bkt

= Berat sampel setelah pengovenan (g)

2.

Kerapatan

Kerapatan yang diukur dalam penelitian ini didasarkan pada berat kering tanur dan volume pellet. Penentuan kerapatan dihitung dengan menimbang berat sampel kemudian volume sampel diukur dengan cara metode celup. Kerapatan sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Berat Sampel (g) Volume (cm3)

Kerapatan =

3. Kadar Abu (Ash Content)

Penentuan kadar abu dilakukan dengan menyediakan cawan porselen yang telah diketahui beratnya. Kemudian sampel dimasukkan ke dalam cawan dan diukur beratnya. Setelah itu sampel dimasukkan ke dalam furnace pada suhu 800O C 900O C selama 6 jam dan selanjutnya didinginkan dalam desikator selama 45 menit, lalu ditimbang sampai berat tetap. Kadar abu ditentukan dengan rumus:

15

Kadar Abu =

X1 X2 X

x 100%

Dimana: X X1 X2 = Berat sampel sebelum diabukan (g) = Berat sampel ditambah cawan setelah diabukan (g) = Berat cawan kosong (g)

4. Waktu Penyalaan dan Lama Pembakaran a. Uji nyala 1. Sampel pellet disiapkan 2. Sampel dibakar, kemudian stop watch dinyalakan 3. Waktu nyala dihitung dengan menggunakan stopwatch b. Uji bakar 1. Sampel pellet disiapkan 2. Pellet dibakar, kemudian stop watch dinyalakan 3.Waktu pembakaran dihitung dengan menggunakan stop watch. Pengukuran dilakukan hingga pellet habis terbakar 5. Nilai Kalor
16

Pengukuran nilai kalor dilakukan dengan menggunakan alat perioxide bomb calorimeter digital, dengan proses sebagai berikut:
a. Berat pellet diukur sebagai berat sampel (w). b. Dipasang kawat yang telah dihubungkan dengan elektroda pada sampel. c. Rangkaian ini dimasukkan dalam silinder bom yang sebelumnya diisi dengan

aquades sebanyak 5 ml.


d. Oksigen murni dimasukkan ke dalam silinder bom sampai tekanannya mencapai

30 35 atmosfer.
e. Silinder bom dimasukkan ke dalam panci silinder yang telah diisi 2 liter aquades,

kemudian masukan panci silinder ke dalam mantel silinder serta memasang elektroda-elektrodanya.
f. Mantel silinder ditutup sedemikian rupa, sehingga pengaduk bisa berputar bebas

dalam panci silinder yang berisi air.


g. Data yang diperlukan diimput seperti kode sampel, berat sampel dan nomor

panci. A. Rancangan Percobaan Perlakuan dalam penelitian ini adalah perbedaan suhu dalam pembuatan pellet dengan empat perlakuan yaitu pengaruh suhu 900C, 1100C, 1300C dan Kayu solid tanpa perlakuan suhu. Penentuan perlakuan suhu pada penelitian ini didsarkan pada standar industri yang umumnya menggunakan suhu 90oC, sehingga variabel perlakuan suhu ditentukan pada level di atas standar industri. Model rancangan

17

percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan tiga kali ulangan. Model matematisnya adalah sebagai berikut :

Yij = + i + ij Keterangan : Yij


i

: Hasil pengamatan pada satuan percobaan ke-i pada pengamatan ke-j : Nilai tengah populasi (rata-rata yang sesungguhnya) : Pengaruh perlakuan ke-i : Pengaruh galat dari suatu percobaan pada ulangan ke-j yang memperoleh perlakuan ke-i Jika hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata atau

ij

sangat nyata, maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan sebagai berikut : S Y = (s2/r)1/2 = (KTG/r)1/2 Dimana SY
S 2

= Simpangan baku nilai tengah = Nilai kuadrat tengah galat (KTG) = Jumlah ulangan = Kuadrat tengah galat

R KTG

18

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan dan perhitungan kadar air, kerapatan, kadar abu, nilai kalor, penyalaan dan lama pembakaran dari pellet serbuk kayu pinus dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Karakteristik Pellet Kayu Pinus Perlakuan* Karakteristik Pellet Kadar Air (%) Kerapatan (g/cm3) Kadar Abu (%) Nilai Kalor (Kkal/kg) Penyalaan (detik) Pembakaran (menit) Panjang (cm) Diameter (mm) 15,18 0,55 0,91 4408 7,91 0,83 0,75 4232 2,05 0,84 0,79 4320 1,47 0,84 0,83 4531 Kayu solid 900C 1100C 1300C

9,1

5,20

3,92

2,49

6,36 2,5 8

9,42 2,5 8

7,84 2,5 8

5,30 2,5 8

19

Nilai rata-rata dari 3 ulangan

1. Kadar air Hasil pengujian kadar air pellet kayu pinus serta hasil analisis ragamnya secara grafis dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Kadar Air Rata-Rata Pellet Kayu Pinus (Huruf yang Sama Berbeda Tidak Nyata pada Taraf 5%) Gambar 1. menunjukkan bahwa nilai rata-rata persentase kadar air tertinggi terdapat pada kayu solid, yaitu sebesar 15,18% dan terendah terdapat pada perlakuan dengan suhu 130oC yaitu sebesar 1,47%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suhu berpengaruh sangat nyata terhadap kadar air pellet (Lampiran 2). Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa kadar air kayu solid berbeda nyata dengan kadar air pellet pada ketiga perlakuan suhu. Peningkatan suhu di atas 90oC menyebabkan penurunan kadar air pellet, namun pada suhu di atas 110oC cenderung tidak mengakibatkan penurunan kadar air secara signifikan. Peningkatan suhu

menyebabkan air yang terikat pada gugus hidroksil selulosa terlepas. Oleh karena itu, semakin tinggi suhu yang diberikan, maka akan menyebabkan semakin banyak air yang terlepas dari gugus hidroksil selulosa. Standar Austria, Selandia Baru, dan Swedia masing-masing mempersyaratkan kadar air maksimal 12%, 8%, dan 10%. Berdasarkan hal tersebut, kadar air pellet yang dihasilkan dari perlakuan suhu 900C, 1100C dan 1300C telah memenuhi standar yang telah ditetapkan.

20

2. Kerapatan Hasil pengujian kerapatan pellet kayu pinus secara grafis dapat dilihat pada Gambar 2: Gambar 2. Kerapatan Rata-rata Pellet Kayu Pinus (Huruf yang Sama Berbeda Tidak Nyata pada Taraf 5%) Berdasarkan Gambar 2. diketahui bahwa nilai kerapatan yang diperoleh pada perlakuan dengan suhu 90oC, 1100C dan 1300C memiliki perbedaan yang tidak

21

signifikan. Hal ini disebabkan karena serbuk yang digunakan pada setiap perlakuan suhu cenderung memiliki ukuran yang sama, sehingga hal ini akan memudahkan serbuk pellet untuk menempel satu dengan lainnya. Sementara pada kayu solid, kerapatan yang diperoleh lebih rendah dibandingkan kerapatan pada ketiga perlakuan suhu. Rendahnya kerapatan pada kayu solid disebabkan karena kayu solid tidak mengalami pengempaan atau pemberian tekanan, sehingga partikel-partikel penyusunnya tidak lebih rapat jika dibandingkan dengan perlakuan suhu yang telah mengalami pengempaan. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa perlakuan pemberian suhu, berbeda nyata dengan kayu solid. Hal ini membuktikan bahwa modifikasi thermal atau pemberian suhu akan meningkatkan kerapatan suatu pellet karena serbuk yang dipadatkan akan lebih mampu menutupi rongga-rongga sel dibandingkan dengan kayu solid. Selain itu, pemadatan serbuk untuk membentuk sebuah pellet juga dapat mengeluarkan air dan membentuk ikatan yang lebih kuat antar gugus OH (gugus hidroksil) dari selulosa dan komponen kimia lainnya. Standar Selandia Baru dan Swedia mensyaratkan kerapatan minimum sebesar masing-masing 641 kg/m3 dan 600 kg/m3 atau 0,641 dan 0,600g/cm3. Pellet yang dihasilkan dalam penelitian ini pada perlakuan 90oC, 110oC dan 130oC masingmasing sebesar 0,83 g/cm3 (830 kg/m3), 0,84 g/cm3 (840 kg/m3) dan 0,84 g/cm3 (840 kg/m3) telah memenuhi standar.

22

3. Kadar abu Hasil pengujian terhadap kadar abu pellet kayu pinus secara grafis dapat dilihat pada Gambar 3 : Gambar 3. Kadar Abu Rata-rata Pellet Kayu Pinus Berdasarkan gambar 3. diketahui bahwa nilai persentase kadar abu tertinggi terdapat pada kayu solid jika dibandingkan dengan perlakuan suhu. Hal ini disebabkan karena pada perlakuan suhu, zat-zat mineral yang dikandung telah berkurang pada saat penyaringan serbuk, sehingga sebagian jumlah zat mineral yang dikandung juga terbuang.

Persentase kadar abu pada perlakuan dengan suhu 90oC, 110oC dan 130oC tidak menunjukkan perbedaan nilai yang signifikan. Hal ini diakibatkan oleh kerapatan yang diperoleh nilainya juga cenderung lebih seragam. Selain itu, seragamnya nilai kadar abu yang dihasilkan juga disebabkan karena jenis bahan yang digunakan sama, yaitu kayu pinus.

23

Nilai kadar abu yang dihasilkan dari semua perlakuan pellet kayu pinus telah memenuhi standar kualitas yang ditetapkan oleh Selandia Baru (maksimal 1%) tetapi tidak memenuhi standar Austria (maksimal 0,5%) dan Swedia (0,7%). Berdasarkan analisis ragam yang diperoleh, suhu berpengaruh tidak nyata terhadap kadar abu pellet kayu pinus sehingga tidak dilakukan uji lanjut.

4. Nilai Kalor Hasil pengujian nilai kalor terhadap pellet kayu pinus secara grafis dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Nilai Kalor Rata-rata Pellet Kayu Pinus (Huruf yang Tidak Sama Berbeda Nyata pada Taraf 5%)

24

Nilai kalor pellet kayu pinus pada Gambar 4 memperlihatkan bahwa nilai kalor tertinggi terdapat pada kondisi pemanasan dengan suhu 130oC yaitu sebesar 4531 Kkal/kg (18,97 MJ/kg). Sedangkan nilai kalor terendah terdapat pada pemberian suhu 90oC yaitu sebesar 4232 kkal/kg (17,71 MJ/kg). Brdasarkan analisis ragam, diketahui bahwa modifikasi thermal atau pemberian suhu berpengaruh nyata terhadap nilai kalor yang diperoleh.

Nilai kalor yang diperoleh pada perlakuan dengan suhu 130oC lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pada suhu 90oC dan 110oC serta pada kayu solid. Hal ini disebabkan karena lignin yang terdapat pada suhu 90oC dan 110oC belum beraktifasi optimal, sehingga kemampuan lignin untuk meningkatkan reaksi yang terjadi antara oksigen dan karbon lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan pada suhu 130oC, dimana diindikasikan bahwa pada perlakuan ini struktur lignin bersifat lebih stabil sehingga nilai kalor yang diperoleh lebih tinggi. Modifikasi thermal pada kayu menyebabkan komponen polisakarida berkurang, akibatnya kadar lignin kayu semakin meningkat. Lignin merupakan komponen dinding sel yang relatif stabil yang juga menjadi salah satu faktor untuk meningkatkan nilai kalor. Pada gambar 4 juga menunjukkan bahwa nilai kalor kayu solid lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan suhu 90oC dan 110oC. Hal ini disebabkan karena kayu solid masih memiliki zat resin yang dapat meningkatkan nilai kalor, dimana zat resin yang terdapat pada kayu solid belum mengalami perubahan akibat modifikasi thermal atau pemberian suhu. Namun akibat peningkatan suhu, zat resin akan

25

bergerak ke permukaan pellet dan pada suhu 130oC, resin ini akan menguap ke udara dan menjadi volatil. Berdasarkan hasil yang diperoleh, perlakuan dengan suhu 90oC, 110oC dan 130oC telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Austria dan Swedia yaitu masing-masing minimal 18 dan minimal 16,9 MJ/kg.

5. Lama Penyalaan Hasil pengujian terhadap lama penyalaan pellet kayu pinus secara grafis dapat dilihat pada Gambar 5 : Gambar 5. Uji Nyala Rata-rata Pellet Kayu Pinus (Huruf yang Tidak Sama Berbeda Nyata pada Taraf 5%) Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada gambar 5 dapat diketahui bahwa waktu yang dibutuhkan pellet kayu pinus untuk menyala pada perlakuan dengan suhu 90oC, 110oC, 130oC dan kayu solid adalah 5,20 detik, 3,92 detik, 2,49 detik dan 9,10 detik. Perbedaan waktu ini disebabkan oleh perbandungak kandungan kadar air pada setiap perlakuan. Waktu yang dibutuhkan kayu solid untuk menyala lebih lama jika dibandingkan dengan perlakuan suhu karena kadar air yang dikandung oleh kayu solid lebih tinggi. Sementara waktu yang dibutuhkan pada perlakuan dengan suhu 130oC untuk menyala lebih cepat karena kadar air yang dikandung juga lebih sedikit.

26

Hal ini sesuai dengan pernyataan Hill (2006), bahwa semakin tinggi kadar air, maka akan menurunkan kemampuan nyala pada suatu bahan. 6. Lama Pembakaran Hasil pengujian terhadap pengukuran lama pembakaran pellet kayu pinus secara grafis dapat dilihat pada Gambar 6 : Gambar 6. Uji Nyala Rata-Rata Pellet Kayu Pinus (Huruf yang Tidak Sama Berbeda Nyata pada Taraf 5%)

Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada gambar 6 dapat diketahui bahwa waktu pembakaran yang dibutuhkan pada perlakuan dengan suhu 90oC lebih lama jika dibandingkan dengan perlakuan pada suhu 110oC, 130oC dan kayu solid. Sementara waktu pembakaran tercepat terdapat pada perlakuan dengan suhu 130oC. Hasil analisis ragam menjelaskan bahwa peningkatan suhu berpengaruh nyata terhadap waktu pembakaran. Perbedaan waktu pembakaran ini dipengaruhi oleh perbedaan berat pada setiap perlakuan. Semakin tinggi rasio antara berat dan luas permukaan, maka akan menghasilkan waktu pembakaran yang semakin cepat, dimana pada penelitian ini luas permukaan pellet yang dihasilkan sama. Pellet yang dihasilkan pada perlakuan dengan suhu 90oC lebih berat jika dibandingkan dengan

27

tiga perlakuan lainnya karena rasio antara berat dan luas permukaannya kecil. Hal ini mengakibatkan waktu yang dibutuhkan pellet untuk terbakar lebih lama. Sementara, pada perlakuan dengan suhu 130oC memiliki berat yang lebih rendah karena rasio antara berat dan luas permukaannya lebih tinggi, sehingga waktu pembakarannya akan lebih cepat. Begitupula pada kayu solid yang lebih ringan jika dibandingkan dengan perlakuan pada suhu 90oC dan 110oC.

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Pellet yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki karakteristik sebagai berikut : - Kadar air berkisar 1,47% - 7,91%. - Kerapatan berkisar 0,83g/cm3 0,84g/cm3. - Kadar abu berkisar 0,75% - 0,91%. - Nilai Kalor berkisar 4232 Kkal/kg (17,71 MJ/kg) 4531 (18,97 MJ/kg). - Waktu penyalaan berkisar 2,49 detik 5,20 detik. - Waktu pembakaran berkisar 5,30 menit 9,42 menit.

28

2. Pellet pada suhu 130oC memiliki kualitas yang lebih baik jika dibandingkan dengan perlakuan pada suhu 90oC dan 110oC. 3. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa serbuk kayu pinus (Pinus mercusii) dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan pellet kayu.

B. Saran Untuk penelitian selanjutnya dengan topik yang sama, disarankan untuk memberikan perlakuan tambahan baik berupa bahan baku maupun proses pembuatannya, agar kadar abu dan nilai kalor pellet yang dihasilkan dapat memenuhi semua standar yang ada. Selain itu, juga dapat dilakukan pengukuran untuk variabel pengamatan yang belum dilakukan pada penelitian ini yaitu pengujian kandungan sulphur.

29

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2008. Pellets. www.depv.de. [22 Februari 2010]. Archie, W. 1984. Principle Of Energy Convertion. http://energy.ac.id. [16 Oktober 1984] Buckman. 1999. Vedemecum Kehutanan Indonesia. Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Kehutanan. Jakarta Cornburning. 2010. Wood Pellet. http://forum.iburncorn.com/wiki/indeks.php. [22 Februari 2010] Dahlian, E. dan Hartoyo. 1997. Komponen Kimia Terpentin dari Getah Tusam (Pinus mercusii) Asal Kalimantan Barat. Info Hasil Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor Gardner, B. 2009. House Of Your Dream. GreenGarden Tools. Com. [22 Februari 2010] Hill, C. 2006. Wood Modification. John Wiley and Sons Ltd. England Khaeruddin. 1999. Pembibitan Tanaman HTI. Penebar Swadaya. Jakarta

30

Kusuma, R. 2006. Pengembangan Energi Terbarukan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. [6 April 2010] Komaryati, S. 1996. Pemanfaatan Serbuk Gergaji Limbah Industri sebagai Kompos. Buletin Penelitian Hasil Hutan. Bogor Kurniawan, O. dan Marsono. 2008. Bahan Bakar Alternatif Pengganti Minyak Tanah dan Gas. Jakarta Leaver, R, H. 2008. Fuel Pellet Kayu dan Pasar Residential. www.green.com. [22 Februari 2010]

Mindawati, N. M.H.L. Tata, Y. Sumarna. dan A. S. Kosasih. 1998. Pengaruh Beberapa Macam Limbah Organik terhadap Mutu dan Proses Pengomposan dengan Bantuan Efektif Mikroorganisme 4(EM4). Buletin Penelitian Hutan. Bogor Setyawati. 2003. Dari Kayu untuk Kayu. www.green.com. [22 Februari 2010] Woodpellets. 2000. Sejarah Pellet Kayu. The Prepatory Meeting for Pellet Club Japang. Jepang. [22 Februari 2010] Yandi, B. 2007. Bahan Energi Alternatif. Jawa Pos. [Rabu 30 Mei 2007]

31

Lampiran 1. Hasil Perhitungan Kadar Air Pellet dari Serbuk Kayu Pinus
Perlakuan Kayu solid Rata-rata 90oC Rata-rata 110 C Rata-rata 130oC Rata-rata 1 2 3 1,15 1,17 1,14 1,14 1,15 1,12
o

Ulangan 1 2 3

Berat Awal 1,24 1,32 1,23

Berat Kering Tanur 1,08 1,14 1,07

Kadar Air (%) 14,81 15,78 14,95 15,18

1 2 3

1,44 1,48 1,45

1,33 1,38 1,34

8,27 7,24 8,20 7,91

1 2 3

1,29 1,4 1,28

1,27 1,37 1,25

1,57 2,18 2,4 2,05 0,87 1,73 1,78 1,47

32

Lampiran 2. Data Analisis Ragam Kadar Air


Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total Jumlah kuadrat 367,101 2,113 369,214 Derajat bebas 3 8 11 Kuadrat tengah 122,367 0,264 F 463,307 Sig. ,009

Keterangan : Berbeda nyata a. R Squared = ,994 (Adjusted R Squared = ,992)

33

Lampiran 3. Data Uji Duncan Kadar Air


Perlakuan 130oC 110oC 90oC Kayu solid Sig. ulangan 3 3 3 3 ,202 1 1,4700 2,0533 7,9100 15,1833 1,000 Subset 2

34

Perlakuan

Ulangan 1 2 3

Berat (g/cm3) 0,87 0,92 0,97

Volume (cm3) 1,57 1,65 1,74

Kerapatan (g/cm3) 0,55 0,55 0,56 0,55

Kayu solid Rata-rata 90 C Rata-rata 110 C Rata-rata 130 C Rata-rata


o o o

1 2 3

1,23 1,31 1,37

1,56 1,54 1,59

0,78 0,85 0,86 0,83

1 2 3

1,28 1,32 1,31

1,49 1,58 1,57

0,85 0,83 0,83 0,84

1 2 3

1,27 1,29 1,26

1,56 1,59 1,42

0,81 0,81 0,88 0,84

Lampiran 4. Hasil Perhitungan Kerapatan Pellet dari Serbuk Kayu Pinus

35

Lampiran 5. Data Analisis Ragam Kerapatan


Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total Jumlah kuadrat 0,176 0,007 0,183 Derajat bebas 3 8 11 Kuadrat tengah 0,059 0,001 F 63,592 Sig. ,009

36

Lampiran 6. Data Uji Duncan Kerapatan


suhu pemanasan ulangan 1 Kotrol 90 oC 130 oC 110 oC Sig. 3 3 3 3 1.000 .5533 .8300 .8333 .8367 .803 Subset 2

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .001.

37

Lampiran 7. Hasil Perhitungan Kadar Abu Pellet dari Serbuk Kayu Pinus Perlakuan Ulangan S (g) W (g) Kadar Abu (%) Kayu solid Rata-rata 90 C Rata-rata 110 C Rata-rata 130 C Rata-rata
o o o

1 2 3

0,01 0,01 0,01

1,05 1,13 1,09

1,0 0,9 0,9 0,91

1 2 3

0,01 0,01 0,01

1,32 1,30 1,34

0,8 0,8 0,7 0,75

1 2 3

0,01 0,01 0,01

1,33 1,29 1,17

0,7 0,8 0,9 0,79

1 2 3

0,01 0,01 0,01

1,18 1,16 1,21

0,8 0,9 0,8 0,83

Keterangan :

W = Berat contoh sebelum diabukan (g) S = Berat contoh setelah diabukan (g)

38

Lampiran 8. Data Analisis Ragam Kadar Abu


Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total Jumlah kuadrat 0,047 0,040 0,117 Derajat bebas 3 8 11 Kuadrat tengah 0,016 0,005 F 3,111 Sig. ,009

39

Lampiran 9. Hasil Perhitungan Nilai Kalor Pellet dari Serbuk Kayu Pinus
Perlakuan Ulangan Suhu Akhir (oC) 28,16 28,1 27,96 Suhu Awal (oC) 26,25 26,19 26,04 Berat Sampel (gr) 1,065 1,0652 1,0701 Nilai Kalibrasi 2458 2458 2458 Nilai Kalor (Kkal/kg) 4408 4407 4410 4408 1 2 3 27,85 27,8 27,86 25,82 25,79 25,83 1,1859 1,1673 1,1835 2458 2458 2458 4249 4232 4216 4232 1 2 3 26,78 26,63 26,7 25,27 25,11 25,19 0,8605 0,8636 0,8588 2458 2458 2458 4313 4326 4322 4320 1 2 3 27,31 27,36 27,27 25,62 25,67 25,59 0,9166 0,9163 0,9115 2458 2458 2458 4532 4533 4530 4531

Kayu solid Rata-rata 90oC Rata-rata 110 C Rata-rata 130oC Rata-rata


o

1 2 3

40

Lampiran 10. Analisi Ragam Nilai Kalor Sumber Jumlah Derajat Keragaman kuadrat bebas Perlakuan Galat Total 146953,000 642.667 2.296E8 3 8 11

Kuadrat tengah 48984.333 80.333

F 609.763

Sig. ,000

41

Lampiran 11. Data Uji Duncan Nilai Kalor


Subset Perlakuan 90 110 Control 130 N 3 3 3 3 1 4232.3333 4320.3333 4408.3333 4531.6667 2 3 4

42

Sig.

1.000

1.000

1.000

1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 80.333. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b. Alpha = .05.

Lampiran 12. Hasil Perhitungan Uji Nyala Pellet Perlakuan Ulangan Penyalaan (detik) Kayu solid 1 2 3 90oC 1 9,12 9,16 9,03 5,18

Rata-rata 9,10

5,20

43

2 3 110oC 1 2 3 130oC 1 2 3

5,23 5,2 4,16 4,13 3,48 2,58 2,45 2,43 2,49 3,92

Lampiran 13. Analisis Ragam Uji Nyala Pellet

44

Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total

Jumlah kuadrat 72,679 0,319 72,899

Derajat bebas 3 8 11

Kuadrat tengah 24,226 0,040

F 608,193

Sig. ,000

45

Lampiran 14. Data Uji Duncan Penyalaan


suhu pemanasan 130 oC 110 oC 90 oC kotrol Sig. N 3 3 3 3 1.000 1.000 1.000 1 2.4867 3.9233 5.2033 9.1033 1.000 2 Subset 3 4

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .040. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b. Alpha = .05.

46

Lampiran 15. Hasil Perhitungan Uji Pembakaran Pellet Perlakuan Ulangan Pembakaran(menit) Rata-rata

Kayu solid

1 2 3

6,35 6,47 6,28 9,41 9,52 8,97 9,3 8,67 7,95 5,49 6,12 5,36

6,36

90oC

1 2 3

9,42

110oC

1 2 3

7,84

130oC

1 2 3

5,30

47

Lampiran 16. Data Analisis Ragam Uji Bakar Pellet Sumber Jumlah Derajat Kuadrat Keragaman kuadrat bebas tengah Perlakuan Galat Total 28,877 0,680 29,557 3 8 11 9,626 0,085

F 113,220

Sig. ,000

48

Lampiran 17. Data Uji Duncan Pembakaran Pellet


suhu pemanas an 130 oC kotrol 110 oC 90 oC Sig. N 3 3 3 3 1.000 1.000 1.000 1 5.3033 6.3667 7.8400 9.4200 1.000 2 3 4 Subset

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .085. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b. Alpha = .05.

49

Anda mungkin juga menyukai