Anda di halaman 1dari 9

Prospek Biodiesel Cerah

Oleh Gatot Irawan/ Khomarul Hidayat

Jakarta Tak lama bahan bakar minyak (BBM) alternatif, yakni biodiesel akan segera bisa dinikmati masyarakat luas sebagai pengganti BBM fosil. Salah satu perusahaan swasta yang tertarik untuk pengembangan energi alternatif ini adalah PT Eterindo Wahanatama Tbk (Eterindo), sebuah perusahaan industri kimia yang berkedudukan di Jakarta. Salah satu perusahaan asosiasinya yakni PT Anugerahinti Gemanusa (AG) yang berlokasi di Gresik, Jawa Timur, telah menghasilkan biodiesel yang dipakai sebagai bahan aditif kimia untuk minyak diesel atau energi alternatif yang ramah lingkungan. Bahan baku produk ini berasal dari minyak tumbuh-tumbuhan seperti minyak sawit (CPO) atau minyak jarak (Jatropha curcas), dan lain-lain. Berikut petikan wawancara SH dengan Immanuel Sutarto, Presiden Direktur PT Eterindo, Rabu (7/12). Apa latar belakang ketertarikan untuk mengembangkan biodiesel? Alasan utama karena tingginya harga minyak dunia. Juga, karena permintaan bahan bakar minyak oleh masyarakat yang terus meningkat. Kami pun ingin menanggapi program pemerintah dalam mencari energi alternatif yang ramah lingkungan. Oleh sebab itu, Grup Eterindo yang bergerak dalam industri kimia, dapat melakukan diversifikasi produk untuk memproduksi biodiesel. Seberapa besar kebutuhan biodiesel ke depan dan seberapa besar penyerapannya? Jumlah kebutuhan biodiesel akan sangat besar di dalam negeri dan luar negeri. Di Indonesia diperkirakan pemakai solar per tahun 44 juta kiloliter. Menurut data dari Direktorat Jenderal Energi dan Sumber Daya Mineral, untuk industri sekitar 6 juta kiloliter solar. Bila memakai 20 persen biodiesel maka diperlukan 1.200.000 kiloliter/tahun. Untuk kebutuhan PLN sekitar 12 juta kiloliter solar, bila memakai 20 persen biodiesel maka dibutuhkan 2.400.000 kiloliter/tahun. Sedangkan sektor transportasi saja membutuhkan 26 juta kiloliter solar dan jika memakai 2 persen biodiesel maka dibutuhkan 520.000 kiloliter.

Total kebutuhan biodiesel secara nasional mencapai 4.120.000 kiloliter/tahun. Sementara kemampuan produksi biodiesel pada 2006 baru 110.000 kiloliter/tahun. Pada 2007 baru akan ditingkatkan kapasitasnya sampai 200.000 kiloliter/tahun. Sementara produsen lain pada 2007 akan mulai beroperasi. Mungkin kapasitas akan mencapai sekitar 400.000 kiloliter/tahun. Sektor otomotif saat ini belum disentuh/tersentuh, apa hambatannya. Bukankah kebutuhan di sektor ini juga luar biasa? Memang saat ini produk biodiesel kami untuk konsumsi industri. Sedangkan untuk sektor otomotif sedang disiapkan, karena perlu dilakukan uji coba secara khusus, di samping itu harus menunggu tata niaga biodiesel dari pemerintah dan standarisasi kualitas biodiesel. Diharapan sektor otomatif mulai pada 2006. Harga biodiesel relatif lebih rendah dari harga minyak solar, tapi sangat tergantung dari harga bahan baku CPO atau lainnya. Saat ini ada berapa pemain di industri biodiesel nasional? Sepanjang yang kami ketahui saat ini untuk skala kecil sudah ada produsen biodiesel dengan kapasitas 10 ton/hari seperti yang berlokasi di Bandung, Medan, dan Riau. Sedangkan produsen untuk skala industri dengan kapasitas produksi 50 ton/hari, belum ada selain kami. Yang siap untuk mendirikan pabrik biodiesel sudah banyak, di antaranya Rajawali Nusantara Group yang diperkirakan mulai produksi pertengahan 2007. Selain itu, ada tujuh perusahaan lain yang sedang mengajukan izin ke BKPM untuk pendirian pabrik biodiesel. Seberapa besar investasi baru yang dibutuhkan untuk pengembangan biodiesel? Investasi diperlukan karena harus ada modifikasi pada instalasi yang ada pada saat ini, agar bisa memproduksi biodiesel dan produksi sampingannya. Sejauh ini persepsi masyarakat tentang biodiesel masih samar, bisa dijelaskan apa sebenarnya biodiesel tersebut? Biodiesel adalah bahan kimia yang dipakai sebagai chemical additive untuk minyak diesel atau sebagai energi alternatif yang ramah lingkungan karena berasal dari minyak tumbuh-tumbuhan. Produk biodiesel kami mengikuti standar ASTM (American Society for Testing and Materials) dan EN (European Normal). Di dalam biodiesel tidak mengandung solar. Tetapi dipakai sebagai campuran atau pengganti solar. Untuk industri di Indonesia, komposisi biodiesel 20 persen dan solar 80 persen. Untuk otomotif di Indonesia secara bertahap komposisi biodiesel sampai dengan 5 persen pada tahun 2009. Kami sedang mengadakan penjajakan dengan mitra swasta maupun pemerintah untuk mendapatkan bahan baku. Dengan swasta, kami membeli bahan baku dari produsen CPO dan turunannya (CPOpalm oil), coconut oil. Sedangkan dengan pihak pemerintah/atau pemda perlu segera direalisasi program budi daya penanaman jarak.

Benefit yang mitra peroleh, alternatif baru penggunaan CPO di samping untuk produk-produk makanan maupun diekspor. Sedangkan untuk budi daya penanaman jarak, dapat mengurangi lahan kritis, sehingga meningkatkan kegiatan ekonomi rakyat dan pemda setempat. Seberapa besar kebutuhan ekspor biodiesel ke depan, dan kapan akan melakukan ekspor? Apakah masih menunggu tata niaga? Permintaan eskpor cukup banyak yang mencapai jutaan ton/tahun, baik ke negara-negara Asia, terutama Singapura, Jepang dan negara Eropa lainnya. Untuk ekspor, tidak ada tata niaga khusus (bebas), selama mengikuti persyaratan kualitas dan harga. Sedangkan untuk lokal, masih menunggu aturan tata niaga dari pemerintah. Seperti apa tata niaga-biodiesel yang diinginkan industri? Apakah selama ini pihak industri dilibatkan oleh regulator/pemerintah sebelum dikeluarkannya aturan itu? Kami mempunyai harapan, pemerintah segera mengeluarkan tata niaga biodiesel agar jelas sistem penjualan dan distribusi kepada masyarakat. Juga kami berharap diberikan tax incentive dari pemerintah kepada produsen biodiesel atau energi alternatif yang ramah lingkungan dan alokasi bahan baku dari departemen terkait (road map) untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku biodiesel, serta penyediaan lahan khusus untuk penyediaan bahan baku.n

Copyright Sinar Harapan 2003

Biodiesel Jarak Pagar Jadi Proyek Nasional TANAH tandus bisa menyelamatkan kesulitan negeri ini dalam menyediakan bahan bakar minyak (BBM) untuk rakyat. Dari sekitar 13 juta hektare lahan tandus di seluruh Indonesia, bila ditanami pohon jarak pagar dapat menghasilkan lebih dari 400 ribu barel solar per hari. Dengan produksi ini, pemerintah tak perlu pusing mengutak-atik RAPBN menyusul fluktuasi harga minyak.

Badan Pusat Statistik menyebutkan, semester I tahun ini, Indonesia mengimpor minyak senilai US$ 28,37 miliar. Nilai tersebut lebih besar dari periode sama tahun sebelumnya, yang mencapai US$ 20,96 miliar. Salah satu jenis BBM yang banyak dikonsumsi adalah solar. Sampai kini, konsumsi solar 460 ribu barel, atau 73.140.000 liter per hari. Tingginya angka penggunaan solar, sejatinya tidak harus ditutup melalui impor. Ada beberapa sumber energi alternatif yang bisa disubstitusikan sebagai pengganti solar. Salah satunya energi biodiesel berbahan dasar minyak jarak. Pembuatan energi alternatif, kini mulai menggejala di berbagai belahan dunia.

Sebagian negara ada yang mengembangkan biodiesel, sebagian lainnya mengaktifkan bioetanol. Ini berarti, Indonesia tidak sendirian ketika mencari sumber energi alternatif. Buktinya, negara sekelas Amerika Serikat saja, masih sibuk menggali sumber energi baru. Pekan pertama, Agustus ini, Presiden AS George W Bush menandatangani RUU Energi (Energy Bill) yang khusus mengatur Bio Fuel. Gejala serupa juga muncul di kalangan perusahaan minyak dunia. Misalnya, North Dakota Biodiesel Inc yang menginvestasikan US$ 50 juta untuk proyek biodiesel di Minot, North Dakota, USA. Biodiesel ini berbasis pada tanaman canola (sejenis gandum). Ini lah proyek terbesar di wilayah Amerika Utara, dengan produksi 100 ribu ton BBM.

Biodiesel yang dihasilkan dari 144 ribu hektar kebun canola. Produsen minyak kelapa sawit di Malaysia, IOI Corp dan Kuok Oil & Grains membangun dua penyulingan minyak kelapa sawit di Roterdam yang memproduksi lebih dari satu juta ton minyak kelapa sawit dalam satu tahun. Industri ini berencana memenuhi kebutuhan biodiesel di Eropa pada masa depan. Sementara itu, perusahaan minyak raksasa Brazil, Petrobras akan meningkatkan ekspor etanol sampai 9,4 miliar liter pada 2010, dari dua miliar liter tahun 2005.

Saat ini, Japan Mitsui & Co dan Vale do Rio Doce (CVRD) turut mendukung rencana Petrobras melalui studi peningkatan ekspor etanol Brazil. Perusahaan dunia tersebut bukan tanpa alasan bila menjatuhkan pilihan kepada biodiesel. Apalagi secara prinsip kimia, penemuan energi alternatif berbeda tipis dengan penemuan energi konvensional (minyak bumi). Sebab, kata Direktur PT Rekayasa Industri Triharyo Soesilo, keduanya sama-sama mengaktifkan energi matahari. "Hanya saja, minyak bumi terjadi karena dipress sekian lama (di perut bumi). Namun energi itu bisa disimulasi di dalam tumbuh-tumbuhan atau buah-buahan," tambahnya.

Proses simulasi energi ini lah yang menghasilkan bahan bakar biodiesel. Sayangnya sebagai negara katulistiwa, Indonesia belum maksimum mengonversi energi matahari. Berbeda faktanya dengan negara lain yang sama-sama negara khatulistiwa. Brazil, misalnya. Negeri Samba ini sukses mengonversi energi matahari yang tersimpan di dalam gula. Kini, Brazil sudah menghasilkan Bioetanol yang dijual US$ 25 per barel. "Ada sebuah teori yang mengatakan, nanti dunia ini ketika minyak bumi habis, tanahnya akan dibagi dua. Tanah lahan subur untuk makanan, tanah tidak produktif untuk bahan bakar melalui biodiesel, bioetanol, dan lain sebagainya," papar Triharyo. Dari 13 juta hektare lahan kering di seluruh tanah air, kurang dari 10% yang sudah dan akan dipakai.

Ini ironi, karena pertumbuhan pohon jarak justru sempurna bila ditanam di lahan kering. Jika Indonesia baru memanfaatkan kurang dari 10%, itu mengisyaratkan belum optimalnya pemanfaatan lahan kering. Saat ini, kata Triharyo, ada tiga lembaga yang menanam jarak. Pertama, perkebunan milik PT Rekayasa Industri dan Institut Teknologi Bandung (ITB) berlokasi di Nusa Tenggara Barat (NTB) seluas 12 ha dengan 30 ribu pohon. Kedua, perkebunan milik PT Energi Alternatif Indonesia (ada 48 ribu pohon). Ketiga, Departemen Pertanian (3 ribu pohon) di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Selain itu, PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) juga berencana menanam jarak pagar di 2000-2500 ha lahan gundul di Purwakarta, Oktober mendatang. Sebelumnya, RNI sudah menanam di Indramayu seluas 850 ha. Di Bireun, Nanggroe Aceh Darussalam, ITB, Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Departemen Sosial (Depsos) bekerja sama menghidupkan 400 ha lahan kritis. Tiga bulan lagi, kata Guru Besar Kelautan dan Perikanan IPB Rohmin Dahuri, hasil budidaya pohon jarak sudah bisa dinikmati.

Solar yang dihasilkan akan memenuhi kebutuhan 200 kapal, satu pabrik es, satu cool storage, serta satu unit pembangkit listrik tenaga diesel. "Yang lebih indah bagi nelayan. Harganya Rp 2.000-2.500 per liter. Yang sebenarnya Rp 1.500 kembali ke dia karena jarak yang dikelola dari pabrik inti dibeli dari mereka," jelas Rohmin. Menurut perhitungan PT Rekayasa Industri, dari tiga juta ha lahan kering akan dihasilkan 92 ribu barel solar per hari. Untuk memenuhi lahan tersebut diperlukan sekitar 7,5 miliar bibit. Bila dari seluruh tanah tandus seluas 13 juta ha ditanam jarak pagar, solar yang dihasilkan lebih dari 400 ribu barel, Kendati sudah ditanam di beberapa tempat, budidaya jarak belum terkoordinasi secara nasional. Ini ironis, mengingat besarnya potensi di belakangnya.

Bayangkan, proyek percontohan di NTB dan Cilacap (Jawa Tengah), kata Tutik Herlina Mahendrato, business manager PT Rekayasa Industri, sudah dilirik sejumlah investor. Pada saat bersamaan, PT Energi Alternatif Indonesia sudah mengembangkan biodiesel buah jarak ke dalam skala industri. Sebuah pabrik dengan kapasitas produksi 1.000 liter solar/hari, kini berdiri di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Produk biodiesel sudah dijual kepada pengusaha asal Jepang, serta sejumlah SPBU lokal.

Gerakan Nasional Ada banyak pertimbangan menjadikan biodiesel sebagai proyek nasional. Selain potensi bisnis, juga penuntasan beragam kendala di belakangnya. Harus ada yang bisa menjawab kenapa 13 juta ha lahan kering se-Indonesia tidak digarap sebagaimana mestinya. Lahan-lahan yang tersebar di wilayah Sumatera, Nusa Tenggara, Sulawesi, Jawa bagian selatan, serta Papua tersebut dibiarkan terkapar.

Nasibnya tidak berbeda dengan pesakitan yang menunggu ajal. "Menurut saya, pemerintah harus mengambil inisiatif," ujar Rohmin. Sementara Triharyo mengatakan, presiden harus segera mengeluarkan peraturan khusus. Seluruh Departemen harus dikondisikan untuk mendukung dan mengampanyekan pembuatan dan pemakaian biodiesel.

Ketua Forum Biodiesel Indonesia (FBI) Tatang Soerawidjaja, menyoroti komunikasi masing-masing institusi. Pengembangan biodiesel terkesan jalan sendiri-sendiri karena komunikasi antar pakar, industriawan, serta pemerintah belum berjalan. Namun untungnya, Pertamina sebagai personifikasi pemerintah sudah membuka diri. "Bila Pertamina sudah ikut main maka pengembangan biodiesel sudah tidak ada masalah lagi," tegasnya. (c64/c74) Sumber : Investor Daily Online (27/8/05) ***

Energi Alternatif dari Singkong sampai Air LAPORAN IPTEK Penghapusan subsidi BBM-baik bensin maupun solar-dan selanjutnya mengikuti fluktuasi pasar dunia telah melambungkan harga bahan bakar fosil itu di Indonesia. Padahal, di pasar internasional, harga minyak cenderung naik karena pasokan minyak menurun relatif terhadap permintaan pasar yang terus meningkat. Di sisi lain kandungan minyak bumi akan mencapai titik kritis 10 tahun lagi. Kondisi ini, bila saatnya tiba, jelas akan memperlambat roda perekonomian dan peradaban dunia. Karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk mencari bahan baku energi alternatif. Indonesia sebenarnya memiliki berbagai sumber energi non-BBM, baik yang bersifat tidak terbarukan seperti batu bara, gambut, maupun yang terbarukan seperti energi hidro dan mikrohidro, energi surya, angin, gelombang, biomassa, dan biogas. Hampir semua jenis bahan baku energi itu ditemukan dalam jumlah yang potensial. Karena itu, bila semua energi alternatif tersebut dikembangkan, bangsa Indonesia sebenarnya tidak perlu khawatir kehabisan sumber energi. *** ETANOL adalah salah satu bahan baku alternatif pengganti energi minyak dan gas pada kendaraan bermotor dan pabrik. Uji coba telah dilakukan di beberapa negara termasuk Indonesia. Tahun 1982, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) membangun pabrik percontohan pembuatan etanol dan perkebunan bahan bakunya, yaitu ubi kayu atau singkong, di daerah transmigrasi Tulang Bawang, Lampung Utara. Pabrik percontohan etanol berkapasitas 15.000 liter per hari memerlukan bahan baku ubi atau singkong 110 ton per hari. Kebutuhan bahan baku diharapkan dapat dipenuhi oleh petani transmigran di sekitar lokasi pabrik dengan areal di atas 43.000 hektar. Selain menghasilkan energi alternatif pengganti minyak, proyek ini juga bertujuan menaikkan pendapatan petani dan membuka lapangan kerja sekaligus meningkatkan keterampilan dan keahlian dalam pembuatan etanol. Bahan kimia jenis alkohol ini didapat dengan cara menghancurkan singkong kupas menjadi bubur. Bubur itu kemudian dipanaskan dengan uap air hingga suhu 95 derajat Celsius dan ditambah enzim amilase agar pati ubi kayu terhidrolisa menjadi gula. Hasil proses sakarifikasi ini berupa gula yang siap difermentasi. Pada proses fermentasi ba-han yang mengandung gula diberi ragi Saccharomyces cerevisie. Selanjutnya dilakukan destilasi dua tahap. Pada tahap pertama dihasilkan destilat dengan kadar alkohol 45 hingga 50 persen, sedangkan pada tahap terakhir kadarnya menjadi 95 persen.

Menghasilkan alkohol dengan kadar tinggi juga dapat diperoleh dari mengolah buah kelapa aren. Seorang peneliti dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sam Ratulangi dalam kunjungan kerja Menteri Negara Riset dan Teknologi Hatta Radjasa ke Manado, Kamis (9/1), mengungkapkan, aren atau kelapa yang selama ini diolah secara tradisional menjadi arak "cap tikus" dapat diolah lebih lanjut menjadi alkohol dengan kadar tinggi, baik untuk memasok kebutuhan rumah sakit maupun untuk bahan bakar energi. Dengan mengolah minuman tradisional itu, juga dapat dikembangkan kegiatan penelitian perguruan tinggi di daerah serta menumbuhkan usaha baru yang berbasis potensi sumber daya lokal. Di provinsi "nyiur melambai" ini sekali panen dari tujuh lokasi perkebunan kelapa milik penduduk dihasilkan 824 ton buah kelapa. Riset penggunaan minyak kelapa sawit sebagai substitusi diesel juga sudah banyak dilakukan, namun belum satu pun yang berhasil sampai skala komersial. Menurut Yusnitati dari Ditjen Listrik dan Pengembangan Energi, saat ini proses pembakaran sabut maupun cangkang dinilai tidak efisien, meskipun mampu menghasilkan cukup uap panas dan tenaga untuk proses pengolahan di pabrik. Limbah padat berupa tandan kosong yang umumnya dibakar dalam insinerator mempunyai kandungan energi cukup tinggi. Jika dimanfaatkan, limbah tersebut dapat memenuhi kebutuhan tenaga untuk keseluruhan pabrik termasuk unit pemroses minyak, misalnya margarin. Tandan kosong dari pabrik minyak sawit berkapasitas 40 ton per jam tandan buah segar (TBS), misalnya, dapat menghasilkan lebih dari 1 MW listrik. Studi awal terhadap potensi limbah industri 23 pabrik kelapa sawit yang terkonsentrasi lokasinya di Medan dapat menyuplai listrik 3-5 MW. *** PEMANFAATAN hidrogen sebagai bahan bakar di sektor transportasi merupakan salah satu alternatif pemecahan yang mungkin juga dilakukan pasca-BBM. Hidrogen merupakan senyawa kimia yang dapat diperoleh dari bahan bakar hidrokarbon seperti batu bara, gas dan minyak bumi maupun dari air. Namun, penyediaan hidrogen dengan bahan baku air perlu dikaji lebih mendalam karena pemakaian air sebagai bahan baku terbarukan. Dalam pemanfaatannya, seperti dikemukakan Hari Suharyono, peneliti dari Ditjen Listrik dan Pengembangan Energi dalam laporannya beberapa tahun lalu, salah satu peralatan yang menggunakan hidrogen adalah fuel cell. Pemilihan jenis fuel cell yang tepat akan menghasilkan uap air sebagai gas buang dari proses pembakarannya. Uap air tersebut jelas tidak akan mencemari lingkungan dan juga setelah beberapa waktu akan kembali sebagai air yang siap digunakan kembali sebagai bahan baku pembuatan hidrogen. Hidrogen (H2) adalah senyawa kimia berbentuk gas yang ringan, tidak berwarna, dan tidak berbau. Gas tersebut hanya dapat dijumpai sebagai senyawa murni di alam dalam jumlah sangat kecil. Untuk mendapatkan hidrogen diperlukan energi. Energi tersebut dapat disediakan oleh semua bentuk energi penghasil listrik, baik panas bumi, tenaga surya, tenaga angin, tenaga air, maupun nuklir.

Cara mendapatkan hidrogen ditentukan oleh jenis bahan baku yang digunakan. Proses yang digunakan bila menggunakan bahan baku gas bumi atau fraksi hidrokarbon ringan lainnya adalah steam reforming, yaitu mengubah senyawa alkana dengan penambahan uap air menjadi hidrogen dan karbon dioksida. Proses yang dilakukan bila menggunakan bahan baku batu bara adalah gasifikasi, yaitu mengubah batu bara dengan penambahan oksigen dan uap air menjadi hidrogen, karbon dioksida, dan senyawa-senyawa kimia lainnya. Sedangkan bila menggunakan bahan baku air, proses yang digunakan adalah elektrolisa. Di antara teknologi yang ada, elektrolisa air alkalin merupakan teknologi yang paling siap dikembangkan secara massal, bahkan berdasarkan informasi yang diperoleh dari NEDO, Jepang, sebuah pabrik dengan kapasitas 33.000 Nm3 per jam telah beroperasi di Mesir. Hal utama yang membedakan fuel cell dengan baterai adalah penyediaan bahan kimianya. Pada baterai, bahan kimia merupakan bagian dari baterai itu sendiri, sehingga listrik yang dihasilkan oleh baterai dapat berkurang dengan lamanya waktu pemakaian. Sedangkan fuel cell hanyalah konverter, yang menghasilkan listrik dari reaksi bahan bakar dan oksigen di dalamnya. Karena tidak adanya bagian dari cell yang digunakan sebagai bahan bakar maupun hasil reaksi kimia yang diendapkan dalam cell, maka fuel cell dapat dioperasikan dalam jangka waktu yang lama. (yun)

Anda mungkin juga menyukai