Anda di halaman 1dari 9

Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII Komda Sul-Sel, 2007

PERANAN SILIKAT TERHADAP SERANGAN PENYAKIT BULAI (Perenosclospora philipinensis) PADA TANAMAN JAGUNG
Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros

Syahrir Pakki

ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui peranan pemupukan silikat terhadap perkembangan penyakit bulai (Perenosclospora philipinensis) Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Maros, menggunakan rancangan kelompok dengan 4 (empat) ulangan. Perlakuan yaitu : (i) Kontrol (tanpa silikaT) (2) 50 kg/ha, (3) 100 kg/ha,(4) 200 kg/ha dan (5) 300 kg/ha. Varietas yang ditanam adalah Srikandi Putih. Luas plot 3 X 4 m, populasi 150 tanaman/plot. Jarak tanam 75 x 25 cm, satu tanaman per lubang. Semua petak perlakuan dipupuk dengan paket anjuran yaitu urea 350 kg/ha, SP 36 100 kg/ha dan 100 kg KCL/ha. Tiga minggu sebelum penanaman tanaman perlakuan, maka di sekelilingnya ditanam tanaman sumber inokulum, yang diinokulasi inokulum penyakit bulai pada umur 10 hari. Tanaman tersebut diharapkan sebagai sumber inokulum alami untuk tanaman perlakuan. Pada setiap pengamatan, tanaman terinfeksi bulai ditandai dengan patok-patok kecil. Untuk mengoptimalkan pertumbuhan tanaman uji maka selama penelitian berlangsung dilakukan penyiraman sebanyak 7 kali. Parameter yang dikumpulkan adalah (a) dinamika penyakit bulai ( P. philipinensis) dengan pengamatan persentase infeksi pada umur 25, 35, dan 45 hari setelah tanam (hst), (b) cata iklim, diperoleh dari BMG Maros ( satu km dari lokasi penelitian) (c) berat kering panen per plot dari semua tanaman perlakuan. Korelasi perlakuan silikat dengan produksi dihitung dengan persamaan regresi linier. Intensitas penyakit bulai ( Perenosclospora philipinensis) dipengaruhi oleh pemupukan silikat, pada varietas yang tergolong peka (Srikandi putih) dengan umur 35 hari, dapat menekan intensitas serangan sekitar 24,72 30,48 %. Pada perlakuan kontrol tanpa silikat, umumnya individu tanaman terinfeksi mengering dan sebagain mati, menghasilkan sekitar 300 kg/ha dibanding pemberian silikat dengan dosis lebih besar 100 kg/ha memperlihatkan gejala infeksii yang lebih lambat dan pertumbuhan yang lebih normal. Kata kunci: Silikat, penyakit bulai.

PENDAHULUAN
Silikat (Si) tidak termasuk dalam unsur hara esensial pada tanaman, akan tetapi pada beberapa tanaman terutama tanaman gramineae mempunyai arti penting dalam pertumbuhan tanaman. Pada tanaman padi, pemberian silikat menyebabkan daun tanaman lebih tegak sehingga penangkapan cahaya matahari dan proses fotosintesis lebih efisien dan dapat mengurangi serangan penggerek batang. Kandungan Si pada daun antara 0,7 2,1% (Fox et al., 1967). Pemberian Si dapat meningkatkan efisiensi serapan dan penggunaan P pada tanaman utamanya pada famili serealia. Oleh karena itu pemberian Si penting terutama pada 1) Tanah yang mempunyai sifat fiksasi/serapan hara P menyebabkan pemupukan P tidak efisien seperti pada tanah pH rendah, 2) Pemberian P tidak menyebabkan pemupukan P tidak semuanya dapat diserap oleh tanaman, hanya sekitar 20% (Hagin dan Tucker, 1982, dan Goswani et al., 1990), 3) Pada tanah-tanah yang intensif pemupukannya, kandungan P terakumulasi dalam tanah sehingga dengan pemberian Si dapat menambang P untuk tanaman tanpa pemberian P lagi. Pemberian Si

222

Syahrir Pakki: Peranan Silikat Terhadap Serangan Penyakit Bulai (P. philipinensisi) Pada Tanaman Jagung

meningkatkan serapan dan penggunaan P pada pucuk dan akar tanaman jagung (Owino and Gasccho, 1970). Tanaman yang cukup Si lebih tahan serangan hama dan penyakit. Akumulasi Si dan Polimerisasi Si di dalam sel jaringan tanaman akan menjadi berier bagi tanaman terhadap serangan hama (Yoshida et al, 1968). Pada tanaman Cocumber (Cucumis sativus L.), pemberian Si dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan Pyhium sp dan sphhoeratheca folginea, yang diakibatkan oleh meningkatnya akumulasi phenolic compounds, lignin dan phytoalexins (Cherf et al., 1992). Pemberian Si pada tanaman gandum menekan serangan aphids, penurunan serangan aphids disebabkan meningkatnya aktivitas peroxida. Peroxida berhubungan dengan lignin dan sintesis suberin kedua senyawa ini dapat meningkatkan kekerasan jaringan (Gomes et al., 2005). Pemberian Si juga dapat menyebabkan tanaman lebih tahan kekeringan, hal ini karena meningkatnya kadar seluloasa dan lapisan lilin pada daun sehingga dapat mencegah terjadinya laju penguapan yang lebih cepat. Penggunaan Si dapat menjadi alternatif karena dapat meningkatkan serapan dan penggunaan P, namun demikian diperlukan penelitian untuk melihat pengaruh Si terhadap serapan P oleh tanaman dalam kaitannya dengan efisiensi pupuk maupun produksi. Penyakit bulai (Peronsclospora philipinensis) pada tanaman dapat menurunkan hasil sampai 100%, semakin awal tanaman terserang semakin besar peluang kehilangan hasil. Untuk mengatasi penyakit bulai (Peronsclospora maydis) selama ini dilakukan dengan pemberian fungisida secara seed treatment. Pemberian Silika diduga juga dapat meningkatkan ketahanan terhadap penyakit, hal ini disebabkan karena peningkatan pertahanan enzim seperti peroxidase, polyphenoloxidase, dan phenylalamine ammonialyase, ketiga enzim ini berkaitan dengan ketahanan tanaman terhadap organisme pengganggu tanaman. Telah dilaporkan bahwa pemberian Si meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit blast. Akan tetapi peranan Si terhadap ketahanan penyakit bulai pada tanaman jagung belum pernah dilaporkan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh Silika terhadap serangan penyakit bulai pada tanaman jagung serta produktivitasnya.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Maros, menggunakan rancangan kelompok dengan 4 ( empat) ulangan. Perlakuan yaitu ; 1) kontrol (tanpa silikaT), 2) 50 kg/ha, 3) 100 kg/ha, 4) 200 kg/ha dan 5) 300 kg/ha. Varietas yang ditanam adalah Srikandi Putih. Luas plot 3 X 4 m, populasi 150 tanaman/plot. Jarak tanam 75 x 25 cm, satu tanaman per lubang. Semua petak perlakuan dipupuk dengan paket anjuran yaitu urea 350 kg/ha, SP 36 100 kg/ha dan 100 kg KCL/ha. Tiga minggu sebelum penanaman tanaman perlakuan, maka di sekelilingnya ditanam tanaman sumber inokulum, yang diinokulasi inokulum penyakit bulai pada umur 10 hari. Tanaman tersebut diharapkan sebagai sumber inokulum alami untuk tanaman perlakuan. Pada setiap pengamatan, tanaman terinfeksi bulai ditandai dengan patok-patok kecil. Untuk mengoptimalkan pertumbuhan tanaman uji maka selama penelitian berlansung dilakukan penyiraman sebanyak 7 kali. Parameter yang dikumpulkan adalah (a) Dinamika penyakit bulai ( P. philipinensis) dengan pengamatan persentase infeksi pada umur 25, 35, dan 45 hari setelah tanam ( hst). (b) Data iklim, diperoleh dari BMG Maros ( satu km dari lokasi penelitian) (c) Berat kering panen per plot dari semua tanaman perlakuan.

223

Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII Komda Sul-Sel, 2007

Korelasi perlakuan silikat dengan produksi dihitung dengan persamaan linier (Gomez and Gomez, 2003) sbb: Y = a + bx Y a b = = = Perbedaan nilai regresi dan nilai pengamatan intersep perpotongan dengan sumbu tegak Gradien x = Variabel.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keadaan pertanaman tanaman sumber inokulum yang ditanam pada sekeliling plot-plot perlakuan terinfeksi bulai sekitar 90 %, dan keadaan iklim pada awal pertumbuhan tanaman uji di lapang tergolong rendah, dalam dua minggu, hari hujan berkisar 1- 4 hari (gambar 1). Hari hujan yang rendah dengan iklim kering cukup ideal untuk perkembangan bulai Menurut Pakki dan Jabbar (1999); Jabbar dan Talanca (1992) Burhanuddin (2006). Hal ini juga ditandai dengan infeksi secara alami penyakit bulai di lapangan terjadi secara optimal, dan merata pada setiap plot perlakuan.

1,2 1 0,8 0,6

35 30 25 20 15 HH CH S UHU

0,4 0,2 0 15 30 45 60 75 90 105

10 5 0

Gambar 1. Keadaan hari hujan dan suhu, Maros, Sulawesi Selatan (Sumber: BMG,Maros) Intensitas bulai pada petakan perlakuan berkembang baik, pengamatan pada 25 hari setelah tanam (HST), sudah mencapai sekitar 20-50 %, tertinggi ditemukan pada petakan kontrol dan pemupukan 50 silika per ha yaitu sekitar 50 %. Pada pemupukan silikat 50 kg/ha, infeksi serangan bulai tidak nyata lebih rendah dibanding kontrol, ini mengindikasikan bahwa dosis rendah tersebut tidak berpengaruh terhadap sebaran penyakit bulai di lapangan ( Tabel 1), Berbeda halnya dengan pemberian silikat pada dosis 100, 200, dan 300 kg/ha intensitas serangan baru mencapai 20 %, ternyata lebih rendah dibanding kontrol. Pada 25 HST kondisi fisiologis tanaman adalah mempunyai daun masih muda, sel-sel jaringan daun yang masih muda tersebut sangat kondusif untuk penetrasi awal spora dan menyebabkan infeksi juga optimal. Adanya perbedaan jumlah tanaman terinfeksi, mengindikasikan bahwa pemberian silikat pada saat tanam

224

Syahrir Pakki: Peranan Silikat Terhadap Serangan Penyakit Bulai (P. philipinensisi) Pada Tanaman Jagung

diduga mampu membatasi penetrasi awal spora bulai di lapangan sehingga infeksinya juga tergolong nyata lebih rendah. Varietas yang digunakan adalah jagung komposit srikandi putih, tergolong peka, sehingga intensitas yang rendah tersebut mengindikasikan bahwa silikat, dapat memperkuat jaringan sel-sel tanaman jagung dan dapat memperlambat proses infeksi penyakit bulai. Makarim (2006) telah melaporkan bahwa pemberian silikat pada padi dapat menekan intensitas penyakit blast. Tabel 1. Intensitas serangan penyakit bulai pada beberapa perlakuan silika, umur 25 hari setelah tanam Perlakuan Kontrol Silikat 50 kg/ha*) Silikat 100 kg/ha*) Silikat 200 kg/ha*) Silikat 300 kg/ha*) Jumlah tan.terinfeksi bulai 52,75 a 52,00 a 28,50 b 21,25 b 25,50 b Persentase Tanaman terinfeksi bulai 50,24 49,52 27,14 20,23 24,24 Delta perbedaan dgn kontrol (%) 0,27 23,10 30,01 26,00

*) + Paket anjuran: Urea 350 kg/ha, SP 36 100 kg/ha, KCL 100 kg/ha. Angka yang diikuti oleh huruf dan kolom yang sama, berbeda nyata pada taraf 5 %, uji DMRT.

Penetrasi awal spora bulai dimulai dari bagian kulit luar daun, selanjutnya menginfeksi ke bagian jaringan berkembang dan menyebar secara sistemik pada seluruh bagian tanaman. Spora yang berpenetrasi awal pada bagian epidermis daun kemungkinan terhambat oleh adanya penebalan kulit epidermis, sebagai akibat adanya pemberian silikat, sehingga perlakuan silikat dosis 100,200,300 kg/ha nyata dibanding kontrol. Pada umur 25 HST, keadaaan pertanaman terinfeksi bergejala visual pucat dan terdapat warna putih kekuningan mengikuti alur tulang daun dan belum menampakkan adanya perbedaan bentuk penampilan fisik dengan tanaman sehat seperti gejala kerdil dan tinggi tanaman. Keadaan perbedaan infeksi bulai terus berlanjut, pengamatan 35 HST, pada petakan kontrol dan pemberian silika 50 kg/ha, sudah mencapai 20%, dan ternyata lebih tinggi dibanding perlakuan 100. 200, 300 kg/ha (Tabel 2). Keadaan demikian menggambarkan bahwa pemberian silikat berperan dalam hal pembentukan daun yang tegak, mengandung silikat yang cukup sehingga penyebaran hipa bulai dari sel ke sel dalam jaringan tanaman juga terhambat, dan menyebabkan infeksi rendah dibanding kontrol. Indikasi ini diperkuat dengan penampilan tanaman terinfeksi pada kontrol, beberapa rumpun tanaman dengan pertumbuhan yang lebih kerdil, dibanding pada beberapa individu tanaman yang diberi silikat walaupun terinfeksi bulai, masih lebih tegar pertumbuhannya. Pengaruh nyata pemberian silikat tersebut adalah dominannya populasi tanaman yang memperlihatkan gejala yang lebih lambat, sekitar 30 % dibanding kontrol, sehingga peluang terbentuknya tongkol masih ada dari satu luasan area pertanaman. Dalam kaitannya dengan penyebaran bulai, tanaman terinfeksi lambat juga kurang optimal untuk memproduksi spora sehingga dapat memperlambat dinamika sebaran dari satu tanaman ke tanaman yang lain di lapangan. Dari sejumlah pemanfaatan silikat, hal yang menonjol adalah silikat cenderung memperbaiki kekerasan dan ketegakan daun (Yoshida et al 1969). Agrios( 1977), mengemukakan bahwa nutrisi seperti nitrogen tanpa keseimbangan unsur hara lain akan mempengaruhi patogenitas suatu patogen, terutama pada tanaman muda. Hal yang

225

Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII Komda Sul-Sel, 2007

sama juga ditemukan oleh Pakki ( 2007) bahwa pemberian nitrogen pada jagung tanpa keseimbangan hara lain dapat meningkatkan intensitas serangan patogen cendawan parasit seperti penyakit bercak daun ( Helminthosporium maidys). Tabel 2. Intensitas serangan penyakit bulai pada beberapa perlakuan silikat umur 35 hari setelah tanam Perlakuan Kontrol(Paket) Silikat 50 kg/ha*) Silikat 100 kg/ha*) Silikat 200 kg/ha*) Silikat 300 kg/ha*) Jumlah tan.terinfeksi bulai 87,75a 79,50a 55,75b 61,50b 58,25b Persentase Tanaman terinfeksi bulai 83,57 75,71 53,09 58,85 55,47 Delta perbedaan dgn kontrol (%) 7,86 30,48 24,72 28,10

*) + Paket anjuran: Urea 350 kg/ha, SP 36 100 kg/ha, KCL 100 kg/ha. kk :16,8 % Angka yang diikuti oleh huruf dan kolom yang sama, berbeda nyata pada taraf 5 %, uji DMRT.

Pemanfaatan silikat diharapkan dapat menyeimbangkan kandungan nutrisi dalam sel-sel jaringan tanaman, keseimbangan nutrisi akan memperpanjang periode laten suatu patogen, berarti dapat menekan produksi spora bulai sehingga kecepatan dinamika perkembangannya dapat ditekan dalam suatu populasi satuan area tertentu. Empat puluh lima hari setelah tanam (tabel 3) populasi tanaman pada kontrol sudah terinfeksi sekitar 90 %, keadaan pertumbuhan menunjukkan adanya perbedaan penampilan tanaman yaitu lebih kerdil dibanding dengan tanaman yang diberi silikat pada dosis 100, 200 dan 300 kg/ha. Gejala visual yang terdeteksi bulai lebih lambat, setelah fase silking menyebabkan, toksin yang dikeluarkan untuk memperbanyak diri dalam tanaman akan semakin berkurang seiring dengan proses penuaan jaringan sel-sel sehingga tampak lebih tegar kehijauan dibanding tanaman yang terinfeksi awal. Dalam kaitannya dengan penyebaran bulai, tanaman terinfeksi lambat juga kurang optimal untuk memproduksi spora sehingga dapat memperlambat dinamika sebaran dari satu tanaman ketanaman yang lain di lapangan. Pada 75 HST, gejala visual bulai sudah tidak jelas, penampilan fisiologis tanaman sudah sangat nyata pengaruhnya pada petakan kontrol, umumnya tanaman memperlihatkan daun mengering, dan sebagian roboh. Berbeda dengan petakan yang dipupuk silikat, umumnya keadaan tanaman masih tegar dan beberapa individu tanaman dapat membentuk tongkol ( gambar 2). Hal ini sesuai yang dilaporkan Burhanuddin dan Pakki (1999) bahwa tanaman yang terinfeksi bulai lebih dini menyebabkan pembentukan akar, ukuran tongkol akan lebih kecil dan lebih banyak individu tanaman yang mati.

226

Syahrir Pakki: Peranan Silikat Terhadap Serangan Penyakit Bulai (P. philipinensisi) Pada Tanaman Jagung

Tabel 3. Intensitas serangan penyakit bulai pada beberapa perlakuan silikat, umur 45 hari setelah tanam Perlakuan Kontrol Silikat 50 kg/ha*) Silikat 100 kg/ha*) Silikat)200 kg/ha*) Silikat 300 kg/ha*) Jml tan.terinfeksi bulai 96,75 a 89,25 ab 79,25 b 78,75 b 80,00 b Persentase Tanaman terinfeksi bulai 94,85 85,00 75,47 75,00 76,10 Delta perbedaan dgn kontrol 8,23 19,45 19,85 18,75

*) + Paket anjuran: Urea 350 kg/ha, SP 36 100 kg/ha, KCL 100 kg/ha. kk : 10,60 % Angka yang diikuti oleh huruf dan kolom yang sama, berbeda nyata pada taraf 5 %, uji DMRT.

Gambar 2. Keadaan pertanaman terinfeksi bulai, 75 hari setelah tanam (a) Petakan kontrol (b) petakan perlakuan silikat.

PRODUKSI
Bulai dapat menurunkan hasil sekitar 90 %, semakin awal tanaman terinfeksi semakin besar peluang kehilangan hasil (Sujono dan Sopandi, 1988)., Pakki dan Djabbar (1999). Peranan silikat juga tampak pada produksi tanaman yang terinfeksi bulai , pemberian 100, 200, 300 kg/ha, menunjukkan perbedaan produksi yang nyata lebih tinggi dibanding kontrol. Beberapa individu tanaman yang lambat terinfeksi, masih dapat membentuk tongkol, dan bervariasi dari tongkol yang berisi biji penuh dengan tongkol yang tidak berisi penuh. Pada petakan kontrol lebih banyak tanaman yang tidak berbuah, dan bila membentuk tongkol, biji yang dihasilkan adalah lebih kecil sebagian berkriput dengan produksi sekitar 200 kg/ha, dibanding pada petakan perlakuan dapat mencapai sekitar 2000 kg/ha. Sel-sel jaringan tanaman yang terinfeksi lambat masih dapat berfungsi dalam hal respirasi dan sirkulasi zat tumbuh sehingga biji yang dihasilkan juga lebih sempurna dibanding pada petakan-petakan kontrol. Ini mengindikasikan bahwa pemberian silikat pada varietas yang tergolong peka masih dapat menekan kehilangan hasil sekitar 30 %, dari potensi hasil yang dimiliki varietas Srikandi kuning yaitu 9 t/ha ( Balitsereal 2007). Dalam kaitannya dengan hal tersebut,

227

Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII Komda Sul-Sel, 2007

pemikiran kedepan untuk penanggulangan penyakit bulai yaitu peluang pemanfaatan silikat yang dikombinasikan dengan varietas yang agak tahan akan lebih efektif. Hal ini penting mengingat bahwa beberapa varietas jagung unggul nasional yang telah dilepas dan sudah beredar di petani, tergolong agak peka dan peka terhadap bulai. Pada beberapa wilayah-wilayah pertanaman jagung di Indonesia seperti di Kalimantan Selatan, penggunaan bahan aktif metalaksil sudah tidak efektif mengendalikan bulai ( Komunikasi pribadi, Wakman 2007) yang diduga karena adanya proses adaptasi sehingga terjadi perubahan spesies ras yang lebih virulen dan dapat menurunkan produksi jagung dalam skala nasional. Tabel 4. Produksi berat tongkol (t/ha) pada beberapa perlakuan silikat Perlakuan Kontrol Silikat 50 kg/ha*) Silikat 100 kg/ha*) Silikat 200 kg/ha&*) Silikat 300 kg/ha*) Berat tongkol (kg/ha) 307,13c 1472,43b 2140,00a 2105,02a 2035,41a Kadar air (%) 30,00 29,16 29,14 30,40 31,20

*) + Paket anjuran: Urea 350 kg/ha, SP 36 100 kg/ha, KCL 100 kg/ha. kk : 10,60 % Angka yang diikuti oleh huruf dan kolom yang sama, berbeda nyata pada taraf 5 %, uji DMRT.

Analisis korelasi, terlihat bahwa pada keadaan populasi tanaman terinfeksi bulai, pemupukan silikat berkorelasi positif dengan produksi. Data tersebut menggambarkan bahwa semakin tinggi dosis pemupukan maka produksi cenderung meningkat dan konstan pada dosis 300, 400 kg/ha (gambar 3)

1-5 = Berturut-turut pada dosis 0, 50, 100, 200, 300

Gambar 3. Korelasi beberapa dosis silikat dengan produksi ( kg/ha)

228

Syahrir Pakki: Peranan Silikat Terhadap Serangan Penyakit Bulai (P. philipinensisi) Pada Tanaman Jagung

KESIMPULAN
Intensitas penyakit bulai (Perenosclospora philipinensis) dipengaruhi oleh pemupukan silikat, pada varietas yang tergolong peka (Srikandi putih) dengan umur 35 hari, dapat menekan intensitas serangan sekitar 24,72 30,48 %. Pada perlakuan kontrol tanpa silikat, umumnya individu tanaman terinfeksi mengering dan sebagain mati, menghasilkan sekitar 300 kg/ha dibanding pemberian silikat dengan dosis lebih besar 100 kg/ha memperlihatkan gejala infeksi yang lebih lambat dan pertumbuhan yang lebih normal, berproduksi sekitar 2000 kg/ha.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penelitian ini kami dapat selesaikan kerjasama yang tulus dari sdr Lawa, Juma, dan Marzuki dalam hal bantuan pemeliharaan, pengamatan, sampai panen dan prosessing hasil olehnya itu kami ucapkan banyak terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA
Agrios, 1977. Plant pathology 4 th.Academc Press. New York and London. P 627 Balitsereal. 2007. Deskripsi varietas jagung, Balitsereal Maros. Puslitbangtan Badan Litbang Pertanian. Burhanuddin dan S. Pakki. 1999. Penampilan tanaman jagung akibat penyakit bulai pada tingkat umur yang berbeda. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan XI. PEI, PFI Sul-Sel. Universitas Jenderal Sudirman. Purwokerto. Burhanuddin, 2006. Penyakit bulai dan cara penge ndaliannya di Indonesia. Prosiding dan Lokakarya Nasional Jagung Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian Djabbar dan Talanca, 1999. Keadaan serangan penyakit bulai pada jagung. Prosiding dan Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan XI Perhimpunan Fitipatologi Indonesia dan Perhimpunan Entomologi Indonesia. Komda Sulawesi Selatan Fox, R.L., J.A. Silva, O.R. Younge, D.L. Plucknett, and G.P. Sherman. 1967. Soil and plant silicon and silicate respons by sugarcane. Soil Sci, Soc. Am. Proc. 31:775779. Gomez K.A and A.A. Gomez. 1983. Statistical procedures for agricultural research 2 end edition IRRI. Jhan Wiley & Sans. New York. Toronto. Singapura 680 pp Gomes, F.B., J.C. Moraes, C.D. dos Santos, and M.M. Gossain. 2005. Resistance induction in wheat plants by silicon and aphids. Sci. Agris. 62:547-551. Oka. I.N. 1993. Epidemiologi Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. H.92 Owino-Gerroh and G.J. Gasho. Effect of silicon on low pH soil phosphorus sorption and on uptake and growth of maize. 2004 Commun. Soil Sci. plant anal. 35: 2369 2378 (abstrac). Pakki dan Djabbar, 1999. Keadaan penyaki bulai (Peronsclospora philipinensis) dan bercak daun dari beberapa waktu tanam. Prosiding dan Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan XI Perhimpunan Fitipatologi Indonesia dan Perhimpunan Entomologi Indonesia. Komda Sulawesi Selatan

229

Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII Komda Sul-Sel, 2007

Schenck, N, e and T.J. Steller. 1974. Sourthen leaf blight relative to temperature, Moisture, and fungiside application. Phytopathology. Vol. 64. 619-624 US Sujono, MS dan Y Sopandi. 1988 Pendugaan penurunan hasil jagung oleh penyakit bulai(Peronosclerospora maydis). Prosiding Kongres Nasional IX PFI Surabaya 246-250

230

Anda mungkin juga menyukai