Anda di halaman 1dari 3

Sumber: Kompas, Fokus, 8 April 2006

REVISI UU KETENAGAKERJAAN: QUO VADIS?


Oleh: Mudrajad Kuncoro

Menarik sekali pernyataan Wapres Jusuf Kalla (JK) ketika menerima wakil ribuan buruh yang yang berunjuk rasa menolak revisi Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Intinya, JK mensinyalir ada salah persepsi mengenai soal UU tersebut. Ribuan buruh yang berdemo di berbagai kota nampaknya menentang keras revisi UU ini yang baru berupa draft. Bahkan JK ingin mengajak buruh duduk berdialog karena pemerintah tidak bermaksud menekan buruh tetapi hanya upaya mencari keseimbangan antara buruh dan pengusaha (Kompas, 6/4/2006). Benarkah ada ketidakseimbangan antara kepentingan buruh dan pengusaha/investor selama ini? Problem Pasar Tenaga Kerja Di pasar tenaga kerja, setidaknya ada tiga masalah mendasar yang muncul. Pertama, tingkat pengangguran meningkat pesat pasca krisis ekonomi. Tingkat pengangguran terbuka meningkat dari 6,1% pada tahun 2000 menjadi 10,3% atau sekitar 10,3 juta penganggur pada tahun 2005. Ini belum terhitung tak kurang 30 juta orang yang termasuk setengah menganggur karena bekerja kurang dari 35 jam dalam satu minggu. Dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata yang hanya 4,5% selama 2000-2005 terbukti tidak mampu menyerap angkatan kerja baru sekitar 2-2,5% per tahun. Jumlah pekerja di sektor formal mengalami penurunan sejak tahun 2000 karena penciptaan lapangan kerja sektor formal relatif stagnan. Penciptaan tenaga kerja hanya bersumber dari sektor informal, yang kebanyakan mengandalkan tenaga kerja low skill, low paid, dan tanpa proteksi sosial. Kedua, permasalahan regulasi ketenagakerjaan dan penetapan kontrak adalah masalah terpenting yang berkaitan dengan iklim investasi. Dalam artikel saya berjudul Reformasi Iklim Investasi Indonesia di Indonesia (Kompas, 4/2/2006) telah dibahas panjang lebar mengenai peta masalah dan usulan reformasi iklim investasi di Indonesia. Studi Bank Dunia yang terbaru menunjukkan betapa regulasi ketenagakerjaan dan penetapan kontrak Indonesia tidak kompetitif dibanding Negara Asia lain (lihat Tabel 1). Biaya pemecatan (termasuk pesangon) Indonesia jauh lebih tinggi dibanding negara lain. Para pengusaha mengeluh besarnya pesangon yang harus dibayarkan bila melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), yakni mencapai 9 bulan gaji. Akibatnya, perusahaan lebih senang menarik karyawan kontrak daripada tetap. Ketiga, pemutusan hubungan kerja sektor riil, khususnya industri yang padat karya, terus berlangsung. Sejak kenaikan BBM bulan Oktober 2005, setidaknya 467 perusahaan tekstil dan garmen anggota API (Asosiasi Perstektilan Indonesia) sudah menutup usahanya. Bila rata-rata minimal ada 100 pekerja yang dikaryakan oleh anggota API, kita bisa menghitung berapa tambahan barisan penganggur baru akibat ditutupnya perusahaan. Demikian

juga anggota APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) yang menaksir angka PHK akan mencapai 600.000 orang pada tahun ini. Ini belum terhitung anggota asosiasi dan sektor lain yang terpaksa merumahkan karyawan, mengurangi jumlah karyawan tetap dan kontrak akibat kenaikan berbagai biaya dan rugi kurs. Tabel 1. Studi Bank Dunia tentang Iklim Investasi

Pro-Buruh vs Pro-Pengusaha/Investor Tidak berlebihan bila para pengusaha dan investor merasa bahwa salah satu permasalahan yang paling dikeluhkan adalah masalah regulasi pasar tenaga kerja, ketrampilan dan produktivitas buruh yang rendah, upah buruh yang tidak lagi kompetitif dibanding China/Vietnam, pesangon dan kesejahteraan buruh, meningkatnya kasus sengketa hubungan industrial, dan semakin militannya buruh Indonesia. Di sisi lain, para buruh merasa kawatir bila revisi UU No. 13 tahun 2003 akan menghapus pasal-pasal yang selama ini dianggap pro-buruh meski menimbulkan tambahan biaya di mata pengusaha/investor. Aturan tentang upah minimum kota/kabupaten/provinsi, misalnya, dinilai masih belum mampu menyamai kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok mereka seharihari. Apalagi dalam situasi di mana ketersediaan suplai tenaga kerja lebih tinggi dibanding permintaan tenaga kerja, posisi tawar buruh amat rendah di mata perusahaan. Bisa dipahami bila para buruh bersikukuh mempertahankan UU ini. Masalahnya, apakah draft revisi UU No. 13 tahun 2003 sudah mengakomodasi kepentingan pengusaha/investor sekaligus buruh? Dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) SBY-JK sudah digariskan bahwa perbaikan iklim ketenagakerjaan merupakan bagian dari agenda meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan kata lain, penyempurnaan peraturan dan kebijakan ketenagakerjaan harus ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan buruh namun tetap sexy di mata investor untuk melakukan investasi dan menciptakan lapangan kerja baru.

Berbagai sumber menyebutkan ada tiga bidang utama yang mengundang kontroversi. Pertama, aturan main yang berkaitan dengan rekruitmen, khususnya tentang outsourcing dan penggunaan pekerja kontrak. Perlu ditegaskan bagaimana rambu-rambu outsourcing bagi produk maupun jasa. Selain itu, aturan main bagi pekerja kontrak perlu diatur apakah memang tidak berlaku bagi industri manufaktur, demikian juga mengenai pembatasan waktu dan perlindungan bagi pekerja. Tabel 1 memperlihatkan betapa prosedur, waktu dan biaya pekerja kontrak Indonesia amat urgen agar dibenahi. Kedua, aturan main tentang upah minimum. Siapa yang berwewenang menentukan upah minimum? Apakah masih Dewan Pengupahan dengan unsur tripartit (pemerintah, pengusaha, sarikat pekerja) atau cukup bipartit (pengusaha dan serikat pekerja)? Ini penting karena perusahaan sering bilang baiklah saya patuhi UMK/P, tapi kalau besok pagi perusahaan saya tutup karena tidak mampu memenuhi ketentuan UMK/P, apakah mau?. Apakah upah minimum hanya berlaku untuk pekerja sektor formal ataukah juga untuk sektor informal? Seberapa sering terjadi kenaikan upah minimum? Ketiga, aturan main tentang PHK dan pesangon. Perlu diperhitungkan dengan seksama sampai tingkat berapa pesangon cukup kompetitif di Asia? Sebagai pembanding, di Jepang besarnya pesangon hanya 1,5 bulan gaji, Malaysia 2,4 bulan, 3 bulan untuk China, dan 2 bulan di India dan Korea. Besarnya pesangon selama ini menimbulkan disinsentif bagi perusahaan untuk menarik pekerja baru. Sayangnya dalam pembahasan draft revisi UU tersebut dirasa masih bersifat elitis, teknokratis, dan kurang transparan. Menko Perekonomian mengatakan kita sekarang masih mendengarkan masukan dari banyak pakar. Kita juga mengkaji pengalaman di Vietnam, China, dan sebagainya (Kompas, 6/4/2006). Nampaknya di masa depan, perlu lebih banyak stakeholders, terutama asosiasi buruh dan asosiasi bisnis, yang perlu dilibatkan dalam pembahasan draft revisi UU. Sosialisasi dan diskusi publik tentang draft revisi UU perlu dintensifkan. Ajakan Wapres agar semua pipik duduk bersama dan berdialog perlu direalisasikan.

* Mudrajad Kuncoro, Ph.D adalah Koordinator Ahli Bidang Ekonomi Regional, Pusat Studi Ekonomi & Kebijakan Publik UGM; http://www.mudrajad.com

Anda mungkin juga menyukai