Anda di halaman 1dari 19

25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hutan Tanaman Industri Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang -Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut UndangUndang tersebut, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Dari defenisi hutan tersebut, terdapat unsur-unsur yang meliputi: a. b. c. Suatu kesatuan ekosistem Berupa hamparan lahan Berisi sumberdaya alam hayati beserta alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. d. Mampu memberi manfaat secara lestari. Lebih lanjut Zain (1996), menyatakan bahwa keempat ciri pokok di atas dimiliki suatu wilayah yang dinamakan hutan, merupakan rangkaian kesatuan komponen yang utuh dan saling ketergantungan terhadap fungsi ekosistem di bumi. Eksistensi hutan sebagai subekosistem global menempatkan posisi penting sebagai paru-paru dunia. Sumberdaya hutan mempunyai peran penting dalam penyediaan bahan baku industri, sumber pendapatan, menciptakan lapangan dan kesempatan kerja. Hutan

Universitas Sumatera Utara

26

merupakan hasil komoditi yang dapat diubah menjadi hasil olahan dalam upaya mendapat nilai tambah serta membuka peluang kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. Upaya pengolahan hasil hutan tersebut tidak boleh mengakibatkan rusaknya hutan sebagai sumber bahan baku industri. Untuk menjaga keseimbangan antara kemampuan penyediaan bahan baku dengan industri pengolahannya, maka diperlukan pengaturan (regulasi), pembinaan dan pengawasan. Pemanfaatan hutan tidak terbatas hanya produksi kayu dan hasil hutan non kayu, tetapi juga hasil hutan lainnya seperti plasma nuftah, jasa lingkungan, sehingga manfaat hutan lebih optimal. Hutan tanaman industri secara umum diartikan masyarakat sebagai hutan yang dikelola dengan menanam tumbuh-tumbuhan tertentu untuk kepentingan industri, keadaan ini menyebabkan tanaman pada hutan tanaman industri selalu tanaman sejenis (monokultur) dan merupakan tanaman yang sangat dibutuhkan oleh industri pemilik hutan tanaman industri (Arifin, 2001). Ngadiono (1984), menjelaskan bahwa pembangunan Hutan Tanaman Industri bertujuan untuk menanggulangi masalah seperti: (a) Menurunnya kondisi kelestarian sumberdaya hutan khususnya hutan produksi; (b) Menciutnya hutan produksi akibat kebutuhan lahan hutan oleh sektor lain makin tinggi; (c) Kekurangan bahan baku akibat semakin berkembangnya industri; serta (d) Kenaikan total kebutuhan hasil hutan, akibat pertumbuhan penduduk. Sementara menurut Departemen Kehutanan (2009), tujuan pembangunan Hutan Tanaman Industri adalah meningkatkan produktifitas hutan/lahan dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku industri perkayuan dan penyediaan lapangan usaha (pertumbuhan ekonomi/pro-growth),

Universitas Sumatera Utara

27

penyediaan lapangan kerja (pro-job) terutama tenaga kerja yang tidak terampil (labor intensive), pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar hutan/lahan (pro-poor),

perbaikan kualitas lingkungan hidup (pro-enviroment) dan juga membuka isolasi daerah-daerah pedalaman yang sangat diperlukan dalam pembangunan ekonomi indonesia. Menurut Manan (1991), bahwa dalam mencapai tujuan pembangunan Hutan Tanaman Industri terdapat berbagai tantangan yang dihadapi, antara lain penentuan tujuan pengembangan hutan tanaman, pemilihan lokasi, pemilihan tanaman yang sesuai, pengadaan sejumlah tenaga profesional maupun pekerja di lapangan, perlindungan tanaman terhadap bahaya kebakaran, serangan hama dan penyakit serta penggembalaan liar, dan dibutuhkannya berbagai jenis penelitian kehutanan. Keterlibatan masyarakat dalam pengembangan hutan tanaman industri sangat tergantung dari sistem dan model yang dikembangkan antara masyarakat dengan pengusaha industri yang secara umum selalu difasilitasi oleh pemerintah daerah (Soetrisno, 1995). Soedjarwo dalam Notohadiningrat (2006), menyatakan bahwa HTI

dikembangkan di lahan hutan alami yang kurang produktif (hutan belukar, bekas penebangan hutan alami berproduktivitas rendah, bekas perladangan dan padang alang-alang). Tidak ada angka pasti berapa luas keseluruhan lahan-lahan tersebut. Juga tidak ada juga catatan apakah lahan-lahan itu akan digunakan seluruhnya untuk HTI ataukah sebagaian. Lebih lanjut Atmawijaya (1986), menjelaskan bahwa HTI dikelola dengan silvikultur intensif, ditanam secara monokultur, dan dipanen secara

Universitas Sumatera Utara

28

tebang habis. Sedangkan tingkat intensifikasi diukur menurut jumlah kegiatan dan uang yang ditanam dalam tiap satuan luas atau dalam tiap satuan hasil. Kegiatan mencakup pemeliharaan jenis (pengadaan sumber benih), pengaturan jarak tanam, pemangkasan, penjarangan dan lama rotasi. Pengelolaan tanah dan perlindungan tanaman tidak tersebut sebagai bahan hakiki silvikultur intensif. Pada akhir tahun 1980-an industri pulp dan kertas mulai berkembang. Perkembangan ini dipercepat oleh subsudi pemerintah yang besar. Pada tahun 1988 hingga 2001 produksi pulp meningkat sepuluh kali lipat dari 606.000 kg menjadi 6, 1 juta ton/tahun, dan tahun 2008 menjadi 4.784.733 ton, (Departemen Kehutanan, 2010). Sementara produksi kertas tahun 1988 sebesar 2,1 juta ton meningkat tujuh kali lipat pada tahun 2001 yaitu menjadi 8,3 juta ton (Scotland, 1999). Pembangunan HTI menurut Kartodiharjo dan Supriono (2000), dilaksanakan baik secara mandiri, maupun dikaitkan dengan hak pengusahaan hutan (HPH) yang sudah ada. Pembangunan HTI yang dilaksanakan secara mandiri dapat berupa HTI Pulp dan HTI Perkakas/Pertukangan. Sedangkan pembangunan HTI yang dikaitkan dengan HPH biasanya menanam kayu perkakas/pertukangan.

2.2. Pengelolaan Hutan Tanaman Industri Minat investor masih sangat besar untuk menanamkan modalnya di bisnis HTI, terbukti selama tahun 2008, Departemen Kehutanan telah mengeluarkan 23 izin baru untuk perusahaan HTI dengan nilai investasi mencapai Rp 35,311 triliun. Tentu saja, mereka akan menanamkan modalnya sesuai dengan masa konsesi yang diberikan

Universitas Sumatera Utara

29

pemerintah. Tak tanggung-tanggung, seluruh perusahaan ini dapat menampung pekerja sebanyak 193.551 orang. (http ://www. kontan.co.id /Nasional/.htm). Labay (2009), menyatakan bahwa untuk terwujudnya industri pulp yang berbasis pada hutan tanaman industri perlu dilakukan beberapa strategi, yaitu

pengembangan produktivitas hutan tanaman industri, pengembangan produktivitas industri pulp serta pengembangan kawasan sentra produksi hutan tanaman industri. Selain itu juga perlu dilakukan penguatan daya saing industri pulp dengan penciptaan produksi bersih dan bersertifikat ekolabel, disertai dengan pemberdayaan masyarakat. Namun hal yang tidak kalah penting adalah pencegahan kebakaran hutan dan lahan dengan pengawasan dan pengendalian yang ketat. Menurut Tarumingken (2005), berkembangnya teknologi pulp dan kertas menyebabkan permasalahan jenis bahan baku kayu tidak menjadi permasalahan pokok. Permasalahan jenis kayu kebanyakan berkaitan dengan kecocokan jenis kayu terhadap tanah tempat tumbuh dan lingkungan (tanah, iklim, pH tanah, kadar air, dll), lamanya daur (cutting cycle) dan besarnya riap (mean annual increment) dari jenis-jenis kayu yang ditanaman. Masyarakat Jepara mengelola hutan dengan tanaman utama adalah pohon jati, sedangkan di daerah Bogor karena masyarakatnya merupakan pengrajin bambu, maka mereka mengelola tanaman industri dengan tanaman utama bambu. Hal ini berbeda dengan daerah Riau dengan indsutri pulp dan rayon, perusahaan RAPP mengelola industri dengan Tanaman Eucalyptus spp. Sementara Damanik (2003), menjelaskan bahwa PT.TPL Tbk bersama-sama dengan rakyat dengan sistem plasma membentuk hutan tanaman indsutri dengan

Universitas Sumatera Utara

30

tanaman utama jenis Eucalyptus spp, sebagai bahan baku utama pabrik penghasil pulp yang dikelolanya. Tanaman Eucalyptus spp termasuk ke dalam divisi Spermathopyta, sub divisi Angiospermae, kelas Dikotiledon, ordo Myrtales, dan famili Myrtaceae. Tanaman ini umumnya berupa pohon kecil hingga besar dengan tinggi 60-87 M. Batang Utamanya berbentuk lurus, dengan diameter hingga 200 cm. Daun dewasa berseling, kadang-kadang berhadapan dengan buah berbentuk kapsul, kering dan berdingding tipis. Marga Eucalyptus terdiri dari 500 jenis yang kebanyakan endemik di Australia, hanya 2 jenis yang tersebar di wilayah Malanesia. Kayu Eucalyptus digunakan untuk kusen pintu dan jendela, kayu lapis, bahan pembungkus, korek api, pulp, dan kayu bakar. Daun dan cabang dari beberapa jenis Eucalyptus,spp dapat menghasilkan minyak yang merupakan produk penting untuk farmasi, parfum, sabun, ditergen, disinfektan dan pestisida, dan ada beberapa jenis yang bunganya menghasilkan serbuk sari dan nektar yang cocok untuk budidaya madu (Sutisna, dkk, 1998). Pada awalnya menurut Damanik (2003), Tanaman Eucalyptus spp menuai kritikan, karena dibeberapa lokasi HTI milik perusahaan PT. TPL Tbk banyak ditemukan tanaman usia 6-7 tahun yang kurus-kurus, bengkok-bengkok, namun ada juga yang besar. Atas kritikan ini Damanik menjelaskan ketika pihaknya mulai menanam Eucalyptus spp di areal HTI pada periode 1987-1990. Hal ini dilakukan dengan prinsip coba-coba yaitu dengan menanam biji tanpa mengenal asal-usul genetik tanaman.

Universitas Sumatera Utara

31

Pemeliharaan tanaman HTI yang monokultur adalah mirip dengan pemeliharaan pohon/tanaman perkebunan. Setelah ditanam, tegakan mungkin memerlukan tindakan penjarangan (thinning) agar pertumbuhan volume dapat maksimum. Permasalahan yang biasanya muncul pada hutan tanaman adalah ancaman hama dan penyakit, kebakaran. Untuk mengatasi ancaman hama dan penyakit perlu dikembangkan pengendalian manajemen terpadu dengan mengintegrasikan semua kegiatan yang dapat menekan munculnya hama/penyakit seperti pemilihan jenis kayu yang cocok dengan tempat tumbuh, penggunaan bibit unggul yang tahan hama/penyakit dan pemeliharaan tegakan. 2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterlibatan Plasma dalam Program HTI Pola PIR a. Lahan Milik Plasma Modal alami (sumber daya alam) yang dimiliki plasma dan menjadi alasan utama keikutsertaan plasma dalam program HTI Pola PIR adalah lahan kosong yang luas. Lahan kosong yang dimiliki petani plasma ini sepenuhnya merupakan lahan kering yang pada awalnya hanya ditumbuhi semak atau alang-alang. Status kepemilikan lahan plasma dalam pembangunan Hutan Tanaman Industri dengan Pola PIR adalah tetap milik perorangan/adat/marga yang bersangkutan dan tidak ada pemindahan/pengalihan hak milik lahan kepada perusahaan inti (Darwo, dkk 2004). Menurut Soekartawi (1990), ukuran lahan pertanian sering dinyatakan dengan hektar. Tetapi bagi petani-petani di pedesaan seringkali masih menggunakan ukuran

Universitas Sumatera Utara

32

tradisional, misalnya, bata, jengkal, patok, bahu, dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi peneliti atau orang yang melakukan penelitian harus mengerti akan ukuranukuran tradisonal tersebut, supaya dapat mengkonversi ke satuan hektar. Luasnya lahan yang dimiliki oleh petani plasma menyebabkan banyak lahanlahan kosong yang tidak dapat dimanfaatkan karena pemilik lahan pada umumnya tidak mempunyai modal yang cukup untuk mengelolanya. Kondisi lahan yang kosong menyebabkan status lahan menjadi tidak jelas dan sangat riskan terhadap klaim kepemilikan dari orang lain. b. Dukungan Pemerintah Pemerintah mulai menyadari bahwa pengelolaan hutan tanpa melibatkan masyarakat sekitar hutan tidak akan mencapai kondisi yang kondusif bagi keberhasilan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan. Untuk itulah pemerintah membuat kebijakan mengenai Pembinaan Desa Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Pelaksana PMDH tidak saja perusahaan pemegang HPH, tetapi juga perusahaan pemegang HPHTI. Sejak tahun 1995 tugas ini sudah menjadi kewajiban dalam arti luas harus dilaksanakan oleh pemegang HPH/HPHTI dan menjadi syarat untuk kelangsungan usaha HPH/HPHTI. Menurut Sarjono,dkk (2000) sasaran PMDH adalah: 1. Peningkatan pendapatan, tumbuhnya ekonomi masyarakat pedesaan yang berwawasan lingkungan. 2. Penyediaan sarana dan prasarana sosial ekonomi, serta

Universitas Sumatera Utara

33

3.

Meningkatkan kesadaran dan perilaku positif dalam pemanfaatan sumber daya alam. Salah satu wujud PMDH adalah kerjasama dalam bentuk PIR dengan

masyarakat sekitar areal konsensi.

Kelompok masyarakat yang menjadi sasaran

kegiatan HTI Pola PIR dalam hal ini adalah masyarakat desa hutan, yaitu kelompok masyarakat setempat, terutama masyarakat tradisional, baik yang berada di dalam hutan maupun di sekitar hutan. Aktor penting dalam menentukan keberhasilan HTI Pola PIR adalah pemerintah (termasuk instansi terkait didalamnya). Pemerintah daerah adalah sebagai penguasa daerah yang memiliki otonomi terbesar dalam pembangunan desa dan pembinaan masyarakat. Pemerintah akan menjadi fasilitator dalam program HTI Pola PIR

kepada masyarakat serta berperan dalam menetapkan ketentuan-ketentuan yang akan dijalankan oleh perusahaan dan plasma. Realisasi penanaman HTI Pola PIR sangat dipengaruhi oleh partisipasi dari masyarakat. Menurut Soetrisno (1995) partisipasi masyarakat dalam pengembangan Hutan Tanaman Industri sangat tergantung dari sistem dan model yang dikembangkan antara masyarakat dengan pengusaha industri yang secara umum selalu difasilitasi oleh pemerintah. Keberadaan kegiatan HTI Pola PIR sebagai salah satu kegiatan pembangunan tidak akan diketahui oleh masyarakat tanpa adanya penyuluhan/sosialisasi mengenai kegiatan tersebut. Menurut Slamet (2001), tercapainya suatu tujuan pembangunan nasional harus didukung oleh kesiapan mental dan intelektual serta kiprah seluruh

Universitas Sumatera Utara

34

anggota masyarakat untuk berpartisipasi aktif secara berkualitas. Kualitas partisipasi masyarakat, diantaranya diwujudkan melalui kegiatan penyuluhan pembangunan. Penyuluhan/sosialisasi dilaksanakan perusahaan bersama-sama dengan pemerintah daerah. c. Keuntungan Program Menurut Darwo, dkk (2004), Hutan Tanaman Industri Pola PIR adalah suatu pelaksanaan pembangunan Hutan Tanaman Industri dengan menggunakan kawasan hutan sebagai inti dan lahan masyarakat baik lahan milik/lahan adat atau marga sebagai plasma. Hubungan antara inti dengan plasma adalah berdasarkan prinsip yang saling menguntungkan. Beberapa elemen kunci kesuksesan kemitraan menurut Mitchell, dkk (2000) diantaranya adalah kecocokan antar peserta, keuntungan untuk semua peserta, seimbangnya perwalian dan kekuasaan, mekanisme komunikasi, integritas dan lainlain. Kecocokan antar peserta didasarkan atas penghargaan dan kepercayaan. Kemitraan yang langgeng akan sulit didapatkan jika tidak ada keuntungan nyata untuk semua peserta. Salah satu keuntungan program adalah adanya jaminan perusahaan untuk membeli produksi (kayu), sehingga plasma tidak perlu kwatir akan pemasaran hasil dari HTI Pola PIR miliknya. Kayu hasil HTI akan dijual kepada perusahaan inti dan plasma mendapat uang hasil penjualan kayu tersebut.

Universitas Sumatera Utara

35

Sardjono (2004), menjelaskan bahwa interaksi sosial yang terjadi di masyarakat desa sekitar hutan dengan pengusaha hutan seringkali menjurus pada situasi disosiatif (merugikan) yang berjalan secara bertahap melalui proses kompetisi dan konflik. Perkembangan interaksi sosial ini selanjutnya berujung pada rasa ketidakadilan serta ketidakamanan. Kondisi ini akan bergeser kearah kerjasama (cooperation) bilamana masyarakat melihat adanya keuntungan yang didapat dari pengusaha hutan. Program HTI Pola PIR akan meningkatkan pendapatan plasma melalui produksi yang akan dijual dengan harga yang sudah disepakati sebelumnya. Menurut Bungi (2003), bahwa produksi Hutan Tanaman Industri dapat dinyatakan dalam satuan berat berupa ton atau kilogram, atau dalam bentuk nilai uang tergantung data yang tersedia. Produksi Hutan Tanaman Industri sangat tergantung dari beberapa aspek yang saling berkaitan satu dengan yang lain, secara umum struktur tanah tidaklah jauh berbeda. Namun, kegiatan perawatan/pemeliharaan akan memegang peranan penting dalam menentukan jumlah produksi dari Hutan Tanaman Industri tersebut.

d.

Upah Pelaksanaan Pada dasarnya untuk lahan plasma, seluruh kegiatan pembuatan tanaman

(penyediaan bibit, penyiapan lapangan, penanaman, pupuk, bimbingan teknis, upah kerja ) dan pemeliharaan serta pemanenan, dibiayai oleh perusahaan inti (Darwo, dkk, 2004). Hal ini dirasakan menjadi sangat penting mengingat umumnya masyarakat sekitar hutan adalah kaum termajinalkan, tidak memiliki modal untuk mengelola lahan mereka.

Universitas Sumatera Utara

36

Selain itu pihak perusahaan memberikan peluang sebesar-besarnya kepada plasma untuk terlibat dalam pelaksanaan dilapangan dengan mendapat upah/biaya sesuai ketentuan. Dengan demikian Program PIR PT TPL, Tbk selain dapat meningkatkan pendapatan plasma juga mendorong terciptanya lapangan kerja (projob) terutama tenaga kerja yang tidak terampil (labor intensive).

2.4. Pengembangan Wilayah Wibowo R dan Soetriono (2004), mengemukakan bahwa wilayah (region) adalah suatu unit geografi yang membentuk suatu kesatuan. Suatu bagian/daerah dapat disebutkan sebagai wilayah harus memiliki unsur-unsur ruang, sumberdaya dan pelaksana administratif/pemerintah. Mulyanto (2008) menyatakan bahwa pengembangan wilayah adalah seluruh tindakan yang dilakukan dalam rangka memanfaatkan potensi-potensi wilayah yang ada, untuk mendapatkan kondisi-kondisi dan tatanan kehidupan yang lebih baik bagi kepentingan masyarakat sekitarnya (khususnya), dan dalam skala nasional (umumnya). Sedangkan menurut Sirojuzilam (2006), pengembangan wilayah pada dasarnya mempunyai arti peningkatan manfaat wilayah bagi masyarakat suatu wilayah tertentu, mampu menampung lebih banyak penghuni, dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik, disamping menunjukkan lebih banyak

sarana/prasarana, barang atau jasa yang tersedia dan kegiatan usaha-usaha masyarakat yang meningkat, baik dalam arti jenis, intensitas, pelayanan maupun kualitasnya.

Universitas Sumatera Utara

37

Proses terjadinya pertumbuhan wilayah dipengaruhi berbagai faktor baik bersifat internal (dari dalam wilayah yang bersangkutan), bersifat eksternal (dari luar wilayah) maupun kombinasinya. Dalam model ekonomi makro disebutkan bahwa faktor internal antara lain modal, tenaga kerja, tanah (sumberdaya alam) dan sistem sosial politik. Sedangkan industri ekspor dan kenaikan permintaan adalah faktor penentu pertumbuhan wilayah yang bersifat ekstern (Glasson, 1977). Sementara Bauchet dalam Adisasmita (2008) menjelaskan bahwa pertumbuhan wilayah-wilayah yang kurang maju tergantung pada kegiatan dari unit-unit ekonomi yang besar. Industri-industri besar akan mampu meletakkan dasar pertumbuhan bagi wilayahwilayahnya. Pada akhirnya, keberhasilan pengembangan suatu wilayah bergantung pula pada kemampuan mengkoordinasikan, mengakomodasikan dan memfasilitasi semua kepentingan, serta kreativitas yang inovatif untuk terlaksananya pembangunan yang aspiratif dan berkelanjutan. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu negara atau masyarakat untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan peningkatan taraf hidup masyarakatnya. Pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu negara meningkat dalam jangka panjang. Pembangunan ekonomi mempunyai 3 (tiga) sifat penting, yaitu : (1) Suatu proses yang berarti perubahan yang terjadi terus-menerus. (2) Usaha untuk menaikkan pendapatan per kapita. (3) Kenaikan pendapatan per kapita itu harus berlangsung dalam jangka panjang.

Universitas Sumatera Utara

38

Selanjutnya, pembangunan ekonomi dipandang sebagai kenaikan dalam pendapatan per kapita, karena kenaikan itu merupakan penerimaan masyarakat dan timbulnya perbaikan dalam kesejahteraan ekonomi masyarakat (Arsyad,1992). Salah satu teori yang mengemukakan pentingnya faktor pendorong

pertumbuhan wilayah adalah teori basis ekspor (export base). Teori ini menyebutkan bahwa pertumbuhan wilayah bergantung pada permintaan yang datang dari luar wilayah tersebut. Lebih lanjut Perloff dan Wingo dalam Sirojuzilam (2006), mengemukakan teori resource base yang mengatakan bahwa investasi dan perkembangan ekspor di suatu wilayah memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi karena selain menghasilkan pendapatan, juga menciptakan efek penggandaan (multiplier effect) pada keseluruhan perekonomian di wilayah tersebut Tujuan utama pengembangan wilayah menurut Riyadi (2002) adalah meningkatkan keserasian berbagai kegiatan/sektor pembangunan dan wilayah sehingga pemanfaatan ruang dan sumberdaya yang ada di dalamnya dapat mendukung aktifitas kehidupan masyarakat sesuai dengan tujuan dan sasaran pembangunan wilayah yang diharapkan. Lebih lanjut Tarigan (2004) menjelaskan bahwa pembangunan wilayah dapat diukur dari beberapa parameter antara lain meningkatnya pendapatan masyarakat, peningkatan lapangan kerja dan pemerataan pendapatan.

Universitas Sumatera Utara

39

2.5. Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat sekitar Hutan Peraturan Menteri No.P.01/Menhut-II/2004 mengamanatkan bahwa harus dilaksanakan social forestry untuk mewujudkan kelestarian sumberdaya hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan. Lebih lanjut Ariyanto (2003), menjelaskan bahwa perhutanan sosial secara mendasar ditujukan untuk peningkatan produktivitas, pemerataan dan kelestarian dalam pembangunan sumberdaya hutan dan sumberdaya alam melalui partisipasi aktif masyarakat. Perhutanan sosial ini kemudian berkembang lebih lanjut dan menjadi prioritas atau target sukses Departemen Kehutanan 2004 -2009 yang salah satu diantaranya adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Untuk mendukung kebijakan tersebut akan dilakukan kegiatan pokok seperti (a) Mendorong pengembangan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan; (b) Peningkatan iklim usaha kecil dan menengah serta akses masyarakat kepada hutan; (c) Memberikan jaminan akan ketersediaan bahan baku untuk UKM kehutanan; (d) Melanjutkan upaya pengembangan pemberdayaan ekonomi masyarakat (Dephut, 2005). Menurut Pattiwel (2006), bahwa dari 220 juta jiwa penduduk Indonesia kurang lebih 48,8 juta diantaranya tinggal disekitar kawasan hutan dan sekitar 10,2 juta jiwa diantaranya tergolong dalam kategori miskin. Penduduk tersebut sebagian besar bermata pencaharian langsung dari hutan yang ada disekitarnya. Lebih lanjut Hubeis (2004), menggambarkan kemiskinan yang dialami masyarakat sekitar hutan seperti

Universitas Sumatera Utara

40

ketiadaan rumah, tidak ada akses untuk berobat, tidak dapat bersekolah, tidak tahu baca-tulis, tidak punya pekerjaan , kuatir tentang masa depan dan hidupnya hanya untuk hari ini. Muchtar (2006), dalam laporannya menyatakan bahwa masyarakat miskin yang tinggal disekitar kawasan hutan relatif tidak mendapat perhatian dari pemerintah, dibanding masyarakat miskin yang berdomisili di kota dan desa, serta masyarakat miskin nelayan.

2.6. Penelitian Terdahulu Penelitian Agusril (1994), dengan judul Studi Evaluasi Aspek Sosial Ekonomi dan Psikologis Masyarakat Transmigran Peserta Program-HTI Trans studi kasus di PT. Kiani Hutani Lestari Kalimantan Timur. Metode yang digunakan adalah analisis kuantitatif dengan statistik non parametrik Korelasi Peringkat Spearmen, Uji Chisquare dan Uji t-student. Salah satu hasil dari penelitian ini adalah perbedaan pendapatan transmigrasi peserta program HTI-trans (setelah mengikuti) adalah sangat nyata. Sementara Masjud (1995), dalam penelitiannya yang berjudul Keadaan Tingkat Erosi dan Aliran Permukaan serta Tingkat Pendapatan HTI-Trans di HTI Musi Hutan Persada Propinsi Sumatera Selatan, menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan nyata antara pendapatan transmigran yang bekerja di HTI dengan pendapatan transmigran yang tidak bekerja di HTI.

Universitas Sumatera Utara

41

Penelitian Marco Taruli Panggabean (2006), dengan judul Analisis Pengaruh Proyek Plasma Hutan Tanaman Industri PT TPL terhadap Pendapatan Petani Peserta di Humbang Hasundutan. Metode yang digunakan adalah analisis kuantitatif dengan Multiple Regresi Linier, menyimpulkan bahwa terdapat peningkatan pendapatan masyarakat peserta plasma berkisar antara Rp. 2.718.750,- hingga Rp.9.062.500 setiap tahunnya.

2.7. Kerangka Berpikir Kebutuhan bahan baku kayu semakin meningkat seiring dengan pesatnya perkembangan industri pulp, menyebabkan hutan alam semakin habis. Untuk memenuhi bahan baku kayu tersebut, maka dilaksanakan program Hutan Tanaman Industri pada kawasan hutan produksi. Namun realisasi penanaman masih jauh dari luasan yang telah ditargetkan. Setiap perusahaan yang bergerak dibidang pengelolaan hutan dan hasil hutan diwajibkan untuk memberdayakan masyarakat sekitar hutan. Dipihak lain, banyak masyarakat memiliki lahan kosong yang belum dikelola karena tidak memiliki modal. Oleh sebab itu, PT Toba Pulp Lestari Tbk melaksanakan program pembuatan Hutan Tanaman Industri Pola PIR, dimana PT Toba Pulp Lestari Tbk sebagai bapak angkat dan petani pemilik lahan sebagai petani plasma. Luas HTI Pola PIR dipengaruhi oleh luas lahan milik petani plasma, persepsi petani plasma terhadap dukungan pemerintah, keuntungan yang diperoleh petani plasma dan upah yang diterima petani plasma.

Universitas Sumatera Utara

42

Program pengembangan HTI Pola PIR yang dilaksanakan oleh PT TPL Tbk akan berdampak terhadap pengembangan wilayah yang dalam hal ini mampu meningkatkan pendapatan petani plasma melalui penjualan produksi HTI Pola PIR dan upah/jasa yang didapat dari pelaksanaan lapangan (persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan), menciptakan lapangan kerja dan pembangunan insfrastruktur berupa pembukaan jalan menuju lokasi HTI Pola PIR. berpikir tersebut dijelaskan dalam Gambar 2.1 di balik. Kerangka

PT. TPL, Tbk

Petani Plasma

Hutan Tanaman Industri Pola PIR

- Luas Lahan milik petani plasma - Persepsi petani plasma terhadap dukungan Pemerintah - Keuntungan yang diperoleh petani plasma - Upah yang diterima petani plasma

Pendapatan

Penyerapan Tenaga Kerja

Insfratruktur

Pengembangan Wilayah Gambar 2.1. Bagan Kerangka Pemikiran

Universitas Sumatera Utara

43

2.8. Hipotesis Berdasarkan perumusan masalah maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: a. Adanya pengaruh luas lahan milik petani plasma, persepsi petani plasma terhadap dukungan pemerintah, keuntungan yang diperoleh petani plasma dan upah yang diterima petani plasma terhadap luas HTI Pola PIR PT. TPL Tbk. b. Hutan Tanaman Industri Pola PIR PT. TPL Tbk memiliki dampak terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Toba Samosir.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai