Anda di halaman 1dari 2

Efek Radiobiologis pada sel Langerhans Meskipun sel Langerhans relatif radioresisten, dalam suatu penelitian, sinar dosis

tunggal 20 Gy pada tikus ternyata mengurangi jumlah sel Langerhans lebih dari 80% dalam 10 hari; repopulasi lengkap setelah 30 hari kemudian. Irradiasi di tulang belakang memperlambat repopulasi selama 3 minggu. Efek radiasi pada tikus muda dapat mempercepat hilangnya sel Langerhans pada kulit ketika dia dewasa., mungkin karena fibrosis dermis dan berkurangnya aliran darah atau kehilangan stem sel sewaktu irradiasi. Hilangnya sel Langerhans dan fungsi immunologisnya dapat berperan dalam mengurangi kemampuan dalam mengembangkan hipersensitifitas kontak pada sisi yang terpapar dan dapat meningkatkan tumorigenesis postradiasi sebagai akibat dari gangguan imunitas. Reaksi Radiasi Jangka Panjang Berbagai perubahan dapat tejadi pada daerah yang terpapar irradiasi dalam hitungan bulan sampai tahun setelah radioterapi, seperti depigmentasi yang sering berhubungan dengan atrofi, teleangiektasis, hiperpigmentasi, skar, fibrosis, dan keratosis radiasi. Perubahan perubahan tersebut disebut dengan radiodermatitis kronis. (gb. 95-2, 95-3, dan 95-4). Keseluruhan kelainan dari radiodermatitis kronis tersebut disebut poikiloderma. Setelah paparan dosis tinggi, jaringan rusak, nekrosis, melekat erat dengan jaringan di bawahnya (gb. 95-5). Beberapa lesi hampir sangat halus. Setelah beberapa tahun, karsinoma sel skuamosa dapat muncul di lesi tersebut (gb. 95-5B). Dosis sinar yang dapat memperparah radiodermatitis lebih kecil dari dosis sinar untuk radioterapi tumor ganas, kecuali beberapa limfoma ganas. The Radiation Therapy Oncologi Group bekerjasama dengan Europan Organization of Research and Treatment of Cancer, telah mengembangkan sistem penilaian LENT (Late Effect Normal Tissue) (SOMA) , yang dapat digunakan untuk mendokumentasikan subyektif, obyektif, manajemen, dan informasi analitik (lihat table 95-1). Dalam konteks ini, late berarti lebih dari 90 hari setelah onset radiasi. Empat kriteria SOMA dideskripsikan sebagai berikut: Subyektif: Persepsi dan permasalahan yang dilaporkan oleh pasien, misalnya nyeri dan gatal. Obyektif: ditegakkan oleh pemeriksa melalui pemeriksaan fisik. Manajemen: mengukur efek samping pengobatan maupun bedah.

Analitik: Defisit potensial yang hanya dapat diukur dengan metode yang lebih teliti, misalnya computer tomography. Gambar 95-2. Radiodermatitis kronik setelah radiasi X-ray pada hemangioma kutaneus. 2 dekade kemudian: terdapat poikiloderma yang terdiri dari atrofi, hipopigmentasi, dan teleangiektasis multipel. 95-3. Radiodermatitis kronis. Keadaan poikiloderma ini terdiri dari hipopigmentasi dan teleangiektasis multipel yang disebabkan oleh terapi elektron pada limfoma T sel. 95-4. Radiodermatitis kronis. Terdapat poikiloderma (coklat: hiperpigmentasi, putih: hipopigmentasi, dan merah: teleangiektasis) disertai dengan atrofi dan sklerosis. Tidak ada rambut. Perubahan kulit masif ini disebabkan karena overdosis terapi radiasi pada pasien anak dengan infeksi jamur pada kulit kepala. Dia berpotensi menderita karsinoma sel skuamosa di kemudian hari. 95-5. Radiodermatitis kronis. A. Dengan nekrosis sentral berwarna coklat kekuningan, daan melekat erat. Pengambilan dengan pembedahan dapat meninggalkan ulkus yang dalam. Lesi ini sangat nyeri. B. Sebuah ulkus yang lebar dan dalam di daerah yang atrofi, fibrosis, poikiloderma, dan teleangiektasis pada dinding dada. Ini terjadi setelah 20 tahun setelah radikal mastektomi, diseksi limfonodi aksiler, dan radioterapi. Ulserasi disebabkan karena radionekrosis. Saat ini tepi ulkus meninggi. Disini karsinoma sel skuamosa muncul.

Anda mungkin juga menyukai