Anda di halaman 1dari 6

POLITIK DAN PERPECAHAN UMAT ISLAM: LATAR BELAKANG SEJARAH

Fikri Mahmud

Sejarah dan Politik

Hampir semua sejarah bangsa-bangsa yang ditulis di muka bumi ini men ceritakan tentang raja-raja atau pemimpin yang berkuasa. Dalam kesusasteraan ba hasa Arab, misalnya, Ibnu Jarir At-Tabari (wafat th. 310 H) menamakan karya besa rnya dalam bidang sejarah dengan Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah rasul-rasu l dan raja-raja). Jalaluddin Al-Suyuti (wafat th. 911 H) menulis buku khusus ten tang khalifah-khalifah umat Islam dengan nama Tarikh al-Khulafa' (Sejarah khalif ah-khalifah). Ada yang mengatakan bahwa sejarah Nabi yang kita kenal dengan isti lah Sirah Nabawiyyah pada mulanya ditulis dalam gaya cerita-cerita Parsi. Kata s irah itu digunapakai untuk menamakan kumpulan cerita mengenai tentang raja-raja Parsi. [1]

Dalam kesusasteraan bahasa Melayu, terdapat buku Sulalat al-Salatin yang kalau kita terjemahkan secara harfiah membawa maksud keturunan atau salsilah ra ja-raja (Sulalat artinya: garis keturunan, salsilah, dan anak cucu. Salatin be ntuk jamak dari Sultan- bermakna: raja-raja). Buku itu kini dinamakan dengan Sej arah Melayu, The Malay Annals.

Bila kita menyalin nama buku-buku sejarah yang ditulis oleh bangsa lain, maka ce ritanya akan menjadi panjang. Tetapi pada umumnya buku-buku tersebut memuatkan k isah-kisah mengenai raja-raja dan kebijaksanaan politik yang mereka ambil. Maka tidaklah menghairankan sekiranya ada yang berkata: Sejarah adalah catatan tentan g politik masa lalu, sedangkan politik masa kini akan menjadi sejarah di masa ha dapan. Dan para pemimpin negara, reka bentuk politik yang menentukan corak perja lanan pemerintahan disebut orang dengan pelaku sejarah.

Masyarakat kita telah terbiasa menggunakan istilah Sejarah Islam untuk menyebut cerita-cerita tentang kerajaan-kerajaan yang dibangunkan oleh masyarakat Islam d i masa lalu, dan kerajaan yang dibangunkan oleh umat Islam itu disebut Kerajaan Islam. Sebenarnya penggunaan kedua-dua istilah tersebut adalah kurang tepat . I ni adalah kerana : Islam merupakan agama yang diwahyukan oleh Allah swt. kepada Rasulullah saw. yang telah sempurna sejak Rasul wafat, sedangkan kerajaan-keraja an tersebut merupakan hasil daripada usaha manusia yang memiliki banyak kekurang an. Islam merupakan kebenaran yang mutlak, sedangkan kerajaan-kerajaan yang diba ngunkan oleh umat Islam itu tidak selalunya benar. Islam dijamin oleh Allah swt. sehingga Hari Kiamat, sedangkan kerajaan-kerajaan tersebut tegak dan runtuh sil ih berganti. Jadi istilah yang lebih tepat adalah Sejarah Umat Islam dan Kerajaa

n Umat Islam.

Perpecahan Umat Islam

Jika sejarah adalah cerita tentang politik di masa lalu sebagaimana yang telah d ijelaskan di atas sekiranya kalau pandangan tersebut kita terima maka sejarah um at Islam adalah sejarah perpecahan. Mungkin terasa agak keterlaluan jika dikatak an sedemikian. Tetapi, masalah politik merupakan sumber perpecahan umat Islam ya ng terbesar, sehingga Al-Syahrastani (wafat th. 548 H) dalam bukunya Al-Milal wa al-Nihal mengatakan: wa azhamu khilafin bayna al-ummah khilafu al-immah, iz ma sulla sayfun fi al-Islam ala qaidah diniyyah misla ma sulla ala al-immah fi kull i zaman. ( Dan perselisihan terbesar di antara umat adalah perselisihan mengenai imamah (kepemimpinan), kerana tidak pernah pedang dihunus dalam Islam dengan al asan agama sebagaimana (sesering) dihunus karena imamah pada setiap zaman). [2]

Masalah imamah adalah masalah politik, masalah menentukan siapa yang akan memimp in umat. Walaupun sebenarnya perselisihan mengenai imamah itu sudah bermula seja k Rasulullah s.a.w. wafat, terutama antara golongan Muhajirin dan golongan Ansha r, tetapi ianya dapat diselesaikan dengan damai, iaitu dengan mengangkat Abu Ba kar menjadi khalifah. Sejak terbunuhnya Usman bin Affan (tahun 35 H) sehingga ke hari ini umat Islam tidak lagi memiliki pemimpin yang diakui oleh semua pihak. Setiap kelompok mempunyai pemimpinnya tersendiri dan tidak mengakui pemimpin dar i kelompok lain. Terbunuhnya Usman itu sendiri sebenarnya disebabkan oleh masala h politik juga. Kelompok pemberontak yang tidak senang dengan para gabenor yang diangkat oleh Usman dan kebijaksanaannya menuntut agar khalifah ketiga itu mele takkan jawatan, tetapi Usman enggan melakukannya. Keengganan Usman melakukan tun tutan kelompok tersebut membuat mereka marah dan akhirnya Usman terbunuh di ruma h ketika sedang membaca Al-Qur`an. [3]

Kematian Usman menjadi titik tolak bagi perpecahan umat Islam. Al-Baghdadi (wafa t th. 429 H) dalam bukunya Al-Farq bayna al-Firaq mengatakan: Tsumma ikhtalafu b ada qatlihi fi qotilihi wa khozilihi ikhtilafan baqiyan ila yawmina hadza . (Kem udian mereka (para shahabat) berselisih setelah terbunuhnya (Usman) dalam masala h orang-orang yang telah membunuhnya dan orang-orang yang membiarkannya terbunuh , perselisihan yang kekal (berbekas) sampai hari (zaman)kita ini). [4]

Perang saudara pun mulai bersemangat. Perang pertama yang terjadi adalah perang unta (perang jamal) tahun 36H. Antara kelompok yang dipimpin oleh Aisyah r.a, i steri Rasul saw, yang menuntut bela atas kematian Usman, dengan kelompok Ali bi n Abi Talib yang diangkat menjadi khalifah sesudah Usman. Kelompok pemberontak s etelah membunuh Usman bergabung dengan Ali, itulah sebabnya kelompok Aisyah dan kelompok Muawiyah bin Abi Sufyan menuntut agar Ali menegakkan hukum terhadap mer eka. Tetapi Ali tidak dapat melaksanakan tuntutan itu. Hal ini menyebabkan krisi s politik yang berpanjangan.

Masalah politik merupakan punca yang disebut dengan al-Fitnah al-Kubra (bencana besar) di kalangan umat Islam. Umat Islam berpecah kepada tiga kelompok:

Pertama: kelompok Ali, kedua: kelompok Muawiyah, dan ketiga: kelompok moderat/ne utral yang tidak memihak kepada salah satu dari dua kelompok tersebut. Dua kelo mpok pertama memiliki pengikut yang banyak, sedangkan kelompok moderat kerana ti dak ikut campur dalam masalah politik maka jumlahnya tidak diketahui, tetapi kel ompok ini merupakan majoriti umat, di antara para sahabat yang bergabung di dala m kelompok moderat ini adalah: Abdullah bin Umar (Ibnu Umar), Saad bin Malik, Sa ad bin Abi Waqqas, Muhammad bin Maslamah, Usamah bin Zaid, dan lain-lain. [5]

Pertentangan antara kelompok Muawiyah dan Ali semakin meruncing dan membawa kepa da terjadinya perang Siffin. Setelah kelompok Muawiyah hampir kalah, mereka meng ajak untuk bertahkim (arbitrate) bagi menyelesaikan konflik yang terjadi. Perund ingan (tahkim) dilaksanakan di Daumatul Jandal pada bulan Ramadhan tahun 37 H. K elompok Muawiyah diwakili oleh Amru bin Ash (wafat th.43 H) dan kelompok Ali diw akili oleh Abu Musa Al-Asy'ari (wafat th. 44 H). Kedua-duanya bertindak sebagai hakim dari kelompok masing-masing . Perundingan antara kedua belah pihak tidak berjalan dengan jujur. Amru membuat tipuan terhadap Abu Musa dengan mengatakan b ahawa konflik yang terjadi adalah disebabkan oleh dua orang, iaitu Ali dan Muawi yah, maka untuk menciptakan perdamaian kedua orang itu harus dipecat dan kemudia n diserahkan kepada umat Islam untuk memilih khalifah baru. Tipuan itu berhasil. Amru memberikan kesempatan pertama kepada Abu Musa untuk naik mimbar; Abu Musa mengumumkan pemecatan Ali. Sesudah itu Amru naik mimbar pula, ia menerima pemeca tan Ali dan kerana Ali sudah dipecat khalifah tinggal seorang sahaja lagi, iaitu Muawiyahia menetapkan Muawiyah sebagai khalifah umat Islam seluruhnya. Tentu sa ja kelompok Ali tidak puas hati.

Perundingan tersebut bukan saja tidak menyelesaikan konflik, tetapi malah menimb ulkan kelompok baru. Kelompok Ali terpecah menjadi dua; Pertama, yang tetap seti a kepadanya (belakang hari disebut syiah); Kedua, yang memberontak, keluar dari kelompok Ali dan berbalik menjadi musuhnya, karena tidak puas dengan keputusan A li untuk mengikuti perundingan diatas (kelompok ini disebut Khawarij). Kelompok ini pada mulanya memaksa Ali untuk ikut bertahkim, tetapi setelah Ali menerima t ahkim mereka menolaknya; Mereka memakai semboyan La hukma illa lillah (Tidak ada hukum (keputusan) melainkan bagi Allah semata). [6]

Kini kelompok yang bertikai dalam masalah politik menjadi tiga; kelompok Muawiya h, kelompok Ali dan kelompok Khawarij. Kelompok terakhir ini mengkafirkan kelomp ok Pertama dan Kedua, mereka menghalalkan darah orang Islam yang tidak sependapa t dengan mereka. Mereka memerangi kelompok Pertama dan Kedua, mereka mengirim ut usan rahsia untuk membunuh Ali, Muawiyah dan Amru bin Ash. Muawiyah dan Amru sel amat dari pembunuhan, sedangkan Ali terbunuh di tangan Abdul Rahman bin Muljam p ada tahun 40 H.

Kematian Ali membuat pengikutnya kesedihan. Hasan, Putra Ali pertama, diangkat m enjadi khalifah menggantikan ayahnya. Hasan melihat bahwa pertentangan politik i ni hanya akan merugikan umat Islam secara keseluruhan. Oleh karena itu dia menga dakan perdamaian dengan Muawiyah, untuk menjaga agar darah kaum Muslimin tidak t ertumpah lebih banyak lagi. Hasan meletakkan jawatan pada tahun 41 H dan menyera hkan kekuasaan kepada Muawiyah. Hasan meminta agar Muawiyah menyerahkan urusan k hilafah kepada kaum Muslimin bila ia meninggal nanti. Hasan juga meminta agar ke lompok Muawiyah berhenti menghina Ali di dalam khutbah-khutbahnya.[7] Gerakan pe rdamaian ini disokong oleh masyarakat Islam, sehingga tahun itu disebut sebagai Tahun Persatuan ('am al-Jama'ah). Tetapi perjanjian tersebut tidak ditepati kem

udiannya. Hasan meninggal di Madinah kerana terkena racun pada tahun 50 H. Kelom pok Syiah menabalkan Husein, putra Ali kedua, menjadi khalifah.

Sebelum Muawiyah meninggal (tahun 60 H) ia menabalkan putranya Yazid sebagai put ra Mahkota untuk menggantikannya. Hal itu membuatkan bukan saja kelompok Syiah m arah tetapi juga seluruh kaum Muslimin; kerana jelas melanggar perjanjian damai yang telah dipersetujui dengan Hasan tempo hari. Namun begitu, kaum Muslimin ti dak dapat berbuat apa-apa, kerana Muawiyah memerintah dengan kuku besi. Di zaman Yazid (memerintah tahun 60 s/d 64 H) permusuhan kelompok Umawi terhadap Syiah s emakin menjadi-jadi. Kelompok Syiah diperangi habis-habisan. Husein terbunuh di Karbala (10 Muharram th. 61 H) dalam pertempuran yang tidak seimbang. Kepalanya dipenggal dan dibawa ke hadapan Yazid sebagai persembahan. Bani Umayah tampil me njadi kekuatan yang tidak dapat ditandingi.

Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah

Penguasa demi penguasa di kalangan Bani Umayah terus berganti, tetapi pertentang an di antara kedua kelompok tadi tidak juga reda. Ali dan pengikutnya terus dihi na di setiap mimbar. Kelompok Syiah membalas dan menghina Kelompok Bani Umayah. Sementara itu kelompok Khawarij tetap melaksanakan kegiatan mereka. Di masa peme rintahan Abdul Malik bin Marwan (khalifah kelima Bani Umayah, memerintah tahun 6 5 s/d 86 H) usaha untuk membina persatuan di buat semula. Abdul Malik walaupun m enghadapi berbagai pemberontakan, dia berusaha mempersatukan umat Islam yang sud ah berpecah belah kepada berbagai kelompok dan puak, khususnya setelah Abdullah bin Zubeir (khalifah tandingan di Mekah) terbunuh pada tahun 73 H. Dia menggunak an slogan Nahnu Jama'ah Wahidah Tahta Rayah Dinillah (kita semua adalah satu jam aah dibawah naungan bendera agama Allah). Abdul Malik juga mengadakan konsep tar bi', iaitu dengan menyebut nama empat khalifah:Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali di dalam khutbah-khutbah. Konsep ini merupakan kaedah untuk mempersatukan umat Isl am juga. Sebelum ini kelompok Umawi hanya mengakui Abu Bakar, Umar, Usman dan Mu awiyah, tetapi mereka tidak mengakui Ali. Manakala Kelompok Khawarij hanya menga kui Abu Bakar, Umar; sedangkan kelompok Syiah hanya mengakui Ali saja dengan ala san masing-masing. Setiap kelompok menghina kelompok lain di mimbar-mimbar dan m endoakan keselamatan bagi pemimpin mereka. Kelompok Umawi merelakan nama Muawiya h tidak disebut dalam tarbi itu, sebagai pengorbanan dari mereka demi persatuan umat.

Untuk memperkuatkan usaha persatuan tersebut, maka seluruh umat Islam diseru aga r menjadikan Rasul s.a.w sebagai satu rujukan yang unggul. Kerana Rasul s.a.w s udah wafat, maka sunnah beliaulah yang mesti dijadikan sebagai rujukan. Abdul Ma lik mendapat sokongan dari masyarakat Islam. Di antara tokoh kelompok Moderat y ang masih hidup dan menyokong Abdul Malik adalah Ibnu Umar (wafat th. 74 H). Uma t Islam yang menyokong persatuan ini disebut Ahlu Al-Jama'ah Wa al-Sunnah, kemud ian ada proses pembalikan sering dibaca oleh sebahagian kaum muslimin sehingga menjadi Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah. [8]

Jadi, baik konsep tarbi' yang sampai hari ini sering dibaca oleh sebahagian kaum muslimin --demikian juga dengan mendo'akan pemimpin yang berkuasa-- pada khutba h-khutbah Jumaat, mahupun istilah Ahlus Sunnah Wal Jamaah, sebenarnya lahir dar i proses sejarah yang bertujuan untuk mempersatukan umat yang sudah berpecah bel

ah. Oleh kerana itu, sering kita terjumpa bahawa kelompok Ahlus Sunnah Wal Jama ah sentiasa berusaha untuk mempertemukan aliran pemikiran berbagai kelompok yan g saling bertentangan.

Tetapi usaha untuk mempersatukan umat itu tidaklah berhasil sebagaimana yang dih arapkan, persaingan antara kelompok tetap juga berjalan. Kelompok Syiah, misalny a, tetap tidak dapat bergabung dalam persatuan itu; sebab menurut keyakinan mere ka hak untuk memegang jawatan khalifah hanyalah untuk Ali dan keturunannya. Kera na jamaah tadi merupakan inisiatif dari kelompok Umawi yang sememangnya adalah m usuh politik mereka, itulah sebabnya kelompok Syiah sampai hari ini tetap tidak bersimpati kepada kaum Muslimin dari golongan Ahlussunnah Wal-Jamaah. Mereka me nganggap Ahlussunnah Wal-Jamaah hanyalah penyokong dan merupakan tali barut dari kelompok Umawi. Tanpaknya dendam kelompok syi'ah terhadap kelompok umawi tidak kesampaian, kerana mereka sudah punah ditelan zaman; jadi golongan Ahlus-Sunnah Wal-jama'ahlah yang menerima padahnya.

Belajar dari Sejarah

Masalah politik telah menyebabkan umat Islam berpecah-belah dalam berbagai kelo mpok dan puak-puak. Perpecahan politik juga terpengaruh kepada perselisihan di d alam bidang Akidah, Syariah, dan tidak ketinggalan juga kepada perkembangan Hadi th, Tafsir, Tasawuf, dan sebagainya. Sejauh mana pengaruhnya terhadap bidang-bid ang tersebut akan kita bahas pada kesempatan lain. Tetapi sebelum menutup tulisa n ini, saya ingin menegaskan bahwa perpecahan politik umat Islam di Malaysia ini , sehingga sebahagian menghina yang lain di mimbar-mimbar bahkan ada yang mengka firkan sesama Muslim, sebenarnya hanyalah proses pengulangan sejarah yang tidak perlu dilakukan.

Umat Islam di negara ini perlu menyedari bahwa pertengkaran itu hina. Perbezaan organisasi politik dan keagamaan hendaklah tidak dijadikan untuk saling menghina dan memusuhi, tetapi dimanfaatkan sebagai sarana untuk berlumba-lumba bagi memb uat kebajikan demi kemajuan umat dan negara (Q.S.2:148). Apa yang akan dilihat o leh Allah swt bukanlah organisasi yang kita miliki, tetapi adalah aktiviti (amal ) yang kita lakukan (Q.S.9:105). Rasul bersabda: Sebaik-baik manusia adalah oran g yang memberi manfaat bagi orang lain. Tentangan yang akan dihadapi di masa had apan sangatlah berat. Kerana itu persatuan dan kerjasama (amal jamai) perlu diwu judkan. Persatuan yang dimaksudkan tidak bererti membubarkan organisasi-organisa si yang sudah ada, tetapi mesti ada perancangan bersama yang akan dilakukan oleh semua pihak dan setiap kelompok berusaha mewujudkannya untuk kemajuan umat. Ole h kerana itu perlu ada dialog (musyawarah) antara golongan untuk membicarakan ag enda bersama tadi.

Kerana pertikaian politik di kalangan umat Islam negara ini a harus ada kelompok Moderat yang mempunyai inisiatif untuk rsebut. Kelompok Moderat ini hendaknya dipelopori oleh para organisasi. Ini adalah disebabkan masa depan bangsa berada a hari ini. Wallahu alam.

sudah meruncing, mak mengadakan dialog te pemuda dari berbagai di tangan para pemud

Nota Kaki:

[1] M. Dawam Rahardjo(1989), Sepatah Kata Tentang Sejarah Muhammad, Pengantar un tuk H. Fuad Hashem, Sirah Muhammad Rasulullah Suatu Penafsiran Baru, Bandung: Mi zan, hal. 13.

[2] Al-Imam Abu Al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim Al-Syahrastani (t.th.), Al-Mil al Wa Al-Nihal, j.1, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah), hal.13.

[3] Al-Imam Muhammad Abu Zahrah (1996), Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, hal. 26-29; Abu Bakar al-Arabi (1418), al-Awasim Min Al-Q awasim, Riyadh: Wazarah al-Syuun al-Islamiyyah, hal. 61 dst.; Ahmad Muhammad A hmad Jilli (1988), Dirasah An al-Firaq Fi Tarikh al-Muslimin: al-Khawarij Wa alSyiah, Riyadh: King Faisal Centre For Research and Islamic Studies, hal. 30-45; Mustafa Muhammad Asy Syakah (1994), Islam Tidak Bermazhab, A.M. Basalamah (terj. ), Jakarta: Gema Insani Press, hal. 101; Syed Ameer Ali (1967), Api Islam, H.B. Jassin (terj.), Jakarta: P.T. Pembangunan, hal. 158-160; Al-Syahrastani (t.th.) , op.cit, hal.15-16.

[4] Al-Imam Abdul Qadir bin Tahir bin Muhammad Al-Baghdadi (1997), al-Farq Bayn Al-Firaq, Beirut: Dar al-Marifah, hal. 24.

[5] Al-Syahrastani (t.th.), op. cit., hal 136-137.

[6] Abu Zahrah (1996), op. cit., hal. 58; Ahmad Jilli (1988), op.cit., hal 48; A l-Syahrastani (t.th), op. cit., hal. 106; Asy Syakah (1994), op. cit., hal 103; Ali Abd al-Fattah al-Maghribi (1995), al-Firaq al-Kalamiyyah al-Islamiyyah, Kair o: Maktabah Wahbah, hal. 170; Ameer Ali (1967), op. cit., hal 162.

[7] Muawiyah dan Penguasa Bani Umayah sesudahnya selalu mencaci Ali di Akhir khu tbah-khutbah mereka, sehingga Ummu Salamah, isteri Rasul saw.,berkirim surat kep ada Mu'awiyah agar memberhentikan perbuatan jelek tersebut. Tetapi surat itu ti dak dihiraukan. Di masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz, beliau melara ng dan menghentikan tradisi buruk seperti itu. Lihat Abu Zahrah (1996), op. cit. , hal 34.

[8] Nurcholis Madjid , Aktualisasi Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, dlm M.Dawam Ra hardjo (1989), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M, hal. 67. Menur ut Ameer Ali, Istilah Ahlus Sunnah Wal Jamaah pertama kali dipergunakan pada mas a pemerintahan Mansur dan Harun, khalifah Abbasiah. Lihat Ameer Ali (1967), op. cit., hal 178

Anda mungkin juga menyukai