Anda di halaman 1dari 21

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Konsumsi susu di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan, walaupun konsumsi perkapita di Indonesia masih dapat dikatakan rendah dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam, atau Thailand. Hal ini antara lain karena produk tersebut relatif tidak mudah untuk mendapatkannya, selain jumlahnya terbatas, juga kontinuitas ketersediaannya kurang terjamin. Terbukti, pemerintah masih melakukan import bahan pembuat susu, walaupun beberapa daerah di Indonesia sudah melakukan pasokan kebutuhan susu, namun kondisi ini belum mampu memenuhi kebutuhan konsumen susu dalam negeri (Nurdin, 2001). Air susu merupakan bahan makanan yang istimewa bagi manusia karena kelezatan dan komposisinya yang ideal. Selain air susu mengandung semua zat yang dibutuhkan tubuh, semua zat makanan yang terkandung di dalam air susu dapat diserap oleh darah dan dimanfaatkan oleh tubuh. Air susu yang banyak dikenal di pasaran adalah air susu sapi. Sebenarnya air susu kambing dan kerbau tidak kalah nilai gizinya dibandingkan dengan air susu sapi. Hanya karena faktor kebiasaan dan ketersediaannya maka air susu sapi lebih menonjol di pasaran. Susu adalah bahan makanan yang mudah rusak karena kandungan airnya yang tinggi, disamping itu susu juga hampir mengandung semua zat-zat makanan yang dibutuhkan tubuh manusia seperti lemak, protein, karbohidrat, vitamin, mineral, dan lain-lain (Nurdin, 2001). Susu selain baik bagi

manusia juga merupakan media pertumbuhan yang sangat baik bagi bakteri dan dapat menjadi sarana potensial bagi penyebaran bakteri patogen sepanjang penanganannya tidak

memperhatikan kebersihan. Di samping itu, susu sangat mudah sekali menjadi rusak karena susu merupakan bahan organik. Pencemaran pada susu terjadi sejak proses pemerahan, dapat berasal dari berbagai sumber seperti kulit sapi, ambing, air, tanah, debu, manusia, peralatan, dan udara. Air susu yang masih di dalam kelenjar susu dapat dikatakan steril. Setelah keluar dari ambing dapat terjadi kontaminasi, hal tersebut dapat terjadi dari mana-mana yaitu dari ambing sapi, tubuh sapi, debu di udara, peralatan yang kotor, dan manusia yang melakukan pemerahan (Dwidjoseputro,1989:166-167 dalam Isnaeny, 2009).

Mikroorganisme yang berkembang di dalam susu selain menyebabkan susu menjadi rusak juga membahayakan kesehatan masyarakat sebagai konsumen akhir. Di samping itu, penanganan susu yang tidak benar juga dapat menyebabkan daya simpan susu menjadi singkat, harga jual murah yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi pendapatan peternak sebagai produsen susu. Kerusakan pada susu disebabkan oleh terbentuknya asam laktat sebagai hasil fermentasi laktosa oleh koli. Fermentasi oleh bakteri ini akan menyebabkan aroma susu menjadi berubah dan tidak disukai konsumen. Untuk meminimalkan kontaminasi oleh mikroorganisme dan menghambat pertumbuhan bakteri pada susu agar dapat disimpan lebih lama maka penanganan sesudah pemerahan hendaknya menjadi perhatian utama peternak (Saleh, 2004). Pada susu yang telah dipanaskan kontaminasi bakteri masih bisa terjadi karena adanya kontaminasi silang dari peralatan dan air pencuci. Kelompok bakteri Koliform digunakan sebagai indikator sanitasi penanganan susu, jika bakteri Koliform mengkontaminasi susu maupun jumlah bahan pangan yang relatif besar akan menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia sehingga Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun 2000 telah menetapkan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam susu segar dan susu pasteurisasi, untuk total bakteri pada susu segar 1 x 106 CFU per ml dan untuk susu pasteurisasi kurang dari 3 x 104 CFU per ml. Untuk total bakteri Koliform pada susu segar 2 x 101 CFU per ml dan pada susu pasteurisasi < 0,1 x 101 CFU per ml. Susu yang dikonsumsi dapat menjadi sumber penularan penyakit apabila telah tercemar oleh mikroba dan tidak dikelola secara higienis. Banyak dijumpai cemaran mikroba patogen pada susu. Mikroba yang sudah teridentifikasi dan sering mencemari susu antara lain Staphylococcus aureus, Salmonella sp., dan Campylobacter sp. (Djafar dkk, 2005 dalam Isnaeny 2009). Bakteri yang paling banyak menyusun flora normal air susu tergolong ke dalam famili Lactobacillaceae dan Streptococcaceae (Volk and Wheeler, 1990: 273 dalam Isnaeny, 2009). Salah satu spesies bakteri yang diteliti secara luas ialah Escherechia coli yang tergolong bakteri Koliform. Bakteri ini merupakan penghuni normal dalam saluran pencernaan manusia dan hewan, maka digunakan secara luas sebagai indikator pencemaran (Pelczar, 2007:169 dalam Isnaeny, 2009). Koliform mengakibatkan adanya kerusakan yang tidak diinginkan sehingga susu tidak layak untuk dikonsumsi. Untuk mencegah adanya kerusakan dan adanya bakteri patogen pada susu diperlukan suatu penanganan lebih lanjut. Penanganan ini diharapkan dapat memberi daya
2

tahan yang lebih lama terhadap susu dan menjamin keamanan susu agar layak untuk dikonsumsi. Salah satu bentuk penanganan susu adalah dengan cara pemanasan (pasteurisasi). Pemanasan pada susu merupakan proses pengolahan yang relatif sederhana baik dari segi peralatan yang digunakan maupun cara pengerjaannya. Penelitian mengenai bakteri dalam susu pernah juga dilakukan oleh Marlina, ET ; Ellin Harla dan Yuli Astuti (2005) dalam jurnalnya yang berjudul Evaluasi Jumlah Bakteri dan Kelompok Coliform pada Susu Sapi Perah di TPS Cimanggung Tandangsari. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut terletak pada objek penelitian. Penelitian Marlina dan kawan-kawan menggunakan susu segar saja, sedangkan penelitian ini selain menggunakan susu segar juga menggunakan susu pasteurisasi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa rata-rata jumlah coliform susu sapi perah dari semua peternak yang diteliti berkisar antara 7,080 13,567 CFU per ml. setiap sampel susu perah dari peternak yang diteliti masih memenuhi syarat SNI tahun 200 yaitu 2 x 101 CFU per ml. grup coliform yang terdeteksi pada susu sapi perah adalah grup coliform fekal, gram negatif, dan bentuk batang. Disamping itu Fatma Yuny Isnaeny (2009) juga pernah melakukan penelitian tentang susu sapi yang berjudul Total Bakteri Dan Bakteri Coliform Pada Susu Segar Dan Susu Pasteurisasi Hasil Peternakan Sapi Perah yang dilakukan di CV Lembah Hijau Multifarm (LHM), Solo. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut terletak pada jenis pemeriksaan yang dilakukan pada sampel. Penelitian Fatma Yuni Isnaeny melakukan pemeriksaan Total Plate Count dan Most Probably Number, tetapi penelitian ini hanya melakukan pemeriksaan Most Probably Number (MPN) saja. Sehubungan dengan semakin banyaknya peredaran susu segar atau susu mentah siap konsumsi di masyarakat yang tidak diketahui tingkat higienitasnya dan dapat membahayakan kesehatan masyarakat karena kualitas pengolahan yang masih relatif rendah, maka akan dilaksanakan penelitian yang berjudul PERBEDAAN NILAI MPN SUSU SAPI SEGAR DENGAN SUSU SAPI PASTEURISASI PADA PETERNAKAN SAPI PERAH DI DAERAH KUBU, KABUPATEN BANGLI.

B. RUMUSAN MASALAH : Dari uraian diatas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : Adakah perbedaan nilai MPN antara susu sapi segar dengan susu sapi pasteurisasi ?

C. TUJUAN PENELITIAN : Tujuan umum : Untuk mengetahui perbedaan nilai MPN pada susu sapi segar dan susu sapi pasteurisasi pada peternakan sapi perah daerah Kubu, Bangli

Tujuan Khusus : 1. Untuk mengetahui nilai MPN pada susu sapi segar dan susu sapi pasteurisasi pada peternakan sapi perah daerah Kubu, Kabupaten Bangli 2. Untuk membandingkan kualitas mikrobiologis antara susu sapi perah dan susu pasteurisasi pada peternakan sapi perah daerah Kubu, Kabupaten Bangli

D. MANFAAT PENELITIAN : 1. Manfaat praktis : a. Sebagai informasi kepada masyarakat khususnya masyarakat Bali tentang tingkat keamanan konsumsi susu sapi b. Menambah kesadaran akan pentingnya pengawasan terhadap pegolahan susu sapi di Bali 2. Manfaat teoritis : Untuk pengembangan IPTEK yang dapat digunakan sebagai pengetahuan terhadap kualitas bakteriologis berdasarkan nilai Most Probably Number (MPN) pada susu sapi segar dan susu sapi pasteurisasi serta sebagai acuan pada peneliti selanjutnya untuk mendalami tentang kualitas bakteriologis pada susu sapi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. SUSU SEGAR Susu dapat diartikan sebagai hasil sekresi kelenjar susu mamalia yang merupakan cairan komplek dan mengandung komponen zat nutrisi untuk makanan hewan muda (Walstra dan Janes,1994 dalam Setiawan dkk, 2010), tidak dikurangi atau tidak ditambahkan apapun dan diperoleh dengan pemerahan sapi-sapi sehat secara kontinu (Rassang dan Nasution, dalam Setiawan, 2010). Susu merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki zat gizi yang hampir lengkap berupa protein, laktosa, lemak, garam mineral, dan vitamin yang sangat cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan sel tubuh anak-anak dan mamalia lainnya. Susu adalah suatu sekresi yang komposisinya sangat berbeda dari komposisi darah yang merupakan asal susu. Misalnya lemak susu, casein, laktose yang disintesa oleh alveoli dalam ambing, tidak terdapat di tempat lain manapun dalam tubuh sapi. Sejumlah besar darah harus mengalir melalui alveoli dalam pembuatan susu yaitu sekitar 50 kg darah dibutuhkan untuk menghasilkan 30 liter susu. Menurut Eniza Saleh (2004), penanganan susu segar sangat diperlukan untuk memperlambat penurunan kualitas susu atau memperpanjang masa simpan susu. Di dalam penanganan air susu dituntut keterampilan dalam hal : a. Penanganan kandang dan kamar air susu Jangan biarkan air susu terlalu lama di daerah kandang pemerahan, dan jangan simpan air susu pada ruang atau kamar air susu yang berbau atau baru di cat b. Pengaturan ransum sapi yang sedang laktasi Hendaknya makan yang diberikan kepada sapi sedang berlaktasi jangan berbau, oleh karena bau dari makanan akan diserap air susu melalui peredaran darah c. Teknis pemerahan Baik tukang perah maupun alat-alat perah misalnya ember, bus, saringan hendaknya bebas dari kuman. Untuk alat-alat perah dicuci dengan disinfektan, kemudian dibilas dengan air sebersih mungkin dan dijemur. Perlakuan terhadap ambing mendapat perhatian khusus. Ambing berfungsi sebagai mesin memproduksi air susu. Bila terjadi kelainan maka produksi dapat terganggu.
5

d. Pasca panen Pasca panen diartikan sebagai perawatan atau penanganan air susu setelah diperah hingga air susu dikonsumsi oleh konsumen. Hal ini meliputi processing, storage, pachage, transportasi, dan pemasaran. Setiap fase penanganan diatas dengan mudah mengalami penurunan mutu dan jumlah.

Selain itu perlu juga diperhatikan penanganan air susu sesudah pemerahan yaitu : 1. Air susu hasil pemerahan harus segera dikeluarkan dari kandang untuk menjaga jangan sampai susu tersebut berbau sapi atau kandang 2. Air susu tersebut disaring dengan saringan yang terbuat dari kapas atau kain putih dan bersih, susu tersebut disaring langsung dalam milk can. Segera setelah selesai penyaringan milk can tersebut ditutup rapat. Kain penyaring harus dicuci bersih dan digodok kemudian dijemur. Bila kain penyaring tersebut hendak dipakai kembali sebaiknya disetrika terlebih dahulu 3. Tanpa menghiraukan banyaknya kuman yang telah ada, air susu perlu didinginkan secepat mungkin sesudah pemerahan dan penyaringan sekurang-kurangnya pada suhu 4oC - 7oC selama 2 atau 3 jam. Hal ini dilakukan untuk mencegah berkembangnya kuman yang terdapat di dalam air susu. Bila tidak mempunyai alat pendingin maka pendinginan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan balok es, dalam hal ini milk can yang telah berisi susu dimasukkan ke dalam bak yang berisi es balok dan ditutup rapat. Jika peternakan tidak memiliki alat pendingin, susu harus dibawa ke cooling unit atau KUD yang mempunyai alat pendingin dalam waktu tidak lebih dari 2,5 jam sesudah pemerahan. Bila tidak dapat ditempuh dalam 2,5 jam maka dianjurkan untuk menambah H2O2 (Hidrogen Peroksida) dalam kepekatan 35% sebanyak 2 cc untuk setiap liter air susu. Dengan perlakuan demikian air susu dapat tahan selama 24 jam di daerah tropis. Tanpa perlakuan penanganan, susu tidak dapat disimpan lebih dari 12 jam. Berdasarkan uji reduktase, penambahan H2O2 0,06%, air susu dapat disimpan selama 48 jam, sedangkan berdasarkan uji alkohol, susu dapat disimpan selama 24 jam. Susu masak dan susu kukus dapat disimpan selama 24 jam berdasarkan uji reduktase dan 12 jam berdasarkan uji alkohol ( Ernawati, et al., 1986 dalam Eniza Saleh, 2004).

Ernawati (1991) dalam Eniza Saleh, 2004 menyatakan hasil penelitiannya tentang pengaruh tata laksanaan pemerahan terhadap kualitas susu kambing, sebagai berikut : tata laksana pemerahan yang baik akan mengahasilkan susu dengan jumlah mikroorganisme yang lebih sedikit (3,86%) dibandingkan dengan tata laksana yang kurang baik. Selain itu dikatakan bahwa tata laksana pemerahan tidak berpengaruh terhadap komposisi, keasaman, dan pH susu kambing.

Menurut Ellyza Nurdin (2001), kandungan bakteri akan semakin meningkat apabila kebersihan lingkungan saat pemerahan tidak diperhatikan. Lingkungan pemerahan yang tidak bersih, akan menjadi sumber pencemaran terhadap air susu. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan pencemaran bakteri ke dalam air susu sehingga menyebabkan kualitas awal air susu menjadi rendah antara lain : 1. Sapi tidak dimandikan pada saat diperah 2. Personal yang tidak hygiene 3. Peralatan (milk can, ember, saringan susu, gelas ukur, dll.) yang digunakan tidak bersih 4. Kamar susu, kandang yang kotor dan sebagainya Secara alami, susu mengandung mikroorganisme kurang dari 5 x 103 per ml jika diperah secara benar dan berasal dari sapi yang sehat (Jay, 1996 dalam Setiawan 2010). Tetapi karena pengaruh lingkungan dan teknik pemerahan yang kurang baik dapat meningkatkan jumlah mikroba dan tingkat pencemaran dalam susu tersebut. Berdasarkan Standar baku mutu SNI 016366-2000, kadar mikrobiologis terhadap susu digolongkan sebagai berikut : batas cemaran mikroba pada susu segar adalah Total Plate Count (TPC) < 3 x 104 cfu/ml, Koliform < 1 x 101 cfu/ml, Staphylococcus aureus 1 x 101 cfu/ml, Salmonella negative, Eschericia coli negatif dan Streptococcus grup B negatif. Untuk Koliform pada susu segar 2 x 101 MPN/gr dan kandungan koliform susu pasteurisasi <0,1 X 101 MPN/gr (Isnaeny, 2009). Air susu yang masih di dalam kelenjar susu dapat dikatakan steril. Menurut Ellyza Nurdin (2001), terjadinya kontaminasi bakteri dapat dimulai ketika susu diperah dari puting sapi. Lubang putting susu memiliki diameter kecil yang memungkinkan bakteri tumbuh di sekitarnya. Bakteri ini ikut terbawa dengan susu ketika diperah. Meskipun demikian, aplikasi teknologi dapat mengurangi tingkat pencemaran dalam tahap ini dengan penggunaan mesin pemerah susu (milking machine) sehingga susu yang keluar dari puting tidak kontak dengan udara. Pencemaran susu oleh
7

mikroorganisme lebih lanjut dapat terjadi selama pemerahan (milking), penanganan (handling), penyimpanan (storage), dan aktivitas pra-pengolahan (pre-processing) lainnya. Setelah keluar dari ambing dapat terjadi kontaminasi, kontaminasi dapat terjadi dari manamana yaitu dari ambing sapi, tubuh sapi, debu dari udara, peralatan yang kotor, dan manusia yang melakukan pemerahan (Dwijoseputro, 1989 dalam Setiawan 2010). Disamping itu, bila susu perah lembu atau sapi menderita beberapa penyakit, jasad renik yang sampai kepada masyarakat dijalarkan oleh susu. Penyakit yang disebut mastitis adalah kelainan yang sering terjadi akibat ambing lembu atau sapi. Setelah susu diperah sebaiknya didinginkan sampai dibawah suhu 50o F untuk mencegah pencemar yang memperbanyak diri (Saksono, 1986) B. SUSU PASTEURISASI Pasteurisasi panas pada susu perlu dilakukan untuk mencegah penularan penyakit dan mencegah kerusakan karena mikroorganisme dan enzim, dapat dilakukan pada suhu rendah nisbi pada waktu lebih lama atau dengan suhu nisbi tinggi untuk waktu yang lebih cepat (Saksono, 1986). Kondisi pasteurisasi dimaksudkan untuk memberikan perlindungan maksimum terhadap penyakit yang dibawa oleh susu dengan mengurangi seminim mungkin kehilangan zat gizinya dan sementara itu mempertahankan semaksimal mungkin rupa dan cita rasa susu mentah segar. Bila dilaksanakan dengan tepat, pasteurisasi dapat menghancurkan semua organisme patogen. Beberapa cara pasteurisasi dengan panas telah dikembangkan dimana dua cara umum dikenal adalah holding method dan high temperature short time (HTST). Dalam holder method sejumlah besar susu dipanaskan seluruhnya sampai suhu tertentu selama suatu jangka waktu tertentu. Waktu dan suhu yang biasa digunakan adalah tiga puluh menit pada suhu 65oC. Suhu diatas 66oC menyebabkan timbulnya flavor suhu masak dan kemungkinan rusaknya lapisan tipis di sekitar butiran lemak sehingga mengurangi kecenderungan susu tersebut untuk membentuk lapisan krim. Dalam metode HTST, susu ditahan selama 15 16 detik pada suhu 71,7oC dan 75oC dengan menggunakan alat pemanas berbentuk lempengan (plate type heatexchanger), suatu sistem dimana pengawasan suhu harus dijaga sebaik mungkin. Pasteurisasi dengan cara menambahkan hidrogen peroksida telah digunakan di beberapa negara, meskipun hal tersebut dilarang di negara-negara seperti Australia, Amerika Serikat, dan Inggris karena adanya teknik pasteurisasi dengan panas. Dalam penggunaan hidrogen peroksida, kira-kira 0,03 0,04 % hidrogen peroksida ditambahkan pada susu segar sesudah pemerahan. Penambahan selanjutnya
8

diperlukan sesudah 12 20 jam karena enzim katalase di dalam susu dapat menghancurkan hidrogen peroksida tersebut. Akhir-akhir ini suatu proses pasteurisasi baru, yang disebut Ultra High Temperature (UHT) telah dikembangkan. Susu dipanaskan sampai 125oC selama 15 detik atau 131oC selama 0,5 detik. Pemanasan dilakukan di bawah tekanan tinggi untuk menghasilkan perputaran (turbulence) dan mencegah terjadinya pembakaran susu pada lempeng-lempeng alat pemanasan. Susu yang dihasilkan boleh dikatakan steril dan bila dikemas secara aseptic dapat disimpan pada suhu kamar biasa selama beberapa bulan. Susu yang melalui proses UHT akan memiliki masa kadarluasa yang labih panjang dibandingkan dengan proses pasteurisasi. Susu dengan proses UHT akan steril karena bakteri pembusuk, patogen, dan berspora akan mati sehingga susu aman dikonsumsi (Suwito, 2009). Disamping itu terdapat pula teknik lain dalam pengolahan susu yaitu penambahan bakteriosin. Bakteriosin merupakan anti mikroba yang digunakan untuk menonaktifkan mikroba. Pengendalian bakteri patogen dapat dilakukan dengan kombinasi antara bakteriosin yang dihasilkan bakteri asam laktat dan suhu tinggi. Teknik ini sudah banyak diterapkan pada industri keju di Spanyol (Arques et al, 2005 dalam Suwito, 2009). Nisin dan bakteriosin merupakan antimikroba yang dihasilkan oleh Lactococcus lactis subsp. lactis yang dapat menekan B. cereus dalam susu. Nisin merupakan antimikroba alami yang sudah lama digunakan untuk mengendalikan bakteri pembusuk dalam proses pasterurisasi susu sehingga sel vegetatif dan spora B. cereus tidak aktif (Wandling et al, 1999 dalam Suwito, 2009). Menurut Eniza Saleh (2004) ada dua macam teknik pasteurisasi : (1) Pasteurisasi lama (LTLT = Low Temeperature Long Time) dengan suhu 62oC - 65oC selama 30 menit, (2) Pasteurisasi sekejap (HTST = High Temperature Short Time) dengan suhu 85oC 95oC selama 1 -2 menit. Menurut Saksono (1986), jumlah bakteri yang tetap ada dan hidup setelah dilakukan pasteurisasi terhadap susu berubah-ubah bergantung kepada jumlah dan ketahanan mereka yang hidup terhadap panas. Jumlah presentase yang tahan untuk tetap hidup adalah sekitar 1 10 %. Macam bakteri yang tahan dalam pasteurisasi atau pemanasan adalah tergabung dalam kelompok

Thermoduric atau tahan panas yang termasuk pembentuk spora, seperti lactobacilli, Staphylococcus thermophylic, dan Staphylococcus faecalis, micrococci. Beberapa jenis bakteri Thermoduric sulit dihilangkan ; beberapa bentuk bahkan mampu memperbanyak dirinya pada suhu terapan dalam penanganan pasteurisasi. Pasteurisasi yang benar terhadap susu tidak akan tercemar oleh dan disimpan pada suhu yang benar tidak akan menimbulkan kerusakan selama dua minggu atau lebih. Masalah yang menyangkut ilmu bakteri dalam penyimpanan susu yang
9

sudah dipasteurisasi disebabkan oleh bentuk psychrotropic dan psychrophilic (Thomas dan Druce, 1963 dalam Saksono (1986). C. BAKTERI PENCEMAR Bakteri yang sering mengkontaminasi susu sapi murni adalah Pseudomonas, Micrococus, Staphylococcus, Salmonella, dan E.coli (Volk dan Wheeler, 1993 dalam Setiawan dkk, 2010). Bakteri pencemar pada susu dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu bakteri patogen dan bakteri pembusuk. Bakteri pembusuk seperti Micrococcus sp., Pseudomonas sp., dan Bacillus sp. akan menguraikan protein menjadi asam amino dan merombak lemak dengan enzim lipase sehingga susu menjadi asam dan berlendir ( Suwito, 2009). Menurut Benson (2002) dalam Setiawan dkk, 2010, jumlah bakteri dalam susu dapat dijadikan indikator terhadap kualitas susu tersebut. Mikroorganisme dalam pangan yang sering dijadikan indikator adalah flora normal dalam tubuh manusia atau hewan mamalia. Kelompok Koliform merupakan bakteri yang sering dijadikan indikator sanitasi penanganan susu (Setyawan dan Yatri, 1987 dalam Setiawan dkk, 2010). Koliform sebagai suatu kelompok dicirikan sebagai bakteri berbentuk batang, gram negatif, tidak membentuk spora, aerobik dan anaerobic fakultatif yang memfermentasi laktosa dengan menghasilkan asam dan gas dalam waktu 48 jam pada suhu 35oC (Widiyanti, Ni Luh Putu Manik, dkk, 2004). Adanya kontaminasi oleh Koliform dalam susu menunjukkan telah terjadi kontaminasi oleh kotoran mamalia atau penanganan sanitasi yang tidak baik. Koliform merupakan bakteri yang hidup di saluran pencernaan manusia atau hewan berdarah panas. Jenis bakteri Coli digunakan sebagai indikator karena bakteri ini mudah ditemukan dan tidak berbahaya. Bakteri Koliform dapat dibedakan menjadi dua grup : (1) Koliform fekal misalnya Escherichia coli dan (2) Koliform non fekal misalnya Enterobacter aerogenes. Eschericia coli merupakan bakteri yang berasal dari kotoran hewan atau manusia, sedangkan Enterobacter aerogenes biasanya ditemukan pada hewan atau tanam-tanaman yang telah mati (Fardiaz, 1993, dalam Widiyanti, 2004) Koliform mengakibatkan kerusakan pada susu sehingga tidak layak untuk dikonsumsi (Isnaeny, 2009 dalam Setiawan dkk, 2010). Pemeriksaan Koliform dapat menggunakan teknik MPN (Most Probably Number) dan Hitung Koloni Kuman (AOAC, 1996 dalam Setiawan, 2010)

10

D. UJI KUALITATIF KOLIFORM MOST PROBABLY NUMBER (MPN) merupakan pemeriksaan kehadiran bakteri coli dari air atau bahan makanan lain dilakukan berdasarkan penggunaan medium kaldu laktosa yang ditempatkan di dalam tabung reaksi berisi tabung durham (tabung kecil yang letaknya terbalik, digunakan untuk menangkap gas yang terjadi akibat fermentasi laktosa menjadi asam dan gas). Tergantung kepada kepentingan, ada yang menggunakan sistem 3-3-3( 3 tabung untuk 10 ml, 3 tabung untuk 1,0 ml dan 3 tabung untuk 0,1 ml) atau 5-5-5 (Widiyanti,dkk, 2004). Teknik MPN (Most Probably Number) dilakukan dengan pengenceran. Suatu larutan yang dicurigai mengandung mikroba diencerkan terus menerus. Misalnya dengan larutan yang mengandung 1000 sel/ml, diencerkan menjadi 10 kali menjadi larutan yang mengandung 100 sel/ml. kemudian diencerkan 10 kali lagi sehingga larutan tersebut mengandung 10 sel/ml dan diencerkan 10 kali lagi menjadi 1 sel/ml, dan diencerkan 10 kali lagi menjadi 0,1 sel/ml (Afrianti, 2004 dalam Setiawan, 2010). Metode MPN terdiri dari tiga jenis pemeriksaan yaitu presumptive test (uji pendugaan), confirmed test (uji konfirmasi), dan completed test (uji pelengkap). Dalam uji tahap pertama (presumptive test) keberadaan Koliform masih dalam keadaan probabilitas rendah ; masih diduga. Uji ini mendeteksi sifat fermentatif dari Koliform dalam sampel. Output metode MPN adalah nilai MPN. Nilai MPN adalah perkiraan nilai unit tumbuh (growth unit) atau unit pembentuk koloni ( colony forming unit) dalam sampel. Namun pada umumnya, nilai MPN juga diartikan sebagai jumlah individu bakteri dalam sampel. Satuan yang digunakan umumnya per 100 ml atau pergram. Jadi misalnya terdapat nilai MPN 10/gr Koliform dalam sampel susu artinya terdapat 10 individu bakteri dalam 1 gram susu. Semakin kecil nilai MPN maka semakin baik kualitas susu tersebut, dan semakin layak untuk diminum. Metode MPN memiliki limit kepercayaan 95 persen sehingga pada setiap nilai MPN terdapat jangkauan nilai MPN terendah dan tertinggi (Krisna, 2005 dalam Setiawan, 2010). 1. Uji penduga (Presumtive test) Merupakan tes pendahuluan tentang ada tidaknya kehadiran bakteri koliform berdasarkan terbentuknya asam dan gas disebabkan karena fermentasi laktosa oleh bakteri golongan koli. Terbentuknya asam dilihat dari kekeruhan pada media laktosa,
11

dan gas yang dihasilkan dapat dilihat dalam tabung Durham berupa gelembung udara. Tabung dinyatakan positif jika terbentuk gas sebanyak 10% atau lebih dari volume di dalam tabung Durham. Banyaknya kandungan bakteri Escerichia coli dapat dilihat dengan menghitung tabung yang menunjukkan reaksi positif terbentuk asam dan gas dan dibandingkan dengan tabel MPN. Metode MPN dilakukan untuk menghitung jumlah mikroba di dalam contoh yang berbentuk cair. Bila inkubasi 1 x 24 jam hasilnya negatif, maka dilanjutkan dengan inkubasi 2 x 24 jam pada suhu 35oC. Jika dalam waktu 2 x 24 jam tidak terbentuk gas dalam tabung Durham, dihitung sebagai hasil negatif. Jumlah tabung yang positif dihiung pada masing-masing seri. MPN penduga dapat dihitung dengan melihat tabel MPN (Widiyanti, dkk, 2004).

2. Uji penguat (Confirmed test) Hasil uji dugaan dilanjutkan dengan uji ketetapan. Dari tabung yang positif terbentuk asam dan gas terutama pada masa inkubasi 1 x 24 jam, suspensi ditanamkan pada media Eosin Methylen Blue Agar (EMBA) secara aseptic dengan menggunakan jarum inokulasi. Koloni bakteri Escerichia coli tumbuh berwarna merah kehijauan dengan kilat metalik atau koloni berwarna merah muda dengan lendir untuk kelompok koliform lainnya (Widiyanti, dkk, 2004).

12

3. Uji pelengkap Pengujian selanjutnya dilanjutkan dengan uji kelengkapan untuk menentukan bakteri Escehrichia coli. Dari koloni yang berwarna pada uji ketetapan diinokulasikan ke dalam medium kaldu laktosa dan medium agar miring Nutrient Agar (NA), dengan jarum inokulasi secara aseptic. Diinkubasi pada suhu 37oC selama 1 x 24 jam. Bila hasilnya positif terbentuk asam dan gas pada kaldu laktosa, maka sampel positif mengandung bakteri Escherichia coli menunjukkan Gram negatif berbentuk batang pendek. Untuk membedakan bakteri golongan koli dari bakteri golongan coli fekal (berasal dari tinja hewan berdarah panas), pekerjaan dibuat Duplo, dimana satu seri diinkubasi pada suhu 37oC (untuk golongan koli) dan satu seri diinkubasi pada suhu 42oC (untuk golongan koli fekal). Bakteri golongan koli tidak dapat tumbuh pada suhu 42oC , sedangkan golongan koli fekal dapat tumbuh dengan baik pada suhu 42oC (Widiyanti, dkk, 2004).

13

BAB III KERANGKA KONSEP

A. KERANGKA KONSEP

TANPA PENGOLAHAN SUSU SEGAR PENGOLAHAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) KULIT SAPI UDARA MANUSIA AMBING TANAH DEBU PERALATAN (PASTEURISASI) SNI TAHUN 2000 tentang kualitas mikrobiologi KUALITAS SUSU SAPI SIAP MINUM

1) 2) 3) 4)

PERALATAN SUHU WAKTU AIR PENCUCI

14

B. VARIABEL DAN DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL


Variable Definisi operasional Susu segar merupakan susu hasil pemerahan dari hewan ternak mamalia dalam keadaan mentah yang dapat dikonsumsi tanpa dilakukan pengolahan atau penanganan apapun sebelumnya. Cara pengukuran Most Probable Number berdasarkan SNI 01 -6366-2000 Kategori - Susu segar layak konsumsi y Nilai MPN Koliform Skala pengukuran interval

pada susu segar : 2 x 101 MPN/gr


- Susu segar tidak layak konsumsi y Nilai MPN Koliform

Susu segar

pada susu segar : >2 x 101 MPN/gr


Susu pasteurisasi merupakan susu segar yang telah mengalami pengolahan berupa pemanasan dengan suhu tertentu atau penambahan zat tertentu dengan tujuan menyeterilkan mikroorganisme yang terkandung di dalamnya tanpa mempengaruhi rasa, kandungan, dan tampilan dari susu tersebut. Most Probable Number (MPN) merupakan salah satu metode untuk menguji kadar bakteriologis suatu zat berdasarkan kemampuan bakteri tersebut memfermentasi laktose. Bakteri yang terdeteksi digolongkan kedalam jenis Coliform (non patogen) atau Fecal Coli (Patogen). Most Probable Number berdasarkan SNI 01 -6366-2000 - Susu pasteurisasi layak konsumsi y Koliform, < 0,1 x 10 MPN/gr Interval

Susu pasteurisasi

- Susu pasteurisasi tidak layak konsumsi y Koliform, > 0,1 x 10 MPN/gr SNI 01 -63662000 - Susu layak konsumsi Nominal

y Sesuai standar - Susu tidak layak konsumsi y Tidak sesuai standar

Nilai MPN

C. HIPOTESIS Ada perbedaan antara nilai MPN pada susu sapi segar dengan susu sapi pasteurisasi
15

BAB IV METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN Penelitian yang akan dilakukan berupa eksperimen semu atau quasi eksperimen. Jenis eksperimen ini dilakukan karena penelitian ini berupa kegiatan lapangan, sulit dilakukan randomisasi. Disebut eksperimen semu karena ekseperimen ini belum atau tidak memiliki ciriciri rancangan eksperimen sebenarnya, karena variabel-variabel yang seharusnya dikontrol atau dimanipulasi tidak dapat atau sulit dilakukan.

B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian ini akan dilakukan di Kabupaten Bangli, tepatnya di Desa Kubu. Tahap

pasteurisasi akan dilaksanakan di Laboratorium Jurusan Analis Kesehatan, Poltekkes Denpasar. Tahap analisis akan dilakukan di UPT. Laboratorium Kesehatan Provinsi Bali, yang akan mulai dilaksanakan pada bulan Maret 2012 sampai selesai.

C. OBJEK DAN SUBYEK PENELITIAN a. Subyek penelitian Subyek penelitian adalah nilai (Most Probably Number) b. Objek penelitian Susu segar dan susu pasteurisasi hasil Peternakan susu sapi di Desa Kubu, Bangli c. Teknik sampling Sampel atau subyek penelitian diambil secara acak atau random sampling. d. Alat dan Bahan Penelitian Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari autoclave, inkubator, tabung reaksi, tabung Durham, rak tabung reaksi, erlemeyer, pipet ukur, pipet volume, push ball, dan oven. Sedangkan bahan yang akan digunakan adalah kapas berlemak, media Laktosa Broth (BGLB), media Briliant Green Lactose Broth, alkohol 70%, sampel susu segar dan susu pasteurisasi.

16

e. Cara penentuan sampel Sampel yang akan diambil pada Peternakan Sapi Perah di Desa Kubu adalah produk susu segar. Objek penelitian dinyatakan memiliki karakteristik yang homogen sehingga susu segar akan diambil dari 4 ambing masing-masing 50 ml yang akan dianggap sampel. Pengambilan akan dilakukan secara berkala untuk dilakukan pengulangan atau replikasi sebanyak tiga kali. f. Prosedur kerja Alur kerja dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Pengambilan sampel di peternakan susu sapi segar

Susu sapi segar

Pasteurisasi pada suhu 65oC selama 30 menit

Susu sapi pasteurisasi

Uji MPN presumptive test atau uji penduga

POSITIF

NEGATIF

Nilai positif uji penguat Susu sapi segar

UJI MPN confirmed test atau uji penguat

Nilai positif uji penguat Susu sapi pasteurisasi

Dicocokan dengan Tabel MPN 511

17

Observasi dan analisis sampel berdasarkan metode MPN 511 akan dilaksanakan sebagai berikut : 1. Sampel susu sapi segar akan diambil dari peternakan sapi perah Desa Kubu, Bangli 2. Sebagian susu akan dipasteurisasi pada suhu 65oC selama 30 menit di Laboratorium Analis Kesehatan Poltekkes Denpasar 3. Sampel susu segar dan susu pasteurisasi akan diperiksa dengan metode MPN yang terdiri dari uji penduga (presumptive test) dan uji penguat (confirmed test) 4. Prosedur kerja presumptive test atau uji penduga sebagai berikut a. Lima buah tabung disiapkan yang masing-masing berisi laktose broth doble strength sebanyak 10 ml (tabung 1a s/d 5a) juga disiapkan 2 tabung yang masing-masing berisi 10 ml laktose broth single strength (tabung 1b dan 2b) b. Dengan pipet steril diinokulasikan masing- masing 10 ml sampel susu ke dalam tabung 1a s/d 5a c. Kedalam tabung 1b diinokulasikan 1 ml sampel susu d. Ke dalam tabung 2b diinokulasikan 0,1 ml sampel susu e. Tabung-tabung digoyang perlahan agat sampel susu menyebar rata ke seluruh bagian media kemudian diinkubasikan pada suhu 35 37o C selama 24 48 jam f. Setelah diinkubasi, masing-masing tabung diamati untuk melihat ada tidaknya gas dalam tabung Durham. Adanya gas menunjukkan presumptive test positif dan dilanjutkan pada uji penguat atau confirmed test.

5. Prosedur kerja confirmed test atau uji penguat sebagai berikut : a. Dari tiap-tiap tabung sampel presumptive positif, dipindahkan 1 2 ose ke dalam tabung confirmed test yang berisi 10 ml BGLB b.Satu seri tabung BGLB diinkubasikan pada suhu 44oC untuk memastikan adanya Fecal coli, satu seri lainnya diinkubasi pada suhu 37o C untuk memastikan adanya Coliform c. Pembacaan (dicocokkan dengan tabel MPN 511) dilakukan setelah dengan melihat jumlah tabung BGLB yang menunjukkan positif gas 24 48 jam

18

6. Untuk menentukan nilai MPN, hasil yang diperoleh dari uji penguat atau confirmed test yang positif gas dihitung, baik pada inkubasi 44o C dan pada suhu 37o C. Angka yang diperoleh dicocokkan dengan tabel MPN 511. Tabel MPN 511 ditampilkan sebagai berikut : Volume 10 ml 0 0 1 1 1 2 2 2 2 3 3 3 3 4 4 4 4 5 5 5 5 1 ml 0 1 0 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0,1 ml 1 0 0 1 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 MPN/ 100 ml 2 2 2,2 4,4 6,7 5 7,5 7,6 10 8,8 12 12 16 15 20 21 27 38 96 96 >240

19

D. JENIS DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA a. Jenis data yang dikumpulkan Data yang akan dikumpulkan berupa data primer yang diperoleh dengan obervasi di peternakan sapi perah Desa Kubu, Kabupaten Bangli dan analisis yang dilakukan di Laboratorium Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Denpasar. b. Cara pengumpulan data Tahap observasi akan dilaksanakan di Peternakan sapi perah Desa Kubu dengan memantau faktor kontaminasi dan pengambilan sampel tiga kali, kemudian analisis sampel susu segar dan susu pasteurisasi berdasarkan kehadiran bakteri koliform dari uji penduga sampai uji penguat akan dilaksanakan di Laboratorium Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Denpasar. Tahapan kegiatan yang dilakukan adalah : (1) persiapan alat dan bahan, (2) pelaksanaan, dan (3) pengamatan c. Instrument pengumpulan data Instrument pengumpulan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah: 1. 2. 3. Check list Alat tulis Tabel MPN

E. PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA 1. Teknik pengolahan data Teknik pengolahan data yang akan dilakukan adalah dengan komputer atau perangkat lunak (software) tepatnya secara statistika karena data penelitian berupa data kuantitatif. Tahap pengolahan data dengan komputer terdiri dari editing, coding, data entry atau processing, dan pembersihan data.

2. Analisis data Analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan uji statistik yang terdiri dari analisis univariate dan analisis bevariate. Analisis univariate bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian, sedangkan analisis bevariate bertujuan untuk mencari hubungan atau perbedaan diantara dua variable.
20

DAFTAR PUSTAKA

21

Anda mungkin juga menyukai