Anda di halaman 1dari 15

Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat.

Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: KeTuhanan Yang Maha Esa. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya.[1] Di tahun 2010, kira-kira 85,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 9,2% Protestan, 3,5% Katolik, 1,8% Hindu, dan 0,4% Buddha.[2] Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa "tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya".[3] Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu.[4][5] Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan. Program transmigrasi secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia. [6]

Sejarah

Jalur Sutra, yang menghubungkan antara India dan Indonesia. Berdasar sejarah, kaum pendatang telah menjadi pendorong utama keanekaragaman agama dan kultur di dalam negeri dengan pendatang dari India, Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda. [7] Bagaimanapun, hal ini sudah berubah sejak beberapa perubahan telah dibuat untuk menyesuaikan kultur di Indonesia Hindu dan Buddha telah dibawa ke Indonesia sekitar abad kedua dan abad keempat Masehi ketika pedagang dari India datang ke Sumatera, Jawa dan Sulawesi, membawa agama mereka. Hindu mulai berkembang di pulau Jawa pada abad kelima Masehi dengan kasta Brahmana yang memuja Siva. Pedagang juga mengembangkan ajaran Buddha pada abad berikut lebih lanjut dan sejumlah ajaran Buddha dan Hindu telah memengaruhi kerajaankerajaan kaya, seperti Kutai, Sriwijaya, Majapahit dan Sailendra.[8] Sebuah candi Buddha terbesar di dunia, Borobudur, telah dibangun oleh Kerajaan Sailendra pada waktu yang sama, begitu pula dengan candi Hindu, Prambanan juga dibangun. Puncak kejayaan Hindu-Jawa, Kerajaan Majapahit, terjadi pada abad ke-14 M, yang juga menjadi zaman keemasan dalam sejarah Indonesia. [9] Islam pertama kali masuk ke Indonesia pada abad ke-7 melalui pedagang Arab. Islam menyebar sampai pantai barat Sumatera dan kemudian berkembang ke timur pulau Jawa. Pada periode ini terdapat beberapa kerajaan Islam, yaitu kerajaan Demak, Pajang, Mataram dan Banten. Pada akhir abad ke-15 M, 20 kerajaan Islam telah dibentuk, mencerminkan dominasi Islam di Indonesia. Kristen Katolik dibawa masuk ke Indonesia oleh bangsa Portugis, khususnya di pulau Flores dan Timor.[10]

Kristen Protestan pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Belanda pada abad ke-16 M dengan pengaruh ajaran Calvinis dan Lutheran. Wilayah penganut animisme di wilayah Indonesia bagian Timur, dan bagian lain, merupakan tujuan utama orang-orang Belanda, termasuk Maluku, Nusa Tenggara, Papua dan Kalimantan. Kemudian, Kristen menyebar melalui pelabuhan pantai Borneo, kaum misionarispun tiba di Toraja, Sulawesi. Wilayah Sumatera juga menjadi target para misionaris ketika itu, khususnya adalah orang-orang Batak, dimana banyak saat ini yang menjadi pemeluk Protestan. [11] Perubahan penting terhadap agama-agama juga terjadi sepanjang era Orde Baru. [12] Antara tahun 1964 dan 1965, ketegangan antara PKI dan pemerintah Indonesia, bersama dengan beberapa organisasi, mengakibatkan terjadinya konflik dan pembunuhan terburuk di abad ke20. [13] Atas dasar peristiwa itu, pemerintahan Orde Baru mencoba untuk menindak para pendukung PKI, dengan menerapkan suatu kebijakan yang mengharuskan semua untuk memilih suatu agama, karena kebanyakan pendukung PKI adalah ateis.[12] Sebagai hasilnya, tiap-tiap warganegara Indonesia diharuskan untuk membawa kartu identitas pribadi yang menandakan agama mereka. Kebijakan ini mengakibatkan suatu perpindahan agama secara massal, dengan sebagian besar berpindah agama ke Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Karena Konghucu bukanlah salah satu dari status pengenal agama, banyak orang Tionghoa juga berpindah ke Kristen atau Buddha. [12]

[sunting] Enam agama utama di Indonesia


Berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, "Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius)".[14]

[sunting] Islam

Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh, Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, dengan 85% dari jumlah penduduk adalah penganut ajaran Islam.[15] Mayoritas Muslim dapat dijumpai di wilayah barat Indonesia seperti di Jawa dan Sumatera. Sedangkan di wilayah timur Indonesia, persentase penganutnya tidak sebesar di kawasan barat. [16] Sekitar 98% Muslim di Indonesia adalah penganut aliran Sunni. [17] Sisanya, sekitar dua juta pengikut adalah Syiah (di atas satu persen), berada di Aceh.[17] Sejarah Islam di Indonesia sangatlah kompleks dan mencerminkan keanekaragaman dan kesempurnaan tersebut kedalam kultur.[16] Pada abad ke-12, sebagian besar pedagang orang Islam dari India tiba di pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Hindu yang dominan beserta kerajaan Buddha, seperti Majapahit dan Sriwijaya, mengalami kemunduran, dimana banyak pengikutnya berpindah agama ke Islam. Dalam jumlah yang lebih kecil, banyak penganut

Hindu yang berpindah ke Bali, sebagian Jawa dan Sumatera. [16] Dalam beberapa kasus, ajaran Islam di Indonesia dipraktikkan dalam bentuk yang berbeda jika dibandingkan dengan Islam daerah Timur Tengah. Ada pula sekelompok pemeluk Ahmadiyah yang kehadirannya belakangan ini sering dipertanyakan. Aliran ini telah hadir di Indonesia sejak 1925. Pada 9 Juni 2008, pemerintah Indonesia mengeluarkan sebuah surat keputusan yang praktis melarang Ahmadiyah melakukan aktivitasnya ke luar. Dalam surat keputusan itu dinyatakan bahwa Ahmadiyah dilarang menyebarkan ajarannya.[18]

[sunting] Kristen Protestan


Kristen Protestan berkembang di Indonesia selama masa kolonial Belanda (VOC), pada sekitar abad ke-16. Kebijakan VOC yang mereformasi Katolik dengan sukses berhasil meningkatkan jumlah penganut paham Protestan di Indonesia.[19]Agama ini berkembang dengan sangat pesat di abad ke-20, yang ditandai oleh kedatangan para misionaris dari Eropa ke beberapa wilayah di Indonesia, seperti di wilayah barat Papua dan lebih sedikit di kepulauan Sunda.[20] Pada 1965, ketika terjadi perebutan kekuasaan, orang-orang tidak beragama dianggap sebagai orang-orang yang tidak ber-Tuhan, dan karenanya tidak mendapatkan hak-haknya yang penuh sebagai warganegara.[20] Sebagai hasilnya, gereja Protestan mengalami suatu pertumbuhan anggota. Protestan membentuk suatu perkumpulan minoritas penting di beberapa wilayah. Sebagai contoh, di pulau Sulawesi, 17% penduduknya adalah Protestan, terutama di Tana Toraja, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara. Sekitar 75% penduduk di Tana Toraja adalah Protestan. dibeberapa wilayah, keseluruhan desa atau kampung memiliki sebutan berbeda terhadap aliran Protestan ini, tergantung pada keberhasilan aktivitas para misionaris.[21] Di Indonesia, terdapat tiga provinsi yang mayoritas penduduknya adalah Protestan, yaitu Papua, Ambon,dan Sulawesi Utara dengan 90%,91%,94% dari jumlah penduduk. Di Papua, ajaran Protestan telah dipraktikkan secara baik oleh penduduk asli.Di Ambon, ajaran Protestan mengalami perkembangan yang sangat besar. Di Sulawesi Utara, kaum Minahasa, berpindah agama ke Protestan pada sekitar abad ke-18. [22] Saat ini, kebanyakan dari penduduk asli Sulawesi Utara menjalankan beberapa aliran Protestan. Selain itu, para transmigran dari pulau Jawa dan Madura yang beragama Islam juga mulai berdatangan. Sepuluh persen lebih-kurang; dari jumlah penduduk Indonesia adalah penganut Kristen Protestan.

[sunting] Hindu

Seorang perempuan Hindu Bali sedang menempatkan sesajian di tempat suci keluarganya Kebudayaan dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama Masehi, bersamaan waktunya dengan kedatangan agama Buddha,[23] yang kemudian menghasilkan sejumlah kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram dan Majapahit. Candi Prambanan adalah kuil Hindu yang dibangun semasa kerajaan Majapahit, semasa dinasti Sanjaya. Kerajaan ini hidup hingga abad ke 16 M, ketika kerajaan Islam mulai berkembang. Periode ini, dikenal sebagai periode Hindu-Indonesia, bertahan selama 16 abad penuh.[24] Hindu di Indonesia berbeda dengan Hindu lainnya di dunia.[25]Sebagai contoh, Hindu di Indonesia, secara formal ditunjuk sebagai agama Hindu Dharma, tidak pernah menerapkan sistem kasta. Contoh lain adalah, bahwa Epos keagamaan Hindu Mahabharata (Pertempuran Besar Keturunan Bharata) dan Ramayana (Perjalanan Rama), menjadi tradisi penting para pengikut Hindu di Indonesia, yang dinyatakan dalam bentuk wayang dan pertunjukan tari. Aliran Hindu juga telah terbentuk dengan cara yang berbeda di daerah pulau Jawa, yang jadilah lebih dipengaruhi oleh versi Islam mereka sendiri, yang dikenal sebagai Islam Abangan atau Islam Kejawen. [26] Semua praktisi agama Hindu Dharma berbagi kepercayaan dengan banyak orang umum, kebanyakan adalah Lima Filosofi: Panca Srada. [27] Ini meliputi kepercayaan satu Yang Maha Kuasa Tuhan, kepercayaan di dalam jiwa dan semangat, serta karma atau kepercayaan akan hukuman tindakan timbal balik. Dibanding kepercayaan atas siklus kelahiran kembali dan reinkarnasi, Hindu di Indonesia lebih terkait dengan banyak sekali yang berasal dari nenek moyang roh. Sebagai tambahan, agama Hindu disini lebih memusatkan pada seni dan upacara agama dibanding kitab, hukum dan kepercayaan. [25] Menurut catatan, jumlah penganut Hindu di Indonesia pada tahun 2006 adalah 6,5 juta orang), [28] sekitar 1,8% dari jumlah penduduk Indonesia, merupakan nomor empat terbesar. Namun jumlah ini diperdebatkan oleh perwakilan Hindu Indonesia, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). PHDI memberi suatu perkiraan bahwa ada 18 juta orang penganut Hindu di Indonesia. [29] Sekitar 93 % penganut Hindu berada di Bali. Selain Bali juga terdapat di Sumatera, Jawa, Lombok, dan pulau Kalimantan yang juga memiliki populasi Hindu cukup besar, yaitu di Kalimantan Tengah, sekitar 15,8 % (sebagian besarnya adalah Hindu Kaharingan, agama lokal Kalimantan yang digabungkan ke dalam agama Hindu).

[sunting] Buddha

Bhikku Buddha melaksanakan puja bakti di Borobudur Buddha merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba pada sekitar abad keenam masehi. [30] Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan erat dengan sejarah Hindu, sejumlah kerajaan Buddha telah dibangun sekitar periode yang sama. Seperti kerajaan Sailendra, Sriwijaya dan Mataram. Kedatangan agama Buddha telah dimulai dengan aktivitas perdagangan yang mulai pada awal abad pertama melalui Jalur Sutra antara India dan Indonesia. [31] Sejumlah warisan dapat ditemukan di Indonesia, mencakup candi Borobudur di Magelang dan patung atau prasasti dari sejarah Kerajaan Buddha yang lebih awal. Mengikuti kejatuhan Soekarno pada pertengahan tahun 1960-an, dalam Pancasila ditekankan lagi pengakuan akan satu Tuhan (monoteisme). [32] Sebagai hasilnya, pendiri Perbuddhi (Persatuan Buddha Indonesia), Bhikku Ashin Jinarakkhita, mengusulkan bahwa ada satu dewata tertinggi, Sang Hyang Adi Buddha. Hal ini didukung dengan sejarah di belakang versi Buddha Indonesia di masa lampau menurut teks Jawa kuno dan bentuk candi Borobudur.

Menurut sensus nasional tahun 2000, kurang lebih dari 2% dari total penduduk Indonesia beragama Buddha, sekitar 4 juta orang. [30] Kebanyakan penganut agama Buddha berada di Jakarta, walaupun ada juga di lain provinsi seperti Riau, Sumatra Utara dan Kalimantan Barat. Namun, jumlah ini mungkin terlalu tinggi, mengingat agama Konghucu dan Taoisme tidak dianggap sebagai agama resmi di Indonesia, sehingga dalam sensus diri mereka dianggap sebagai penganut agama Buddha. [30]

[sunting] Kristen Katolik

Katedral di Jakarta [sunting] Umat Katolik Perintis di Indonesia: 645 - 1500 Agama Katolik untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada bagian pertama abad ketujuh di Sumatera Utara. Fakta ini ditegaskan kembali oleh (Alm) Prof. Dr. Sucipto Wirjosuprapto. Untuk mengerti fakta ini perlulah penelitian dan rentetan berita dan kesaksian yang tersebar dalam jangka waktu dan tempat yang lebih luas. Berita tersebut dapat dibaca dalam sejarah kuno karangan seorang ahli sejarah Shaykh Abu Salih al-Armini yang menulis buku "Daftar berita-berita tentang Gereja-gereja dan pertapaan dari provinsi Mesir dan tanah-tanah di luarnya". yang memuat berita tentang 707 gereja dan 181 pertapaan Serani yang tersebar di Mesir, Nubia, Abbessinia, Afrika Barat, Spanyol, Arabia, India dan Indonesia. Dengan terus dilakukan penyelidikan berita dari Abu Salih al-Armini kita dapat mengambil kesimpulan kota Barus yang dahulu disebut Pancur dan saat ini terletak di dalam Keuskupan Sibolga di Sumatera Utara adalah tempat kediaman umat Katolik tertua di Indonesia. Di Barus juga telah berdiri sebuah Gereja dengan nama Gereja Bunda Perawan Murni Maria (Gereja Katolik Indonesia seri 1, diterbitkan oleh KWI) [sunting] Awal mula: abad ke-14 sampai abad ke-18 Dan selanjutnya abad ke-14 dan ke-15 entah sebagai kelanjutan umat di Barus atau bukan ternyata ada kesaksian bahwa abad ke-14 dan ke-15 telah ada umat Katolik di Sumatera Selatan. Kristen Katolik tiba di Indonesia saat kedatangan bangsa Portugis, yang kemudian diikuti bangsa Spanyol yang berdagang rempah-rempah. [20] Banyak orang Portugis yang memiliki tujuan untuk menyebarkan agama Katolik Roma di Indonesia, dimulai dari kepulauan Maluku pada tahun 1534. Antara tahun 1546 dan 1547,

pelopor misionaris Kristen, Fransiskus Xaverius, mengunjungi pulau itu dan membaptiskan beberapa ribu penduduk setempat. [33] Pada abad ke-16, Portugis dan Spanyol mulai memperluas pengaruhnya di Manado & Minahasa, salah satunya adalah menyebarkan agama Kristen Katolik namun hal tersebut tidak bertahan lama sejak VOC berhasil mengusir Spanyol & Portugis dari Sulawesi Utara. VOC pun mulai menguasai Sulawesi Utara, untuk melindungi kedudukannya di Maluku. Selama masa VOC, banyak praktisi paham Katolik Roma yang jatuh, dalam hal kaitan kebijakan VOC yang mengkritisi agama itu. Yang paling tampak adalah di Sulawesi Utara, Flores dan Timor Timur. Pada tahun 2006, 3% dari penduduk Indonesia adalah Katolik, lebih kecil dibandingkan para penganut Protestan. Mereka kebanyakan tinggal di Papua dan Flores.

[sunting] Khonghucu
Agama Konghucu berasal dari Cina daratan dan yang dibawa oleh para pedagang Tionghoa dan imigran. Diperkirakan pada abad ketiga Masehi, orang Tionghoa tiba di kepulauan Nusantara.[4] Berbeda dengan agama yang lain, Konghucu lebih menitikberatkan pada kepercayaan dan praktik yang individual, lepas daripada kode etik melakukannya, bukannya suatu agama masyarakat yang terorganisir dengan baik, atau jalan hidup atau pergerakan sosial. Di era 1900-an, pemeluk Konghucu membentuk suatu organisasi, disebut Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) di Batavia (sekarang Jakarta). Setelah kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, umat Konghucu di Indonesia terikut oleh beberapa huru-hara politis dan telah digunakan untuk beberapa kepentingan politis. Pada 1965, Soekarno mengeluarkan sebuah keputusan presiden No. 1/Pn.Ps/1965 1/Pn.Ps/1965, di mana agama resmi di Indonesia menjadi enam, termasuklah Konghucu. [4] Pada awal tahun 1961, Asosiasi Khung Chiao Hui Indonesia (PKCHI), suatu organisasi Konghucu, mengumumkan bahwa aliran Konghucu merupakan suatu agama dan Confucius adalah nabi mereka. Tahun 1967, Soekarno digantikan oleh Soeharto, menandai era Orde Baru. Di bawah pemerintahan Soeharto, perundang-undangan anti Tiongkok telah diberlakukan demi keuntungan dukungan politik dari orang-orang, terutama setelah kejatuhan PKI, yang diklaim telah didukung oleh Tiongkok.[4] Soeharto mengeluarkan instruksi presiden No. 14/1967, mengenai kultur Tionghoa, peribadatan, perayaan Tionghoa, serta menghimbau orang Tionghoa untuk mengubah nama asli mereka. Bagaimanapun, Soeharto mengetahui bagaimana cara mengendalikan Tionghoa Indonesia, masyarakat yang hanya 3% dari populasi penduduk Indonesia, tetapi memiliki pengaruh dominan di sektor perekonomian Indonesia. [34] Di tahun yang sama, Soeharto menyatakan bahwa Konghucu berhak mendapatkan suatu tempat pantas di dalam negeri di depan konferensi PKCHI.[4] Pada tahun 1969, UU No. 5/1969 dikeluarkan, menggantikan keputusan presiden tahun 1967 mengenai enam agama resmi. Namun, hal ini berbeda dalam praktiknya. Pada 1978, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan keputusan bahwa hanya ada lima agama resmi, tidak termasuk Konghucu.[4] Pada tanggal 27 Januari 1979, dalam suatu pertemuan kabinet, dengan kuat memutuskan bahwa Konghucu bukanlah suatu agama. Keputusan Menteri Dalam Negeri telah dikeluarkan pada tahun 1990 yang menegaskan bahwa hanya ada lima agama resmi di Indonesia. Karenanya, status Konghucu di Indonesia pada era Orde Baru tidak pernah jelas. De jure, berlawanan hukum, di lain pihak hukum yang lebih tinggi mengizinkan Konghucu, tetapi hukum yang lebih rendah tidak mengakuinya. De facto, Konghucu tidak diakui oleh pemerintah dan pengikutnya wajib menjadi agama lain (biasanya Kristen atau Buddha) untuk menjaga kewarganegaraan mereka. Praktik ini telah diterapkan di banyak sektor, termasuk

dalam kartu tanda penduduk, pendaftaran perkawinan, dan bahkan dalam pendidikan kewarga negaraan di Indonesia yang hanya mengenalkan lima agama resmi. [4] Setelah reformasi Indonesia tahun 1998, ketika kejatuhan Soeharto, Abdurrahman Wahid dipilih menjadi presiden yang keempat. Wahid mencabut instruksi presiden No. 14/1967 dan keputusan Menteri Dalam Negeri tahun 1978. Agama Konghucu kini secara resmi dianggap sebagai agama di Indonesia. Kultur Tionghoa dan semua yang terkait dengan aktivitas Tionghoa kini diizinkan untuk dipraktekkan. Warga Tionghoa Indonesia dan pemeluk Konghucu kini dibebaskan untuk melaksanakan ajaran dan tradisi mereka.

[sunting] Agama dan kepercayaan lainnya


Beberapa agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia:

[sunting] Yahudi
Terdapat komunitas kecil Yahudi yang tidak diakui di Jakarta dan Surabaya. Pendirian Yahudi awal di kepulauan ini berasal dari Yahudi Belanda yang datang untuk berdagang rempah. Pada tahun 1850-an, sekitar 20 keluarga Yahudi dari Belanda dan Jerman tinggal di Jakarta (waktu itu disebut Batavia). Beberapa tinggal di Semarang dan Surabaya. Beberapa Yahudi Baghdadi juga tinggal di pulau ini. Pada tahun 1945, terdapat sekitar 2.000 Yahudi Belanda di Indonesia. Pada tahun 1957, dilaporkan masih ada sekitar 450 orang Yahudi, terutama Ashkenazim di Jakarta dan Sephardim di Surabaya. Komunitas ini berkurang menjadi 50 pada tahun 1963. Pada tahun 1997, hanya terdapat 20 orang Yahudi, beberapa berada di Jakarta dan sedikit keluarga Baghdadi di Surabaya.[35] Yahudi di Surabaya memiliki sinagoga. Mereka hanya sedikit hubungan dengan Yahudi di luar Indonesia. Tidak ada pelayanan yang diberikan pada sinagoga.[36] Sinagoga ini telah ditutup oleh umat Muslim yang menentang Perang Gaza 2008-2009.[37] Satu-satunya sinagoga yang masih tersisa terletak di luar kota Manado, yang hanya dihadiri oleh sekitar 10 orang saja.[37]

[sunting] Baha'i
Di Indonesia hadir sejumlah pemeluk agama Baha'i. Berapa jumlah mereka sebenarnya tidak diketahui dengan pasti karena seringkali mereka mengalami tekanan dan penolakan dari masyarakat sekitarnya.[38] Salah satu penganut agama Baha'i yang diketahui secara terbatas adalah belasan penganut di sebuah wilayah di Kota Samarinda, Kalimantan Timur.

[sunting] Kristen Ortodoks


Meskipun Kristen Ortodoks sudah hadir di Indonesia melalui kaum Non-Kalsedon di Sumatera pada abad ke-7, baru pada abad ke-20 Gereja ini hadir dengan resmi. Ada dua kelompok Ortodoks di Indonesia, yaitu Gereja Ortodoks Yunani,[39] dan Gereja Ortodoks Siria yang berkiblat ke Antiokhia.[40]

[sunting] Hubungan antar agama


Walaupun pemerintah Indonesia mengenali sejumlah agama berbeda, konflik antar agama kadang-kadang tidak terelakkan. Di masa Orde Baru, Soeharto mengeluarkan perundangundangan yang oleh beberapa kalangan dirasa sebagai anti Tionghoa. Presiden Soeharto mencoba membatasi apapun yang berhubungan dengan budaya Tionghoa, mencakup nama dan agama. [41] Sebagai hasilnya, Buddha dan Khonghucu telah diasingkan. Antara 1966 dan 1998, Soeharto berikhtiar untuk de-Islamisasi pemerintahan, dengan memberikan proporsi lebih besar terhadap orang-orang Kristen di dalam kabinet.[42] Namun pada awal 1990-an, isu Islamisasi yang muncul, dan militer terbelah menjadi dua kelompok, nasionalis dan Islam.[42] Golongan Islam, yang dipimpin oleh Jenderal Prabowo, berpihak

pada Islamisasi, sedangkan Jenderal Wiranto dari golongan nasionalis, berpegang pada negara sekuler. Semasa era Soeharto, program transmigrasi di Indonesia dilanjutkan, setelah diaktifkan oleh pemerintahan Hindia Belanda pada awal abad ke-19. Maksud program ini adalah untuk memindahkan penduduk dari daerah padat seperti pulau Jawa, Bali dan Madura ke daerah yang lebih sedikit penduduknya, seperti Ambon, kepulauan Sunda dan Papua. Kebijakan ini mendapatkan banyak kritik, dianggap sebagai kolonisasi oleh orang-orang Jawa dan Madura, yang membawa agama Islam ke daerah non-Muslim.[6] Penduduk di wilayah barat Indonesia kebanyakan adalah orang Islam dengan Kristen merupakan minoritas kecil, sedangkan daerah timur, populasi Kristen adalah sama atau bahkan lebih besar dibanding populasi orang Islam. Hal ini bahkan telah menjadi pendorong utama terjadinya konflik antar agama dan ras di wilayah timur Indonesia, seperti kasus Poso di tahun 2005. Pemerintah telah berniat untuk mengurangi konflik atau ketegangan tersebut dengan pengusulan kerjasama antar agama. [43] Kementerian Luar Negeri, bersama dengan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, yang dipegang oleh Sarjana Islam Internasional, memperkenalkan ajaran Islam moderat, yang mana dipercaya akan mengurangi ketegangan tersebut.[43] Pada 6 Desember 2004, dibuka konferensi antar agama yang bertema Dialog Kooperasi Antar Agama: Masyarakat Yang Membangun dan Keselarasan. Negaranegara yang hadir di dalam konferensi itu ialah negara-negara anggota ASEAN, Australia, Timor Timur, Selandia Baru dan Papua Nugini, yang dimaksudkan untuk mendiskusikan kemungkinan kerjasama antar kelompok agama berbeda di dalam meminimalkan konflik antar agama di Indonesia. [43] Pemerintah Australia, yang diwakili oleh menteri luar negerinya, Alexander Downer, sangat mendukung konferensi tersebut.

[sunting] Animisme
Kepercayaan terhadap benda mati (animisme) di Indonesia sama dengan penyembah benda mati di dunia lainnya, yang mana, suatu kepercayaan terhadap objek tertentu, seperti pohon, batu atau orang-orang. Kepercayaan ini telah ada dalam sejarah Indonesia yang paling awal, di sekitar pada abad pertama, tepat sebelum Hindu tiba Indonesia. [44] Lagipula, dua ribu tahun kemudian, dengan keberadaan Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu dan agama lainnya, penyembah benda mati masih tersisa di beberapa wilayah di Indonesia. Bagaimanapun, kepercayaan ini tidak diterima sebagai agama resmi di Indonesia, sebagaimana dinyatakan di dalam Pancasila bahwa kepercayaan itu pada Ketuhanan Yang Maha Esa atau monoteisme. [44] Penyembah benda mati, pada sisi lain tidak percaya akan dewa tertentu. Agama Dalam RUU Sisdiknas ; Tak Ada Yang Dirugikan
Konsep pendidikan nasional era reformasi yang digulirkan dalam draf RUU Sisdiknas, manerik untuk terus didiskusikan bersama. Menurut Suyanto, mantan Ketua Komite Reformasi Pendidikan, yang merancang awal draf RUU Sisdiknas itu, bahwa keberadaannya telah mempresentasikan kondisi bangsa kita. Semangatnya adalah, kesetaraan gender, demokratisasi, desentralisasi sebagai cermin era otonomi daerah, dan isu partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam pendidikan. Kemajuan signifikan dalam RUU itu meliputi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan pluralitas. Tapi, dalam perjalanannya kemudian muncul perbedaan pendapat, terutama mengenai pasal 13 (kemudian dikenal dengan pasal agama), terus menjadi tarik-menarik kepentingan. Materi yang dibahas di DPR sejak 20 Maret 2003 itu kini menjadi pro dan kontra. Muara penyebabnya adalah, pasal yang berbunyi: Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Tarik-menarik itu muncul akibat perbedaan pendekatan. Kalangan Islam, misalnya,

cenderung pro. Sebaliknya kalangan non-Islam, tidak setuju terhadap RUU tersebut. Kalangan Islam menganggap isi pasal itu (terutama yang menyangkut pendidikan agama) sudah tepat. Pasal itu menunjukkan adanya pluralitas dalam bangsa ini, kata Sekretaris PW Muhammadiyah Jawa Timur, H. Nadjib Hamid, S.Sos. Keberadaan pasal tersebut sudah sesuai dengan UUD Negara Republik Indonesia serta sesuai pula dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Pro - Kontra Namun, hal itu (seakan) menjadi kontradiktif dengan konsep pendidikan yang digulirkan Ki Supriyoko. Menurut dia, RUU Sisdiknas belum menyentuh roh pendidikan yang menyangkut lima aspek: kasih sayang, kejujuran, keikhlasan, keagamaan dan kekeluargaan. Jadi, suatu pendidikan harus dilakukan dengan penuh rasa kasih sayang, kejujuran, keikhlasan, dan sikap keagamaan dalam suasana kekeluargaan. Lain lagi, ungkapan Yamarma. Dia menekankan pendidikan religiusitas karena ada kelemahan yang fundamental dalam RUU Sisdiknas. Pendidikan religiusitas bersifat universal sesuai dengan prinsip falsafah Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena agama menggambarkan Tuhan dan manusia yang berbeda-beda, pendidikan agama pada RUU Sisdiknas menjadi tidak relevan untuk dimasukkan. Masih ada lagi yang menawarkan konsep pendidikan nasional mendatang berbasis pendidikan pluralis-multikulturalis. Diharapkan pendidikan nasional merupakan jembatan bagi keragaman etnis dan agama di Indonesia sekaligus membendung munculnya berbagai benturan di era globalisasi, kompetisi, serta pluralisme agama, budaya dan etnis. Masih banyak lagi yang mengkritisi dan menawarkan bentuk ideal pendidikan nasional mendatang, seperti pendidikan sebagai investasi kemanusiaan, mazhabmazhab pendidikan, pendidikan jangan terjebak dalam kapitalisme dan lain-lain. Inklusif - Pluralis Untuk memperkaya wacana pendidikan nasional ke depan, ada satu lagi yang tidak banyak dicermati para ahli pendidikan kita, yakni perlunya pendidikan agama yang pluris-inklusif. Bentuk pendidikan ini merupakan antitesis berbagai kewaspadaan publik yang memandang agama sebagai wajah yang penuh teror, garang dan penebar peperangan. Wilayah agama sudah menjadi opini internasional untuk terus perlu diwaspadai peranannya. Kalau kita kemudian latah untuk menilai agama demikian, kapan bangsa ini merasa aman dengan pluralitas keberagamaannya sendiri? Agama yang diopinikan sebagai bentuk keyakinan yang eksklusif dan penebar disintegrasi, permusuhan, dendam, iri hati, saling hujat, bahkan saling bunuh, kalau tidak di-manage dengan arif akan terus berwajah demikian. Beragama dan keragamannya merupakan keniscayaan bangsa Indonesia, tidak untuk dibiarkan dan memasukkannya ke wilayah privat dan keluarga, tapi sebaliknya dikembalikan kepada misi suatu agama, yang diharapkan agama merupakan rahmat bagi seluruh alam. Di sinilah perlunya pendidikan formal memberikan ruang pada pendidikan agama yang bisa menjembatani persoalan keyakinan keagamaan agar saling berinteraksi secara konstruktif. Di situlah perlunya model pendidikan yang mengarah pada pemahaman yang inklusif-pluralis. Paham inklusif-pluralis, dalam berinteraksi dengan aneka ragam unsur masyarakat, tidak saja dituntut untuk membuka diri, belajar dan menghormati mitra dialognya, tetapi juga harus commited terhadap agama yang dianutnya. Dengan pandangan keberagamaan yang inklusif-pluralis, akan terjadi dialog antar agama, dan semua berkewajiban untuk menegakkan agama masing-masing. Melibatkan diri dengan keyakinan orang lain berarti memahami dan mempelajari keyakinan tersebut. Hal itu pada gilirannya akan membuka dialog antar umat beragama. Dialog ini tidak lebih dari sebuah pendidikan dalam pengertian yang paling luas dan paling mulia. Jika kita bukan seorang yang fanatik, konsekuensi dialog tersebut tidak lain akan memperkaya setiap pemeluknya. Pandangan inklusif-pluralis secara filosofis teoritis dapat dijumpai dalam kajian ilmu perbandingan agama. Dalam hubungan ini, Schuon, misalnya, mengatakan bahwa dalam kenyataannya, tidak ada bukti-bukti yang mendukung pernyataan bahwa kebenaran

unik dan khusus hanya dimiliki agama tertentu. Lain halnya dengan Huston Smith yang mengatakan bahwa pernyataan keselamatan merupakan monopoli salah satu agama saja, sebenarnya sama dengan mengatakan bahwa Tuhan hanya ditemukan dalam ruangan ini dan tidak ada di ruangan sebelah atau hanya dalam busana ini dan tidak ada dalam busana lain. Nurcholis Madjid mengutip QS. 30:30, bahwa agam itu harus diterima sebagai kelanjutan atau konsistensi hakikat kemanusiaan itu sendiri. Dengan kata lain, beragama yang benar harus merupakan kewajaran manusiawi. Cukuplah sebagai indikasi bahwa suatu agama atau kepercayaan tidak dapat dipertahankan jika ia memiliki ciri kuat bertentangan dengan naluri kemanusiaan yang suci. Kecenderungan alami manusia kepada kebenaran merupakan agama yang benar dan kebanyakan manusia tidak menyadarinya. Dalam konteks ke-Indonesia-an, pertanyaan yang muncul adalah masihkah kita berpikir bahwa agama bukan wilayah publik? Pluralitas keberagamaan di Indonesia sudah merupakan kepercayaan dan idealisme. Yang paling penting lagi adalah, keberhasilan pendidikan di negara lain tidak bisa dijadikan ukuran untuk memisahkan wilayah agama dalam pendidikan formal di negeri ini. Patut dicatat, bahwa bangsa ini menjadi begitu terkenal di mata dunia internasional diantaranya, karena keteguhannya menjunjung tinggi-tinggi nilai agama (termasuknya di dalamnya kebebasan memeluk agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing) yang kemudian dituangkan dalam sebuah pasal pada UUD Negara. Artinya, manakala masih ada yang mempersoalkan pasal agama, maka keberagamaannya dalam keragaman patut dipertanyakan lebih jauh.***(IB)

PENDIDIKAN AGAMA MEMBANGUN MORAL


12 Mei

19 Votes

PENDIDIKAN AGAMA MEMBANGUN MORAL/ETIK PESERTA DIDIK PENDAHULUAN Pendidikan adalah usaha sadar manusia untuk meningkatkan kualitas dirinya, baik personal maupun kolektif. Pendidikan juga merupakan suatu upaya manusia untuk memanusiakan dirinya dan membedakannya dengan makhluk lain. Untuk itu pendidikan menjadi penting, tatkala manusia berinteraksi dengan manusia lainnya dan pendidikanlah yang akan membedakan kualitas interaksi tersebut. Interaksi akan terlihat indah jika didalamnya tertanam nilai-nilai agama (moral). Nilai agama inilah yang akan membentuk tata aturan supaya hidup menjadi harmonis dan agama pula yang menjadikan hidup ini terarah. Agama juga mengatur hubungan manusia dengan khalik-Nya, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan dirinya yang dapat menjamin keselarasan, keseimbangan dan keserasian dalam hidup manusia, baik sebagai

pribadi maupun sebagai anggota masyarakat dalam mencapai kemajuan lahiriah dan kebahagiaan bathiniah. Sebab itulah pendidikan agama yang merupakan bagian pendidikan terpenting untuk melestarikan aspek-aspek sikap dan nilai keagamaan harus dioperasionalkan secara konstruktif dalam masyarakat, keluarga dan diri sendiri. Pendidikan agama juga harus mempunyai tujuan yang berintikan tiga aspek, yaitu aspek iman, ilmu dan amal yang merupakan sendi tak terpisahkan. Disamping itu pula seorang pendidik hendaknya tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan kepada peserta didiknya melainkan juga akhlak. PEMBAHASAN Pengertian Pendidikan Agama Kata Pendidikan Agama terdiri dari dua kata berbeda, yaitu pendidikan dan agama. Pendidikan berasal dari kata didik yang diberi awalah pe dan akhiran an yang berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses, perbuatan, cara mendidik. Pengertian pendidikan menurut istilah adalah suatu usaha sadar yang teratur dan sistematis, yang dilakukan oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi anak mempunyai sifat-sifat dan tabiat sesuai cita-cita pendidikan. Sedangkan agama menurut Ensiklopedia Indonesia diuraikan sebagai berikut: Agama (umum), manusia mengakui dalam agama adanya yang suci: manusia itu insaf, bahwa ada sesuatu kekuasaan yang memungkinkan dan melebihi segala yang ada. Sehingga dengan demikian manusia mengikuti norma-norma yang ada dalam agama, baik tata aturan kehidupan maupun tata aturan agama itu sendiri. Sehingga dengan adanya agama kehidupan manusia menjadi teratur, tentram dan bermakna. Sedangkan agama (wahyu) adalah agama yang menghendaki iman kepada Tuhan, kepada para rasulNya, kepada kitab-kitabNya untuk disebarkan kepada segenap umat manusia. Dari beberapa pengertian di atas dapatlah disimpulkan bahwa pendidikan agama adalah suatu usaha yang ditunjukkan kepada anak didik yang sedang tumbuh agar mereka mampu menimbulkan sikap dan budi pekerti yang baik serta dapat memelihara perkembangan jasmani dan rohani secara seimbang dimasa sekarang dan mendatang sesuai dengan aturan agama. Akhlak, Moral dan Etika Bila berbicara mengenai moral, maka tidak akan terlepas dari tingkah laku manusia, dan bila berbicara tentang tingkah laku, maka erat hubungannya dengan bagaimana pendidikan yang telah didapatkan oleh seorang anak di rumah atau di sekolah. Oleh karena itu usaha yang harus ditempuh untuk menjadikan anak sebagai manusia yang baik dalam lingkungan pendidikan adalah penyampaian pendidikan moral (akhlak), karena akhlak merupakan pencerminan tingkah laku manusia dalam kehidupannya. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan ketiga term di atas, yaitu: Akhlak, moral dan etika. Secara etimologi kata akhlak adalah bentuk jama dari kata khuluk, yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat, sedangkan menurut Ahmad Amin akhlak itu adalah kebiasaan kehendak. Secara terminologi akhlak itu berarti Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah serta tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Ada pula yang mengartikan akhlak dengan Keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan tanpa berfikir dan melalui pertimbangan lebih dahulu. Dari dua pengertian di atas tampak bahwa tidak ada yang bertentangan, melainkan memiliki kemiripan antara keduanya. Dalam masyarakat barat kata akhlak sering diidentikkan dengan etika, walaupun pengidentikan ini tidak sepenuhnya benar, maka mereka yang mengidentikkan akhlak dengan etika mengatakan bahwa etika adalah penyelidikan tentang sifat dan tingkah laku lahiriah manusia. Sedangkan akhlak menurut M. Quraish Shihab lebih

luas maknanya dari etika serta mencakup beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriyah, misalnya yang berkaitan dengan sikap bathin maupun pikiran. Terlepas dari semua pengertian di atas, kata akhlak dalam penggunaannya sering disamakan dengan kata moral dan etika. Istilah moral yang kita kenal berasal dari Bahasa Latin, yaitu mores yang berarti adat kebiasaan, sedangkan etika berasal dari Bahasa Yunani, yaitu ethos, yang berarti kebiasaan. Dalam kehidupan sehari-hari moral lebih dikenal dengan arti susila. Moral mengandung arti praktis, ia merupakan ide-ide universal tentang tindakan seseorang yang baik dan wajar dalam masyarakat. Pada dasarnya akhlak, etika dan moral memiliki arti yang sama, ketiganya sama-sama berbicara tentang baik dan buruk perbuatan manusia. Dari pengertian diatas dapat di simpulkan bahwa Akhlak (etika atau moral) adalah budi pekerti, sikap mental atau budi perangai yang tergambar dalam bentuk tingkah laku berbicara, berpikir dan sebagainya yang merupakan ekspresi jiwa seseorang, yang akan melahirkan perbuatan baik menurut akal dan syariat atau perbuatan buruk. Peserta Didik Peserta didik adalah orang yang mendapatkan pendidikan dan pengetahuan. Peserta didik adalah hal yang paling penting dalam dunia pendidikan, karena tanpa adanya peserta didik, pendidikan tidak akan berlangsung. Lalu apakah benar anak dapat di didik? Untuk menjawab pertanyaan ini para ahli berbeda pandangan. Aliran Nativisme, mempunyai pandangan bahwa anak mempunyai pembawaan yang kuat sejak dilahirkan, baik buruknya anak sangat tergantung pada pembawaan yang ada padanya, bukan dari pendidikan. Berbeda halnya dengan aliran empirisme yang mempunyai pandangan bahwa perkembangan jiwa anak sangat ditentukan oleh pendidikan atau dengan kata lain baik buruknya anak sangat tergantung pada pendidikan yang diterimanya. Oleh karena kedua aliran ini terasa kurang memuaskan dalam hal pemberian pendidikan pada anak, maka yang menamakan dirinya aliran convergensi menepis kedua pendapat di atas, dengan mengatakan bahwa perkembangan jiwa anak sangat tergantung pada pembawaan dan pendidikan yang diterimanya. Hal ini sejalan dengan apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW, bahwa Tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah membawa fitrah (kecenderungan untuk percaya kepada Allah SWT), kedua orangtuanyalah yang menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani ataupun Majusi (HR. Muslim). Hadits ini mengisyaratkan kepada kita bahwa pada dasarnya anak itu telah membawa fitrah beragama, dan kemudian tergantung kepada pendidikan selanjutnya. Kalau mereka mendapatkan pendidikan agama dengan baik, maka mereka akan menjadi oranng yang taat beragama. Tetapi sebaliknya, bilamana benih agama yang telah dibawa tidak dipupuk dan dibina dengan baik, maka anak akan menjadi orang yang tidak beragama ataupun jauh dari agama. Tujuan Pengajaran Pendidikan Agama (Islam) Pengajaran adalah suatu proses yang didasarkan kepada tujuan. Dalam pendidikan dan pengajaran, tujuan dapat diartikan sebagai suatu usaha memberikan hasil yang diharapkan dari siswa setelah mereka menyelesaikan pengalaman belajar. Tujuan ini sangat penting karena merupakan pedoman untuk mengarahkan kegiatan belajar. Ada tiga alasan mengapa tujuan pengajaran itu perlu dirumuskan, yaitu: Jika suatu pekerjaan atau suatu tugas tidak disertai tujuan yang jelas dan benar, akan sulitlah untuk memilih atau merencanakan bahan dan strategi yang hendak ditempuh atau dicapai. Rumusan tujuan yang baik dan terinci akan mempermudah pengawasan dan penelitian hasil belajar sesuai dengan harapan yang dikehendaki dari subyek belajar. Perumusan tujuan yang benar akan memberikan pedoman bagi siswa atau subyek belajar dalam menyelesaikan materi dan kegiatan belajar. Rumusan tujuan senantiasa merupakan sifat yang sangat bermanfaat dalam perencanaan dan penilaian sutau program belajar mengajar. Demikian pula dengan pengajaran Pendidikan Agama Islam, agar proses pengajaran dapat berjalan secara efektif dan efisien, berdasarkan

pada tujuan. Menurut Mahmud Yunus, tujuan Pendidikan Agama Islam dalam segala tingkat pengajaran umum sebagai berikut: Menanamkan perasaan cinta dan taat kepada Allah SWT, dalam hati anak-anak. Menanamkan itikad yang benar dan kepercayaan yang benar dalam diri anak-anak. Mendidik anak-anak dari kecil supaya mengikuti seruan Allah SWT dan meninggalkan segala larangannya. Mendidik anak-anak dari kecil berakhlak mulian Mengajar pelajaran-pelajaran supaya mengetahui macam-macam ibadah yang wajib dikerjakan dan cara-cara melakukannya serta mengetahui hikmahnya, untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Memberi contoh dan suri tauladan yang baik. Membentuk warga negara yang baik dan masyarakat yang baik, yang berbudi luhur dan berakhlak baik serta berpegang teguh pada ajaran agama Islam. Tujuan Pendidikan Agama Islam merupakan tujuan yanng hendak dicapai oleh setiap orang yang melaksanakan Pendidikan Agama Islam, karena dalam pendidikan agama yang diutamakan adalah keimanan yang teguh, sebab iman yang teguh akan menghasilkan ketaatan menjalankan kewajiban agama. Tujuan tersebut mengandung arti bahwa Pendidikan Agama Islam itu menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya maupun masyarakat dan yang bersangkutan senang mengamalkan dan mengembangkan agama Islam serta mampu memanfaatkan alam untuk kepentingan hidupnya. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Pendidikan Agama Islam memiliki arti penting terutama dalam rangka mendidik kepribadian seseorang sesuai ajaran Islam. Bahkan dasar hukumnya cukup jelas yaitu Al-Quran dan Hadits, untuk selalu dipelajari dan ditanamkan oleh setiap muslim dalam menjalani kehidupan di dunia ini, karena itulah yang akan menjamin seseorang mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Prof. Dr. H. M. Arifin, M.Ed., menjelaskan tentang ruang lingkup Pendidikan Agama Islam yang dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan dalam lapangan hidup, meliputi: Lapangan hidup keagamaan Lapangan hidup berkeluarga Lapangan hidup ekonomi Lapangan hidup politik Lapangan hidup kemasyarakatan Lapangan hidup seni dan budaya Lapangan hidup ilmu pengetahuan Dilihat pembahasannya ruang lingkup pengajaran Pendidikan Agama Islam, meliputi tujuh pokok, yaitu: Keimanan Ibadat Al-Quran Akhlak Muamalah Syariah Tarikh PENDIDIKAN AGAMA MEMBANGUN MORAL/ETIK PESERTA DIDIK Seperti yang telah dijabarkan di atas bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia berkualitas secara lahiriyah dan bathiniyah. Secara lahiriyah pendidikan menjadikan manusia bermanfaat bagi dirinya dan orang lain, serta dapat menentukan arah hidupnya ke depan. Sedangkan secara bathiniyah pendidikan diharapkan dapat membentuk jiwa-jiwa berbudi,

tahu tata krama, sopan santun dan etika dalam setiap gerak hidupnya baik personal maupun kolektif. Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan akan membawa perubahan pada setiap orang sesuai dengan tata aturan. Selain itu agama juga mempunyai peran penting dalam dunia pendidikan, banyak ayat-ayat kauniyah yang menganjurkan umatnya untuk selalu belajar kapanpun dan dimanapun, atau dengan istilah long life education sebagai motivasi agama untuk dunia pendidikan. Misalnya wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW adalah tentang pendidikan, yaitu bagaimana kita membaca perkembangan diri sendiri, orang lain bahkan dunia dengan pengetahuan yang berorientasi agama (ketuhanan). Oleh sebab itu pendidikan agama (Islam) akan memberi imunisasi pada jiwa seseorang untuk selalu berada dalam jalan yang benar sesuai dengan ajaran agama itu sendiri, yang selalu mengajarkan kebenaran hakiki pada setiap aktifitas pemeluknya. Pendidikan agama pada dunia pendidikan merupakan modal dasar bagi anak untuk mendapatkan nilai-nilai ketuhanan, karena dalam pendidikan agama (Islam) diberikan ajaran tentang muamalah, ibadah dan syariah yang merupakan dasar ajaran agama. Hal inilah yang menjadikan pendidikan agama sebagai titik awal perkembangan nilai-nilai agama pada anak. Sebagai contoh, Allah SWT menganjurkan umatnya untuk bershadaqah, dengan shadaqah anak didik diharapkan peduli dengan masyarakat sekitar yang membutuhkan uluran tangah/bantuan. Shadaqah ini mengajarkan nilai-nilai sosial (muamalah) dalam berinteraksi di masyarakat. Dengan shadaqah seorang anak didik akan merasakan bahwa saling membutuhkan pada setiap orang adalah ciri dari kehidupan. Ini merupakan contoh kecil dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Dari contoh di atas mengajarkan simbiosis mutualisme dalam kehidupan yang menjadikan suatu bukti bahwa betapa pentingnya nilai-nilai agama diajarkan kepada anak, dimana dalam dunia pendidikan dicakup dalam satu bidang garapan yaitu pendidikan agama. Pendidikan agama dalam kehidupan tidaklah sepenuhnya menjadi tanggung jawab guru di sekolah, melainkan juga orang tua sebagai contoh nyata dalam kehidupan anak. Bagaimana mungkin anak akan menjadi baik, jika orang tuanya hidup dalam ketidakbaikan. Oleh karena itu pendidikan agama harus ditanamkan kepada anak dimanapun ia berada, baik formal maupun non formal. Lalu apakah pendidikan agama dapat membentuk moral anak didik? Untuk menjawab pertanyaan ini banyak elemen yang mencakup didalamnya. Secara teoritis seharusnya pendidikan agama dapat membentuk kepribadian anak, hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan agama yang endingnya iman dan taqwa kepada Allah SWT. Jika seseorang sudah beriman dan bertaqwa dengan sebenar-benarnya, maka segala perbuatannya akan mencerminkan nilai-nilai agama, menjalankan segala yang diperintah dan meninggalkan semua yang dilarang. Seiring dengan itu maka moral/etika pun akan tercermin di dalamnya. Bagaimana mungkin seseorang yang beriman dan bertaqwa misalnya, menggunakan narkoba atau hal-hal lain yang dilarang agama. Hal ini menjadi bukti bahwa jika seorang anak telah tertanam dalam dirinya nilai-nilai agama yang kuat, maka sudah dapat dipastikan moral/etika pada orang tersebut akan terbentuk dengan sendirinya, mengikuti irama iman dan kualitas taqwa yang ada padanya. Kesimpulan Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan agama mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan moral anak didik. Oleh karena itu orang tua/pendidik haruslah memperhatikan hal-hal sebagai berikut: Pendidikan agama hendaklah diberikan kepada anak sedini mungkin, ajarilah dari hal-hal yang kecil sesuai dengan tuntunan agama. Misalnya mendahulukan kaki kanan jika hendak memakai sepatu. Pelajaran pendidikan agama bukan merupakan science semata, melainkan ilmu amaliah tercakup didalamnya. Maka itu seorang pendidik harus benar-benar mencontohkan dengan perilaku yang baik.

Anak cenderung mengikuti apa yang dilihatnya dari orang dewasa oleh karena itu hendaknya orang-orang tua membiasakan berprilaku keseharian dengan akhlakul karimah, baik perkataan maupun perbuatan. DAFTAR PUSTAKA Ahmad Amin, Etika (Akhlak), Bulan Bintang, Jakarta, 1993 Amir Dain Indra Kusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya, 1973 Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak, Rajawali Press, Jakarta, 1994 Azyumardi Azra, Prof. Dr., MA., Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999 Departemen Agama RI, Petunjuk Kurikulum Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama GBPP Pendidikan Agama Islam, Dirjen Bimbaga Islam, Jakarta, 1995 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1995 H. Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama, Hidakarya Agung, Jakarta, 1990 HM. Arifin, Prof. Dr., M.Ed., Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta,1991 Ibnu Miskawaih, Tahzib al-Akhlak, Terjemah, Mizan, Bandung,1994 Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin, Dar al-Fikr, Beirut, t.th Imam Munawwir, Memahami Prinsip-prinsip Dasar Al-Islam, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1988 M. Quraish Shihab, Prof. Dr., Wawasan Al-Quran, Mizan, Bandung, 1996 Mahyuddin, Drs., Kuliah Akhlak Tasawuf, Kalam Mulia, Jakarta, 2001 -, Konsep Dasar Pendidikan Akhlak; dalam Al-Quran & Petunjuk Penerapannya dalm Hadits, Kalam Mulia, Jakarta, 2000 Mudlor Achmad, Drs., Etika dalam Islam, Al-Ikhlas, Surabaya, t.th Sardiman, AM., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996 Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, Bina Aksara, Jakarta, 1989 TGS. Muliadan KAH. Hiding, Ensiklopedia Indonesia, Bandung, t.th Zuhairini, Drs. H., at. al, Metodik Khusus Pendidian Agama, Usaha Nasional, Surabaya, 1983

Anda mungkin juga menyukai