Anda di halaman 1dari 23

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Sejak manusia diciptakan di bumi ini, sejak itulah mobilitas mulai terjadi. Mobilitas

dilakukan oleh manusia baik dalam jarak dekat maupun jarak jauh. Manusia melakukan mobilitas ke tempat lain yang dianggap bisa memberikan kehidupan yang lebih baik bagi mereka. Berbagai pakar ilmu sosial melihat mobilitas penduduk dari sudut proses untuk mempertahankan hidup (Wilkinson:1973 ; Broek,Julien Van den:1996 dalam Prijono,2000) Pada jaman dahulu manusia bahkan melakukan perjalanan lintas benua. Namun pada saat ini karena perkembangan dunia sehingga manusia lebih cenderung melakukan mobilitas dalam jarak dekat. Dewasa ini mobilitas dalam jarak dekat semakin banyak dilakukan oleh manusia. Demikian pula yang terjadi di indonesia, mobilitas yang terjadi dalam jarak dekat semakin hari semakin marak terjadi di kalangan penduduk indonesia. Beberapa alasan dari sebagian besar penduduk yang melakuakn migrasi atau mobilitas antara lain adalah untuk bekerja, sekolah, kursus, dan lainnya. Karena jaraknya dekat dan dapat ditempuh dengan sarana transportasi yang mudah, tidak sedikit orang yang memilih untuk tidak bermigrasi namun melakukan mobilitas ulang alik atau yang biasa disebut dengan komuter (commuter). Komuter atau migrasi ulang alik yaitu perpindahan yang dilakukan orang setiap hari meninggalkan tempat tinggalnya pergi ke kota lain untuk bekerja atau berdagang dan sebagainya tetapi pulang pada hari yang sama atau yang dikenal pula dengan istilah nglaju dalam bahasa Jawa. Pada tahun 2005 berdasarkan data hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2005, diketahui bahwa terdapat sekitar 7,6 juta penduduk yang melakukan migrasi ulang alik yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, setelah dilakukan penghitungan manual, beberapa provinsi tampak menampung migran komuter lebih besar dari provinsi lainnya. Provinsi tersebut adalah Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara. Kelima proinsi tersebut memiliki jumlah migran komuter terbanyak, bahkan 72,53 persen dari seluruh komuter di Indonesia terdapat di lima provinsi tersebut. sedangkan sisanya sebesar 27, 47 persen tersebar di provinsi-provinsi lain dan proporsi tentu saja tidak sebesar kelima provinsi tersebut. kemudian pada tahun 2008, berdasarkan data hasil Survei Tenaga Kerja Nasional 2008 diperoleh informasi bahwa
1

proporsi komuter di lima provinsi tersbut adalah 68,4 persen dari seluruh migran komuter di Indonesia pada tahun tersebut. Sebagian besar migran komuter di Indonesia melakukan migrasi untuk bekerja,

proporsi kegiatan utama tersebar setelah bekerja adalah belajar. Hampir di seluruh provinsi di Indonesia ditemui bahwa proporsi kegiatan utama terbesar pertama adalah bekerja, kemudian diikuti dengan belajar, lalu lainnya. Dalam hal ini, pelajar yang melakukan komuter cukup menarik untuk diulas mengingat hal ini dapat menjadi indikasi perkembangan pendidikan, dimana pada masa sekarang ini preferensi pendidikan masyarakat Indonesia sudah semakin baik. Baik dari orang tua maupun si anak sendiri menginginkan bersekolah di sekolah yang kualitasnya dianggap baik. Sehingga tak jarang bila harus memilih sekolah yang berada di luar kota namun masih dapat terjangkau tempatnya dengan sarana transportasi yang ada. Berdasarkan data dari survei yang sama, proporsi jumlah pelajar komuter di lima provinsi diatas juga mempunyai andil yang sangat besar, yakni 69,26 persen dari seluruh pelajar komuter yang ada di Indonesia. Sedangkan 30, 74 persen sisanya tersebar di seluruh provinsi lainnya. Tabel 1. Jumlah pelajar Komuter berdasarkan Jenis Kelamin di Provinsi Sumatra Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah, 2005 laki-laki perempuan (2) (3) (1) 31.03 29.70 Jawa Barat 10.92 11.27 DKI Jakarta 10.14 9.38 Jawa Timur 9.30 10.02 Sumatra Utara 8.39 8.28 Jawa Tengah 100 100 Indonesia Sumber : Publikasi SUPAS 2005, BPS Provinsi Jumlah Pelajar Komuter Total (4) 30.42 11.08 9.79 9.63 8.34 100

Tampak pada tabel diatas, hanya pada 2 provinsi yang proporsi pelajar perempuannya lebih besar dari pada laki-laki, yakni di Provinsi Sumatra Utara dan Provinsi DKI Jakarta. Sedangka di 3 Provinsi lainnya menunjukkan laki-laki lebih banyak. Teori opportunity cost dan rate of return akibat penyelenggaraan pendidikan yang dikembangkan oleh Ehrenberg dan Smith (2002) menegaskan bahwa tingkat pendidikan dan keinginan seseorang untuk melakukan mobilitas memiliki korelasi kuat dan positif.

Pendidikan merupakan media strategis untuk melakukan transformasi sosial dalam menyiapkan human resources yang cerdas, dinamis, progresif, inovatif-kreatif dan tentu mempunyai basis spiritualitas dan akhlak mulia. Pendidikan membangun pola pikir seseorang menjadi lebih peka dan kritis dalam menanggapi suatu permasalahan. Oleh karena pendidikan merupakan faktor penting yang menentukan kualitas SDM, maka individu akan berusaha mendapatkan pelayanan pendidikan dengan kualitas yang sesuai yang diharapkan, meskipun dia harus menempuh jarak yang jauh. Pendidikan seseorang merupakan salah satu proses perubahan tingkah laku, semakin tinggi pendidikan seseorang maka dalam memilih tempat-tempat pelayanan kesehatan semakin diperhitungkan. Menurut Azwar (1996), merupakan suatu faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang dan pendidikan dapat mendewasakan seseorang serta berperilaku baik, sehingga dapat memilih dan membuat keputusan dengan lebih tepat.

1.2 Identifikasi Masalah Semakin hari, mobilitas atau migrasi dalam jarak dekat semakin banyak terjadi. Seperti teori Ravenstein dalam Todaro 1885 yang mengemukakan adanya kecenderungan pola migrasi non permanen, khususnya mobilitas ulang alik. Dalam situasi ekonomi yang terus berkembang dan disertai dengan meningkatnya sarana dan prasarana transportasi yang semakin baik, arus mobilitas penduduk cenderung menunjukkan gerak yang sifatnya berulang-ulang. Sifat berulang ini dapat terjadi dalam limit waktu yang pendek sekali, misalnya dalam jangka waktu satu hari. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara memberi sumbangsih yang besar terhadap jumlah komuter di Indonesia. Hal ini terjadi baik pada komuter secara umum, maupun komuter yang bertujuan untuk sekolah.

1.3 Rumusan Masalah


3

Dari latar belakang dan masalah yang telah diuraikan diatas, beberapa permasalahan dapat dirumuskan melalui beberapa pertanyaan berikut : 1. Bagaimana profil pelajar komuter di Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara pada tahun 2005 ? 2. Apakah terdapat hubuungan antara jumlah pelajar komuter di masing-masing Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara dengan jumlah sekolah di masing-masing provinsi pada tahun 2005 ? 3. Apakah terdapat hubuungan antara jumlah pelajar komuter di masing-masing Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara dengan PDRB di masing-masing provinsi pada tahun 2005 ? 1.4 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui profil pelajar komuter di Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara pada tahun 2005 2. Untuk mengidentifikasi hubungan antara jumlah pelajar komuter di masing-masing Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara dengan jumlah sekolah di masing-masing provinsi pada tahun 2005 3. Untuk mengidentifikasi hubungan antara jumlah pelajar komuter di masing-masing Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara dengan jumlah sekolah di masing-masing provinsi pada tahun 2005 1.5 Manfaat Penelitian Melalui tulisan ini diharapkan bisa menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya mengenai migrasi ulang-alik atau komuter khusunya mengenai pelajar komuter di Indonesia. Mengingat masih terbatasnya penelitian mengenai hal ini, serta keterbatasan data pula, maka diharapkan penlitian ini dapat memelopori penelitian-penelitian yang lebih mendalam.

1.6

Sistematika Penulisan Secara umum penulisan hasil penelitian ini disusun sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN
4

Pada bab ini dibahas mengenai latar belakang permasalahan, identifikasi masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini dibahas mengenai tinjauan pustaka, operasional variabel, dan hipotesis penelitian. BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pada bab ini dibahas mengenai prosedur pengumpulan data, populasi dan sampel, pengukuran variabel, dan metode analisis yang digunakan. BAB IV HASIL DAN ANALISIS Pada bab ini dibahas tentang hasil analisis deskriptif melalui tabel dan grafik serta analisis inferensia melalui analisis jalur BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini dibahas tentang kesimpulan hasil analisis data serta saran-saran berkaitan dengan hasil penelitian. kerangka pikir, definisi

BAB II LANDASAN TEORI

2.1

Kajian Teori

2.1.1 Jenis Kelamin terhadap migrasi Ravenstein (1885) menyatakan bahwa perpindahan wanita biasanya terjadi dalam jarak yang dekat, sedangkan laki-laki berpindah dalam jarak yang jauh. Biasanya kaum wanita hanya pergi ke kota-kota yang terdekat dari tempat asalnya. Donal J. Bogue (1969) berpendapat bahwa perpindahan lebih ditentukan oleh tingkat perkembangannya. Pada awal perkembangan, yang lebih dulu pindah adalah kaum laki-laki. Ini karena risiko yang harus dihadapi di daerah baru sangat tinggi, juga karena tradisi pada mulanya wanita selalu dilarang untuk berpindah. Setelah perpindahan itu menjadi rutin, dan umum dilakukan, dimana lakilaki kemudian menetap di daerah itu, maka wanita mulai banyak yang ikut bermigrasi.

2.1.2 Jarak dan Waktu Tempuh Perjalanan terhadap migrasi Peningkatan mobilitas juga tak lepas dari aspek perbaikan sarana transportasi. Lebih lanjut, antara peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana juga memiliki hubungan yang kuat dengan peningkatan sosial ekonomi penduduk, di sisi lain perjalanan penduduk akan semakin mudah dan relatif murah sehingga sangat memungkinkan bagi individu untuk menjangkau ke berbagai tempat untuk bekerja. Proses ini kemudian diperkuat dengan media informasi dan teknologi yang juga semakin berkembang. Terkait dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan Hugo telah membuktikan bahwa penduduk yang cenderung melakukan komuting disebabkan karena ketersediaan sarana trasportasi serta waktu tempuh yang tidak begitu lama. Tingkat upah yang lebih tinggi dengan standar hidup di wilayah asal yang relatif rendah, sistem pengangkutan yang relatif terjangkau dengan banyak variasi akan membuat penduduk akan semakin fleksibel melakukan komuting (ILO, 2004). Jarak dan waktu dapat tergantung dari pemilihan rute perjalanan. Terkadang informasi yang cukup tentang kemudahan dan rintangan diperjalanan (misalnya tentang kemacetan jalan) sangat menentukan dalam memilih rute perjalanan. Dalam masyarakat perkotaan, jarak merupakan sesuatu yang relatif walaupun dapat diukur dalam suatu satuan meter. Jarak tidak lagi mendefinisikan dekat atau jauh tetapi kemampuan untuk menjangkau dengan waktu yang rendah merupakan indikator untuk menempuh perjalanan. Sehingga jarak tempuh dapat diganti dengan menggunakan waktu tempuh sebagai ukuran untuk menggambarkan panjangnya perjalanan. Menggunakan waktu tempuh dapat diterima karena
6

waktu merupakan fungsi dari biaya dan jarak. Bahkan masyarakat perkotaan, bagi mereka biaya mungkin bukan menjadi suatu masalah untuk melakukan suatu mobilitas. Mereka rela membayar lebih demi mengefisienkan waktu perjalanan dan bahkan mampu membayar lebih mahal untuk mendapat kenyamanan. Faktor penunjang dan kemudahan untuk melakukan mobilitas banyak dijumpai pada proses mobilitas non permanen termasuk faktor jarak perjalanan ke tempat aktivitas. Penelitian Hugo (1975:122) pula antara tempat asal dengan tempat tujuan terdapat hubungan yang cukup kuat. Penelitian "Pola Mobilitas Penduduk dan Dampaknya terhadap Daerah yang Ditinggalkan" oleh Kantor Menteri KLH dan PPK UGM (1989:82) menunjukkan bahwa jarak merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pola mobilitas. Ditemukan bahwa pada beberapa kota penelitian migran cenderung memilih kota/daerah tujuan yang mempunyai jarak terdekat dengan daerah asal dan sebagian besar terdiri dari mobilitas ulang alik. Hak yang berhubungan dengan jarak ini memang sangat logis, karena dengan kemajuan di bidang transportasi maka jarak merupakan fungsi dari biaya. Kemudahan transportasi, pembangunan infrastruktur yang kian berkembang, juga motivasi untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang sesuai harapan tentu akan menjadikan intensitas perjalanan pelajar ke sekolah-sekolah di luar daerah administratif tempat tinggalnya juga semakin berkembang, sehingga tindak komuting pun akan semakin meningkat.

2.1.3 Hubungan Pembangunan Fasilitas Daerah dengan Mobilitas Pembangunan merupakan suatu kenyataan fisik sekaligus tekad suatu masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin demi mencapai kehidupan yang lebih baik yang dapat dilihat dari peningkatan ketersediaan kebutuhan hidup pokok, peningkatan standar hidup, dan perluasan pilihan-pilihan ekonomi dan sosial (Todaro & Smith, 2004). Pembangunan menjelaskan proses dan usaha untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, budaya, infrastruktur masyarakat, dan merupakan bagian dari teori perubahan sosial (Mansour Fakih). Teori pembangunan lebih memperhatikan perubahan sosial dibanding disiplin ilmu sosial lainnya (Bjorn Hettne). Pembangunan infrastruktur fisik merupakan komponen dasar perekonomian dan merupakan aspek utama di dalam pemerataan pembangunan dan kesejahteraan di dalam kondisi nasional yang beragam. Sementara itu, apabila dikaitkan dengan mobilitas penduduk,
7

mobilitas penduduk sendiri merupakan bagian integral dari proses pembangunan secara keseluruhan. Mobilitas telah menjadi penyebab dan penerima dampak dari perubahan dalam struktur ekonomi dan sosial suatu daerah. Oleh sebab itu, tidak terlalu tepat untuk hanya menilai semata-mata aspek positif maupun negatif dari mobilitas penduduk terhadap pembangunan yang yang ada, tanpa memperhitungkan pengaruh kebaikannya. Tidak akan terjadi proses pembangunan tanpa adanya mobilitas penduduk. Tetapi juga tidak akan terjadi pengarahan penyebaran penduduk yang berarti tanpa adanya kegiatan pembangunan itu sendiri. Pada hakekatnya keputusan untuk melakukan mobilitas merupakan refleksi perbedaan pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan fasilitas pembangunan antara satu daerah dengan daerah lain. Secara teori, penduduk dari daerah yang tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah akan berpindah menuju daerah yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Oleh karena itu, analisis mobilitas penduduk baik mobilitas permanen maupun non permanen merupakan hal yang penting terkait sebagai salah satu acuan bagi terlaksananya pembangunan manusia seutuhnya, terutama di era otonomi daerah. Mobilitas penduduk dan pembangunan memiliki satu hubungan yang sangat erat. Mobilitas penduduk mempunyai dampak terhadap proses pembangunan. Gerak pembangunan ini kemudian akan mempengaruhi angka, bentuk dan arah mobilitas penduduk (Prijono Tjiptoherijanto, 1998). Mobilitas penduduk dari daerah asal dengan perekonomian lebih rendah menuju ke daerah tujuan dengan perekonomiannya lebih maju menjadi salah satu bagian dari proses pembangunan. Hugo (2011) dalam penelitiannya tentang mobilitas di Indonesia menemukan bahwa gejala mobilitas di Indonesia meningkat pesat dalam dua dasawarsa terakhir sebagai konsekuensi logis dari perubahan besar dalam bidang sosial dan ekonomi. Mobilitas yang dilakukan oleh seseorang tidak semata-mata ditentukan diri mereka sendiri, tapi juga didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan tersebut. Salah satu sarana yang sangat berpengaruh pada tingkat mobilitas penduduk adalah sarana transportasi. Transportasi merupakan aspek yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan pembangunan terutama dalam mendukung kegiatan perekonomian masyarakat tak terkecuali di daerah perdesaan. Dengan dibangunnya sarana transportasi, kegiatan ekonomi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, khususnya dalam pembangunan pada kawasan yang mempunyai potensi ekonomi tinggi akan lebih mudah dikembangkan.

Selain itu, semakin membaiknya prasarana transportasi, maka frekuensi mobilitas nonpermanen meningkat dan frekuensi mobilitas permanen menurun. Sama halnya seperti keadaan migrasi regional, dengan adanya peningkatan sarana transportasi dan komunikasi, maka jangkauan mobilitas nonpermanen semakin jauh dan waktu tempuh semakin singkat.Kelancaran transportasi akibat membaiknya akses akan mendorong meningkatnya tingkat mobilitas ke luar wilayah, baik untuk tujuan bekerja, sekolah, pariwisata, dan lain-lain. (Ananta, 1995) Tempat tinggal juga mempengaruhi seseorang untuk melakukan migrasi, Chotib (2011) menjelaskan bahwa migrasi cenderung dilakukan menuju daerah-daerah yang memiliki tingkat urbanisasi tinggi.Hal ini mengindikasikan bahwa daerah dengan tingkat pembangunan sarana dan prasarana yang baik, termasuk fasilitas pendidikan di dalamnya, akan merangsang peningkatan arus mobilitas di daerah tersebut, baik mobilitas yang dilakukan oleh penduduk setempat dalam hal ini adalah penduduk yang bersekolah, atau yang tinggal di luar satuan administratif daerah tersebut.

2.1.4 Hubungan Perekonomian Daerah dengan Mobilitas Tujuan pembangunan meliputi kenaikan pendapatan perkapita yang relatif cepat, ketersediaan kesempatan kerja yang luas, distribusi pendapatan yang merata, serta kemakmuran antar daerah. Namun kenyataan yang ada adalah, masih besarnya distribusi pendapatan dan pembangunan yang tidak merata. Akibatnya terjadilah kesenjangan ekonomi yang makin parah, baik antar pusat dan daerah, antar masing-masing daerah, antar golongan pendapatan, dan di seluruh aspek kehidupan sehingga membuat stuktur ekonomi tidak kokoh. Kesenjangan demikian menimbulkan adanya suatu pergerakan penduduk (mobilitas), utamanya penduduk di daerah tertinggal, untuk tetap mendapatkan kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Mobilitas penduduk sangat terkait dengan kondisi perekonomian suatu daerah. Secara umum struktur ekonomi suatu daerah ditandai oleh adanya dualisme antara sektor modern yang padat modal dan upah tinggi dengan sisa ekonomi atau sektor tradisional yang padat karya dengan upah rendah (Widarti 1984 dan Lewis 1986). Adanya dualisme tersebut dapat menimbulkan potensi ketimpangan sosial ekonomi antara daerah yang kurang maju dengan daerah yang telah maju.

Kondisi sosial-ekonomi di daerah asal yang tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan seseorang, menyebabkan orang tersebut ingin pergi ke daerah lain. Tiap individu mempunyai kebutuhan yang berbeda, dengan demikian penilaian terhadap daerah asal dari masing-masing individu tersebut menjadi berbeda-beda. Kondisi inilah yang menyebabkan adanya proses pengambilan keputusan untuk pindah dari masingmasing individu yang berbeda pula (Ida Bagus Mantra, 1986). Everett Lee (1966) menjelaskan secara implisit bahwa semakin maju kondisi sosial ekonomi suatu daerah akan menciptakan berbagai faktor penarik, seperti perkembangan industri, perdagangan, pendidikan, peumahan, dan transportasi. Hal ini tentu saja akan menjadi faktor penarik bagi penduduk di daerah lain untuk melakukan sebuah aktifitas ke daerah tersebut sekaligus menjadi faktor pendorong bagi penduduk di daerah tersebut untuk tetap bertahan.

2.2 Kerangka Pikir Banyaknya jumlah pelajar komuter di suatu daerah mengindikasikan bahwa tingkat pendidikan di daerah tujuan lebih baik daripada daerah asal. Tingkat pendidikan yang baik ini salah satu ditandai dengan ketersediaan sarana serta fasilitas pendidikan yang memadai di daerah tersebut. seperti ketersediaan sekolah maupun universitas yang sangat menunjang pendidikan. Pembangunan sarana prasarana serta fasilitas di suatu daerah tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit jika menghendaki kualitas yang baik. Tingkat perekonomian daerah yang baik dapat menunjang pembangunan-pembangunan di daerah tersebut, termasuk pula pembangunan pendidikan.

Berdasarkan kerangka pikir diatas, dapat digambarkan skema berikut :

Jumlah Sekolah dan Universiitas

Jumlah pelajar komuter

PDRB

Gambar 1. Kerangka Pikir

2.3 Defiinisi Operasional Variabel


10

1. Commuter (Migran Ulang-Alik) adalah jika seseorang yang bepergian dalam satu hari, misal pergi pada pagi hari dan kembali sore hari atau di hari yang sama melewati batas wilayah kota/kabupaten. Komuter adalah jika seseorang yang bekerja atau bersekolah dalam satu hari, yaitu pergi pada pagi hari dan kembali sore hari atau di hari yang sama, dilakukan secara terus menerus atau secara rutin. Melintasi batas tidak lagi mempermasalahkan jarak dimana penduduk yang tinggal di daerah perbatasan sangat dengan mudah dikatakan komuter apabila telah melampaui batas-batas administrative kabupaten/kota, artinya melintasi batas mungkin saja untuk jarak yang sangat dekat (tidak sampai 1 kilometer). Yang dimaksud rutin disini tidak harus selalu setiap hari melakukan kegiatannya diluar kabupaten/kota, tetapi bias dua hari sekali atau tiga hari sekali, asalkan kegiatan tersebut sudah menjadi kebiasaan. Sekolah adalah kegiatan bersekolah di sekolah formal baik baik pada pendidikan dasar, menengah atau pendidikan tinggi.Tidak termasuk yang sedang libur. Menurut istilah Ida Bagoes Mantra, migrasi harian (nglaju) atau Komuter adalah jika seseorang yang bekerja dalam satu hari, yaitu pergi pada pagi hari dan kembali sore hari atau dihari yang sama, dilakukan secara terus menerus setiap harinya. Sementara mobilitas penduduk adalah gerak (movement), penduduk yang melintas batas wilayah menuju ke wilayah lain dalam periode waktu tertentu. Penggunaan batas wilayah dan waktu untuk indikator mobilitas penduduk horizontal ini mengikuti paradigma ilmu geografi yang mendasarkan konsepnya atas wilayah dan waktu (Space and Time Concept) (Ida Bagoes Mantra, 2000 dalam Markus 2010). 2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah indikator yang menggambarkan keadaan perekonomian penduduk di suatu wilayah/ daerah. 3. Jenis Kelamin adalah jenis kelamin responden yang akan ditelitiJumlah sekolah adalah jumlah sarana untuk pendidikan seperti jumlah sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, perguruan tinggi,dan setaranya.
4. Bersekolah adalah mereka yang terdaftar aktif mengikuti pendidikan baik di suatu

jenjang pendidikan formal (pendidikan dasar yaitu SD/sederajat dan SMP/sederajat, pendidikan menengah yaitu SMA/sederajat dan pendidikan tinggi yaitu PT/sederajat) maupun non formal (Paket A setara SD, paket B setara SMP dan paket C setara SMA) yang berada di bawah pengawasan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), Kementerian Agama (Kemenag), instansi lainnya negeri maupun swasta.

11

5. Umur adalah usia responden berdasarkan ulang tahun terakhir, diukur dengan satuan tahun. 6. Jarak tempuh adalah jarak perjalanan yang ditempuh yang diukur dalam satuan kilometer.

BAB III METODOLOGI

3.1 Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu publikasi Survei Antar Sensus (SUPAS) Tahun 2005 yang diselenggarakan oleh BPS secara rutin tiap lima tahun sekali.SUPAS 2005 dirancang khusus untuk mendapatkan data ststistik kependudukan yang dapat dibandingkan dengan hasil Sensus Penduduk 2000 (SP2000). Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik demografi, ketenagakerjaan, dan sosial budaya. Karakteristik demografi yang dikumpulkan adalah mengenai fertilitas, mortalitas dan migrasi,
12

serta riwayat kelahiran dan kematian anak dari wanita pernah kawin. Keterangan yang dihimpun dibidang ketenagakerjaan mencakup lapangan usaha, jenis pekerjaan, dan status pekerjaan. Data sosial budaya mencakup tingkat pendidikan, kondisi tempat tinggal, dan kegiatan penduduk lanjut usia (lansia). SUPAS 2005 juga mencakup pelaporan kejadian vital kelahiran, kematian, dan perpindahan. 3.2 Metode Analisis Dalam penelitian ini, untuk menjelaskan tujuan penelitian digunakan metode Analisis Deskriptif, yaitu dengan menyajikan karakteristik dari pelajar komuter baik dengan tabel maupun grafik, serta beberapa variabel yang berkaitan dengan jumlah pelajar komuter di provinsi terpilih.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

Gambaran Umum Persentase Komuter di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara terhadap Provinsi lain di Indonesia pada tahun 2005

Gambar 2. Persentase Komuter di Indonesia berdasarkan Provinsi Terpilih dan di luar Provinsi Terpilih Tahun 2005

13

Sumber : BPS Dari grafik diatas, kita dapat mendapatkan informasi bahwa lima provinsi terpilih dalam penugasan ternyata menyumbangkan sebesar 73 persen komuter dari keseluruhan komuter di Indonesia, baik yang kegiatan utamanya bekerja, bersekolah, atau lainnya. Sementara itu, apabila dirinci lebih mendalam untuk penduduk yang bersekolah saja (pelajar komuter), akan dianalisis oleh grafik dibawah ini :

4.2 Gambaran Umum Persentase Pelajar Komuter di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara terhadap Pelajar Komuter di Provinsi lain di Indonesia pada tahun 2005 Gambar 3. Persentase Pelajar Komuter di Indonesia berdasarkan Provinsi Terpilih dan di luar Provinsi Terpilih Tahun 2005

Sumber : BPS Berdasarkan grafik diatas, ternyata persentase pelajar komuter dari lima provinsi terpilih menyatakan kondisi yang sejalan dengan persentase penduduk komuter. Dimana lima provinsi terpilih menyumbangkan sebesar 69 persen komuter dari keseluruhan pelajar komuter di Indonesia.

4.3 Gambaran Umum Pelajar Komuter di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara berdasarkan Jenis Kelamin pada tahun 2005

14

Berdasarkan data SUPAS 2005, persentase jumlah komuter yang melakukan kegiatan sekolah di tempat tujuan berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada grafik berikut :

Sumber : Hasil pengolahan data Publikasi SUPAS 2005, BPS

Dari grafik diatas, tampak bahwa di lima provinsi tersebut memiliki n pola proporsi yang sama antara pelajar laki-laki dan perempuan. Pelajar laki-laki cenderung lebih besar persentasenya, bahkan untuk data keseluruhan pelajar komuter di Indonesia. Hal ini sejalan dengan teori yang dungkapkan oleh Ravenstein yang mengungkapkan bahwa laki-laki yang melakukan migrasi lebih banyak daripada perempuan. Adapun selisihnya tidak berbeda jauh antara laki-laki dan

perempuan

perempuan. Fenomena ini mengindikasikan telah adanya kesetaraan jender di kelima provinsi tersebut, dimana memang provinsi-provinsi tersebut merupakan provinsi yang tergolong maju jika dibandingkan provinsi lainnya. Mengenai kesetaraan jender salah satunya telah disebutkan pada GBHN 1993 yang tertulis : ... pembinaan peranan wanita sebagai mitra sejajar pria ditujukan untuk meningkatkan peran aktif dalam kegiatan pembangunan, ... (halaman 99). Kemudian GBHN tahun 1999 juga masih memuat mengenai peningkatan hidup kaum perempuan masih menjadi prioritas strategis pembanggunan nasional.

4.4 Gambaran Umum Jarak Tempuh Pelajar Komuter di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Sumatra Utara pada tahun 2005 Timur, Jawa Tengah, dan

15

Tabel 2. Persentase Pelajar Komuter berdasarkan Jarak tempuh ke sekolah di Provinsi Sumatra Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah, 2005
Provinsi <10 (1) DKI Jakarta Jawa Tengah Jawa Timur Jawa Barat (2) 36.51 32.47 37.76 45.46 Jarak Tempuh ke Sekolah (KM) 10-29 (3) 47.82 43.19 36.39 26.75 30+ (4) 15.66 24.34 25.85 27.79 11.88 Total (5) 100 100 100 100 100

52.29 35.89 Sumatera Utara Sumber : Hasil Pengolahan data SUPAS 2005, BPS

Berdasarkan tabel di atas, kita dapat melihat bagaimana gambaran pelajar komuter berdasarkan jarak tempuh perjalanan ke sekolah, di Provinsi Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Secara umum, sebagian pelajar berkomuting dengan jarak tempuh perjalanan ke sekolah < 10 km, kecuali untuk provinsi DKI Jakarta dan Jawa Tengah yang sebagian besar pelajar komuter menempuh jarak perjalanan ke sekolah 1029 km. Untuk provinsi DKI Jakarta dan Jawa Tengah, pelajar berkomuting dengan jarak tempuh perjalanan dengan persentase terbanyak ke sekolah 10-29 km, dan persentase yang terkecil adalah pelajar dengan jarak tempuh 30+ km. Untuk provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sumatera Utara pelajar berkomuting dengan jarak tempuh perjalanan dengan persentase terbanyak ke sekolah <10 km, dan persentase yang terkecil adalah pelajar dengan jarak tempuh 30+ km. Terlihat bahwa persentase terkecil dari semua pelajar yang melakukan commuting ke sekolah semua berjarak 30+ km. Hal ini sesuai dengan penelitian Hugo (1975:122) yang menyatakan bahwa antara tempat asal dengan tempat tujuan terdapat hubungan yang cukup kuat. Ini artinya bahwa jarak merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pola mobilitas. Semakin jauh jarak semakin kecil pula keinginan sesorang untuk melakukan migrasi, karena sesorang cenderung ingin melakukan perpindahan ketempat yang lebih dekat.

4.5 Gambaran Umum Lama Perjalanan Pelajar Komuter di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Sumatra Utara pada tahun 2005 Timur, Jawa Tengah, dan

16

Tabel 3. Persentase Pelajar Komuter Menurut Lama Perjalanan ke Sekolah di Provinsi Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur Tahun 2005 Provinsi (1) Sumatera Utara DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Lama Perjalanan ke Sekolah (Menit) <30 30-59 60-119 120+ (2) (3) (4) (5) 51.62 29.63 13.99 4.77 27.25 31.74 33.86 7.15 45.38 26.71 27.74 0.17 32.44 43.15 24.31 0.10 37.68 36.31 25.80 0.21 Total (6) 100 100 100 100 100

Sumber : Hasil Pengolahan data SUPAS 2005, BPS

Berdasarkan tabel diatas, kita dapat melihat bagaimana gambaran pelajar komuter berdasarkan waktu tempuh perjalanannya ke sekolah, di provinsi Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Secara umum, sebagian besar pelajar berkomuting dengan lama perjalanan kurang dari 30 menit, kecuali untuk provinsi DKI Jakarta yang sebagian besar pelajar komuter menempuh waktu perjalanan 60-119 menit ke sekolah, dan Jawa Tengah yang sebagian besar pelajar komuternya menempuh waktu perjalanan 30-59 menit ke sekolah. Untuk provinsi Sumatera, Jawa Barat, dan Jawa Timur, persentase terbesar adalah pelajar dengan waktu tempuh ke sekolah kurang dari 30 menit, dan yang terkecil adalah pelajar dengan waktu tempuh ke sekolah 2 jam lebih. Sementara untuk provinsi DKI Jakarta persentase terbesar adalah pelajar dengan waktu tempuh antara 60-119 menit ke sekolah, dan persentase yang paling kecil adalah pelajar dengan waktu tempuh 2 jam lebih. Kemudian, untuk provinsi Jawa Timur persentase terbesar adalah pelajar dengan waktu tempuh antara 30-59 menit ke sekolah, dan persentase yang paling kecil adalah pelajar dengan waktu tempuh 2 jam lebih. Dari tabel diatas kita juga dapat melihat, kita dapat menyimpulkan bahwa secara garis besar semakin lama waktu perjalanan semakin kecil pula pelajar yang melakukan komuting. Hal ini sesuai dengan teori terkait waktu tempuh yang dibutuhkan seseorang untuk melakukan mobilitas. Khusus untuk daerah DKI Jakarta, sebagian besar pelajar komuternya rela untuk menempuh jarak yang relatif jauh untuk bersekolah (10-29 kilometer), dengan persentase waktu tempuh yang dominan ada pada 60 hingga hampir 2 jam. Padahal untuk provinsi lainnya persentase waktu tempuh yang dominan ada pada kisaran waktu 30 menit hingga 1 jam saja. Hal ini mengindikasikan keadaan lalu lintas di Jakarta berbeda dengan keadaan di empat provinsi lainnya, kemacetan lalu lintas di ibukota ini telah menjadi masalah yang kronis sampai sekarang.

17

Fenomena kemacetan yang seolah tidak pernah terpecahkan solusinya diantaranya disebabkan oleh pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta diperkirakan berada di kisaran 5-10% per tahun dengan motor sebagai porsi terbesar penyumbangnya. Berbanding kontras dengan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor, pertumbuhan panjang jalan bahkan kurang dari 1% per tahunnya. Akibatnya, kendaraan bermotor semakin menumpuk di jalanan Jakarta dan kemacetan pun tidak terhindari. Selain oleh warga Jakarta, kemacetan juga diperparah oleh para pelaju dari kota-kota di sekitar Jakarta seperti Depok, Bekasi, Tangerang dan Bogor yang bekerja di Jakarta. 4.6 Tingkat Pendapatan Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan di MasingMasing Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Sumatra Utara pada tahun 2005 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah produksi yang dihasilkan oleh suatu masyarakat dalam kurun waktu 1 tahun yang berada didaerah/ regional tertentu. Perkembangan PDRB atas dasar berlaku dari tahun ke tahun menggambarkan perkembangan PDRB yang disebabkan oleh adanya perubahan dalam volume produksi barang dan jasa yang dihasilkan dan perubahan dalam tingkat harganya. Untuk dapat mengukur perubahan volume produksi atau perkembangan produksi secara nyata, faktor pengaruh harga perlu dihilangkan dengan cara menghitung PDRB atas dasar harga konstan. Grafik 2. PDRB Atas Dasar Harga Konstan di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara pada tahun 2005 Timur, Jawa Tengah, dan

4.7 Hubungan antara Jumlah Sekolah dengan Jumlah Pelajar Komuter di MasingSumber : BPS Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Masing Sumatra Utara pada tahun 2005

18

Tabel 4 . Jumlah Pelajar Komuter dan Jumlah Sekolah Provinsi Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur Tahun 2005 Provinsi Jumlah Pelajar Komuter (2) 181012 208188 571451 156693 183902 Jumlah Sekolah&PT (3) 13033 6523 25358 24760 25056

(1) Sumatera Utara DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Rxy = 0,3361 Sumber : hasil pengolahan data SUPAS 2005 ; Daerah Dalam angka, BPS

Tabel diatas menunjukkan jumlah komuter dan jumlah sekolah (baik sekolah SD, SMP, maupun SMA dan sederajat serta jumlah perguruan tinggi) di masing-masing Provinsi Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur Tahun 2005. Melalui perhitungan korelasi Pearson yang digunakan untuk mengetahui tingkat (derajat) keeratan hubungan linier antara dua variabel atau lebih, yang minimal berskala ukur interval. Adapun rumus cara memperoleh nilai korelasi Pearson :

rxy =
n

(X
i =1 i =1

X )(Yi Y )
n

( X i X ) 2 (Yi Y ) 2
i =1

Melalui pernghitungan menggunakan kalkulator, diperoleh nilai korelasi antara jumlah pelajar komuter di masing-masing proinsi dan jumlah sekolah di provinsi tersebut sebesar 0.3361. Dengan besar nilai korelasi tersebut, dapat dikatakan bahwa korelasi antara keduanya tidak terlalu kuat bahkan cenderung lemah. Hal ini dimungkinkan akibat data yang digunakan hanya pada lima provinsi, sehingga data observasi yang digunakan terlalu sedikit dan kurang kuat dalam menggambarkan keeratan hubungan antara jumlah pelajar komuter dengan jumlah sekolah di masing-masing provinsi.

4.8

Hubungan antara Jumlah Pelajar Komuter dengan PDRB di Masing-Masing Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara pada tahun 2005
19

Tabel 5 . Jumlah Pelajar Komuter dan Jumlah Sekolah Provinsi Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur Tahun 2005
Provinsi (1) Sumatera Utara DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Jumlah Pelajar Komuter (2) 181012 208188 571451 156693 183902 Tingkat PDRB (rupiah) (3) 87897791.21 295270547 242883881.7 143051214 256442606

Sumber : hasil pengolahan data SUPAS 2005 ; Daerah Dalam angka, BPS Rxy = 0,310

Data pada tabel diatas menggambarkan tingkat PDRB dan jumlah pelajar komuter di masing-masing Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara pada tahun 2005. Berdasarkan hasil penghitungan melalui Korelasi Pearson, diperoleh pula nilai korelasi antara jumlah pelajar komuter di sutau provinsi dengan tingkat PDRB di provinsi tersebut sebesar 0.31. Dari nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa hubungan antara keduanya tidak cukup kuat dan cenderung lemah.

4.9 Pengujian Kebebasan ( Uji Independensi) 4.9.1 Pelajar Komuter Menurut Provinsi Terpilih Dengan Waktu Tempuh H0: Tidak ada hubungan antara pelajar komuter menurut provinsi terpilih dengan waktu tempuh ke sekolah H1: Ada hubungan antara pelajar komuter menurut provinsi terpilih dengan waktu tempuh ke sekolah =5% 212;0,05=21.03 Statistik uji: 2=

20

Provinsi (1) Sumatera Utara DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Total

Lama Perjalanan ke Tempat Kegiatan (Menit) <30 (2) 305301 299565 1019828 236054 320591 2181339 30-59 (3) 175232 349003 600191 314056 308977 1747459 60-119 (4) 82740 372291 623373 176941 219484 1474829 120+ (5) 28187 78614 3793 709 1820 113123

Total (6) 591460 109947 3 224718 5 727760 850872 551675 0

: 2=413415.974> 2tabel Keputusan: maka tolak H0 Kesimpulan:Jadi dengan C.I. 95% dapat dinyatakan ada hubungan antara pelajar komuter menurut provinsi terpilih dengan waktu tempuh perjalanan ke sekolah

4.7.2 Pelajar Komuter Menurut Provinsi Terpilih Dengan Jenis Kelamin H0: Tidak ada hubungan antara pelajar komuter menurut provinsi terpilih dengan jenis kelamin H1: Ada hubungan antara pelajar komuter menurut provinsi terpilih dengan jenis kelamin =5% 24;0,05= 9.4877 Statistik uji: 2=

Provinsi (1) Sumatera Utara DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah

Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan (2) (3) 387351 205568 750490 348983 1595463 651722 466394 261366

Total (4) 1099473 727760 850872 2247185 21

Jawa Timur Total

602498 3802196

248374 1716013

592919 5518209

: 2= 17674.38088> 2tabel Keputusan: maka tolak H0 Kesimpulan:Jadi dengan C.I. 95% dapat dinyatakan ada hubungan antara pelajar komuter menurut provinsi terpilih dengan jenis kelamin 4.7.3 Pelajar Komuter Menurut Provinsi Terpilih Dengan Jarak Tempuh H0: Tidak ada hubungan antara pelajar komuter menurut provinsi terpilih dengan jarak tempuh ke sekolah H1: Ada hubungan antara pelajar komuter menurut provinsi terpilih dengan jarak tempuh ke sekolah =5% 28;0,05=15,513
Statistik Uji 2 = Provinsi Sumatera Utara DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Total Jarak Tempuh ke sekolah (km) <10 401453 1019828 236054 320591 309073 2286999 10-29 525783 600191 314056 308977 212148 1961155 30+ 172237 623373 176941 219484 69853 1261888 Total 1099473 2243392 727051 849052 591074 5510042

2=240310.4> 2tabel Keputusan: maka tolak H0 Kesimpulan:Jadi dengan C.I. 95% dapat dinyatakan ada hubungan antara pelajar komuter menurut provinsi terpilih dengan jarak tempuh perjalanan ke sekolah
22

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari pembahasan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut : 1. Secara umum, pelajar komuter di lima provinsi terpilih memiliki karakteristik sebagai berikut : setengah lebih dari keseluruhan pelaku komuting berjenis kelamin laki-laki, dimana sebagian besar dari mereka adalah pelaku komuting dengan jarak ke tempat aktivitas kurang dari 10 kilometer, serta waktu tempuh yang juga kurang dari 30 menit. 2. Berdasarkan uji Chi-Squaredidapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin, jarak antara tempat tinggal dengan tempat aktivitas dan waktu tempuh perjalanan dengan jumlah komuter di lima provinsi terpilih. 3. Tingkat keeratan antara pelajar komuter di lima provinsi terpilih baik dengan tingkat PDRB maupun jumlah sekolah&PT cukup rendah dan positif.

5.2 Saran Fenomena mengenai migrasi nonpermanen sangat menarik untuk dikaji. Selain Migrasi Komuter atau ulang alik, migrasi sirkuler juga banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia dimasa sekarang ini. Namun, ketersediaan data untuk migrasi sirkuler masih sangat terbatas. Sehingga disarankan untuk banyak melakukan penelitian-penelitian yang bersifat eksploratif sebagai pelopor penelitian migrasi sirkuler.

23

Anda mungkin juga menyukai