Anda di halaman 1dari 26

Laporan Simulasi Kasus ULKUS PEPTIK Disusun Guna Memenuhi Sebagian Syarat Untuk Mengikuti Ujian Ilmu Farmasi

Kedokteran

Oleh : Muhammad Ajib Nuzula Lita Susanti Masliani I1A003065 I1A004029 I1A004062

Pembimbing : Dr. Alfi Yasmina M.Kes

Universitas Lambung Mangkurat Fakultas Kedokteran Laboratorium Farmasi Banjarbaru Agustus, 2009

BAB I PENDAHULUAN

I. 1 Latar Belakang Penyakit ulkus peptik (UP) merupakan salah satu penyakit gastrointestinal yang sering terjadi. Prevalensi terbanyak UP pada usia antara usia 65 tahun sampai 74 tahun. Penyakit ini terbagi atas dua yaitu ulkus lambung (UL) dan Ulkus duodenum (UD) (1,2). Ada 2 penyebab tersering ulkus peptik yaitu akibat infeksi oleh Helicobacter pylori (H.pylori) dan penggunaan NSAIDs jangka panjang. Dari hasil penelitian diketahui bahwa penyebab utama UP adalah H.pylori, tetapi

peranan faktor-faktor lain dalam kejadian UP jelas ada sehingga UP dikatakan sebagai penyakit multifaktorial (3,4,5).

Gambar 1. Gambaran ulkus peptik dengan endoskopi (2)

Definisi Penyakit ulkus peptik (UP) secara anatomis didefinisikan sebagai suatu kerusakan mukosa/ submukosa yang berbatas tegas dapat menembus lapisan muskularis sampai lapisan serosa sehingga dapat terjadi perforasi. Secara klinis, suatu ulkus adalah hilangnya epitel superfisial atau lapisan lebih dalam dengan diameter >5mm yang dapat diamati secara endoskopis atau radiologis (1). A. Etiologi dan Patogenesis Etiologi UP tersering adalah adanya faktor agresif yang merusak pertahanan mukosa seperti H. pylori, obat anti inflamasi non-steroid, asam lambung/pepsin dan faktor-faktor lingkungan serta kelainan satu atau beberapa faktor pertahanan yang berpengaruh pada kejadian UP (6). H. pylori adalah bakteri gram negatif yang dapat hidup dalam suasana asam dalam lambung/ duodenum, berbentuk kurva , dan mempunyai satu atau lebih flagel pada salah satu ujungnya. Bakteri ini ditularkan secara fekal-oral atau oraloral. Di dalam lambung terutama terkonsentrasi dalam antrum, bakteri ini berada pada lapisan mukus pada permukaan epitel yang sewaktu-waktu dapat menembus sel-sel epitel/antar epitel (7) . H. pylori mempunyai mekanisme pertahanan terhadap asam lambung dengan membuat suasana alkali menggunakan enzim urea yang akan memecah urea. Bila terjadi infeksi H. pylori, maka bakteri ini akan melekat pada permukaan epitel dengan bantuan adhesin sehingga dapat lebih efektif merusak mukosa dengan melepaskan sejumlah zat sehingga terjadi gastritis akut yang dapat berlanjut menjadi gastritis kronik aktif atau duodenitis kronik aktif. Untuk terjadi

kelainan selanjutnya yang lebih berat seperti ulkus atau kanker lambung ditentukan oleh virulensi H.pylori dan faktor-faktor lain, baik dari host sendiri, maupun adanya gangguan fisiologis lambung/duodenum (7,8). Apabila terjadi infeksi H. pylori, host akan memberi respon untuk mengeliminasi/ memusnahkan bakteri ini melalui mobilisasi sel-sel PMN/ limfosit yang menginfiltrasi mukosa secara intensif dengan mengeluarkan bermacammacam mediator inflamasi atau sitokinin, seperti interleukin 8, gamma interferon alfa, tumor nekrosis faktor dan lain-lain, yang bersama-sama dengan reaksi imun yang timbul justru akan menyebabkan kerusakan sel-sel epitel gastroduodenal yang lebih parah namun tidak berhasil mengeliminasi bakteri dan infeksi menjadi kronik (8). Obat antiinflamasi non-steroid (OAINS). Obat antiinflamasi non-steroid (OAINS) dan asam asetil salisilat (acethyl salcylic acid = ASA) merupakan salah satu obat yang paling sering digunakan dalam berbagai keperluan, seperti anti piretik, anti inflamasi, analgetik, antitrombotik dan kemoprevensi kanker kolorektal. Pemakaian OAINS/ASA secara kronik dan reguler dapat

menyebabkan terjadinya risiko perdarahan gastrointestinal. Pada usia lanjut, penggunaan OAINS/ASA dapat meningkatkan angka kematian akibat terjadinya komplikasi berupa perdarahan atau perforasi dari ulkus (9). Pemakaian OAINS/ASA bukan hanya dapat menyebabkan kerusakan struktural pada gastroduodenal, tetapi juga pada usus halus dan usus besar berupa inflamasi, ulserasi atau perforasi. Patogenesis terjadinya kerusakan mukosa terutama gastroduodenal penggunaan OAINS/ASA adalah akibat efek

toksik/iritasi langsung pada mukosa yang memerangkap OAINS/ASA yang bersifat asam sehingga terjadi kerusakan epitel dalam berbagai tingkat, namun yang paling utama adalah efek OAINS/ASA yang menghambat kerja dari enzim siklooksigenase (COX) pada asam arakidonat sehingga menekan produksi prpstaglandin/prostasiklin. Seperti diketahui, prostaglandin endogen sangat berperan/berfungsi dalam memelihara keutuhan mukosa dengan mengatur aliran darah mukosa, proliferasi sel-sel epitel, sekresi mukus dan bikorbanat, mengatur fungsi immunosit mukosa serta sekresi basal asam lambung (5,6,9). Beberapa faktor risiko yang memudahahkan terjadinya ulkus peptik pada penggunaan OAINS, yaitu (5,8): 1) umur tua (> 60 tahun) 2) riwayat tentang adanya ulkus peptik sebelumnya 3) dispepsia kronik 4) intoleransi terhadap penggunaan OAINS sebelumnya 5) jenis, dosis dan lamanya penggunaan OAINS 6) penggunaan secara bersamaan dengan kortikosteroid, antikoagulan dan penggunaan 2 jenis OAINS bersamaan 7) penyakit penyerta lainnya yang diderita oleh pemakai OAINS Beberapa faktor lingkungan atau penyakit lain yang dapat merupakan faktor risiko terjadinya ulkus peptik, yaitu (8): a) Merokok (tembakau, sigaret) dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi H.pylori. dengan menurunkan faktor pertahanan dan menciptakan miliu yang sesuai untuk H.pylori

b) Faktor stres, malnutrisi, makanan tinggi garam dan defisiensi vitamin c) Penyakit tertentu di mana prevalensi Ulkus peptik meningkat seperti sindrom Zollinger Elison, mastositosis sistemik, penyakit Chron dan hiperparatiroidisme d) Faktor genetik Gambaran Klinis Gambaran klinik UP sebagai salah satu bentuk dispepsia organik adalah sindrom dispepsia, berupa nyeri dan atau rasa tidak nyaman {discomfort) pada epigastrium (1). 1) Anamnesis Gejala-gejala UP memiliki periode remisi dan eksaserbasi, menjadi tenang berminggu-minggu, berbulan-bulan dan kemudian terjadi eksaserbasi beberapa minggu merupakan gejala khas (6). Nyeri epigastrium merupakan gejala yang paling dominan, nyeri seperti rasa terbakar, nyeri rasa lapar, rasa sakit/tidak nyaman yang mengganggu dan tidak terlokalisasi; biasanya terjadi setelah 2 jam-3 jam post prandial dan nyeri dapat berkurang sementara sesudah makan, minum susu atau minum antasida. Hal ini menunjukkan adanya peranan asam lambung/pepsin dalam patogenesis UP. Gejala mual dan muntah timbul secara perlahan tetapi menetap. Terkadang ada hematemesis akibat perdarahan di lambung serta ditemukan adanya tinja berwarna hitam (1,9). Sepuluh persen dari UP, khususnya yang disebabkan oleh OAINS menimbulkan komplikasi (perdarahan/perforasi) tanpa adanya keluhan nyeri

sebelumnya sehingga anamnesis mengenai penggunaan OAINS perlu ditanyakan pada pasien (8). 2. Pemeriksaan fisik Tidak banyak tanda fisik yang dapat ditemukan selain kemungkinan adanya nyeri palpasi epigastrium, kecuali bila sudah terjadi komplikasi (1,9). B. Komplikasi Diagnosis pasti UP dilakukan dengan pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas dan sekaligus dilakukan biopsi lambung untuk deteksi H.pylori atau dengan pemeriksaan foto barium kontras ganda (1,2). Komplikasi yang ditimbulkan UP pada umumnya antara lain (10): 1) Perdarahan: tanda yang ditemukan anatara lain hematemesis, tinja berwarna hitam (melena). Hematemesis/melena dapat disertai syok hal tersebut menunjukkan terjadi perdarahan masif dan perdarahan tersembunyi yang kronik. 2) 3) Perforasi: nyeri perut menyeluruh sebagai tanda peritonitis Obstruksi biasanya pada perbatasan antara lambung dengan duodenum, ulkus yang lama menglami penyempitan sehingga makanan dan minuman sulit untuk melewatinya. Gejala yang timbul natara lain : mual-muntah, muntah yang berulang, perut kembung dan penurunan berat badan menurun. C. Manajemen dan Penatalaksanaan Pada umumnya manajemen atau pengobatan ulkus peptik/UP dilakukan secara medikamentosa, sedangkan cara pembedahan dilakukan apabila terjadi komplikasi seperti perforasi, obstruksi dan perdarahan yang tidak dapat diatasi. Selain itu, juga

perlu dilakukan terapi nonfarmakologi untuk mencegah terjadinya kekambuhan dan gangguan gastrointestinal lainnya yang dapat berupa perubahan cara hidup, seperti menghentikan kebiasaan merokok, minum alkohol, makan teratur (1,7). Tujuan dari pengobatan adalah (1,10): a) Menghilangkan gejala-gejala terutama nyeri epigastrium, b) Mempercepat penyembuhan ulkus secara sempurna, c) Mencegah terjadinya komplikasi,

d) Mencegah terjadinya kekambuhan. Eradikasi H pylori untuk ulkus yang disebabkan oleh H pylori merupakan tujuan utama. Meskipun antibiotik mungkin cukup untuk terapi UP dengan H.pylori, tetapi kombinasi dengan penghambat pompa proton (PPI) dengan 2 jenis antibiotik (Triple therapy) merupakan cara terapi terbaik. Angka kesembuhan UP dengan triple therapies yaitu 85%-90%. Akan tetapi, dapat terjadi kegagalan terapi bila terjadi ketidakpatuhan penderita dalam meminum obat yang diberikan, sehingga ulkus dapat relaps. Lamanya pengobatan antara 7 hari sampai dengan 14 hari, dan pengobatan dengan PPI selama 14 hari lebih efektif dibandingkan dengan pengobatan 7 hari. Penggunaan metronidazol jarang diberikan karena angkan resistensi tinggi. Amoxicillin harus diganti dengan metronidazol jika penderita diketahui alergi terhadap golongan penicillin (11). Adapun obat yang digunakan antara lain yaitu (11): a. PPI Amoksisilin Klaritromisin

b.

PPI Amoksisilin Metronidazol Pada pasien dengan kegagalan triple therapies dapat dianjurkan

Quadruple therapies yaitu PPI PO, Bismuth 525 mg PO, Metronidazole 500 mg PO dan Tetracycline 500 mg PO (11). Dual therapies, di mana dapat dijadikan alternative untuk mengobati infeksi H.pylori, tidak direkomendasikan sebagai first-line therapy karena angka kesembuhan kurang dibandingkan dengan triple therapy (11). Penelitian yang dilakukan oleh Marshall, dilaporkan bahwa perlu dilakukan eradikasi H. pylori pada penderita gangguan gastrointestinal berupa nyeri di daerah ulu hati, mual, terasa pedih dan mulas sampai muntah-muntah, yang memenuhi hal-hal berikut ini (12): 1. Keluhan berlangsung cukup lama 2. Faktor penyebab lain dapat disingkirkan (misalnya pemakaian NSAID) 3. Terapi konvensional misalnya pemberian antasida tidak mengurangi gejala. Selain itu, berdasarkan konsensus nasional mengenai H. pylori pada tahun 1996 dinyatakan bahwa penggunaan eradikasi H. pylori sangat dianjurkan pada ulkus duodeni yang belum diketahui penyebabnya, ulkus ventrikuli, pasca reseksi kanker lambung dini, MALT lymphoma, dan dianjurkan dispepsia tipe ulkus,

gastritis kronik aktif berat, gastropati AINS (NSAID), dan gastritis hipertrofik (13). Ulkus aktif akibat penggunaan NSAID dapat diterapi dengan PPI serta penghentian penggunaan NSAIDs. Pada pasien dimana masih memerlukan atau penggunaan NSAID tidak dapat dihindari. Hal yang mungkin dilakukan adalah dengan menurunkan dosis serta durasi penggunaan NSAIDs, serta ditambahkan PPI atau misoprostol (5,11).

BAB II SIMULASI KASUS

2.1 Kasus Tn. Waldi, 27 tahun, pekerjaan manajer perusahaan swasta, alamat Jalan Pangeran Rt. 12 No. 5 Banjarmasin, datang ke dokter umum jam 11.00 pagi dengan keluhan sakit perut. Sakit perut sudah sejak 1 hari sebelumnya, waktu itu ada rapat evaluasi dengan pimpinan dari Jakarta karena sangat sibuk, tidak sempat makan sampai malam tadi. Sakit perut terasa di ulu hati, terasa pedih dan mulas sampai muntah-muntah. Pagi tadi dipaksa makan tapi perut mual, sehingga makan menjadi malas. Sudah dicoba Plantacid syrup, tapi perut tetap sakit dan mual masih ada. Tidak ada demam. Dan buang air besar seperti biasa pagi tadi. Pasien sering mengalami sakit perut seperti ini, tapi dianggap penyakit biasa yang hilang sendiri sudah dibawa makan. Pemeriksaan Fisik : Tanda vital : TD N RR T Kepala Thorax Abdomen : 130/90 mmHg : 90 x/ : 20 x/ : 37,50 C

: dalam batas normal : dalam batas normal : nyeri tekan epigastrium, bising usus norml

Diagnosis : Ulkus Peptik

2.2 Tujuan Pengobatan 1. Pengobatan kausatif, dengan pemberian antibiotika yang efektif untuk H. pylori. 2. Pengobatan simptomatik, dengan pemberian PPI untuk mengurangi sekresi asam lambung 2.3 Alasan Pengobatan Pada umumnya manajemen atau pengobatan ulkus peptik dilakukan secara medikamentosa, sedangkan cara pembedahan dilakukan apabila terjadi komplikasi seperti perforasi, obstruksi dan perdarahan yang tidak dapat diatasi (1). Ulkus peptik kebanyakan disebabkan oleh infeksi H. pylori dan berdasarkan konsensus nasional pada tahun 1996 dinyatakan bahwa penggunaan eradikasi H pylori sangat dianjurkan pada ulkus peptik yang belum diketahui penyebabnya. Selain itu, menurut penelitian Marsal dilaporkan bahwa perlu dilakukan eradikasi H pylori pada penderita dengan keluhan gastrointestinal berupa nyeri di daerah ulu hati, mual, terasa pedih dan mulas sampai muntahmuntah yang sudah berlangsung cukup lama, dan faktor penyebab lain dapat disingkirkan (misalnya pemakaian NSAID), serta pemberian terapi konvensional misalnya antasida tidak mengurangi keluhan yang diderita (1,12,13). Tujuan terapi ulkus peptik akibat infeksi H pylori adalah dengan eradikasi H pylori. Walaupun antibiotik mungkin cukup untuk terapi UP dengan H.pylori, namun kombinasi dengan Penghambat pompa proton (PPI) dengan 2 jenis antibiotik (Triple therapy) merupakan cara terapi terbaik dan efektif dapat menyembuhkan sebanyak 85-95 % UP (1).

2.4 Daftar kelompok Obat dan Jenisnya Yang Berkhasiat Untuk Ulkus Peptik Pada Kasus Ini

Kelompok Obat 1. Antibiotik

2. Inhibitor Pompa Proton

3. Blok reseptor H2

4. Sitoprotektor

Jenis Obat Amoxicillin Claritromisin Metronidazol Tetrasiklin Lansoprazole Esomeprazole Rabeprazole Omeprazole Simetidin Ranitidine Famotidin Nizatidin Misoprostol

2.5 Perbandingan Kelompok Obat Menurut Khasiat, Keamanan dan Kecocokannya Untuk Kasus Tersebut Keamanan (Efek Samping Obat) Gangguan ginjal Infeksi sekunder (kandidiasis) Iritasi saluran cerna dan peningkatan enzim hati

No Jenis Obat 1. Amoxicillin

Khasiat Anti bakteri Untuk bakteri gram (+) dan (-) Bakteriostati s terhadap bakteri gram positif dan beberapa gram negatif

Kecocokan (Kontraindikasi) Riwayat hipersensitivitas terhadap amoxicillin Hipersensitifitas terhadap klaritromisin, eritromisin atau antibiotika golongan makrolida lainnya Kehamilan trimester I dan menyusui,

Klaritromisin

Metronidazole Efektif terhadap semua

Mual, sakit kepala, mulut kering dan rasa

Tetrasiklin

2.

Omeprazole

cocci dan basil kecap logam, anaerob, gram kencing positif dan kemerahan, negatif, tetapi lekopeni tidak efektif untuk kuman aerob, juga Reaksi alergi, bersifat amebecid iritasi lambung, Bersifat leukositosis, bakteriostatik dan caries pada gigi, bekerja dengan trombositopenia jalan menghambat sintesis protein kuman menurunkan membahayakan sekresi asam janin lambung bioavailabilitas menurunkan pada orang tua insidensi Ulkus meningkat peptik akibat NSAIDs Menurunkan Gangguan dengan sangat lambung, usus, kuat asam nyeri kepala, lambung nyeri otot, dan sendi, gatal-gatal, rasa kantuk atau sukar tidur (jarang)

hipersensitifitas terhadap metronidazole Kehamilan diatas 4 bulan, dan anak sampai usia 8 tahun karena mengakibatkan tulang rapuh dan kalsifikasi gigi Riwayat hipersensitivitas terhadap omeprazole

Lansoprazole

Kemungkinan keganasan lambung sebaiknya disingkirkan pada penggunaan obat ini, hipersensitifitas Riwayat hipersensitifitas

Esomeprazole

Menghambat asal membahayakan lambung dengan janin inhibisi enzim H+/K+ -ATPase pada lapisan permukaan lambung yaitu sel parietal Menghambat asal membahayakan lambung dengan janin inhibisi enzim H+/K+ -ATPase pada lapisan permukaan lambung yaitu sel

Rabeprazole

Riwayat hipersensitifitas

3.

parietal Golongan H2Bloker Simeti Menduduki reseptor H2 di mukosa din lambung yang memicu produksi asam klorida, sehingga menghambat produksi asam baik alami maupun yang dirangsang makanan in Daya hambat sekresi asam lambung lebih kuat daripada simetidin

Diare, nyeri otot, pusing, reaksi kulit, ginekomastia, memperlambat perombakan obat lain di hati karena menghambat enzim oksidatif di hati

Kehamilan dan laktasi karena dapat melintasi barier plasenta dan mencapai air susu

Ranitid

Tidak menghambat enzim oksidatif di hati, efek samping lain mirip simetidin kecuali ginekomastia Kulit kering, kemerahan pada kulit, iritasi kulit

Kehamilan dan laktasi karena dapat melintasi barier plasenta dan mencapai air susu Riwayat hipersensitivitas terhadap famotidin

Famoti din

Menekan aktifitas mikroba serta Melindungi mukosa sal.cerna

4.

Misoprostol

Analog prostaglandin

Nyeri perut dan diare Gangguan ginjal

Riwayat hipersensitivitas terhadap misoprotol Risiko tinggi komplikasi Ulkus peptik

2.6 Pilihan Dan Alternatif Obat Yang Digunakan Terapi Kausatif: Uraian Nama Obat Obat Pilihan Amoksisilin Generik : Amoksisilin BSO : tablet 250 mg, 500 mg; kapsul 125 mg; sirup 125 mg/ 5 ml BSO (Generik, Paten : Amoxillin Paten, Kekuatan) BSO : tablet 125 mg; kapsul 250 mg; kaplet 500 mg; sirup 125 mg/5 ml Dalam bentuk tablet BSO yang diberikan karena pasien dewasa dan dan alasan tidak ada gangguan menelan Dosis Referensi 2 x 1000 mg(1) 2 x 1000 mg sesuai Dosis dalam kasus dengan referensi(1) Frekuensi Pemberian 2 x sehari sesuai dengan dan alasan dosis anjuran referensi(1) Peroral Pasien dewasa Cara Pemberian dan dan tidak ada gangguan alasan menelan Saat Pemberian dan Setiap 12 jam menjaga alasannya kadar tetap stabil 7 hari sesuai dengan(1) Lama Pemberian referensi untuk kasus ini Uraian Nama Obat Obat Pilihan Klaritromisin Generik : Klaritromisin BSO : tablet 250 mg Obat Alternatif Metronidazole Generik : Metronidazole BSO : tablet 250 mg, 500 mg; suspensi 125 mg/5 ml; tablet vagina 500 mg Paten : Flagyl BSO : tablet 250 mg; tablet forte 500 mg, 1000 mg; suspensi 125 mg/5 ml; infus 500 mg/100 ml Dalam bentuk tablet karena pasien dewasa dan tidak ada gangguan menelan 3 x 500 mg(1) 3 x 500 mg sesuai dengan referensi(1) 3 x sehari sesuai dengan dosis anjuran referensi(1) Peroral Pasien dewasa dan tidak ada gangguan menelan Setelah makan karena dapat menyebabkan mual 7 hari sesuai dengan(1) referensi untuk kasus ini

BSO (Generik, Paten, Kekuatan)

BSO yang diberikan dan alasan

Obat Alternatif Tetrasiklin Generik : Tetrasiklin BSO : kapsul atau tablet 250 dan 500 mg Paten : Claros Paten : Tetradex BSO : tablet 125 mg; BSO : kapsul 250 mg; kapsul 250 mg; kaplet kapsul forte 500 mg 500 mg; sirup 125 mg/5 ml Dalam bentuk tablet Dalam bentuk tablet karena karena pasien dewasa dan pasien dewasa dan tidak tidak ada gangguan ada gangguan menelan menelan

2 x 500 mg(1) 2 x 500 mg sesuai dengan Dosis dalam kasus referensi(1) Frekuensi Pemberian 2 x sehari sesuai dengan dan alasan dosis anjuran referensi(1) Peroral Pasien dewasa Cara Pemberian dan dan tidak ada gangguan alasan menelan Saat Pemberian dan Setiap 12 jam menjaga alasannya kadar tetap stabil 7 hari sesuai dengan Lama Pemberian referensi untuk kasus ini(1) Dosis Referensi Terapi Simptomatik: Uraian Nama Obat Obat Pilihan Omeprazol Generik : Omeprazol BSO : kapsul 20 mg Paten : Pumpitor BSO : kapsul 20 mg 2 x 20 mg(1) 2 x 20 mg sesuai dengan dosis referensi(1) Kapsul pasien dewasa tidak ada gangguan menelan 2 kali sehari sesuai dengan dosis terapi yang dianjurkan(1) Per Oral Pasien dewasa dan tidak ada gangguan menelan Sebelum makan menurunkan sekresi asam lambung, mengurangi mual 14 hari sesuai dengan lamanya rentang waktu pemberian PPI pada terapi eradikasi(1)

4 x 250 mg(1) 4 x 250 mg sesuai dengan referensi(1) 4 x sehari sesuai dengan dosis anjuran referensi(1) Peroral Pasien dewasa dan tidak ada gangguan menelan Setiap 6 jam menjaga kadar tetap stabil 7 hari sesuai dengan referensi untuk kasus ini(1)

Obat Alternatif Lansoprazol Generik : Lansoprazol BSO : kapsul 30 mg Paten : Prolanz BSO : kapsul 30 mg 2 x 30 mg(1) 2 x 30 mg sesuai dengan dosis referensi(1) Kapsul pasien dewasa tidak ada gangguan menelan 2 kali sehari sesuai dengan dosis terapi yang dianjurkan(1) Per Oral Pasien dewasa dan tidak ada gangguan menelan Sebelum makan menurunkan sekresi asam lambung, mengurangi mual 14 hari sesuai dengan lamanya rentang waktu pemberian PPI pada terapi eradikasi(1)

BSO

Dosis referensi Dosis dalam kasus BSO yang diberikan dan alasan Frekuensi pemberian dan alasan Cara Pemberian dan alasan Saat Pemberian dan alasan

Lama pengobatan

2.7 Resep yang benar dan rasional untuk kasus diatas

Terapi Utama dr.Lita Susanti SIP No. 081/01/01/2009

Banjarbaru, 19 Agustus 2009 R/ Amoksisilin tab mg 500 S 2.d.d tab II pc (o.12.h) R/ Klaritromisin tab mg 250 No VII S 2.d.d tab II pc (o.12.h) No VII

R/

Omeprazol cap mg 20 S 2.d.d cap I ac m et v

No XIV

Pro : Tn. Waldi Umur : 27 tahun Alamat : Jalan Pangeran Rt. 12 No. 5 Banjarmasin

Terapi Alternatif

dr. Lita Susanti SIP No. 081/01/01/2009

Banjarmasin, 15 Agustus 2009 R/ Metronidazole tab mg 500 S 3.d.d tab I pc (o.8.h) R/ Tetrasiklin cap mg 250 S 4.d.d cap I pc (o.6.h) No VII No VII

R/

Lanzoprazol cap mg 30 S 2.d.d cap I ac m et v

No XIV

Pro : Tn. Waldi Umur : 27 tahun Alamat : Jalan Pangeran Rt. 12 No. 5 Banjarmasin

2.8 Pengendalian obat Diagnosis pada kasus ini adalah ulkus peptik suspek kausa H. pylori yaitu ulkus pada mukosa gaster dan duodenum yang disebabkan H. pylori. Dasar penentuan diagnosis ini karena H. pylori itu paling banyak menyebabkan ulkus peptik 75 % dan berdasarkan konsensus nasional mengenai H. pylori pada tahun 1996 dinyatakan bahwa gangguan gastrointestinal lama yang berupa nyeri di daerah ulu hati, mual, terasa pedih dan mulas kemungkinan besar disebabkan oleh H. pylori, sehingga eradikasi H pylori sangat dianjurkan pada ulkus peptik yang belum diketahui penyebabnya (1,12). Selain itu, menurut penelitian Marsal dilaporkan bahwa perlu dilakukan eradikasi H pylori pada penderita dengan keluhan gastrointestinal berupa nyeri di daerah ulu hati, mual, terasa pedih dan mulas sampai muntah-muntash yang sudah berlangsung lama, dan faktor penyebab lain dapat disingkirkan misalnya pemakaian NSAID, serta pemberian terapi konvensional misalnya antasida tidak mengurangi keluhan yang diderita (1,12-14). Ada 2 macam cara diagnosis pasti infeksi H. pylori yaitu diagnosis invasif yang memerlukan endoskopi dan biopsi mukosa lambung, dan diagnosis noninvasif yang tidak memerlukan endoskopi dan biopsi. Diagnosis invasif meliputi (14): 1. Deteksi kuman H. pylori dengan cara pemeriksaan histopatologik 2. Tes urease cepat yang mendeteksi adanya enzim urease dalam spesimen biopsi lambung. 3. Pembiakan kuman H. pylori dari spesimen biopsi lambung.

4. Pemeriksaan PCR spesimen biopsi lambung Diagnosis noninvasif meliputi (14): 1. Tes Nafas Urea (Urea Breath Test) untuk mengukur enzim urease yang ada dalam lambung yang diproduksi oleh kuman H. pylori. 2. Tes Immunoserologic untuk deteksi antibodi terhadap kuman H. pylori dalam darah penderita. 3. Deteksi antigen fekal untuk mendeteksi fragmen kuman H. pylori yang didapatkan dalam tinja. Pada anamnesis didapatkan keluhan nyeri di daerah ulu hati, mual, terasa pedih dan mulas sampai muntah-muntah. Pagi hari dipaksa makan tapi perut mual, sehingga makan menjadi malas. Sudah dicoba Plantacid syrup, tapi perut tetap sakit dan mual masih ada. Tidak ada demam. Dan buang air besar seperti biasa pagi tadi. Pasien sering mengalami sakit perut seperti ini, tapi dianggap penyakit biasa yang hilang sendiri setelah dibawa makan. Pengobatan dilakukan dengan menggunakan obat yang sesuai dengan dosis, cara pemberian dan lama pemberian akan sangat mendukung dalam kesembuhan kasus ini. Pengobatan pada ulkus peptik kausa H. pylori umumnya adalah pengobatan yang memiliki banyak terapi pilihan. Pengobatan kombinasi terutama dengan regimen tiga obat merupakan pilihan yang terbaik saat ini. Di Amerika Serikat didapatkan angka kesembuhan ulkus peptik dengan menggunakan tiga regimen terapi adalah 85-90%. Pada kasus ini diberikan kombinasi antibiotika golongan amoksisilin dan klaritromisin ditambah dengan obat golongan PPI yaitu

omeprazol. Pemberian kombinasi obat ini berdasarkan literatur dengan dosis dan lama pengobatan tertentu yang telah diteliti efektif untuk eradikasi H. pylori . Sedangkan untuk terapi alternatif dapat digunakan kombinasi antibiotika golongan metronidazole dan tetrasiklin ditambah dengan obat golongan PPI yaitu lanzoprazol(1,16). Pilihan bentuk sediaan berdasarkan usia penderita yang dianggap bisa mengkonsumsi bentuk padat, selain harga lebih murah dan penyimpanan mudah. Lama pengobatan untuk infeksi H. pylori adalah 7-14 hari. Menurut konsensus sebaiknya pemberian antibiotika untuk 7 hari sesuai dengan waktu pemakaian antibiotika umumnya dan berdasarkan pengalaman sudah efektif. Sedangkan PPI digunakan selama 14 hari untuk melindungi mukosa lambung yang masih dalam proses penyembuhan dari peradangan. Bila ada kegagalan penyembuhan setelah terapi selama 14 hari, maka diberikan quadruple theraphy yaitu PPI dua kali sehari per oral, bismuth 525 mg per oral 4 x sehari, metronidazol 500 mg 4xsehari dan tetrasiklin 500 mg per oral 4 x sehari(1). Selain itu, ada lagi pengobatan terbaru pengganti triple therapy dan quadruple therapy yaitu terapi dengan mengganti bismuth dengan levofloksasin pada quadruple therapy. Yaitu dengan mengkombinasikan levofloksasin, claritromisin, amoksisilin, dan esomeprazole. Keempat obat ini bisa digunakan sebagai first line therapy atau second line therapy di Belanda. Kombinasi dengan amoksisilin ditemukan mengurangi sedikit efek samping pengobatan (16). Selain itu di Brazil, ada obat bernama furazolidone yang berefek baik sebagai pengganti obat metronidazol yang resisten pada beberapa orang (17). Selain itu pula ada

triple therapy dengan obat azitromisin, omeprazole dan amoksisilin. Namun, obat ini memiliki tingkat kesembuhan yang rendah pada ulkus peptik dan harga yang cukup mahal, sehingga tidak direkomendasikan penggunaan obat azitromisin ini (18). Pemberian antibiotika untuk amoksisilin dengan dosis sesuai literatur 2 x 1000 mg setiap 12 jam bertujuan mempertahankan kadarnya tetap tinggi dalam plasma. Amoksisilin dapat diberikan sebelum dan sesudah makan. Pemberian klaritromisin 2 x 500 mg setiap 12 jam setelah makan. Pemberian Metronidazole 3 x 500 mg setiap 8 jam setelah makan. Pemberian tetrasiklin 4 x 250 mg setiap 6 jam setelah makan. Pemberian obat-obatan ini rata-rata setelah makan yaitu -1 jam setelah makan karena diketahui efek samping penggunaannya pada saluran cerna. Penggunaan obat golongan PPI omeprazol 2 x 20 mg dan lanzoprazol 2 x 30 mg sebelum makan untuk menurunkan asam lambung dan mengurangi mual. Dalam pengobatan ulkus peptik selain pemberian terapi farmakologis juga perlu dilakukan terapi non farmakologis untuk mencegah terjadinya kekambuhan yaitu berupa perubahan cara hidup, seperti terapi diet, menghentikan kebiasaan merokok dan minum alkohol (19). Tujuan utama terapi diet yaitu untuk menghindari makanan yang dapat meningkatkan sekresi asam lambung dan iritasi langsung ada mukosa lambung. Konsumsi susu yang sering tidak dianjurkan karena efek buffer yang hanya sementara dan peningkatan sekresi lambung yang nyata. Lemak di dalam susu tidak ada pengaruh terkait dengan tersebut. Bumbu seperti merica hitam, merica merah, bubuk chili dapat menyebabakan dyspepsia (19).

Suatu penelitian menunjukkan bubuk chili merah tidak mempengaruhi proses penyembuhan ulkus duodenum. Pada penelitian tersebut juga mengusulkan untuk mengkosumsi merica hitam pada menu sehari-hari karena mepunyai efek adaptasi respon sitoprotektif yang menguntungkan. Akan tetapi hal tersebut masih dalam kontroversi dan masih dievaluasi, bahwa pasien ulkus peptik harus menghindari bumbu yang bagi pasien menimbulkan efek yang kurang nyaman, terutama saat masa eksaserbasi penyakit peptik. Beberapa penilitian juga menyarankan untuk menghindari konsumsi alkohol, terutama minuman dengan kadar 40% (terbukti pada kadar 80%) alkohol. Konsumsi kofi harus dihindari karena efek sekresi asam lambungnya yang tinggi. Minuman lain yang mengandung kafein belum terbukti dapat meningkatkan kemungkinan peptik, namun minuman tersebut merupakan stimulator seksresi asam lambung. Jadi suatu hal yang wajar jika pasien ulkus peptik tidak dianjurkan mengkonsumsi minuman yang berkafein terutama kopi. Beberapa makanan yang berserat memunyai kemampuan melindungi terhadap ulus peptik. Menurut Mayo Clinic Diet Manual, makan sedikit yang sering tidak menunjukkan efektivitas dibadingkan makan 3 kali sehari untuk pengobatan ukus peptik yang kronis (19).

DAFTAR PUSTAKA

1. Le TH. Peptik ulcer disease. http://emedicine.medscape.com/article/181753-overview. Diakses tanggal 10 Agustus 2009. 2. Jane Brock, Angela Sauaia, Dennis Ahnen, William Marine, William Schluter, Beth R. Stevens, Jeanne D. Scinto, Herbert Karp, MD, Dale Bratzler, Process of Care and Outcomes for Elderly Patients Hospitalized With Peptik Ulcer Disease Results From a Quality Improvement Project JAMA, October 24/31, 2001Vol 286, No. 16 3. Theodore W. Schafer. Peptik Ulcer Disease The American College of Gastroenterology, 2009 4. Soll AH, Peptik ulcer and It`s Complication. Gastrointestinal Disease, 1997, 620-678. 5. Rodriguez LAG, Diaz SH. Risk of Uncomplicated Peptik Ulcer among Users of Aspirin and Nonaspirin Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs. Am J Epidemiol 2004;159:2331. 6. Leung YP, Devlin SM, Medding J. Duodenal ulserc: Differential diagnoses and work up. http://emedicine.medscape.com/article/173727-Diagnosis. diakses tanggal 12 Agustus 2009. 7. Sachs S, Modelin IM. Acid related disease: biology and treatment. http://books.google.co.id/books? . Diakses Tanggal 13 Agustus 2009. 8. Pillay, KVK, M Htun1, NN Naing, B Norsaadah. HelicoBacter Pylori Infection In Peptiic Ulcer Disease : The Importance of Smoking and Ethnicity. Vol 38 No. 6 November 2007 9. Tarnawski , Andrzej S, Michael K. Jones. Inhibition of angiogenesis by NSAIDs: molecular mechanisms and clinical implications. J Mol Med (2003) 81:627636 10. Peura, D. A., (2007) Patient information: Peptik ulcer disease. http://www.mckinley.uiuc.edu 11. Le TH. Peptik ulcer disease. http://emedicine.medscape.com/article/181753-treatment. Diakses tanggal 10 Agustus 2009.

12. Marshall BJ. Unidentified curved bacillus on gastric epithelium in active chronic gastritis. Lancet 1983 : 1273-1275. 13. Kelompok Studi Helicobacter pylori Indonesia (KSHPI). Konsensus Nasional Penanggulangan Infeksi H. pylori. Jakarta 21 Desember 1996. 14. Soemoharjo, Soewignjo. Helicobacter Pylori dan Penyakit Gastroduodenal. 18 Mei 2009. http://biomedikamataram.wordpress.com. 15. Ford CA, Delaney B, Forman D, Moayyedi. Eradication therapy for peptik ulcer disease in Helicobacter pylori positive patients. Cochrane Database of Systematic Reviews, Issue 3, 2009. 16. Schrawen RWM, Janssen MJR, Boer WA. Seven-day PPI-triple therapy with levofloxacin is very effective for Helicobacter pylori eradication. The Netherlands Journal of Medicine 2009:67:96-101. 17. Felga GEG, Silva FM, Barbuti RC, Rodrigueq TM. Quadruple therapy with furazolidone for retreatment in patients with peptik ulcer disease.World J Gastroenterol 2008; 14(40): 6224-6227. 18. Silva FM, Eisig JN, Teixeira ACS, Barbuti RC, Rodriguez TN, Mattar R. Short-term triple therapy with azithromycin for Helicobacter pylori eradication: Low cost, high compliance, but low efficacy. BMC Gastroenterology 2008, 8:20. 19. Marotta RB, Floch MH. Diet and nutrition in ulcer disease. Med Clin North Am. 1991 Jul;75(4):967-79.

Anda mungkin juga menyukai