Anda di halaman 1dari 19

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Sejak 14 abad yang silam, al-Quran telah menghapuskan berbagai macam diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, al-Quran memberikan hak-hak kepada kaum perempuan sebagaimana hak-hak kaum laki-laki. Diantaranya dalam masalah kepemimpinan, al-Quran memberikan hak kepada kaum perempuan untuk menjadi pemimpin, sebagaimana hak kepada laki-laki. Yang dijadikan pertimbangan dalam hal ini hanyalah kemampuannya dan terpenuhinya kriteria untuk menjadi pemimpin. Jadi pemimpin itu bukan monopoli kaum laki-laki, tetapi bisa diduduki dan dijabat oleh kaum perempuan bahkan jika perempuan itu mampu dan memenuhi kriteria maka ia boleh menjadi hakim dan top leader (Perdana Mentri atau Kepala Negara). Masalah ini disebutkan dalam surat at-Taubah ayat 71:


Artinya: 71. Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh

(mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dalam ayat tersebut Allah SWT mempergunakan kataAuliya(pemimpin), itu bukan hanya ditujukan kepada kaum laki-laki saja, tetapi keduanya (laki-laki dan perempuan) secara bersamaan. Berdasarkan ayat ini, perempuan juga bisa menjadi pemimpin, yang penting dia mampu dan memenuhi kriteria sebagai seorang pemimpin, karena menurut tafsir al-Maraghi dan tafsir al-Manar, bahwa kata Auliya mencakup wali dalam arti penolong, solidaritas, dan kasih sayang.1 Dari surat at-Taubah ayat 71 tersebut dapat disimpulkan bahwa al-Quran tidak melarang perempuan untuk memasuki berbagai propesi susai dengan keahliannya, seperti menjadi guru, dosen, dokter, pengusaha, mentri, hakim bahkan menjadi kepala negara. Akan tetapi dalam tugasnya tetaplah memperhatikan hukumhukum atau aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh al-Quran dan as-Sunnah, misalnya tidak terbengkalai urusan rumah tangganya, haruslah ada izin dan ridho suaminya bila ia sudah bersuami, guna menghindari efek negatif terhadap diri dan agamanya. Hanya saja dalam hal ini ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya seorang perempuan menempati posisi top leader menjadi (Mentri atau Kepala Negara (pemimpin)). Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak boleh perempuan menjadi hakim atau top leader, berdasarkan al-Quran surat an-Nisa ayat 34:

Ahmad Mustafa al-Maragi, Tasir al-Maraghi. juz 11,tt. 1375. h. 626


34. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka)
[290]

. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah

mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
[289] [290] Maksudnya: tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta Maksudnya: Allah Telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli

suaminya. isterinya dengan baik. [291] Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.

[292] Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama Telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.

Menurut Jawad Mughniyah dalam tafsir al-Kasyif, bahwa maksud ayat 34 surat an-Nisa tersebut bukanlah menciptakan perbedaan yang menganggap perempuan itu rendah dibandingkan dengan laki-laki, tetapi keduanya adalah sama, sedangkan ayat tersebut hanyala ditujukan kepada laki-laki sebagai suami, dan perempuan sebagai isteri. Keduanya adalah rukun kehidupan, tidak satupun bisa hidup tanpa yang lain, keduanya saling melengkapi. Ayat ini hanya ditujukan untuk kepemimpinan suami dalam ruma tangga, memimpin istrinya. Bukan untuk menjadi penusaha atau diktator.2 B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana kepemimpinan dalam perspektif hukum Islam ?

As-Suyuti, Al-Jami al-Shaghir, jilid II, Cet.I,h. 314.

WANITA SEBAGAI KEPALA NEGARA

Dasar Hukim Islam Mengenai Kepemimpinan Perempuan Dan hadist Abi Bakran yang diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, Nasai dan Turmudzi, bahwa Rasulullah bersabda; Tidak ada sukses (beruntung) suatu kaum yang menyerahkan (menguasai) urusan meraka kepada seorang perumpuan. Fatimah Mernissi, menanggapi hadits tersebut dengan mengatakan: Kita bertanya apa yang mendorong Abi Bakrah berpuluh-puluh tahun setelah kalimat itu diucapkan oleh nabi, untuk menggali kembali hadits itu dari relung-relung ingatannya? Apkah ia mempunyai kepentingan pribadi yang harus dikemukakan atau semata-mata sebagai kenangan spiritual terhadap Nabi? Sementara al-Quran mengatakan sebaliknya.Al-Quran memaparkan kisah seorang Ratu yang memimpin kerajaan besar, yaitu ratu Balqis, dinegeri Saba, hal ini disebutkan dalam Al-Quran surat as-Sabaayat 15;


Artinya: 15. Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun". Informasi adanya negeri Saba yang dipimpin seorang ratu yang bernama Balqis diterima oleh nabi Sulaiman a.s. dan pasukan burung Hud-Hud. Kemegahan negeri Saba digambarkan oleh ratunya yang mempunyai singgasana yang indah dan megah, dan memiliki tentara yang kuat, akan tetapi dia dan kaumnya menyembah matahari. Hal ini dikisahkan dalam Al-Quran surat alNaml ayat 23-24:


Artinya: 23. Sesungguhnya Aku menjumpai seorang wanita[1095] yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. 24. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan Telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk,
[1095] yaitu ratu Balqis yang memerintah kerajaan Sabaiyah di zaman nabi

Sulaiman.

Mendengar

laporan

itu,

nabi

Sulaiman

sebagaimana

dikisahkan Allah dalam; Qs. An-Naml ayat 27-28:


Artinya:


27. Berkata Sulaiman: "Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta.

28. Pergilah dengan (membawa) suratku ini, lalu jatuhkan kepada mereka, Kemudian berpalinglah dari mereka, lalu perhatikanlah apa yang mereka bicarakan" Berkata Sulaiman: Akan kami lihat apa kamu termasuk orangorang yang berdusta, pergilah dengan membawa surat ku ini, lalu jatuhkan kepada mereka, kemudian berpalinglah dari mereka, lalu perhatikanlah apa yang mereka bicarakan. Setelah surat Nabi Sulaiman itu disampaikan kepada Ratu Balqis, ia berkata sebagaimana disbutkan dalam Quran Surat anNaml ayat 29-32:


Artinya:

29. Berkata ia (Balqis): "Hai pembesar-pembesar, Sesungguhnya Telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia.

30. Sesungguhnya surat itu, dari SuIaiman dan Sesungguhnya (isi)nya: "Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 31. Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri". 32. Berkata dia (Balqis): "Hai para pembesar berilah Aku dalam urusanku (ini) Aku tidak pernah pertimbangan majelis(ku)". Berkata (Balqis) Hai pembesar-pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang berharga. Sesungguhnya surat itu dari Sulaiman dan sesungguhnya (isi) nya Dengan (menyebut) nama Allah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri. Berkata Balqis hai pembesar-pembesar, berilah aku pertimbangan dalam urusan (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan pun sebelum kamu berada dalam majlis (ku). Dalam ayat tersebut nampak jelas bahwa betapa dalamnya pemikiran Ratu Balqis, betapa besar usahanya dalam mengungkapkan apa yang belum ia ketahui tentang Nabi Sulaiman, sehingga ia mengadakan musyawarah dengan para pembesar dikerajaannya untuk meminta pandangan dan pendapat mereka. Dalam musyawarah ini mereka mengatakan, bahwa mereka siap bertempur melawan Nabi Sulaiman, karena mereka merasa memiliki kekuatan, baik pasukan tempur, maupun logistik. Hal ini dikisahkan dalam al-Quran surat an-Naml ayat 33-35:

memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam

10


Artinya: 33. Mereka menjawab: "Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan Keputusan berada ditanganmu: Maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan". 34. Dia berkata: "Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat. 35. Dan Sesungguhnya Aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu".

11

Ratu Balqis tidak terpesona dengan ucapan dan pandangan yang dikemukakan oleh mereka, tetapi ia mempertimbangkan dengan kecerdasan dan ketajaman pikiran dan analisa, lalu ia berkata, Bahwasannya seorang raja bila memasuki suatu negeri akan membuat kebinasaan dan saya merampas akan uji kerajaan dulu dan menjajahnya, sesungguhnya kebenaran

Sulaiman, dengan mengirimkan hadiah yang berharga, bila ia menerimanya berarti ia bukanlah seorang Nabi, tetapi bila ia menolaknya berarti ia benar seorang nabi. Hal ini dikisahkan dalam al-Quran surat an-Naml ayat 34 dan 35. Alangkah kuatnya firasat Ratu Balqis, sehingga ia tahu bahwa Sulaiman itu adalah Nabi, karena Sulaiman menolak hadiah yang harganya mahal, ketika disampaikan oleh utusannya. Penolakan hadiah tersebut oleh Sulaiman dikisahkan Allah dalam surat an-Naml ayat 36-37:


Artinya:

12

36. Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata: "Apakah (patut) kamu menolong Aku dengan harta? Maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu. 37. Kembalilah kepada mereka sungguh kami akan mendatangi mereka dengan balatentara yang mereka tidak Kuasa melawannya, dan pasti kami akan mengusir mereka dari negeri itu (Saba) dengan terhina dan mereka menjadi (tawanantawanan) yang hina dina". Kemudian Sulaiman berkata kepada para pembesar dikerajaannya, siapa yang dapat mengangkat dan memindahkan singgasana Ratu Balqis sebelum ia dan rombongan datang berserah diri (hal ini dikisahkan pula dalam surat an-Naml ayat 38-40). Tantangan Sulaiman disambut jin ifrit (yang cerdik) dengan mengatakan: Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu, sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya, lagi dapat dipercaya.Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari alKitab,Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana terletak dihadapannya, ia pun berkata: Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya), dan barang siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk

13

(kebaikan) dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar , maka sesungguhnya Tuanku Maha Kaya lagi Maha Mulia. Setelah singgasana dapat dipindahkan sebelam Ratu Balqis datang bersama rombongannya, Nabi Sulaiman memerintahkan untuk merubah beberapa bagian dari singgasana itu tujuannya untuk mengetahui, atau apakah tidak. ratu Nabi Balqis masih mengetahui singgasananya Sulaiman merencanakan

menyambut mengejutkannya sehingga beliau menyuruh untuk mendapatkan singgasana Ratu Balqis dalam sekejap. (Q.S anNaml:41) Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kaum perempuan berhak untuk memimpin suatu negara (presiden atau perdana mentri)sebagaimana laki-laki, bila mereka memiliki kriteria persyaratan pemimpin. Jadi kalau hadits Abi Bakra diatas mengatakan bahwa: Tidak bahagia suatu kaum yag mengangkat perempuan al-Qur'an sebagai teleh pemimpin: al-Qur'an justru sebaliknya,

menceritakan bagaimana kepemimpinan Ratu Balqis yang dapat memimpin negerinya dengan baik dan sangat meperhatikan kemaslaaan rakyatnya. Pengangkatan tema Ratu Balqis didalam al-Qur'an mengandung makna implisit bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin sebagaimana halnya laki-laki. Oleh sebab itu Muhammad Jarir ath-Thabary dan Ibnu azm berpendapat bahwa hadits Abi Bakrah tersebut hanya berpendapat bahwa hadits Abi Bakrah tersebut hanya melarang perempuan menjadi top leader seperti kepala Negara Islam atau Khalifah.3 Sedangkan untuk jabatan
3

Kamal Jaudah, DR., Wazhifa al-Marah fi Nazhar al-Islam H.137

14

lainnya boleh, sebagaimana jumhur ulama juga berpendapat demikian. Namun, kalau ath-Thabari dan Ibnu Hazm masih membolehkan jiwa wanita menjadi perdana mentri atau hakim, sedangkan jumhur ulama tidak membolehkan berdasarkan hadits dari Abi Bakra tersebut. Sementara itu Yusuf Qardlawi4 dalam fatwanya mengemukakan tiga catatan mengenai penetapan hadits tersebut dijadikan dalil penolakan kepemimpinan wanita.: Pertama, apaka hadits ini diberlakukan atas keumumannya ataukah terbatas pada sebab wurudnya? Dalam pengertian bahwa Rasulullah SAW hendak memberitahukan ketidak beruntungan bangsa Persia yang menurut ketentuan hukum yang turun temurun harus mengangkat putri Kisra sebagai kepala pemerintahan mereka, meskipun dikalangan bangsa itu ada orang yang jauh lebih baik, lebih layak dan utama daripada putri itu? Benar, kebanyakan ahli al-ushul menetapkan bahwa yang terpakai ialah keumuman lafal, bukan sebab khusus. Tetapi ketetapan dan perkataan mereka ini belum disepakati, bawa diriwayatkan dari ibnu abbas. Ibnu Umar dan lain-lainnya tentang memilih sebab-sebab turunnya ayat. Sebab kalau tidak demikian akan terjadi kerancuan dalam memahami dan menimbulkan penafsiran buruk. Ini menunjukkan sebab turunnya ayat, lebih-lebih sebab wurudnya hadits, wajib dijadikan acuan dan rujukan dalam memahami nash, dan jangan menjadikan keumuman lafal sebagai kaidah yang baku. Hal ini khususnya mengenai hadits diperkuat persepsi bahwa seandainya
4

hadits

itu

diambil

keumuman

lafalnya

niscaya

Yusuf Qardlawi, 2002, Fatwa-fatwa Kontemporer, H. 543-545.

15

bertentangan

dengan

Zhahir

al-Qur'an.

Al-Qur'an

telah

menceritakan kepada kita, kisah seorang wanita yang memimpin kaumnya, dengan kepemimpinan yang utama, adil dan bijaksana, menyikapi mereka yang lurus dan penuh hikmah. Berkat pemikiran dan idenya yang bagus mereka terselamatkan dan tidak terjebak dalam peperangan yang merugikan dan membinasakan manusia serta menghabiskan harta dengan tidak akan memetik keuntungan sama sekali, wanita itu adalah Ratu Balqis. Kedua, bahwa para ulama umat telah sepakat akan terlarangnya wanita akan kekuasaan tertinggi atau al-Imamah alUzham sebagaimana yang ditunjuki oleh hadits tersebut. ketentuan ini telah berlaku bagi wanita jika ia menjadi Raja atau Kepala Negara yang mempunyai kekuatan mutlak bagi kaumnya, yang segala kehendaknya harus dijalankan, semua hukumnya tidak boleh ditolak dan selain perintahnya tidak boleh dikukuhkan, dengan demikian, berarti mereka telah benar-benar menyerahkan segala urusan kepadanya, yakni semua urusan umum mereka berada ditangannya, dibawah kekuasaannya dan komandonya. Adapun istilahnya selain al-Imamah dan khalifah atau apapun maka sebagai pemegang kekuasaannya tertinggi,

masalah itu masih diperselisihkan. Dengan demikian maka bisa saja wanita itu menjadi mentri atau hakim atau menjadi muhtasib yang melakukan pengawasan umum. Umar bin Khatab telah mengangkat Asifah binti Abdullah alAdawiyah untuk melakukan pengawasan pasar, yang merupakan suatu bentuk pengawasan umum. Ketiga, bahwa masyarakat modern dibawa sistem demokrasi, apabila memberikan kedudukan umum kepada wanita,

16

seperti pada kementrian, perkantoran, atau didewan perwakilan, tidak berarti mereka menyerahkan segala urusannya kepada wanita, pada kenyataan tenggung jawab tersebut bersifat kolektif, dijalankan secara bersama-sama oleh sejumlah orang dalam lembaga terkait, dan wanita hanya menanggung sebagian saja bersama yang lain. Selain itu Yusuf al-Qardlwi menambahkan tidak semua wanita layak menjadi anggota dewan dengan segala tugasnya. Wanita yang sibuk sebagai ibu dengan segala tugasnya tidak akan menceburkan dirinya dalam pertarungan pencalonan diri mengemban tugas-tugas penting karena anak-anak lebih utama untuk diperhatikan. Yang ia maksud adalah wanita yang tidak mempunyai anak, dan dia mempunyai kelebihan dan kemampuan, kesempatan, ilmu serta kecerdasan. Atau mereka yang sudah berusia lima puluhan (berpengalaman). Jika keadaannya seperti ini dan syarat-syarat menjadi calon terpenuhi maka apa yang menghalanginya untuk ikut serta dalam pemilihan dalam anggota dewan perwakilan. Dr. Kamal Jauda mengatakan hadits Abu Bakra diatas melarang perempuan sendirian menentukan urusan bangsanya sesuai dengan asbab al-Wurud hadits ini. yaitu telah diangkat anak perempuan Raja Kisra untuk menjadi Ratu Persia. Sudah diketahui bahwa sebagian besar raja-raja pada masa itu, kekuasaannya hanya ditangan sendiri dan ditaktor, hanya ia sendiri yang menetapkan urusan rakyat dan negerinya, ketetapanna tidak boleh

17

digugat.5 Demikian pula yang difatwakan oleh syayid Muhammad Husein Fadlullah.6 Bahwa hadits itu diucapkan pada situasi yang tidak kita ketahui sifatnya, apalagi hukum pada masa lalu beda sifatnya dengan hukum pada masa kini. Penguasa dimasa lalu memiliki kekuasaan penuh. Terdapat peraturan yang harus ditaatinya, dan ada lembaga yang mengawasinya dan terkadang mengadilinya. Karenya apabila hadits itu syahih dan kandungannya sempurna serta tiada maknanya dipersoalkan maka hadits itu membahas sifat hukum saat itu. Adapun sifat hukum saat ini beda dengan masa lalu.

KESIMPULAN

Sehubungan dengan kemungkinan bahwa dinegara-negara islam dewasa ini, kepala negara dianggap sebagai khalifah, dimana fungsi khalifah adalah sebagai pengganti Nabi. Untuk kepala Negara dan keagamaan sehingga tidak diperbolekan seorang wanita untuk memimpinnya, maka ijma ulama mengatakan, bahwa sistem khalifah yang sesungguhnya hanya berlaku pada masa khulafaurasidin dan sudah itu tidak ada kepala negara islam yang memenuhi tersebut sebagai khalifah. Negara islam sekarang seperti Nagara Saudi Arabia, Pakistan dan lain-lain, hanya negara-negara nasional yang menyanangkan islam sebagai agama resmi negara. Status kepala negaranya tidak lagi sebagai khalifah dalam arti sesungguhnya.
5 6

Ibid H.141 Syayid Muhammad Husein Fadlullah, Penerjemah Abu Abdul Khodir al-Khaf., Penyunting ali yahya 2000, Dunia Wanita Dalam Islam, cet1, Jakarta, H.96-97.

18

Perempuan dibolehkan menjadi kepala negara atau kepala mentri (Perdana Mnetri). Selama dalam suatu negara, dimana sistem pemerintahan berdasarkan musyawarah. Seorang kepala negara tidak harus bekerja keras sendirian, tetapi dibantu oleh tenaga-tenaga ahli sesuai dengan bidang masing-masing(Mentri dan staf ahlinya). Karena itu tidak ada halangan bagi seorang perempuan untuk menjadi kepala negara atau kepala pemerintah yang penting adalah perempuan yang diangkat untuk menduduki jabatan itu, mampu dan cappabel untuk menjalankan tugastugasnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Mustofa al-Maraghi, 1382 H/1962M, Tafsir Al-Maraghi (alQahirah, Mustopa al-Baby al-Halaby Wa Auladu), Jus.10,Cet.111. As-Suyuti, Al-jamik Al-Shaghir, 1968, Beirut, Dar al-kutub alIslamiyah, Jilid 11,Cet.1.

19

Kamal jaudan, DR, 1440/1980, Washilah Al-Marah Nazhar Al-Islam, Dar al-Hady, Al-Qahirah. Sayyad Muhammad Husain Fadlullah, Penerjemah Muhammad Abdul Qadirah al-kaf: 2000, Dunia Wanita Dalam Islam, penyunting ali Yahya, Cet.1 Lentera, Jakarta. Yusuf al- Qardlawi, 2000, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Gema Insani Press, Jilid 11, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai