Anda di halaman 1dari 6

POSMODERSNISME MENUJU PLURALISME AGAMA Era Modern yang berkembang dan terjadi di dunia Barat telah menghasilkan dampak

yang signifikan terhadap keberlangsungan perkembangan ilmu pengetahuan. Suatu realita yang tidak dapat dipungkiri, ketika dunia Barat mencoba melepaskan dan menafikan unsur dogmatis agama dalam ranah sains, justru membawa hasil yang sangat positif terhadap perkembangan dan kemajuan sains. Berbagai pemikiran, penemuan dan inovasi mulai berkembang secara terbuka pada era modern, setelah sebelumnya mengalami stagnasi. Tak ayal pada era ini menjadi titik awal lahirnya kembali dunia sains. Yaitu ketika rasionalitas memainkan peran utama dalam diri manusia, unsur dogma agama di kesampingkan, dan ditarik garis demarkasi antara filsafat yang psedeuo sains dengan sains. Seiring dengan perkembangannya, dinamika pemikiran era modern tidak serta merta berjalan lancar. Era modern lambat-laun tidak lagi diterima oleh masyarakat yang mengalami kejenuhan dengan unsur rasionalitas sebagai hal yang utama. Sehingga lahirlah Era Postmodernisme sebagai bentuk reaksi terhadap era modern. Pergeseran modernisme ke postmodernisme sejatinya tidaklah melalui revolusi yang tiba-tiba. Titik kulminasi terjadi ketika era modernisme dianggap tidak lagi mampu menjawab kebutuhan manusia secara utuh. Rasionalitas yang menjadi semangat dalam modernisme justru dalam beberapa kurun waktu terakhir telah membawa dampak yang buruk bagi keberlangsungan hidup umat manusia seperti perang nuklir. Dalam keadaan dimana modernisme mengalami krisis identitas terebut pada akhirnya postmodernisme memainkan perannya. Postmodernisme sendiri dari awal berkembang sampai dengan sekarang mengalami ambiguitas dalam pemaknaannya. Lyotard mengartikan postmodernisme sebagai keraguan pada metanarasi. Metanarasi sendiri adalah narasi-narasi agung yang selama ini kita yakini kebenarannya seperti modernisme, kapitalisme, atau Marxisme. Dengan demikian postmodernisme bisa dikatakan sebagai penolakan terhadap modernisme. Dalam konteks kekinian, postmodernisme telah membawa pengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan manusia, tidak terkecuali agama. Nilai-nilai seperti nihilisme, relativisme, universalisme ketika dibawa kepada ruang agama jadilah apa yang sekarang dikenal dengan Pluralisme Agama. Pengaruhnya terhadap agama tak hanya di alami oleh agama Kristen saja (karena postmodernisme berkembang di Barat dengan mayoritas penduduk beragama Kristen) melainkan juga pada agama-agama lainnya. Untuk selanjutnya dampak yang dihasilkan postmodernisme telah menghancurkan sistem kepercayaan/tatanan yang sudah baku yang telah dimiliki oleh masing-masing agama sebelumnya dengan dekonstruksinya. Pokok Permasalahan Postmodernisme secara konseptual masih dalam bentuk yang absurd (tidak jelas). Tetapi pengaruhnya terhadap kehidupan manusia sangat jelas, khususnya dalam konteks ini agama. Yang akan menjadi pembahasan dalam makalah ini adalah bagaimana memahami Pluralisme Agama yang pada dasarnya merupakan pengaruh dari postmodernisme?

PEMBAHASAN II.1 Postmodernisme Menuju Pluralisme Agama Postmodenisme pada dasarnya mengalami absurditas secara definisi dan konseptual. Tetapi postmodernisme secara umum dapat diartikan sebagai sensibilitas budaya tanpa nilai absolut. Bambang Sugiharto dalam bukunya yang berjudul Postmodernisme : Tantangan Bagi Filsafat mengatakan bahwa, postmodernisme memang merupakan istilah yang kontroversial sekaligus ambigu. Postmodernisme itu bagaikan rimba belantara yang dihuni oleh aneka satwa.... suatu istilah yang memayungi segala segala pemikiran yang satu sama lain seringkali tak persis berkaitan. Namun kiranya cukup jelas, katanya, bahwa dalam postmodernisme gagasan-gagasan seperti filsafat, rasionalitas, dan epistimologi dipertanyakan kembali secara radikal. Yang mengakibatkan kekaburan makna istilah postmodern itu kiranya terutama adalah akhiran isme dan awalan post-nya. Sehubungan dengan akhiran isme itu, postmodernisme biasanya dibedakan dari postmodernitas. Yang pertama menunjuk pada kritik-kritik filosofis atas gambaran dunia (worldview), epistimologi dan ideologi-ideologi modern. Yang kedua menunjuk pada situasi dan tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentsi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara bangsa dan penggalian kembal inspirasi-inspirasi tradisi. Sedangkan menurut Donny Gahral Adian, postmodernisme dimengertinya sebagai wacana pemikiran baru yang menggantikan modernisme. Postmodernisme meluluhlantahkan konsep-konsep modernisme seperti adanya subyek yang sadar diri dan otonom, adanya representasi istimewa tentang dunia, dan sejarah linier. Tetapi tidak dapat dipungkiri jika postmodernisme sebagai babak baru dari berakhirnya era modern telah mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia. Salah satunya adalah aspek agama, di mana selanjutnya pengaruh postmodernisme terhadap agama menghasilkan Pluralisme Agama. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana nilai-nilai seperti relativisme, universalisme menjadi landasan dalam memahami pluralisme agama. Nilai-nilai yang dibawa oleh postmodenisme membawa pada satu pemahaman bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak segala sesuatunya bersifat relatif. Dari teori sastra dekonstruksi, filsafat postmodern menerapkannya pada realitas. Pemaknaan sebuah realitas sah-sah saja dinilai berbeda oleh masing-masing orang. Tidak ada standard tertentu untuk memaknai atau memahami suatu hal tertentu. Makna tidak lagi bernilai objektif, dalam pengertian diterima secara universal. Pemaknaan menjadi subjektif, dan pemaknaan subjektif menjadi kebenaran bagi pribadi yang bersangkutan. Karena itu, postmodern tidak mengakui adanya satu kebenaran. Tanpa adanya standard tertentu dalam segala hal, postmodernisme secara tidak langsung telah menempatkan relativisme sebagai acuan dasar. Sehingga dalam postmodernisme segala sesuatu direduksi menjadi nilai yang relatif. Dalam hal ini memungkinkan terjadinya penafsiran terhadap realita secara tidak terbatas. Untuk selanjutnya tidak ada lagi nilai-nilai yang memiliki keunggulan, kelebihan dari nilai-nilai lainnya. Adapun kaitannya terhadap agama, menghasilkan suatu penafsiran bahwa tidak ada satu pun agama yang memiliki kebenaran mutlak.

Secara sederhana dapat dipahami bahwa kebenaran suatu agama terhadap agama lainnya adalah hal yang relatif. Suatu agama harus dapat mengakui kebenaran agama lainnya. II.2 Tinjauan Terhadap Pluralisme Agama Pluralisme Agama dapat Secara etimologis pluralisme agama terdiri dari dua kata, yaitu pluralisme dan agama. Pluralisme secara sederhana dapat diartikan sebagai jama atau lebih dari satu. Sedangkan dalam kamus The Shorter Oxford English Dictionary on Historical Principles memiliki pengertian; Pengertian kegerejaan, sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan. Pengertian filosofis, sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Pengertian sosio-politis, adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut. Untuk mendefinisikan agama setidaknya bisa menggunakan tiga pendekatan, yakni dari segi fungsi, institusi, dan substansi. Para ahli sejarah sosial (social history), cenderung mendefinisikan agama sebagai suatu institusi historis suatu pandangan hidup yang institutionalized yang mudah dibedakan dari yang lain yang sejenis. Dari fungsi sosialnya, suatu sistem kehidupan yang mengikat manusia dalam satuan-satuan atau kelompok-kelompok sosial. Sedangkan dari segi substansi yaitu sesuatu yang sakral. Dalam konteks ini dari segi substansilah yang paling tepat untuk memahami pluralisme agama. John Hick seorang pakar teolog filsuf termasuk seseorang yang banyak memberikan sumbangsih pemikiran mengenai pluralisme agama. Adapun definisi pluralisme agama menurut John Hick; ...pluralism is the view that the great world faiths embody different perceptions and conceptions of, and correspondingly different responses to, the Real or the Ultimate from within the major variant cultural ways of being human; and that within each of them the transformation for human existence from self-centredness to Reality centredness is manifestly taking placeand taking place, so far as human observation can tell, to much the same extend. (...pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap, Yang Real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju pemusatan-Hakikat terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata kultural manusia tersebutdan terjadi, sejauh yang dapat diamati, sampai pada batas yang sama) Melalui uraian di atas dapat ditarik suatu pemhaman bahwa pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antara agama (dalam arti luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciriciri spesifik atau ajaran masing-masing agama. Muhammad Wahyuni Nafis memberikan beberapa prinsip landasan pluralisme agama: pertama, pengakuan pada logika Yang Satu bisa dipahami dan diyakini

dalam berbagai bentuk dan tafsiran. Ini berarti bahwa Yang Maha Kuasa itu bisa dipahami oleh berbagai penganut agama-agama secara berbeda dab bermacammacam, namun semuanya tetap mengacu pada satu keyakinan bahwa hanya ada satu Yang Maha Kuasa. Prinsip kedua adalah bahwa multi tafsiran dan pemahaman mengenai Yang Satu hanyalah alat atau jalan menuju ke Hakikat Absolut. Ketiga, bahwa pengalaman partikular keagamaan, meskipun terbatas, harus diyakini memiliki nilai mutlak bagi pemeluknya. Namun satu hal yang perlu dicatat di sini bahwa sikap ini tidak berarti membolehkan adanya pemaksaan terhadap orang lain untuk mengakui dan meyakini keyakinan kita, melainkan harus tetap diiiriingin dengan pengakuan bahwa pada orang lain juga terdapat komitmen mutlak pada pengalaman partikularnya seperti yang kita yakini. Ketiga prinsip terebut mereka rumuskan dalam kalimat Other religions are equally valid ways to the same truth, Each religion expresses an important parth of the truth, atau Other religions speak of different but equally valid truth. II.3 Implikasi Pluralisme Agama dalam Islam a. Dekonstruksi Mohammed Arkoun Istilah Dekonstruksi (deconstruction) sendiri pada mulanya dipakai sebagai terjemahan dari term yang dipakai oleh Heidegger dalam salah satu bukunya Being and Time, karya ilmiah yang ditulis tahun 1927-an, yaitu destruksi (destruction). Destruction, dalam bahasa Indonesianya adalah destruksi, mempunyai pengertian sebagai usaha perusakan terhadap terbatasnya waktu dalam konsep metafisika kehadiran, khususnya konsep metafisika waktu yang telah dibangun oleh Aristoteles, Descartes, dan Kant. Menurutnya konsep metafisika kehadiran mrupakan struktur yang berkaitan sangat erat (the tightening of a structure) dalam seuah pemikiran, yang oleh Heidegger dinamakan Gestell. Teori dekonstruksi berkaitan erat dengan teknik membaca dan memahami teks. Sebuah teknik yang mencoba mengungkapkan makna yang tersembunyi di balik makna literal teks sesungguhnya. Ide dekonstruksi yang diadopsi Arkoun dari pemikiran filsafat Barat postmodern dimaksudkan untuk memisahkan secara dikotomik hubungan antara dimensi historisitas yang aturannya selalu berubah-ubah, dengan normativitas al-Quran atau keagamaan Islam, yang sesuai dengan waktu dan tempat (salih likulli zaman wa makan). Ide ini dimaksudkan juga untuk melelehkan kalu tidak menghancurkan pemikiran keagamaan yang olehnya dianggap telah disakralkan oleh umat Islam (taqqdis al-afkar al-dini). Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Mohammed Arkoun sendiri yang terjemahannya kurang lebih berikut ini; Kita memerlukan strategi intelektual baru untuk mendekati makna Wahyu dalam Tradisi Muslim, dan dalam tradisi-tradisi lainnya yang kaya dan yang telah berkembang dan mengalami stratifikasi budaya dan praktek ideologis selama berabad-abad. Dalam membangun strategi baru ini, kita harus menguji sumbersumber tradisi secara teliti agar dapat menghapuskan, terutamanya konsep sentral Ortodoksi.....Sebab setiap ortodoksi pasti merupakan suatu visi ideologis yang terlampau diorientasikan kepada kepentingan subyektif kelompok asalnya. Tetapi kelompok yang dianggap mempunyai kesadaran kolektif memang tidak pernah menyadari pemanfaatan sejarah mereka yang bias dan subyektif,

kelompok tersebut melihat ortodoksinya sebagai ekspresinya yang sesungguhnya dari identitas mereka. Pada saat yang sama, kelompok-kelompok yang saling berkompetisi tu membangun ortodoksi mereka masing-masing yang oleh kelompok dominan atau definisi resmi dari agama yang benar, dinilai sebagai bidah. Dari perspektif sosiologis, kita tidak bisa menerima kriteria teologis atau politis yang dipakai oleh kelompok yang berkuasa untuk menghapuskan manifestasi-manifestasi lain dari identitas suatu khas bangsa. Lebih jauh lagi Arkoun melihat bahwa apa yang terjadi pada format ortodoksi yang kaku dan telah membawa dampak terhadap pola pikir dalam bidang pendidikan, sosial, hukum, etika dan falsafah. Yang pada akhirnya untuk menahan laju pengaruh ortodoksi diperlukannya usaha pembongkaran (dekonstruksi). Upaya melakukan dekonstruksi terhadap teks adalah dalam tujuan meniadakan sikap eksklusifisme agama. Melalui dekonstruksi yang dilakukan Arkoun, literal-literal teks yang oleh ortodoksi dianggap sakral dan menciptakan eksklusifisme akan mengarah kepada paradigma kesatuan agamaagama. b. Seyyed Hossein Nasr dan Pluralisme Agama Pada dasarnya pemikiran Seyyed Hossein Nasr merupakan bentuk alternatif dari beragamnya wujud pluralisme agama. Jika sebelumnya Arkoun merupakan tokoh pluralisme agama yang berkembang oleh karena tuntutan globalisasi. Dalam pemikiran Nasr justru merupakan reaksi penolakan terhadap globalisasi, yaitu dengan tetap mempertahankan tradisi-tradisi sakral yang dimiliki oleh tiap-tiap agama. Tetapi nilai-nilai yang dimiliki tetap sama relativisme dengan tujuan mengakui eksistensi agama lain. Tidak ada superioritas suatu agama terhadap agama lainnya. Berangkat dari nalar tradisional ini, agama-agama yang menurut Nasr merupakan salah satu dari tiga wujud sosok utama penjelmaan Zat yang Absolut (grand theophanies of the Principle), mempunyai dua realitas atau hakikat: esoteric dan exotoric; substansi (substance) dan aksiden (accident); esensi (essence) dan bentuk (form); batin (inward) dan lahir (outward). Gagasan yang sedikit pelik ini bisa disederhanakan dengan sebuah ibarat piramida dimana Tuhan berada di titik puncak, atau kepala piramida, sementara semua agama mengalir ke bawah dari titik tersebut; begitu juga dalam waktu yang sama semua agama naik dari bawah ke atas saling berdekatan dan akhirnya bertemu di titik tersebut. Lebih lanjut lagi Nasr memperkenalkan konsep absolut secara relatif (relatively absolute) yang telah diperkenalkan oleh gurunya, Frithjof Schuon. Maka dari itu Nasr sampai pada satu pemahaman bahwa keabsolutan suatu agama tidaklah mutlak, akan tetapi nisbi atau relatif yakni sesuai dengan dunia partikularnya dan lingkungannya sendiri. Keseluruhan interpretasi Nasr tidak terlepas dari pemikiran Schuon mengenai kesatuan transeden agama-agama. Kesatuan ini terjadi pada level mutlak yang adalah Kebenaran (the Truth) dan sekaligus Riil (the Real), dan sumber segala wahyu dan kebenaran. Hal ini menurut Seyyed Hossein Nasr adalah juga yang dimaksudkan dari sebuah ungkapan dalam tradisi gnostisisme Islami (sufisme) al-tawhidu wahid (the doctrine of unity is unique), dan juga yang dikenal dalam tradisi Hindu sebagai sanatama dharma. Bahkan lebih dari itu

pemahaman ini, menurut Nasr, adalah agama yang hanif (primordial religion) itu sendiri yang ditegaskan dan diejawantahkan oleh Islam dengan sangat sempurna. Adapun di bawah level ini, layaknya seperti beragamnya bahasa yang mengungkapkan Kebenaran yang Esa yang menjelma di dunia yang beragam sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan model dasarnya (archetypal possibilities). Suatu konklusi dari keseluruhan pemikiran Nasr, akhirnya sampai pada satu keyakinan bahwa semua agama adalah ibarat jalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama (all paths lead to the same summit) Thoha, Dr. Anis Malik, Tren Pluralisme Agama : Tinjauan Kritis, Jakarta : Perspektif, 2005 Sugiharto, Bambang, Postmodenisme : Tantangan Bagi Filsafat, Jakarta : Kanisius, 1996 Jurnal Islamia, Di Balik Paham Pluralisme Agama, Thn I No 3, September November 2004 Jurnal Islamia, Pluralisme Agama, Dari Globalisasi ke Global Theology, Thn I No 4, Januari Maret 2005 Jurnal Islamia, Wajah Universitas Islam : Antara Islamisasi dan SekularisasiLiberalisasi, Vol III No.3, 2008

Anda mungkin juga menyukai