Anda di halaman 1dari 11

1

MELAKUKAN JURNALISME NURANI1


Oleh Rulli Nasrullah

Perkembangan media cetak di Indonesia bisa dikatakan mengalami

kemajuan yang cukup pesat beberapa tahun beberapa tahun belakangan ini.

Hal tersebut bermula pada saat pencabutan dua Peraturan Menteri

Penerangan (Permenpen), dilakukan oleh Menteri Penerangan kala itu, M

Yunus Yosfiah, pada tanggal 5 juni 1998, yang dianggap sebagai ‘borgol’ yang

membelenggu kebebasan pers. Sebagai gantinya diberlakukan 2 Permenpen

dan 3 Surat Keputusan yang baru yang lebih lunak. Salah satu Permenpen

baru yang dianggap menjadi tonggak kebebasan pers Indonesia adalah

Permenpen /Per/Mempen/1998 Tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin

Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Berbeda dengan Permenpen yang lama,

permempen yang baru itu tidak mencantumkan sanksi pencabutan SIUPP

atau pembredelan bagi pers yang dinilai melanggar peraturan.

Kebebasan dalam pengurusan SIUPP dan kelonggaran yang ada dalam

Permempen yang baru tersebut mendorong berbagai badan usaha maupun

perorangan untuk menerbitkan media massa, khususnya media cetak. Dalam

dua minggu pertama sejak diberlakukannya peraturan tersebut setidaknya

1
Makalah ini untuk memenuhi persyaratan kuliah seminar pada Program Studi Jurnalistik Fakultas
Komunikasi Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama)
2

sudah 20 SIUPP baru telan dikeluarkan Deppen. Selanjutnya pada

pertengahan 1999 jumlah SIUPP baru yang dikeluarkan oleh lembaga ini

menjadi 852. Jumlah tersebut masih didominasi oleh media umum sebanyak

561 media atau 64,84 persen ; media bisnis dan ekonomi serta politik sebanyak

83 buah atau 9,74 persen ; media hiburan, olahraga serta pariwisata sebanyak

49 buah atau 7,75 persen ; media keluarga, kesehatan dan anak, gaya hidup

dan perempuan sebanyak 40 buah atau 4,68 persen ; media hukum, keadilan

kriminalitas dan HAM sebanyak 39 media atau 4,57 persen ; media

pendidikan dan bursa kerja sebanyak 33 media atau 3,87 persen ; media

keagamaan sebnayak 22 buah atau 2,58 persen ; media seni sastra dan

kebudayaan 14 buah atau 1,64 persen serta lain-lain 11 buah atau 1,22 persen.

Jumlah tersebut semakin bertambah ketika Deppen dibubarkan, diganti

dengan Badan Koordinasi Informasi dan Komunikasi Nasional (BKIKN), serta

tidak adanya lagi ketentuan yang mengharuskan setiap media massa yang

terbit harus memiliki SIUPP.

Banyaknya penerbitan yang baru muncul, khususnya media cetak,

merupakan bukti betapa pentingnya keberadaan pers ditengah masyarakat.

Bahkan secara ekstrim para pakar jurnalitik menyamakan pers sebagai udara

yang dibutuhkan manusia. Pasalnya pers tidak hanya berfungsi sebagai

sarana informasi, melainkan juga sebagai sarana hiburan, melakukan kontrol


3

sosial dan dianggap sebagai kekuatan ke empat (The Fourth Estate) dalam

mengawal demokrasi.

Akan tetapi apa yang terjadi. Dalam beberapa kondisi pers bukanlah

menjadi medium yang sekadar menyampaikan informasi. Media cenderung

berafiliasi dengan kepentingan-kepentingan tertentu, media yang semakin

mengobarkan perseteruan yang terjadi di masyarakat (Ibnu Hamad, Kabar-

kabar Kebencian, 1999), maupun pemberitaannya yang hanya berdasarkan atas

isu atau rumor --terutama sekali terjadi dan menimpa para selebritis-- dengan

hanya mementingkan kehebohan atau sifat luar biasanya tanpa

mempedulikan bagaimana efek dari pemberitaan tersebut terhadap objek

beritanya. Berita politik, bencana alam, perang, apalagi kriminal dan seks,

telah dikemas dengan bungkus sensasional dan bombastis agar laku di

pasaran. Lampu Merah, Pos Kota, Rakyat Merdeka, maupun Pos Metro adalah

beberapa contoh media yang banyak menyajikan berita seputar perilaku

kebinatangan manusia: kejam, sadis dan penuh nafsu. Berita perkosaan dan

pembunuhan, misalnya, seringkali disajikan dengan detail, plus foto

berdarah-darah atau komentar cabul. Layar kaca pun tidak ketinggalan. Di

siang hari, tayangan Sergap, Buser, dan Patroli menemani santap siang di

rumah. Sore hingga malam hari ada Fakta, Buser Petang, Derap Hukum,

Investigasi dan sebagainya. Belum lagi tayangan pamer aurat dan pamer aib
4

yang dikemas dalam bingkai infotainment atau pentas musik hampir di semua

stasiun TV. Tak mengherankan, selain sebagai medium yang memberikan

pengetahuan, media juga dianggap sebagai alat yang tepat untuk provokasi

terhadap keburukan atau akses negatif kepada khalayak.

Realitas: Nilai Provokatif atau Nurani

Tidak semua peristiwa menjadi berita, tergantung dari karakteristik

media massa yang bersangkutan. Akan tetapi, secara umum kriteria-kriteria

yang dimiliki setiap media massa terhadap sebuah peristiwa yang layak berita

adalah sebagai berikut:

1. Kepentingan (significance), yaitu peristiwa yang mengandung nilai

penting bagi masyarakat yang bisa berdampak langsung kepada

mereka.

2. Kekinian (timeliness), yaitu peristiwa yang terjadi saat ini.

3. Kedekatan (proximity), yaitu lokasi terjadinya peristiwa memiliki unsur

kesamaan dengan lokasi pembaca.

4. Ketenaran (prominence), yaitu peristiwa yang menyangkut individu,

objek, ataupun tempat yang sangat dikenal oleh pembaca.

5. Kebesaran (magnitude), yaitu peristiwa yang terjadi dianggap memiliki

nilai besar bagi pembaca.


5

6. Kemanusiawian (human interest), yaitu peristiwa yang bersentuhan

langsung dengan kehidupan masyarakat.

Apabila salah satu dari kriteria tersebut terpenuhi dalam sebuah

peristiwa, maka dapatlah kiranya peristiwa tersebut menjadi sebuah berita.

Semakin terpenuhi kriteria-kriteria yang ada, maka semakin layaklah nilai

berita peristiwa itu.

Secara praktis, biasanya terdapat kaidah umum yang dipakai di media

massa dalam menentukan nilai sebuah peristiwa, yaitu pemeo ‘Anjing

menggigit orang’ bukan berita sedangkan ‘Orang menggigit ajing’ itu berita.

Ungkapan ini merupakan penggambaran bahwa sesuatu yang aneh ataupun

luar biasa memiliki nilai berita yang layak dijual ke pembaca. Yang menjadi

pertanyaan adalah sejauh mana kecakapan wartawan menemukan keanehan

atau keluarbiasaan ini?

Inilah yang menjadi tugas utama seorang wartawan. Ia harus terbiasa

dalam menentukan kelayakan sebuah berita saat melakukan tugas

junalistiknya di lapangan. Apalagi seorang wartawan bekerja dengan tenggat

waktu yang terbatas, kecekatan, kepraktisan dan kecepatan dalam

menentukan layak tidaknya sebuah peristiwa diberitakan menjadi syarat

utama seorang wartawan. Namun kecakapan tersebut perlu pembiasaan dan

pengulangan demi pengulangan. Apalagi bagi mereka yang baru terjun di


6

media massa, kegamangan dan keragu-raguan dalam menentukan layak

tidaknya sebuah peristiwa untuk diberitakan seringkali menjadi persoalan

klasik yang muncul. Sehingga tidak mengherankan laporan jurnalistik yang

mereka tawarkan seketika itu pula akan ditolak oleh redaktur.

Ketika sebuah peristiwa diputuskan memiliki nilai berita, maka tugas

selanjutnya bagi wartawan adalah menentukan sumber berita serta

memastikan kembali fakta-fakta yang didapatnya maupun mengungkap

fakta-fakta yang belum ada. Inilah kerja seorang wartawan.

Lalu bagaimana menjalankan jurnalisme nurani?

• Beranjak dari pola pikir

Sebelum seorang wartawan memutuskan akan memberitakan sebuah

peristiwa atau kejadian, maka disinilah peran jurnalisme nurani itu dimulai.

Wartawan harus beranjak dari dasar berpikir positif (positive thinking).

Jurnalisme nurani menekankan pada berpijak pada fakta-fakta yang

ada, barulah seorang wartawan mulai menentukan sudut pandang (angle)

berita yang ingin ditulisnya. Memulai dari fakta yang diperlakukan secara

positif, dalam arti menjauhi prasangka dan tuduhan-tuduhan tak mendasar.

Berbeda dengan jurnalisme provokatif. Jurnalisme jenis ini berangkat

dari pola pikir negatif (negative thinking); berita yang baik adalah berita yang

bombastis dan mengandung kejelekan individu atau institusi tertentu.


7

Mengungkap perselingkuhan seorang pejabat menurutnya lebih memiliki

nilai dan menaikkan prestise dirinya, merasa menjadi wartawan hebat karena

mampu melakukan investigasi dibandingkan wartawan lainnya. Sementara

bila melaporkan kisah hidup penjaga pintu kereta api dianggap sebagai

pekerjaan sebelah mata, tidak memiliki nilai bahkan akan menurunkan

gengsinya.

Wartawan memandang semua peristiwa atau kejadian hanya sebagai

sesuatu yang mengandung nilai negatif semata. Praduga demi praduga juga

merupakan hal utama yang dimunculkan seorang wartawan sebelum ia terjun

untuk mengumpulkan fakta. Bahkan tidak mengherankan wartawan itu

sendiri sudah menentukan arah berita yang akan dibuatnya, yang lebih parah

lagi adalah sudah menentukan judul berita. Dengan demikian saat wartawan

berada di lapangan ia akan berusaha mendapatkan fakta yang sesuai dengan

keinginannya dan bukan seluruh fakta apa adanya. Apabila di tengah jalan ia

mendapatkan fakta baru dan itu berbeda dengan keinginannya, besar

kemungkinan fakta tersebut akan dikaburkan Wartawan membuat dirinya

berpihak (alianasi). Ia hanya memberitakan dari sudut mana atau siapa saja

yang akan diberitakannya. Jelas saja berita yang dihasilkan adalah berita

provokatif.
8

• Melihat dampak

Tugas wartawan dalam jurnalisme nurani tidak hanya berhenti ketika

ia telah telah mendapatkan fakta-fakta dan siap dipublikasikan. Wartawan

saat mengolah fakta menjadi sebuah berita ketika itu pula ia

mempertimbangkan dampak yang akan terjadi pada pembaca setelah

membaca atau menyaksikan berita yang dibuatnya.

Contoh kasus yang bisa diangkat di sini adalah kasus pemerkosaan.

Perlukah menampilkan wajah pelaku maupun korban pemerkosaan? Bisakah

ia memaparkan lokasi tempat tinggal pelaku maupun korban tersebut?

Etiskah menyebutkan identitas korban? Layakkah menampilkan sosok korban

maupun pelaku meski sebagian wajahnya disamarkan? Bagaimana dengan

memperdengarkan suaranya?

Sedangkan jurnalisme provokatif mengajarkan wartawan bahwa berita

yang tragis, penuh sensasi dan bombastis harus segera dipublikasikan atau

disiarkan. Dengan demikian media massa tersebut tidak tertinggal kehangatan

berita alias up to date. Tidak peduli bahwa peristiwa yang disajikan olehnya

kurang didukung oleh fakta atau bukti-bukti. Yang terpenting tiras penjualan

medianya atau rating acaranya bisa naik.

Alih-alih memposisikan dirinya sebagai alat yang objektif

(memaparkan apa adanya) malah media massa tersebut menggunakanya


9

untuk mempengaruhi opini, pendapat dan pola pikir masyarakat sebagai

konsumen media. Masyarakat sepertinya hanya disuguhkan kaca mata kuda

dalam menerima berita, apa yang benar menurut sudut pandang serta

kebijakan media massa tersebut itulah yang benar di masyarakat.

• Memperlakukan fakta

Wartawan yang menjalankan jurnalisme nurani menghormati semua

data, informasi, maupun dokumentasi yang datang dari siapapun dan dari

pihak manapun. Ia selalu berpijak berdasarkan fakta-fakta yang ada. Bahkan

terhadap segala hal yang belum terungkap pun akan ditelusuri, sehingga fakta

yang dimilikinya akan semakin lengkap.

Berbeda dengan jurnalisme profokatif. Wartawan seringkali

mempublikasikan sebuah peristiwa tidak berdasarkan fakta yang akurat dan

cermat. Tak jarang fakta-fakta yang ada malah diabaikan atau setidaknya

dikaburkan. Bila diperlukan wartawan yang bersangkutan menciptakan fakta-

fakta baru yang fiktif. Merekayasa berbagai peristiwa, menentukan sudut

pandang peristiwa hingga memunculkan nara sumber-nara sumber fiktif yang

sesuai dengan apa yang dimaui wartawan atau media massa yang

bersangkutan. Rumor, gosip atau prasangka diangap sebagai fakta yang sah,

artinya dapat dijadikan dasar untuk dijadikan berita. Dan senjata yang

digunakan oleh media massa ini adalah ungkapan ‘menurut sumber kami’
1
0

atau ‘menurut sumber yang namanya dirahasiakan’. Juga, statement off the

record yang seharusnya dihormati wartawan sering kali diabaikan dengan

menggunakan ungkapan tersebut.

Skema Perbandingan Jurnalisme Nurani dengan Jurnalisme Provokatif

Jurnalisme Nurani Jurnalisme Provokatif


• Beranjak dari pola pikir yang • Beranjak dari pola pikir yang
positif (Positife Thinking) negatif (Negative Thinking)
• Melihat peristiwa atau • Melihat peristiwa atau kejadian
kejadian sebagai suatu sebagai suatu persoalan
persoalan masyarakat individu/kelompok
• Menitikberatkan kepada • Menitikberatkan kepada apa
dampak yang terjadi yang terjadi saat ini
• Cenderung berimbang • Cenderung berat sebelah dan
memihak
• Merekayasa fakta dan
• Memaparkan fakta yang ada
menyembunyikan fakta yang
dan mengungkap fakta yang
sesungguhnya
tersembunyi
• Berdasar praduga
• Berdasar fakta
• Berorientasi pada permintaan
• Berorientasi pada etika dan
pasar/pembaca
moral
• Memposisikan jurnalis hanya
• Memposisikan jurnalis
sebagai ‘alat penyampai berita’
sebagai manusia seutuhnya

Media sebagai Alat Mencerdaskan

Tentu dalam tataran praktis institusi media massa, secara sadar

maupun tidak, mengetahui elemen-elemen dalam jurnalisme nurani. Bahwa


1
1

dalam teotitisnya setiap wartawan baru yang bergabung diajarkan bagaimana

menjadi wartawan yang memiliki nurani, dan tidak diajarkan menjadi

wartawan yang provokator. Akan tetapi, kondisi ini akan berbeda ketika

wartawan baru tersebut masuk dalam prosedur kerja yang telah melembaga,

di mana hanya berlaku satu ungkapan bahwa berita yang baik adalah berasal

dari peristiwa yang jelek atau yang bisa menjelek-jelekkan sesuatu. Oleh

karena itu, perlu adanya kesadaran wartawan dan juga institusi media untuk

melakukan jurnalisme nurani.

Anda mungkin juga menyukai