kemajuan yang cukup pesat beberapa tahun beberapa tahun belakangan ini.
Yunus Yosfiah, pada tanggal 5 juni 1998, yang dianggap sebagai ‘borgol’ yang
dan 3 Surat Keputusan yang baru yang lebih lunak. Salah satu Permenpen
1
Makalah ini untuk memenuhi persyaratan kuliah seminar pada Program Studi Jurnalistik Fakultas
Komunikasi Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama)
2
pertengahan 1999 jumlah SIUPP baru yang dikeluarkan oleh lembaga ini
menjadi 852. Jumlah tersebut masih didominasi oleh media umum sebanyak
561 media atau 64,84 persen ; media bisnis dan ekonomi serta politik sebanyak
83 buah atau 9,74 persen ; media hiburan, olahraga serta pariwisata sebanyak
49 buah atau 7,75 persen ; media keluarga, kesehatan dan anak, gaya hidup
dan perempuan sebanyak 40 buah atau 4,68 persen ; media hukum, keadilan
pendidikan dan bursa kerja sebanyak 33 media atau 3,87 persen ; media
keagamaan sebnayak 22 buah atau 2,58 persen ; media seni sastra dan
kebudayaan 14 buah atau 1,64 persen serta lain-lain 11 buah atau 1,22 persen.
tidak adanya lagi ketentuan yang mengharuskan setiap media massa yang
Bahkan secara ekstrim para pakar jurnalitik menyamakan pers sebagai udara
sosial dan dianggap sebagai kekuatan ke empat (The Fourth Estate) dalam
mengawal demokrasi.
Akan tetapi apa yang terjadi. Dalam beberapa kondisi pers bukanlah
isu atau rumor --terutama sekali terjadi dan menimpa para selebritis-- dengan
beritanya. Berita politik, bencana alam, perang, apalagi kriminal dan seks,
pasaran. Lampu Merah, Pos Kota, Rakyat Merdeka, maupun Pos Metro adalah
kebinatangan manusia: kejam, sadis dan penuh nafsu. Berita perkosaan dan
siang hari, tayangan Sergap, Buser, dan Patroli menemani santap siang di
rumah. Sore hingga malam hari ada Fakta, Buser Petang, Derap Hukum,
Investigasi dan sebagainya. Belum lagi tayangan pamer aurat dan pamer aib
4
yang dikemas dalam bingkai infotainment atau pentas musik hampir di semua
pengetahuan, media juga dianggap sebagai alat yang tepat untuk provokasi
yang dimiliki setiap media massa terhadap sebuah peristiwa yang layak berita
mereka.
menggigit orang’ bukan berita sedangkan ‘Orang menggigit ajing’ itu berita.
luar biasa memiliki nilai berita yang layak dijual ke pembaca. Yang menjadi
peristiwa atau kejadian, maka disinilah peran jurnalisme nurani itu dimulai.
berita yang ingin ditulisnya. Memulai dari fakta yang diperlakukan secara
dari pola pikir negatif (negative thinking); berita yang baik adalah berita yang
nilai dan menaikkan prestise dirinya, merasa menjadi wartawan hebat karena
bila melaporkan kisah hidup penjaga pintu kereta api dianggap sebagai
gengsinya.
sesuatu yang mengandung nilai negatif semata. Praduga demi praduga juga
sendiri sudah menentukan arah berita yang akan dibuatnya, yang lebih parah
lagi adalah sudah menentukan judul berita. Dengan demikian saat wartawan
keinginannya dan bukan seluruh fakta apa adanya. Apabila di tengah jalan ia
berpihak (alianasi). Ia hanya memberitakan dari sudut mana atau siapa saja
yang akan diberitakannya. Jelas saja berita yang dihasilkan adalah berita
provokatif.
8
• Melihat dampak
memperdengarkan suaranya?
yang tragis, penuh sensasi dan bombastis harus segera dipublikasikan atau
berita alias up to date. Tidak peduli bahwa peristiwa yang disajikan olehnya
kurang didukung oleh fakta atau bukti-bukti. Yang terpenting tiras penjualan
dalam menerima berita, apa yang benar menurut sudut pandang serta
• Memperlakukan fakta
data, informasi, maupun dokumentasi yang datang dari siapapun dan dari
terhadap segala hal yang belum terungkap pun akan ditelusuri, sehingga fakta
cermat. Tak jarang fakta-fakta yang ada malah diabaikan atau setidaknya
sesuai dengan apa yang dimaui wartawan atau media massa yang
bersangkutan. Rumor, gosip atau prasangka diangap sebagai fakta yang sah,
artinya dapat dijadikan dasar untuk dijadikan berita. Dan senjata yang
digunakan oleh media massa ini adalah ungkapan ‘menurut sumber kami’
1
0
atau ‘menurut sumber yang namanya dirahasiakan’. Juga, statement off the
wartawan yang provokator. Akan tetapi, kondisi ini akan berbeda ketika
wartawan baru tersebut masuk dalam prosedur kerja yang telah melembaga,
di mana hanya berlaku satu ungkapan bahwa berita yang baik adalah berasal
dari peristiwa yang jelek atau yang bisa menjelek-jelekkan sesuatu. Oleh
karena itu, perlu adanya kesadaran wartawan dan juga institusi media untuk